Hari
acara debat akhirnya tiba. Saat Masachika dan Alisa berjalan menuju pintu
belakang auditorium yang terhubung dengan area belakang panggung, mereka
kebetulan bertemu dengan lawan debat mereka.
“Ah,
halo-halo~”
Sayaka
memberi sapaan dengan membungkuk ringan dan segera memasuki auditorium, tapi
murid lain yang ada di belakangnya menyapa dengan sikap yang ramah.
“Kuzecchii,
lama enggak ketemu~ hari ini mohon kerja samanya ya~… Eh, tapi aneh juga
kalau aku bilang begitu, ya?”
“Bukannya
kamu terlalu santai?”
“Yah,
habisnya aku enggak dapet giliran debat, iya ‘kan ~? Tentu saja aku bisa
santai-santai begini”
Orang
yang melambaikan tangannya dengan riang adalah gadis berambut pirang dengan gaya dikuncir ke samping atas. Dia
mengenakan seragam yang sedikit longgar dengan riasan yang sangat ringan
sehingga guru-guru tidak bisa menyalahkannya. Penampilannya yang sangat tidak
biasa di Akademi Seirei ini biasa disebut gyaru.
Gadis tersebut menatap Alisa, yang tertegun di depan tipe orang yang belum
pernah dia hadapi sebelumnya.
“Apa
ini pertama kalinya kita berbicara secara langsung? Hai~ namaku Miyamae Nonoa.
Setidaknya, aku ini partner dari Sayacchi~”
“Begitu
… Namaku Kujou Alisa. Mari berdebat dengan baik.”
“Ahahaha,
serius banget~ mungkin kamu dan Sayacchi bakalan cepet akrab.”
Setelah
tertawa lepas, Nonoa berkata “Kalau gitu,
senang bertemu denganmu dan sampai ketemu lagi~.” sambil berjalan memasuki
auditorium.
“Tadi
itu partner-nya Taniyama-san? Rasanya entah kenapa….”
“Tidak
serasi? Yah, jika dilihat dari penampilannya saja, mereka terlihat seperti
pasangan murid teladan yang kaku dan gadis gyaru yang modis. Maksudku, dia
memang gadis gyaru, terlepas dari penampilannya. Sepertinya dia memanfaatkan penampilanya
yang mencolok untuk keuntungannya sebagai model.”
“Model?
Bukannya…. itu melanggar peraturan sekolah?”
“Hmm,
dengar-dengar sih kalau dia memodelkan iklan merek orang tuanya, jadi bisa
dibilang kalau itu hampir aman?”
“Maksudku,
aku pernah melihatnya dan merasa penasaran, tapi rambutnya itu …”
“Oh,
yang itu sih rambut aslinya, tau? Katanya, neneknya itu orang Amerika.”
“……Begitu
ya.”
Masachika
melanjutkan sambil tersenyum masam pada Alisa, yang sepertinya memahami tapi
masih kurang puas dengan penjelasan Masachika.
“Aku
dengar kalau mereka berdua adalah teman masa kecil. Meski penampilan dan
kepribadian mereka benar-benar berbeda, tapi mereka berdua sangat dekat.”
“Oh
jadi begitu rupanya …”
“Asal
kamu tahu saja, jika kamu berpikir kalau mereka berpasangan karena punya
hubungan semacam itu, kamu salah besar, tau? Miyamae merupakan gadis yang
menduduki puncak kasta sekolah terlepas dari OSIS atau yang lainnya, dan dia
adalah salah satu murid terbaik dalam hal memiliki koneksi.”
“Itu
sih … memang jadi ancaman dalam pemilihan nanti.”
“Yah,
hari ini jangan terlalu mengkhawatirkan tentang itu. Sekarang, kamu hanya perlu
fokus pada Taniyama.”
“Benar
juga. Baiklah, aku mengerti.”
Untuk
saat ini, Alisa tampaknya mengesampingkan masalah Nonoa dari pikirannya, dan
Masachika menghela nafas sebelum bertanya pada Alisa.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi
sekarang?”
“Ya”
Kemudian,
mereka melangkah masuk ke auditorium, tempat di mana pertempuran penentuan akan
berlangsung.
◇◇◇◇
“Uwaah,
sudah ada banyak orang yang berkumpul. Kurasa lebih dari setengah murid yang
tidak punya kegiatan klub datang kemari, iya ‘kan?”
“Yah,
habisnya ini acara debat pertama di tahun ini. Terlebih lagi, penantangnya
adalah Taniyama-san, dan orang yang menerima tantangannya adalah Kujou-san …
jadi wajar-wajar saja kalau ini menarik banyak perhatian.”
Ketika
Takeshi dan Hikaru tiba di gedung auditorium, mereka melihat sekeliling dengan
cemas pada jumlah orang yang berkumpul di sana yang hampir penuh, padahal
sekarang merupakan waktu mepet di jam sepulang sekolah sebelum memasuki masa
ujian. Jika sebelum acara saja jumlah penontonnya sudah ramai begini, mungkin
beberapa siswa harus berdiri saat acara perdebatan dimulai.
“Taniyama-san
tuh, gadis yang bertarung sampai akhir melawan Ohii-sama[1] untuk memperebutkan
posisi ketua OSIS SMP, ‘kan?”
“Betul
sekali, pada kelas satu SMP dulu, banyak yang memujinya dan digadang-gadang
menjadi ketua OSIS berikutnya, tapi pada akhirnya dia tetap kalah dari
Suou-san.”
“Kalau
tidak salah, Taniyama-san tidak pernah kalah dalam debat, ‘kan? Seandainya saja
Taniyama-san dan Ohii-sama melakukan debat sebelum pemilihan Ketua OSIS, aku
enggak tahu bakalan jadi apa hasilnya.”
“Aku
juga berpikir begitu, tapi kupikir dia bersikap adil dengan tidak bertanding di
bidang keahliannya dan menyelesaikan pemilihan dengan cara yang bermartabat.”
“Tidak,
tidak, bukannya kamu dulu memilih Suou-san.”
“Itu
ya itu. Aku cuma terkesan dengan cara musuh saja.”
Saat
berjalan melewati auditorium mencari dua kursi kosong yang berdampingan, mereka
berdua bisa mendengar suara siswa di sekitaran mereka. Dari murid kelas satu
hingga kelas tiga, orang-orang dari pelbagai angkatan membicarakan prediksi
mereka untuk debat dan kesan mereka terhadap para peserta.
“Mengenai
agenda ini, menurutmu bagaimana?”
“Hmmm,
sulit untuk menilainya karena agendanya sendiri tidak melibatkan sebagian besar
siswa. …… Tapi yah, aku yakin dia bisa menyelesaikannya dengan baik.”
“Kalau
si murid pindahan, gimana? Aku tidak tahu banyak tentang gadis itu…”
“Aku
juga sama, yang kutahu cuma dia punya nilai bagus … lagian, memangnya dia
bisa berdebat?”
“Apa
kamu pernah mendengar nama murid yang bernama Kuze ini?”
“Bukannya
itu nama wakil ketua saat Suou-san menjadi Ketua OSIS dulu? Aku sendiri tidak
tahu banyak.”
“Ah
~ Apa ada hal seperti itu? Eh? Jika emang begitu, kenapa Ia bersama murid
pindahan itu?”
Sebagian
besar cerita yang mereka dengar adalah tentang Sayaka, dan cuma sedikit orang
yang membicarakan tentang Alisa. Tapi tidak ada orang yang membicarakan
Masachika sama sekali.
“…
Entah kenapa, rasanya sudah berat sebelah, ‘kan?”
“Yah,
dalam debat ini, ada terlalu banyak perbedaan dalam reputasi … Oh, di sana
ada kursi kosong, tuh.”
“Ah,
benar juga”
Setelah
menemukan kursi kosong yang ada di tengah barisan, Takeshi dan Hikaru duduk di
sana. Kemudian, saat melihat panggung yang ada di depan, mereka melihat Sayaka
dan Nonoa berada di sisi kanan panggung di seberang podium tengah. Sedangkan di
sisi kiri, ada Alisa dan Masachika.
Meski
semua yang ada di panggung duduk di kursi yang sama, tapi anehnya, tatapan mata
mereka tertuju pada Sayaka. Cara dia menegakkan punggungnya dan bermeditasi
dengan tenang memberikan kesan yang bermartabat.
“Akhirnya
bisa dapet tempat duduk juga … entah kenapa, aku merasa kalau mereka
sepertinya enggak bisa menang. Maksudku, aku tidak bisa membayangkan kalau
Taniyama-san akan kalah.”
“Seperti
yang kuduga, Masachika terlihat tenang, tapi… Apa Kujou-san bakal baik-baik
saja? Kujou-san yang jadi pembicara utamanya, ‘kan?”
“Yah,
biasanya sih sesama calon kandidat ketua yang menjadi pembicara utamanya, dan
kandidat wakil ketua akan mendukungnya. Jika cuma kandidat wakil ketuanya saja yang
berbicara, itu akan membuat kandidat Ketua terlihat seperti pajangan doang. Kalaupun
mereka memenangkan perdebatan ini, tidak ada gunanya jika itu akan memberi
kesan negatif terhadap pemilihan Ketua OSIS nanti.”
“Emang,
… aku ingin tahu apa dia baik-baik saja? Kujou-san, dia kelihatannya tidak
pandai berbicara, iya ‘kan? … apalagi di hadapan orang sebanyak ini.”
“Bener
banget … Setidaknya, dia harus bisa berbicara dengan pemikiran terbuka dan
jujur, jika tidak begitu, dia tidak punya kesempatan untuk bersaing melawan
Taniyama”
Mereka
berdua menatap Alisa yang ada di atas panggung dengan prihatin. Alisa tidak menunjukkan tanda-tanda menyadari
tatapan mereka dan hanya duduk di kursinya sambil menatap lurus ke depan. Mata
biru yang menatap podium kosong itu tampaknya tidak memiliki keraguan atau
kecemasan sama sekali…
(Ada begitu banyak …orang, tenggorokanku terasa kering … suaraku,
apa bakalan bisa keluar?)
Tapi
di dalam hati, dia merasa sangat gugup.
Tentu
saja, ada tekanan bahwa masa depannya sedang dipertaruhkan dalam perdebatan ini.
Tapi sebelum itu, ini adalah pengalaman pertama Alisa untuk mengucapkan
kata-katanya sendiri di depan begitu banyak orang.
Pertama-tama,
Alisa mempunyai sifat yang egois tapi tidak asertif[2]. Karena dia tidak
mengharapkan apa pun dari orang lain, jadi di masa lalu dia tidak terlalu
memedulikannya. Sebagai ganti untuk tidak mencoba mempengaruhi orang lain
dengan pendapatnya, dia juga tidak akan terpengaruh oleh pendapat mereka. Itulah
sikap dasar Alisa.
Namun,
apa yang dia butuhkan sekarang ialah kemampuan untuk menggerakkan orang lain.
Kemampuan untuk membuat orang lain mendukungnya melalui kata-katanya sendiri.
Sampai sekarang, Alisa menyingkirkan jauh-jauh hal itu karena dianggap tidak
perlu.
(Apa aku bisa melakukannya? Aku merasa takut ditolak lagi … sama
seperti waktu itu)
Alisa
kembali mengingat rentetan penyangkalan
yang di alaminya beberapa hari yang lalu dalam diskusi antara klub sepak bola
dan klub bisbol. Rasanya mengerikan. Dia tiba-tiba tidak bisa merasakan kakinya
seolah-olah kakinya mati rasa. Kaki yang menginjak panggung yang seharusnya
keras, terasa seperti terbuat dari karet.
“Alya”
Suara
dari sebelah yang memanggil namanya membuat Alisa menoleh dengan setengah hati.
Dia merasa sangat bersyukur karena perhatiannya bisa teralihkan dari penonton
yang ada di depannya.
“……Apa?”
Apakah
suara balasannya terdengar tenang atau gemetaran? Alisa sendiri merasa tidak yakin. Saat
menoleh, dia melihat wajah seorang cowok yang menatapnya dengan ekspresi
serius. Biasanya dia menganggapnya sebagai cowok yang tidak dapat diandalkan,
tapi setelah melihat ekspresi seriusnya itu, Alisa sendiri merasa tertekan
olehnya.
(Kuze-kun, Ia terlihat sangat tenang… aku harus lebih tegas lagi.
Aku sendiri yang bilang kalau aku akan melakukannya. Aku tidak mau mengecewakan
Kuze-kun. Aku harus tenang dan jangan tegang. A-Ambil napas dalam-dalam…)
Saat
dia mencoba bernapas pelan-pelan, tenggorokan dan paru-parunya tidak mau
menuruti kemauannya. Tubuhnya gemetaran dengan sendirinya, dan semakin banyak
tenaga yang terkuras dari badannya.
“Alya…”
“Kuze..kun
…”
Dia
sudah tidak bisa berpura-pura kuat lagi. Suaranya terdengar serak saat berusaha
untuk berbicara. Wajahnya mulai meringis seakan-akan hampir menangis, dan isi kepalanya
kacau balau …
“Apa
benar kalau kamu punya ukuran E-cup?”
“……Ha?”
Pertanyaan
yang begitu aneh dan terlalu mendadak membuat Alisa tertegun sejenak, karena tidak
memahami apa yang dikatakan partner-nya itu. Tapi, saat tatapan Masachika
melirik area dadanya, Alisa akhirnya menyadari situasinya. Dia secara refleks
mencoba menutupi dadanya dengan kedua tangan, tapi mengingat kalau dia sedang
berada di atas panggung, dia hampir menghentikan dirinya melakukan itu.
“Da-Dasar
cabul…! Apa yang sedang kamu bicarakan dalam situasi ini!”
Alisa
mencelanya sambil berusaha menekan volume suaranya. Kemudian, Masachika mengalihkan
pandangannya ke area penonton dengan ekspresi yang sangat serius.
“Ya,
aku juga berpikir demikian … aku tidak bisa melakukan sesuatu yang aneh dalam
situasi di hadapan publik begini, …. Tapi apa kamu tahu? Pada saat yang sama,
aku pun menyadarinya. Jika aku tidak bisa melakukan hal yang aneh-aneh, itu
berarti kamu tidak bisa menamparku maupun melarikan diri.”
Kemudian,
Ia tersenyum dan kembali menatap Alisa dengan ekspresi tenang yang aneh.
“Aku
jadi menyadarinya … maksudku, itu berarti aku bisa melakukan pelecehan
seksual padamu sepuasnya, iya ‘kan?”
“Mending
kamu mati saja sana”
“Kukukuku,
mereka pasti takkan menyangka kalau kita sedang melakukan percakapan gila di atas
panggung begini…”
“Aku
bahkan tidak ingin memikirkannya.”
“Guhehehe,
Ojou-chan… kamu hari ini pakai kancut warna apa?”
“Kamu!!…
Haa”
Alisa
menghela nafas lelah saat berusaha menahan tangannya yang secara refleks
terangkat kepada partnernya yang membuat suara vulgar dengan ekspresi serius. Dia
mulai mengkhawatirkan penilaiannya, apa orang semacam ini benar-benar partner yang tepat untuknya.
“Ya
ampun, setidaknya tolong sedikit gugup …”
“Oi,
Oi, begini-begini aku juga sedikit gugup, tau? Oh, di sana ada Takeshi dan Hikaru.
Oi~”
“Sebelah
mana? Ah, tu-tunggu!”
Alisa
berusaha meraih pergelangan tangan Masachika yang melambaikan tangan pada
temannya, dan memaksanya untuk diletakkan di atas pangkuannya. Kemudian, dia memelototi
wajah yang tak punya rasa gugup itu.
“Nee,
bisa berhenti enggak? Karena ini memalukan, tau.”
“Jangan
khawatir. Karena aku merasa lebih malu ketimbang dirimu.”
“Kalau
memang begitu, kamu harus sedikit malu.”
“Su-Sungguh
tangan yang kuat… Tidak, jangan menatapku dengan tatapan yang begitu membara.
Ak-Aku malu ih…!”
“…”
“Ups,
apa itu tatapan yang sedang melihat sampah?”
Ketika
Masachika tampaknya tidak menganggapnya serius sama sekali, Alisa dengan kasar
melepaskan tangannya dan membuang muka dengan cuek.
“Oi~,
Alya-san~”
“…”
“Kok
ngambek sih, karena kamu kelihatan gugup, jadi kupikir melakukan candaan
sedikit buat mengendurkan kegugupanmu, tau.”
“…
Kata siapa? Aku tidak merasa gugup sama sekali, kok.”
“Masa~?
Tapi kok wajahmu masih agak kaku begitu?”
Masachika
bertanya dengan nada curigaan saat menatap wajah samping Alisa. Sebenarnya, pipinya
tidak terlihat pucat lagi, tapi dia masih merasa gugup. Masachika menghela
napas kecil dan berbicara pelan dengan nada serius.
“Kamu
tidak perlu menyembunyikan kegugupanmu segala. Wajar-wajar saja kalau kamu
merasa gugup pada perdebatan pertamamu. Justru sebaliknya, kamu boleh-boleh
saja untuk mengatakan sesuatu seperti 『Meski aku
merasa gugup, tapi aku akan melakukan yang terbaik, jadi mohon bantuannya. 』dan mendapat simpati dari banyak
penonton.”
“…
Mana mungkin aku akan mengatakan itu.”
“Yah,
benar juga sih.”
Alisa
takkan pernah melakukan apa pun yang untuk memanjakan dirinya dengan alasan
semacam itu.
Alisa
merupakan tipe perfeksionis, jadi dia pasti berpikir untuk melakukannya dengan
sempurna dari awal hingga akhir.
“Alya,
coba lihat ke sini”
“…?”
Masachika
bertanya sembari menatap mata Alisa, yang balas menatapnya dengan pandangan curiga.
“Alya,
siapa lawanmu?”
“…
Taniyama-san, ‘kan?”
“Salah.
Lawanmu adalah dirimu yang ideal dan sempurna. Benar, ‘kan?”
Setelah
mendengar perkataan Masachika, tatapan Alisa sedikit goyah dan kemudian
perlahan mengangguk.
“…
Kurasa begitu. Aku mungkin paling takut saat tidak bisa melakukan sesuatu
sesuai dengan keinginanku.”
“Tuh,
‘kan? Dengan kata lain, kamulah yang satu-satunya menilai dirimu sendiri. Dan
cuma ada kamu yang berbicara di podium. Penonton hanyalah penonton. Selama
tidak ada sesi tanya jawab, mau sebanyak apapun mereka, semua itu tidak ada
hubungannya, iya ‘kan?”
“Apa
benar begitu?”
“Iya”
Saat
tatapan Alisa mengembara dengan cemas, Masachika dengan berani membuat
penegasan. Masachika tahu bahwa semakin tidak stabil mentalnya, kata-kata yang
Ia ucapkan akan terngiang di dalam diri Alisa dan membuatnya mulai percaya diri
lagi.
“Yang
harus kamu lakukan ialah berpikir untuk menjadi orang yang paling keren sesuai
bayanganmu. Jangan khawatir, aku akan mengurus semuanya jika ada sesuatu yang
terjadi.”
“…”
Alisa
berkedip pelan seolah-olah sedang mencoba menelaah kata-kata Masachika, dia
lalu kembali menghadap ke depan dengan ekspresi yang sudah terlihat sedikit
lebih tenang.
Lalu
secara kebetulan, Touya, yang menjadi pemandu acara debat, mendekat dari area
luar panggung.
“Kuze,
Kujou. Sudah waktunya acara di mulai, apa kalian sudah siap?”
“Iya”
Masachika
menjawab dengan jelas, dan melirik Alisa yang ada di sebelahnya. Alisa juga
diam-diam membalas tatapannya dan menoleh ke arah Touya sambil mengangguk.
“Aku
juga sudah siap”
“Baiklah”
Setelah
mengangguk dengan tegas, Touya lalu menuju ke tempat duduk Sayaka. Setelah mendapatkan
konfirmasi dari sisi mereka juga, Touya berdiri di meja moderator yang terletak
di sisi kiri panggung dan mengarahkan suaranya ke mikrofon.
“Karena
waktunya sudah tiba, oleh karena itu, Acara Rapat Umum Siswa akan dibuka
sekarang.”
Saat
Touya mengumumkan pembukaan acara, para penonton yang berisik perlahan-lahan
menjadi tenang. Setelah kebisingan mereda, Touya kemudian melanjutkan untuk
memperkenalkan para peserta.
“Ketua
dari rapat umum ini adalah saya sendiri selaku Ketua OSIS, Kenzaki Touya. Pihak
pengusulnya adalah Sayaka Taniyama dari kelas 1-F dan Miyamae Nonoa dari kelas
1-D.”
Menanggapi
tatapan Touya, Sayaka dan Nonoa berdiri dari kursi dan membungkuk. Tepuk tangan
meriah dari para penonton dan dukungan dari para pendukung mereka pun terdengar.
“Pihak
yang Ditantang adalah Kujou Alisa yang menjabat sebagai Bendahara OSIS serta
Kuze Masachika yang menjabat sebagai Urusan Umum OSIS.”
Alisa
berdiri dari tempat duduknya, lalu membungkuk dengan indah dan Masachika
membungkuk dengan gerakan lucu. Kali ini ada keriuhan tepuk tangan lagi, tetapi
jumlahnya lebih sedikit dari sebelumnya, dan tidak ada suara dukungan.
“Agendanya
adalah 『Pengenalan
penilaian guru dalam bergabung dengan OSIS』.
Kalau begitu pihak pengusul, silahkan utarakan opini anda.”
“Ya”
Sayaka
berdiri seraya menjawab dengan suara yang terdengar bagus dan jelas bahkan
tanpa mikrofon sekali pun. Dia berjalan di atas panggung tanpa menunjukkan kegugupan
sama sekali, lalu membungkuk hormat kepada Touya di tengah jalan, dan kemudian
menaiki podium. Pada saat yang sama, penampilan Sayaka diproyeksikan ke layar
di belakang panggung.
“Selamat
siang semuanya. Terima kasih banyak karena sudah berkumpul di sini di sela-sela
kesibukan Anda. Kali ini, saya ingin mengusulkan『Pengenalan penilaian guru dalam bergabung
dengan OSIS』. Singkatnya,
kami mengusulkan bahwa sebelum seorang murid bisa bergabung dengan OSIS, mereka
memerlukan rekomendasi dari guru.”
Setelah
melihat sekeliling pada penonton dan menyapa mereka, Sayaka mengutarakan
opininya dengan lancar.
“Saat
ini, anggota OSIS dipilih langsung oleh ketua dan wakil ketua. Tapi pada
kenyataannya, mereka menerima murid yang mencalonkan diri tanpa pandang bulu.
Faktanya, saat kami melakukan survei terhadap semua murid dari divisi SMP dan
SMA yang pernah menjadi anggota OSIS, meski cuma sementara———”
(… Seriusan? Dia sampai repot-repot
menyiapkan data seperti itu segala?)
Masachika
merasa kagum dengan persiapannya dalam menyajikan data numerik dalam waktu yang sesingkat ini.
(Tidak, ini bukan Taniyama, melainkan
ulah Miyamae ya …)
Ketika
Masachika memandang Nonoa dengan perasaan campur aduk, orang yang dimaksud
justru sedang melihat kukunya sendiri dengan santai seolah-olah dia tidak
peduli.
Rupanya,
dia memang berniat cuma menjadi penonton saja dalam perdebatan ini.
“Dari
sini, saya pikir Anda semua dapat memahami situasi sekarang bahwa siapa pun
bisa menjadi anggota OSIS selama mereka mencalonkan diri. Tapi bagaimana dengan
ini? Akademi Seirei adalah sekolah bergengsi dan mempunyai sejarah panjang.
Lantas, pantaskah OSIS yang merupakan perwakilan dari para siswa, menjadi
organisasi yang bisa dimasuki siapa saja, tidak peduli seberapa buruk
perilakunya?”
Setelah
menyampaikan fakta objektif, Sayaka berbicara kepada para penonton dengan nada
yang kuat.
“Saya
percaya bahwa hanya murid terbaik dan terpintar saja yang boleh bergabung
dengan OSIS. Anda semua pasti merasakan hal yang sama, bukan? Bukankah kita
ingin seseorang dengan kualitas yang tepat dan sesuai sebagai anggota OSIS yang
akan memerintah sebagai perwakilan kalian atau kadang-kadang atasan bagi murid yang
berada di klub? Coba anda bayangkan sendiri. Seorang siswa yang biasanya
memiliki nilai jelek dan berperilaku buruk menjadi atasan kita segera setelah Ia
menjadi anggota OSIS, loh? Mereka akan berada dalam posisi untuk memberikan
instruksi dan memberikan izin, loh? Apa Anda semua tidak membencinya?”
Masachika
bisa merasakan bahwa suasana di antara penonton berubah ketika ditanya Sayaka
dan banyak murid yang bergumam “Setelah
ditanya begitu, rasanya benar juga….”.
(Dia memang pandai dalam memanipulasi
keadaan …)
Dengan
mengubah perspektif mereka, Sayaka membuat para siswa yang tadinya masa bodo
sembari mengatakan, “Bukannya aku ingin
bergabung dengan OSIS, dan aku juga tidak terlalu peduli,” menjadi ikut
ambil bagian untuk berpikir.
Saat
ini, opini mereka digiring ke arah “Aku
tidak peduli, tapi kupikir aku lebih suka orang yang lebih kompeten untuk
menjadi anggota OSIS”. Semuanya berubah menjadi apa yang Sayaka inginkan.
“Oleh
karena itu, kami mengusungkan perlunya penilaian dari guru. Secara khususnya, formulir
keanggotaan OSIS harus dicap oleh wali kelas, guru bimbingan konseling dan
kepala sekolah. Hal ini akan menciptakan keanggotaan OSIS yang seluruhnya
terdiri dari siswa yang benar-benar berbakat serta mendapat dukungan dari guru.”
Sembari
menatap para penonton, Sayaka berbicara dengan tegas saat dia memberi sentuhan
terakhir pada penampilannya.
“Demi
mewujudkan OSIS yang lebih bermartabat dan berwibawa! Saya mohon dukungan
kalian semunya!! …… Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih banyak.”
Saat
Sayaka membungkuk, para penonton memberinya tepuk tangan meriah dan sorakan
dari pendukungnya. Setelah mengangkat tangannya sebagai tanggapan untuk
pendukungnya, Sayaka mengalihkan pandangannya ke Touya. Sebagai tanggapan, Touya
mengambil mikrofon.
“Kalau
begitu mari kita lanjutkan ke sesi tanya jawab. Untuk pihak lawan, apa Anda
punya pertanyaan?”
Touya
menatap Alisa dan Masachika, tatapan penonton juga tertuju pada mereka. Bagaimana
si murid pindahan yang dirumorkan itu akan menyanggah argumen brilian Sayaka?
Di bawah tatapan penuh minat dan antisipasi para penonton, Alisa kembali
menatap Touya dalam diam dan …… menggelengkan kepalanya.
“Etto,
apa tidak ada?”
Masachika
memintanya untuk melanjutkan dengan gerakan tangan saat Touya mengkonfirmasi
ulang dengan ekspresi terkejut. Perkembangan yang tidak terduga itu mengecewakan
para siswa yang mengatakan, “Apa-apaan
itu? Enggak ada bantahan atau semacamnya gitu?”. Namun, ini adalah sesuatu
yang Masachika putuskan setelah mendiskusikannya dengan Alisa.
Sayaka
yang seorang veteran dalam pertandingan debat, jarang menunjukkan celah selama
sesi tanya jawab. Jika kamu mengajukan pertanyaan yang buruk, dia bisa
membalasnya dengan sempurna dan dialah yang akan mendapatkan poin. Jangan
mengajukan pertanyaan yang sensitif. Sebaliknya, jauh lebih baik untuk mendengarkan argumen pihak lain dan kemudian
memberinya ruang untuk mengungkapkan pikirannya.
(Sampai saat ini, semuanya sesuai rencana)
Argumen
Sayaka kurang lebih sesuai dengan dugaannya. Tidak ada masalah sama sekali. Selebihnya
terserah Alisa.
“Baiklah,
apa kamu sudah siap?”
“……Ya”
Alisa
menjawab pelan, dan kemudian suara Touya bergema.
“…
Kalau begitu, mari kita lanjutkan dengan argumen dari pihak lawan.”
“Ya”
Alisa
berdiri sembari menjawab dengan suara biasa yang anehnya terdengar sangat
jelas, meski dia tidak memaksakan suaranya.
“Oke,
berjuanglah!”
Diiringi
dukungan Masachika di punggungnya, Alisa perlahan menuju podium. Tatapan penuh
penasaran dari penonton tertuju pada Alisa, ….. atau bisa dibilang tatapan yang
sedikit kejam.
“(Jadi
menurutmu, bagaimana cara dia membalikkan situasi ini?)”
“(Tidak,
tidak, bukannya ini sudah berakhir saat dia tidak bisa mengajukan pertanyaan?
Sudah pasti Taniyama-san yang memenangkan perdebatan ini.)”
“(Kubilang
juga apa, ‘kan? Jika Suo-san tidak muncul, mana mungkin mereka bisa menang)”
“(Sudah,
sudah, mending kita dengarkan dulu isi dari pidato “Putri Penyendiri” itu.)”
“(Lagipula,
emangnya dia bisa berbicara di depan publik? Semoga saja dia enggak menangis~)”
Suara
penghinaan dan ejekan bisa terdengar dari pelbagai sudut auditorium. Suasana di
aula tidak lagi terfokus pada bagaimana Alisa akan berdebat, melainkan pada
bagaimana “si putri penyendiri” akan
kalah.
Pada
suasana yang tidak menyenangkan itu, Chisaki yang berada di luar panggung
mengangkat alisnya dengan jengkel dan mencoba untuk keluar, tapi Maria meraih
lengannya dan menghentikannya. Saat Mariya mengawasi Alisa yang sedang berjalan
menuju podium, tatapan matanya terlihat seperti kakak tegas namun baik hati
yang percaya pada adik perempuannya. Dan Alisa yang dimaksud … sedang
berkonsentrasi pada batinnya sendiri tanpa menyadari suasana yang ada di
sekitarnya.
(Diriku yang ideal, seperti yang kupikirkan … diriku yang paling
keren …)
Dia
merenungkan apa yang Masachika katakan padanya, dan membayangkan sosok ideal
dirinya. Ngomong-ngomong soal penampilan keren, penampilan Sayaka tadi juga terlihat
berwibawa dan keren. Tapi lebih dari itu…
(Ya, sama seperti waktu itu … apa yang aku lakukan?)
Alisa
berusaha mengingatnya lagi. Penampilan cowok itu yang lebih keren dari siapapun.
Pada waktu itu, Ia bilang…
(Aah, benar juga)
Dia
sudah membayangkan sosok ideal yang dia inginkan. Sisanya tinggal mengikuti
gambaran sosok ideal yang ada di dalam kepalanya.
Setelah
sampai di podium, Alisa perlahan-lahan melihat sekeliling area penonton. Dan
kemudian… dia pun tersenyum.
◇◇◇◇
Ketika
Alisa berdiri di podium dan tersenyum, ada keriuhan di antara kursi penonton.
Beberapa orang ada yang tercengang, beberapa ada yang beneran terkejut, dan
beberapa orang… yang berhalusinasi menjadi satu-satunya cowok ditunjukkan
senyum itu.
“Selamat
siang semuanya. Nama saya Kujou Alisa selaku Bendahara OSIS. Sebagai perwakilan
OSIS, saya ingin membuat sanggahan terkait agenda ini. Mohon kerja sama dan
perhatiannya.”
Kemudian
dia membungkuk dengan anggun. Ekspresinya tampak tenang dan tak kenal takut,
seolah-olah dia memuji lawannya atas pertarungan yang bagus.
Dalam
sekejap, semua penonton di dalam aula itu menyadari bahwa keheningan selama
sesi tanya jawab sebelumnya bukan karena dia “tidak bisa” mengajukan pertanyaan, tapi karena dia “tidak harus” melakukannya.
Kesan
para penonton langsung berubah 180 derajat pada sapaan provokatif yang tidak
sesuai dengan citranya sebagai “putri penyendiri”.
“Sebelumnya,
Taniyama-san menyebutkan bahwa memasukkan penilaian guru ke dalam proses
menjadi anggota OSIS akan membuat Organisasi ini menjadi lebih bermartabat.
Namun, pendapat saya justru sebaliknya. Saya pikir hal itu akan mengurangi
otoritas OSIS jika kita memasukkan penilaian dari guru. Itu dikarenakan
menghilangkan wewenang Ketua dan Wakil Ketua, yang merupakan inti dari OSIS,
untuk mengangkat anggotanya.”
Para
siswa yang hadir menjadi tertarik dengan bantahan langsung Alisa terhadap argumen
Sayaka, yang tampaknya sangat logis.
“Sejak
awal, anggota OSIS yang paling dihormati dan membuat iri para siswa ialah
posisi Ketua dan Wakil Ketua. Keduanya memenangkan kampanye pemilihan yang
sengit dan memenangkan posisi tersebut, itulah sebabnya kenapa mereka diberi
banyak kewenangan dari pihak sekolah. Dan salah satu contoh dari kewenangan
tersebut adalah memilih anggota OSIS untuk menempati posisi lainnya. Lalu,
bagaimana bila kewenangan itu diserahkan kepada guru, meski hanya sebagian? Bukankah
itu sama saja dengan mengakui kalau OSIS saat ini tidak dapat melindungi
martabatnya sendiri tanpa bantuan para guru?”
Suara
Alisa bergema di auditorium. Beberapa orang ada yang merasa kagum pada
kecantikannya yang bermartabat, sementara yang lain merasa terkesiap pada sikap
megahnya. Hanya dalam beberapa menit, Alisa telah mengubah suasana auditorium, tapi
dia tidak menyadari hal ini dan terus mengutarakan pendapatnya tanpa ragu-ragu.
“Sekolah
ini sangat menjunjung tinggi kemandirian siswanya. Itulah yang menjadi alasan
mengapa OSIS diberikan kewenangan yang cukup besar. Karena berada dalam posisi
bebas menentukan anggotanya sendiri itulah yang membuat Ketua dan Wakil Ketua
menjadi istimewa. Apa yang akan terjadi jika pemilihan anggota OSIS harus
tunduk pada penilaian guru? Hal itu akan menyebabkan Ketua dan Wakil Ketua
tidak bisa leluasa menambahkan siswa yang mereka harapkan ke dalam OSIS. Mereka
juga tidak bisa menolak siswa yang bergabung dengan OSIS karena sudah
mengantongi penilaian para guru. Akibatnya, kewenangan untuk menunjuk anggota
OSIS diserahkan kepada para guru. Dan anggota yang dipilih guru menjalankan
sebagian besar tugas OSIS. Bukannya itu sangat menyimpang dari jati diri OSIS
Akademi Seirei ini?”
Masachika
bisa merasakan bahwa para penonton, yang tadinya setuju dengan pendapat Sayaka,
mulai goyah pada pidato Alisa yang penuh semangat.
(Bagus, dia bisa berbicara dengan tenang.
Sempurna.)
Masachika
mengelus dadanya dengan lega saat melihat pidato Alisa. Sejujurnya,
penampilannya lebih bagus dari yang Ia harapkan. Melihat seberapa gugupnya
Alisa tadi, Ia pikir kalau penampilannya itu akan sedikit canggung, tapi … pidatonya
ini sudah cukup untuk bersaing.
(Taniyama berpendapat bahwa OSIS akan
lebih bermartabat jika hanya berisi siswa elit yang sudah mendapat persetujuan
guru. Alya membantah bahwa kewibawaan OSIS terlindungi karena Ketua dan Wakil
Ketua yang dipilih melalui pemilihan umum mempunyai hak untuk menunjuk
anggotanya. Argumen kedua belah pihak sama-sama masuk akal … Jadi sejauh ini,
mereka seimbang …?)
Masachika,
yang telah memperhatikan punggung Alisa dengan puas, merasakan tatapan tajam
datang dari sebelah kirinya dan berbalik untuk melihatnya.
Ada
sosok Sayaka yang menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam dari balik kacamatanya.
Tatapan matanya dengan jelas bertanya
seakan menyiratkan, “Apa ini semua
idemu?”
(Kamu salah, Taniyama. Ini semua … adalah
kata-kata Alya sendiri)
Masachika
tidak memberi masukan apa-apa dalam isi argumen Alisa kali ini. Yang Masachika
lakukan hanyalah memprediksi argumen Sayaka. Argumen Alisa ini seratus persen
hasil upayanya sendiri, yang dibuat berdasarkan prediksi Masachika.
(Lawanmu bukanlah aku, tapi Alya)
Saat
Masachika melihat ke arah Sayaka dengan niatan seperti itu, argumen Alisa
berakhir dan sesi tanya jawab pun dimulai. Sayaka dengan cepat mengangkat
tangannya dan bertanya pada Alisa.
“Anda
mengatakan bahwa ketua dan wakil ketua memiliki kewenangan untuk menunjuk siswa
sebagai anggota OSIS, tapi seperti yang saya sebutkan sebelumnya, dalam
beberapa tahun terakhir siapa saja bisa menjadi anggota OSIS bila mereka
mengajukan diri. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal itu?”
“Bukannya
hal itu tidak apa-apa selama tidak menimbulkan masalah? Jika masalah terjadi
dan ada banya siswa yang mengeluh, maka ketua OSIS bisa mengambil tindakan. Hal
itu sudah menjadi tanggung jawabnya.”
Sayaka
mungkin berpikir bahwa Alisa mendapat masukan dari Masachika, dan selama dia
memberi rentetan pertanyaan pada lawannya itu, Alisa akan goyah. Namun pada
kenyataannya, Alisa sama sekali tidak gentar.
“Ikatan
Alumni merasa prihatin dengan kemerosotan kualitas OSIS akhir-akhir ini. Oleh
karena itu, saya kira kita harus mempertimbangkan penilaian dari para guru,
bagaimana menurut anda?”
“Seharusnya
ketua dan wakil ketua OSIS lah yang memutuskannya. Salah satu keputusannya ialah
mengakui kurangnya kemampuan mereka dan meminta bantuan guru. Itu bukan hak
kita yang memutuskannya.”
Sebaliknya,
Sayaka secara bertahap semakin kehilangan ketenangannya. Lambat laun,
argumennya mulai tidak logis karena kekuatan lawan yang tak terduga.
(Itu kesalahanmu sendiri karena salah
menilai lawan. Ketimbang menghadapi Alya yang ada di sana, kamu justru mengejar
bayanganku yang bahkan tidak ada. Sejak awal lawanmu adalah Alya, tapi kamu
malah mewaspadaiku …)
Dari
awal, Masachika tidak berniat berurusan dengan Sayaka. Setelah mendengarkan
argumen Alisa sebelumnya, Masachika memutuskan bahwa dia mampu berurusan dengan
Sayaka, dan menyerahkan kepadanya.
Ya,
lawan Masachika bukanlah Sayaka. Orang yang harus dihadapi Masachika ialah …
(Baiklah, bagaimana dia akan bergerak?)
Masachika
mengalihkan perhatiannya ke arah gadis yang duduk di sebelah Sayaka. Nonoa yang
sampai saat itu mempertahankan sikap acuh tak acuh, diam-diam menatap balik
Masachika.
Lalu,
seolah-olah meminta maaf atas sesuatu, dia memejamkan matanya, membungkuk, dan
kemudian memasukkan tangannya ke dalam saku roknya.
“…?”
……
Dan perubahan terjadi secara bertahap.
Hal
pertama yang terjadi ialah bisikan kecil. Lalu secara bertahap mulai menyebar
ke seluruh auditorium. Jika
didengarkan baik-baik, Masachika bisa mendengar beberapa patah kata seperti “murid pindahan” dan “orang luar”. Pada saat yang sama, ada
sorakan untuk Sayaka dari kursi penonton.
(Cih, kamu berani melakukannya … Nonoa, ya?)
Manipulasi
kesan. Ini merupakan taktik yang hanya bisa digunakan oleh Nonoa karena dia
memiliki hubungan relasi yang sangat luas di dalam sekolah.
Karena
ada banyak siswa dari kalangan terpandang dan berderajat tinggi yang memasuki
sekolah ini, maka orang yang memiliki pola pikir elektif pun tidak sedikit. Bagi
para siswa yang seperti itu, ada perbedaan besar dalam kesan mereka terhadap
Sayaka, putri CEO dari perusahaan yang sangat bergengsi, dan Alisa, seorang
siswa pindahan kelas menengah. Jika teman Nonoa yang membaur di antara penonton
merangsang area tersebut, mereka cenderung memilih Sayaka secara emosional, dan
mengesampingkan logika argumennya. Tapi lebih dari itu, yang jadi masalahnya…
“Ah……”
Alisa
mulai menyadari keberadaan penonton. Ketenangan yang selama ini dia pertahankan
dengan hanya berfokus pada dirinya sendiri mulai terguncang saat dia menyadari
keberadaan para penonton.
Bahkan
saat melihatnya dari belakang, Masachika bisa melihat dengan jelas bahwa
tubuhnya tiba-tiba menjadi tegang.
“U…!”
Gumaman
para siswa meningkat ketika Alisa tiba-tiba terdiam. Semakin dia merasa
terburu-buru dan mencoba mengatakan sesuatu, semakin membisu pula mulutnya.
(Cepat, aku harus mengatakan sesuatu … Eh? Apa yang ingin aku
katakan … tadi itu pertanyaannya apa? aku harus cepat, tapi apa
pertanyaannya, dia— )
Saat
ketegangannya memuncak dan hampir memasuki keadaan panik, Alisa tiba-tiba
merasakan tepukan lembut di punggungnya.
“Kamu
sudah melakukan yang terbaik. Sisanya serahkan saja padaku.”
Ketika
Alisa menoleh ke arah suara itu, dia melihat cowok yang sangat bisa diandalkan
lebih daripada siapapun saat ini.
Masachika
menaiki podium, lalu tiba di samping Alisa, dan mengambil mikrofon sambil
tertawa.
“Permisi,
saya minta maaf karena tiba-tiba menyela saat sedang sesi tanya jawab, tapi mulai
dari sini, izinkan saya yang akan mengambil alih. Dia sudah berbicara lebih
lama dari yang diharapkan, dan saya penasaran apa tenggorokannya sudah kering
kerontang? Ya ampun, inilah akibatnya jika kamu biasanya tidak banyak
berbicara, tau?”
Kemudian,
Masachika berkata dengan nada menggoda seraya mengalihkan pandangannya ke
Alisa. Dia langsung cemberut karena tiba-tiba diejek dan, gelak tawa menyebar
di antara kuris penonton.
Ketika
suasana di auditorium mulai santai lagi, Masachika memutuskan untuk memainkan
kartu andalannya.
(Jika kami bisa menang dengan argumen
berlogika, semuanya akan baik-baik saja … Tapi karena pihakmu menggunakan
emosi pada perdebatan ini, aku akan menggunakan cara yang sama juga)
(Sebisa mungkin, aku tidak ingin
melakukannya, tapi … aku sudah berjanji pada Alisa bahwa “aku akan mengurus
semuanya jika ada sesuatu yang terjadi”)
Jadi….Masachika
memutuskan untuk menghancurkan semuanya dengan senyuman.
“Baiklah,
kalau begitu, saya ingin mengakhiri ini dengan cepat demi kawan saya yang
tenggorokannya sudah kering begitu … Lagian, memangnya kita benar-benar perlu
membahas ini lebih jauh?”
Para
penonton menjadi ribut kembali saat pertanyaan itu tiba-tiba dilontarkan dari
sikap konyolnya. Kemudian, Masachika dengan cepat menindaklanjuti dengan
serangan balik.
“Bukannya
diskusi semacam ini sudah selesai sebulan yang lalu?”
Masachika
melihat sekeliling penonton, yang memiringkan kepala mereka dengan bingung
karena tidak memahami apa yang Ia maksud, Masachika lalu mengangkat tangan
kanannya dan menunjuk ke arah Touya yang berdiri di podium moderator.
“Saat
memilih Ketua Kenzaki menjadi Ketua OSIS … Bukankah perasaan semua orang
sudah bulat?”
Tatapan
para siswa langsung tertuju pada Touya, yang menoleh saat namanya tiba-tiba
disebutkan.
“Seperti
yang semua kalian ketahui, Ketua Kenzaki adalah siswa rendahan yang tidak
menonjol di kelasnya sampai setahun yang lalu. Tidak, saya akan mengatakannya
dengan jelas karena orangnya mumpung ada di sini, Ia itu orang suram! Ia adalah
orang madesu[3] yang takkan pernah bisa
mendapatkan dukungan guru!!”
“O-Oi
!?”
Gelak
tawa pun meledak di antara penonton saat Touya dengan setengah tertawa
berteriak tanpa sadar. Masachika lalu dengan cepat menimpali.
“Tapi,
Ketua Kenzaki terus berusaha keras. Setelah bergabung dengan OSIS, Ia berusaha
mati-matian untuk meningkatkan nilainya, memoles kemampuan dan sifat
kejantanannya, dan pada akhirnya, Ia berhasil menaklukkan gadis tercantik di
Akademi Seirei! Bukankah kalian semua ikut bersemangat melihat Ketua Kenzaki
yang seperti itu ? Bukankah kalian semua ingin mendukung dirinya yang berubah
dari murid suram menjadi Ketua OSIS yang karismatik!?”
Setelah
mengatakan itu dalam sekali napas sambil menambahkan gerakan, Masachika menutup
mulutnya dan melihat sekeliling ke arah penonton. Lalu, saat perhatian para
penonton tertuju padanya, Ia berbibara dengan tenang.
“Ketua
Kenzaki bisa menjadi ketua OSIS karena ada sistem yang memungkinkan setiap
siswa bisa menjadi anggota OSIS selama mereka memiliki semangat. Saya akan
bertanya lagi. Apa kita perlu membahas ini lebih lanjut lagi?”
Pertanyaan
Masachika itu tidak terjawab. Semuanya, …. bahkan Sayaka dan Nonoa benar-benar
dibuat terdiam.
“Ah…
Hmm., yah, Saya sedikit kaget karena Kouhai-ku tiba-tiba mengejekku… Jika
tidak ada pertanyaan lagi, sekarang kita akan beralih ke argumen penutup, pihak
pengusul, apa kalian setuju?”
“…”
Melihat
Sayaka yang cuma berdiri terdiam, Masachika mendorong punggung Alisa dan
mendesaknya untuk kembali ke tempat duduknya.
Lalu,
saat Ia turun dari podium… Tiba-tiba, suara terkejut Nonoa terdengar.
“Eh,
hei, Sayacchi!?”
Masachika
berbalik saat mendengar suaranya, dan tak disangka, Sayaka baru saja berlari ke
luar panggung. Situasi yang sama sekali tidak terduga. Selain itu, Masachika
…… tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri saat melihat sekilas ekspresi
Sayaka. Alisa bergerak dengan cepat, menggantikan Masachika yang hanya berdiri
mematung. Dia langsung berlari dan menghilang ke luar panggung untuk mengejar
Sayaka.
Para
penonton menjadi riuh karena perwakilan dari pihak pengusul dan tertantang
meninggalkan panggung di tengah jalannya perdebatan, sebuah situasi yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Di saat semua orang kebingungan, Nonoa berdiri
sembari menggaruk-garuk kepalanya, dan mulai berjalan ke tengah panggung
“Aku
minta maaf karena sudah mengganggumu.”
Dan
ketika dia memberi tahu Masachika di tengah jalan, dia berdiri di podium dan
mengangkat tangannya.
“Baiklah~,
kami akan menyerah~.”
Setelah
keheningan sejenak, bisikan yang dipenuhi nada kebingungan menyebar ke seluruh
auditorium pada pernyataan menyerah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Kemudian,
Touya yang telah pulih dari keterkejutanya, memanggilnya dengan bingung.
“Umm,
kalau begitu, ide dari pengusul akan ditolak… Apa kamu tidak keberatan dengan
itu?”
“Oh
itu sih enggak masalah, enggak masalah. Yahh, maaf banget, temanku Sayaka ini
sudah banyak merepotkan.”
Setelah
melihat Nonoa menundukkan kepalanya, Touya terbatuk dan lalu membuat pernyataan.
“Kalau
begitu, usulan dari pihak pengusul akan ditolak… Dengan ini, saya umumkan
bahwa Rapat Umum Siswa ditutup.”
Bersamaan
pengumuman dari Touya, Rapat Umum Siswa berakhir dalam keadaan penuh
kebingungan.
◇◇◇◇
[Perubahan Sudut Pandang]
“Kalau
begitu, mohon bantuannya ya. Masachika-kun.”
“Tenang
saja, serahkan semuanya padaku. Yuki”
Saat
melihat mereka berdua, aku pikir mereka adalah pasangan yang ideal.
Dia
memiliki pesona dan karisma luar biasa yang menarik perhatian semua orang.
Lalu, ada orang di belakang layar yang mendukungnya.
Sebuah
hubungan di mana mereka saling mempercayai satu sama lain dan pengabdian tanpa
batas.
Ah,
mereka memiliki kepercayaan serta ikatan yang kuat lebih daripada siapa pun.
Wajar saja aku tidak bisa mengalahkan mereka. Dengan pujian dan kekaguman …
serta sedikit rasa isi, aku akhirnya bisa menyerah.
Oleh
karena itu, saat aku melihat Ia berpasangan dengan murid pindahan itu, aku
merasa dikhianati.
Kenapa
kamu ada di sana? Apakah ikatan yang aku kagumi dan lebih berharga dari apa pun
itu hanya kebohongan belaka? Kekaguman dan rasa hormatku berubah menjadi
kebencian, dan aku ingin memisahkan mereka serta menghancurkan hubungan mereka
dengan cara apa pun.
Lantas
kenapa … hatiku bergetar saat melihat mereka berdua berdiri berdampingan……?
Cowok
itu yang dulunya hanya berani berdiri di belakang satu langkah, tapi sekarang
Ia berdiri di sampingnya. Ia tampak lebih ceria dan lebih hidup dari sebelumnya.
Kenapa
Ia terlihat seperti itu? Padahal orang disebelahnya bukan partner-nya yang dulu.
Kenapa… Kenapa dadaku terasa sakit begini?
◇◇◇◇
[Perubahan Sudut Pandang Lagi]
“Tunggu!”
Alisa
berlari keluar dari auditorium dan menyusul Sayaka ketika dia sampai di
belakang gedung olahraga. Dia meraih lengan Sayaka dari belakang dan
menghentikan pelariannya.
“Cepat
kembali ke auditorium. Aku takkan membiarkanmu kabur di tengah jalan!”
Alisa
mengangkat alisnya saat Sayaka menghentikan kakinya tetapi tidak berbalik
maupun menjawab.
“Coba
katakan sesuatu——”
Kemudian
Alisa dengan paksa memutar badannya dan tersentak saat melihat ekspresi Sayaka.
“Kamu——”
Sayaka
memelototi Alisa yang bingung dan mengguncang suaranya, sembari berlinangan air
mata, dan dengan kasar melepaskan genggaman tangan Alisa.
“Kenapa…!
Kenapa kamu—— !”
Tubuh
Alisa menegang pada kata-kata yang dilontarkan dengan penuh emosi.
“Kuze-san
dan Suou-san adalah partner yang tak tergantikan! Karena mereka berdua, aku…!
Aku…! Aku merasa menyerah! Tapi kenapa…!!”
Sayaka
menyuarakan kata-katanya dengan tertatih-tatih seakan dia sedang batuk darah
sembari menitikkan air mata. Tangisan itu hampir dipenuhi dengan kemarahan,
kesedihan, dan banyak emosi lainnya, lalu Alisa samar-samar menyadari niat
Sayaka yang sebenarnya.
“Kamu,
kamu…”
Tidak
ada lagi kata-kata yang keluar. Alisa selalu berpikir bahwa kata-kata dan
tindakannya memiliki sikap permusuhan, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sekarang, setelah mengetahui kalau perbuatannya itu mengandung niat baik, Alisa
tak bisa berkata apa-apa.
Dia
selalu seperti itu. Di saat-saat seperti ini, dia tidak bisa mengatakan sesuatu
yang dapat menghibur orang lain. Dia tidak bisa menggerakkan hati orang. Oleh
karena itu… Alisa memutuskan untuk menerima semuanya. Paling tidak, dia akan
menerima kemarahan Sayakan sebagai pengganti cowok itu. Karena itulah satu-satunya
peran yang bisa dia lakukan.
“Jika
ada … sesuatu yang ingin kamu katakan kepadaku. Kamu boleh mengatakan
semuanya.”
“!!!”
Sayaka
menatapnya dengan penuh kebencian saat Alisa mengatakannya dengan
blak-blakan … Sayaka tiba-tiba
menundukkan wajahnya, menghela nafas panjang dan berkata dengan suara bergetar.
“Aku
tidak berhak untuk mengatakan apa-apa lagi.”
Dan
saat mengangkat wajahnya lagi, Sayaka tersenyum hampa dan menangis.
“Sungguh,
aku ini seperti orang bodoh saja … Seenaknya sendiri mempercayai,
mengaguminya, lalu secara egois merasa dikhianati, dan melampiaskan kemarahan
… meski itu semua hanya keegoisanku sendiri. Uhuu..uhu..uuuu!”
Alisa
tidak memahami bagaimana perasaan Sayaka. Namun, entah bagaimana Alisa bisa
merasakan bahwa dia adalah orang yang sangat rasional.
Fakta
mengenai Masachika berpasangan dengan Alisa dan bukan dengan Yuki, pasti membuatnya sangat syok sampai lupa diri
karena disulut oleh rasa amarah.
“Ah,
ketemu, ketemu”
Saat
Alisa mengalihkan pandangannya ke suara yang tiba-tiba dia dengar, Nonoa datang
dari sudut gimnasium.
“Ahh~ahh~,
sampai menangis begitu… maaf banget ya, Kujou-san. Kamu bisa menyerahkan hal
ini padaku sekarang. Jadi, apa kamu bersedia kembali ke tempat Kuzecchi?”
“Etto
…”
“Jangan
khawatir, jangan khawatir, ya? Kumohon”
Setelah
mendengar kata-kata Nonoa, Alisa berjalan menuju auditorium sambil menatap
Sayaka. Tapi, setelah beberapa langkah, dia berbalik dan memanggil Sayaka yang dipapah
bahu Nonoa.
“Taniyama-san”
Sayaka
masih tidak mau berbalik. Meski begitu, Alisa terus melanjutkan ucapannya.
“Alasan
kenapa Kuze-kun lebih memilihku… Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku ingin
menanggapi kehendaknya. Itu sebabnya …”
Dia
tidak bisa menuangkannya ke dalam kata-kata dengan baik. Dirinya bahkan tidak
tahu apakah ini hal yang tepat untuk dikatakan pada lawannya. Kendati demikian,
Alisa berusaha semaksimal mungkin menyampaikannya pada Sayaka.
“Itu
sebabnya … Aku akan berusaha keras. Aku berharap kalau kamu mengakuiku suatu
hari nanti. …. hanya itu saja.”
Kemudian
dia meninggalkan tempat itu dengan cepat. Nonoa memandang punggungnya dan
bergumam pada dirinya sendiri..
“Sungguh…
dia gadis yang baik ya, Kujou-san. Kupikir dia gadis yang sangat jutek, tapi
ternyata dia tidak terlalu buruk juga…”
“…Benar
sekali. Lagi pula, dia adalah orang yang dipilih Kuze-san.”
Sayaka
mendongakkan sedikit wajahnya dan bertanya dengan suara yang sedikit serak.
“…
Bagaimana dengan debatnya?”
“Hmm?
Oh itu sih, aku memutuskan bahwa kita sudah menyerah. Yah, ada banyak keributan
yang terjadi, tapi Kuzecchi dan Ketua melakukan pekerjaan dengan baik untuk
mengendalikan situasinya.”
“Begitu
… Aku minta maaf karena sudah menyebabkan banyak masalah untukmu. …..”
“Tenang
aja, enggak masalah kok, karena aku ini ‘kan sahabatmu.”
Saat
dia tertawa lepas, Nonoa melepas kacamata Sayaka dan memeluknya erat dari
depan.
“Selain
itu, ini bukan pertama kalinya ‘kan. Ya ampun, Sayacchi selalu menjadi orang yang
cepat menangis, menjerit, dan mengamuk. …”
“Hal
seperti itu……”
“Sering
iya ‘kan~. Memangnya kamu pikir sudah berapa kali aku harus berurusan dengan
amukanmu?”
Terlepas
dari kata-katanya, Nonoa membelai lembut punggung Sayaka dan berkata seolah-olah untuk mengingatkannya.
“Kalau
sudah merasa tenang… ayo pergi meminta maaf kepada Kuzecchi dan Kujou-san,
oke. Aku juga akan ikut menemanimu, kok.”
“…”
Sayaka
menganggukkan kepalanya dalam diam usai mendengar perkataan sahabatnya. Nonoa
terus mengelus punggung Sayaka untuk menenangkan dirinya.
[1] Sepertinya Ohii-sama adalah julukan Yuki waktu SMP
[2] Asertif adalah sikap mampu berkomunikasi dengan jujur dan tegas, tapi tetap menghargai dan menjaga perasaan orang lain
[3] Madesu = Masa depan suram, yah intinya sih kayak murid dari kasta terendah, pesimis terus, dan gak punya banyak teman :v