“Tidak kusangka kalau semuanya
akan berkumpul di sini …”
Chisaki melihat sekeliling
ruangan OSIS sambil tersenyum masam. Bila dilihat dari pintu masuk, ada Touya
selaku Ketua OSIS yang duduk di bagian paling ujung meja panjang. Dari sebelah
kanan ada Maria, Alisa, dan Masachika. Sedangkan di sebelah kiri meja panjang
ada Chisaki, Yuki, serta Ayano. Semua anggota OSIS tahun ini berkumpul dalam
satu ruangan.
Apa yang mereka lakukan di
ruang OSIS sepulang sekolah, tentu saja bukan untuk kegiatan OSIS … melainkan
sedang menunggu giliran untuk pertemuan orang tua-guru. Setelah mendapatkan
kembali lembar ujian di pagi hari, mereka sekarang menunggu dimulainya pertemuan
orang tua-guru di kelas masing-masing.
Pertemuan diadakan di setiap
kelas secara bertahap selama 30 menit, dan tergantung pada jumlah siswa,
pertemuan bisa dimulai tepat setelah istirahat makan siang atau bahkan di sore
hari. Oleh karena itu, ada banyak siswa yang menggunakan ruang klub atau
perpustakaan untuk menghabiskan waktu hingga giliran mereka tiba. Tapi … tampaknya
semua anggota OSIS tahun ini berkumpul di ruangan OSIS, meskipun mereka tidak
merencanakannya.
“Yah, kalau dipikir-pikir lagi,
anggota OSIS tahun ini secara kebetulan mempunyai nama keluarga yang hampir
mirip … Dimulai dari ‘Ki’ mishima, ‘Ku’jou, ‘Ku’ze, ‘Ke’nzaki, ‘Sa’rashina, dan ‘Su’ou … Tak disangka anggota dengan nama berawalan kata ‘Ki’ sampai ‘Su’ berkumpul semua.”
“Benar sekali. Ini memang
kebetulan yang bagus.”
Yuki menimpali perkataan Touya
yang sama-sama tersenyum masam seperti Chisaki.
“Tapi yah … Ayano sudah
menyelesaikan pertemuannya kemarin, sih.”
Saat mendengar itu, Chisaki
tiba-tiba berkedip dan melihat ke arah Ayano yang duduk di sebelahnya.
“Eh? Masa? Kalau begitu
Ayano-chan bisa langsung pulang cepat dong.”
“Aku sudah bilang begitu
padanya, kok? Yah, karena ini tentang Ayano…”
“Di mana pun Yuki-sama berada,
di situlah seharusnya tempat saya berada.”
Sembari tersenyum tipis pada
Ayano, yang mengatakannya seolah-olah itu hal yang sangat wajar, Yuki mengangkat
bahunya seakan menyiratkan, “Itulah yang
terjadi”. Sementara yang lain ikutan tersenyum dengan cara yang sama, Maria
menepukkan kedua tangannya dan mengangkat suaranya.
“Kalau begitu, mumpung semuanya
ada di sini, haruskah aku menyeduh teh untuk kalian?”
“Ya, tolong ya~”
Chisaki memohon dengan gembira
pada Maria yang berdiri. Maria membalikkan badannya saat melihat senyum Chisaki
dan berkata tanpa melihat Ayano.
“Ah, Ayano-chan boleh duduk saja,
oke?”
“!?”
Mendengar kata-kata tersebut,
Ayano yang baru saja akan berdiri tanpa menimbulkan suara atau hawa kehadiran,
melebarkan matanya dengan terkejut. Ayano menatap Maria dengan tatapan kaget “Ap-Apa …!?” dengan pinggulnya
terangkat ringan, dan Yuki yang duduk di sebelahnya, menarik lengannya dengan
ringan untuk duduk.
“Ayano, mari menuruti kata-kata
Masha-senpai.”
“Yuki-sama … Ya, saya
mengerti.”
Setelah melihat Ayano duduk di
kursinya, Maria menuju ke lemari penyimpanan cangkir teh.
“Kuze-kun? Ada apa?”
“… Tidak, bukan apa-apa.”
Ketika Masachika menatap
punggung Maria, Alisa yang duduk di sebelahnya, bertanya sambil memiringkan
kepalanya. Namun, Masachika menggelengkan kepalanya dan berbalik menghadap ke
depan, lalu tiba-tiba teringat pertanyaan yang ingin Ia tanyakan kepada Touya.
“Omong-omong, Ketua, aku baru
membahasnya sedikit dengan Alya kemarin, tapi bagaimana pembicaraan tentang
mengganti seragam musim panas? Apa mungkin bisa direalisasikan tahun depan?”
Masachika dengan santai bertanya
padanya, tapi reaksi Touya lebih dari yang diharapkan saat Ia mendengar
pertanyaan Masachika. Dengan senyum menyeringai dan tanpa rasa takut, Ia
membuka mulutnya dengan ekspresi seolah-olah menyiratkan “Aku senang kamu bertanya begitu”.
“Oh, mengenai itu … Ini masih
menjadi rahasia, tapi kurasa kita bisa memperkenalkan seragam baru paling cepat
setelah liburan musim panas.”
“Eh! Benarkah!?”
“Ya, aku berencana membuat
pengumuman kejutan pada upacara penutupan nanti … Yah, itu hampir sudah
pasti.”
“Wah, itu sungguh berita yang bagus
sekali. Aku juga suka seragam ini, tapi memakainya di musim ini membuatku
terasa gerah.”
Yuki menepuk kedua tangannya
dengan gembira saat menanggapi kata-kata Touya. Setelah tersenyum senang pada
reaksi juniornya, Touya menurunkan alisnya dengan sedikit meminta maaf.
“Tapi yah, masih ada banyak tugas
yang harus dikerjakan … mungkin aku membutuhkan kalian semua untuk membantu
sedikit selama liburan musim panas.”
“Cuma segitu saja tidak
masalah. Ketua sudah mengurus bagian-bagian pentingnya, jadi kami akan
membantumu sebisa mungkin.”
“Terima kasih … tapi yah,
alasan kenapa rencana ini bisa berhasil itu berkat Chisaki, tau?”
Perhatian semua orang tertuju
pada Chisaki saat mendengar pengakuan Touya. Namun, Chisaki justru menatap Touya
dengan senyum masam di wajahnya.
“Itu tidak benar. Semuanya
berkat negosiasi gigih dari Touya.”
“Itu karena Chisaki selalu
membantuku. Aku merasa sangat senang kalau kamu adalah partnerku.”
“Touya …”
“Chisaki …”
“Betapa alaminya mereka
menciptakan dunia mereka sendiri.”
Masachika menatap sepasang
kekasih yang mulai saling menatap dengan tatapan lembut. Kemudian, Ia menoleh
ke arah Yuki dan mengangkat bahunya seolah mengatakan “Mereka mulai lagi.” …, tapi Yuki justru menoleh ke arah Ayano
dan mulai menatapnya dengan tatapan penuh gairah.
“Ayano …”
“Yuki, sama…”
“Eh, apa yang sebenarnya
terjadi di sini?”
Masachika mengedipkan matanya
saat suasana yuri tiba-tiba terbangun
di antara mereka. Tapi ketika Yuki melirik-liriknya untuk memberi kode,
Masachika memutuskan untuk mengikuti suasana.
Setelah menggaruk kepala dan
menghembuskan napas untuk menenangkan diri, Ia menoleh ke Alisa dalam suasana
termanis yang bisa Ia kerahkan.
“Alya …”
“Apa? Aku takkan melakukannya.”
“Jutek banget !!”
Begitu menoleh ke arah Alisa
dengan ekspresi lembut, Alisa langsung menolaknya dan Masachika terkena
serangan mental, lalu roboh di atas meja dengan teriakan “Guha!”. Kemudian, Yuki menoleh ke Alisa dengan senyum yang sedikit
provokatif.
“Ara, ara, sepertinya ikatan di
antara pasangan di sana tidak begitu kuat, ya.”
“Muu—”
“Kerja sama antar pasangan
adalah hal terpenting dalam kampanye pemilihan … dengan keadaan seperti itu,
apa kamu benar-benar bisa mengalahkan kita? Ya ‘kan, Ayano?”
Saat mengatakan itu, Yuki
tersenyum misterius sembari mengusapkan jarinya ke pipi Ayano. Mungkin karena
merasa geli, Ayano memejamkan satu matanya dan sedikit menggigil. Bunga lily
bermekaran di belakang mereka berdua, dan Masachika tanpa sadar sedikit
bersemangat.
“Kuze-kun …”
“Kamu ini memang gampang sekali
terprovokasi, ya”
Masachika memasang ekspresi
terkejut kepada Alisa, yang menatapnya dengan tatapan menantang tanpa ada
sedikit pun suasana yang manis. Namun, Alisa tidak memalingkan wajahnya, dan entah
bagaimana~ mereka akhirnya saling memandang.
Lalu, saat melihat wajah Alisa
dari dekat di tempat yang terang … Masachika sekali lagi dibuat kagum dengan
wajah cantiknya.
(Saat melihatnya lagi dari jarak sedekat
ini … dia benar-benar tidak mirip
seperti manusia. Aku masih tidak mempercayai kalau kami adalah ras yang sama…
Maksudku, bulu matanya panjang banget! Tatapan matanya benar-benar membuatku tersedot
… Kulitnya juga luar biasa halus dan inilah yang dimaksud memiliki kulit
bersih tanpa noda sedikitpun. Maksudnya pori-porinya di mana? Dia beneran tidak
memakai riasan?… Hmm? Entah kenapa kulitnya agak memerah …Eh, bukannya dia
semakin mendekat?)
Saat merasakan sedikit
ketidaknyamanan di otaknya yang sedikit lumpuh, Masachika dengan cepat dibuat
tersadar oleh suara Maria.
“Oke~, maaf sudah membuat
kalian menunggu~ … Eh, ada apa ini? Perlombaan saling menatap?”
Ketika mendengar suara Maria
yang memiringkan kepalanya dan mengatakan sesuatu yang melenceng, Alisa
buru-buru memalingkan wajahnya. Pada saat yang sama, Masachika juga berkedip
dan menoleh ke Maria. Dia membeku sejenak saat melihat tatapan Masachika, dan kemudian
segera mulai menyajikan teh kepada semua orang seolah-olah tidak ada yang
terjadi.
“Aku menghabiskan cemilan
pendamping teh tempo hari, jadi hari ini cuma ada tehnya saja.”
“Eh, benarkah?”
“Ya. Karena sebentar lagi
liburan musim panas, jadi aku menggabiskan semuanya~”
“Oh, begitu ya … karena kita
tidak bisa menyimpannya terus selama liburan musim panas, sih. Tapi yah, karena
teh buatan Masha terasa enak, jadi ini saja sudah cukup.”
“Fufu, terima kasih~”
Sambil tersenyum saat mendengar
kata-kata Chisaki, Maria juga menyajikan teh di hadapan Alisa dan Masachika.
“Ini, silahkan”
“Makasih”
“Te-Terima kasih banyak”
Namun, saat melakukan itu,
Maria terlihat sedikit menghindari tatapan Masachika. Ketika melihat Maria
pergi untuk menyajikan teh kepada Yuki dan Ayano, Masachika semakin yakin kalau
itu bukan imajinasinya saja.
(Sudah kuduga, dia sedikit menghindariku …
Apa kejadian hipnosis terakhir kali masih mempengaruhinya?)
Setelah kejadian hipnosis
seminggu sebelumnya, Masachika segera meminta maaf kepada Alisa lagi keesokan
harinya dan langsung dimaafkan. Alisa memiliki banyak hal untuk dikatakan, tapi
dia tidak bisa berbuat apa-apa karena penyebab awalnya adalah kakaknya sendiri.
Sebaliknya, Masachika diberitahu untuk melupakan apa yang sudah Ia lihat dari
ingatannya sesegera mungkin, tapi tentu saja, mana mungkin Masachika bisa
melupakan sesuatu yang menggairahkan seperti itu.
Sementara Ia bisa mendapatkan
pengampunan Alisa keesokan harinya, hari ini adalah pertama kalinya Masachika
melihat Maria sejak kejadian itu. Dan rupanya, Maria masih memedulikan kejadian
itu.
(Yah … Lebih baik kalau aku meminta
maaf padanya sekali lagi)
Masachika merasa tidak enakan
untuk memasuki liburan musim panas bila keadaannya masih begini terus, jadi
Masachika memutuskan untuk berbicara dengan Maria di suatu tempat.
Ketika Masachika diam-diam
mengambil keputusan, Touya yang melihat Maria sudah duduk di kursinya lagi, mulai
membuka mulutnya.
“Ah~ ngomong-ngomong, apa
rencana kalian untuk liburan musim panas nanti? Jika kalian tidak keberatan,
aku ingin membuat kamp pelatihan untuk memperdalam ikatan antara anggota OSIS.”
“Kamp pelatihan?”
Selain kegiatan klub, Masachika
belum pernah mendengar tentang kamp pelatihan di OSIS dan belum pernah mengalaminya
saat di SMP dulu. Seolah-olah merasakan suasana para anak kelas satu yang
kurang begitu paham, Touya menambahkan sambil tertawa, seakan menyiratkan kalau
mereka tidak perlu khawatir.
“Meski aku bilang kamp
pelatihan, itu sebenarnya mirip seperti jalan-jalan. Seperti yang sudah
kubilang sebelumnya, mungkin aku perlu memanggil kalian untuk tugas OSIS selama
liburan musim panas. Rasanya seperti hadiah hiburan? Sesuatu yang mirip seperti
itu.”
“Bagus sekali! Sepertinya itu
menyenangkan!”
“Hmm ~ aku pikir itu bagus,
kok?”
Saat Chisaki dan Maria
menunjukkan ketertarikannya, siswa kelas satu juga mulai menanggapinya dengan
positif.
“Benar juga … Kurasa aku bisa
mengosongkan jadwal jika aku bisa memutuskan jadwal lebih awal. Fufufu~ Aku
belum pernah melakukan kamp pelatihan dengan sesama anggota OSIS lainnya, jadi
aku sangat menantikannya.”
“Bila Yuki-sama berkata begitu,
saya pun tidak keberatan.”
“Kalau begitu aku juga …”
“Yah, karena aku tidak punya
rencana, jadi aku juga setuju-setuju saja. Paling lama sekitar dua malam tiga
hari, ‘kan? Bagaimana dengan tempatnya?”
“Kita harus mendiskusikan
tanggalnya dulu karena perlu menyesuaikan jadwal semua orang juga. Untuk
tempatnya, kalau kalian tidak keberatan, aku berpikiran untuk mengusulkan vila
keluargaku …”
“Eh? Vila?”
Ketika anggota OSIS lain di
ruangan itu, termasuk Masachika, mengedipkan mata pada kata yang tidak terduga,
Touya menyeringai sedikit.
“Iya, vila yang berada di
tempat wisata tepi laut … dengan pantai pribadi, loh? Selain itu, ada festival
tahunan yang diadakan di dekat vila.”
“Seriusan!? Um, eh? Apa
keluarga Ketua sekaya itu? Maaf kalau ucapanku sedikit kasar, tapi Ketua tidak
mempunyai citra seperti itu …”
“Oh … memang benar orang
tuaku bukan CEO perusahaan, tapi kakekku sepertinya investor yang sangat sukses
… dan keluargaku mempunyai banyak aset.”
“Hahaa, jadi begitu rupanya
…”
“Yah, itu cuma salah satu
pilihannya. Jika ada yang ingin pergi ke tempat lain, aku juga tidak
keberatan.”
Saat Touya mengatakan itu dan
melihat sekeliling ke semua orang, Chisaki membuka mulutnya sambil berpikir.
“Meski ini bukan vila … Yah,
karena kerabatku punya gunung, jadi kalau ada banyak orang yang lebih suka ke
gunung daripada laut, kurasa aku bisa membantu, kok?”
“Kerabat Sarashina-senpai punya
gunung!! Itu sih luar biasa sekali!”
Dalam pengakuan yang mengejutkan,
Masachika dalam hati berteriak “Sudah kuduga, murid sekolah ini memang
berada di level yang berbeda!” tapi
… perkataan Chisaki setelah itu membuat ekspresi wajahnya menjadi kaku.
“Yah, bangunannya sendiri lebih
mirip seperti vila … Atau lebih seperti gedung kamp pelatihan? Atau mungkin
dojo? Meski tidak ada pantai, tapi ada kuburan di dekatnya jadi kamu bisa
melakukan uji nyali dan ada festival yang diadakan setiap tahun juga, loh? Walaupun
itu festival bela diri, sih.”
“Perbedaan kontras antara surga
dan neraka. Tidak ada pantai, tapi yang ada malah kuburan. Hmm, tunggu dulu? Di
kuburan itu … jangan bilang kalau itu kuburan orang-orang yang meninggal di
festival bela diri, ‘kan?”
“Ahaha, mana ada~.”
“Be-Benar, iya ‘kan”
“Beberapa mungkin begitu, tapi
kebanyakan kuburan itu berasal dari mereka yang gugur saat sedang berlatih.”
“Ketua! Aku lebih suka pergi ke
vila keluarga Ketua!”
“Aku juga lebih suka pergi ke
laut.”
“Bila Yuki-sama mengatakan
demikian, saya pun sependapat dengannya.”
Mengikuti Masachika yang
mengangkat tangannya dengan senyum cerah yang luar biasa, Yuki dan Ayano juga
ingin pergi ke laut, dan Alisa dan Maria juga menatap Touya tanpa adanya
keberatan. Touya mengangguk sembari tersenyum kecut pada tatapan yang tertuju
padanya dan berkata pada Chisaki.
“Yah, aku juga sedikit tertarik
dengan dojo yang Chisaki sebutkan, tapi … sepertinya itu tidak terlalu cocok
untuk kegiatan OSIS kali ini, jadi mari kita lakukan itu lain kali.”
“Benarkah? Lalu … kalau bukan
kegiatan OSIS, mau pergi? Maksudku, hanya kita berdua.”
“Eh?”
Ekspresi Touya langsung membeku
saat Chisaki mengatakan itu dengan wajah yang sedikit tersipu. Namun, saat
pacarnya meliriknya dengan malu-malu, Touya memaksakan dirinya untuk tersenyum.
“Ah~ … benar juga. Ya …
Jika Chisaki ingin pergi ke sana, mungkin aku juga ingin pergi?”
“Horee! Nanti akan
kuperkenalkan dengan Masterku yang ada di sana!”
“Master …”
Usai mendengar kata-kata yang
begitu polos, otak Touya secara alami membayangkan apa yang akan terjadi
selanjutnya. [Diperkenalkan oleh Master
yang melatih Chisaki] → [Ia akan langsung memeriksanya sendiri
pria yang sudah berani menipu murid kesayangannya!] →
[Kematian].
Tatapan Touya menjadi sedikit
hampa di masa depan yang mudah dibayangkan. Namun, Chisaki tampaknya tidak
menyadari hal ini dan terus melanjutkan dengan gembira.
“Benar juga, mumpung ada di
sana, kenapa tidak sekalian ikut berpartisipasi dalam festival bela diri?”
“Eh ~”
[Berpartisipasi dalam festival
bela diri] → [Kematian]. Cahaya hilang dari tatapan mata
Touya saat kekasihnya terus menerus memicu death
flag tanpa ada niatan buruk.
“Jangan khawatir! Bahkan ada
juga divisi amatir! Selain itu … aku ingin melihat sisi keren dari Touya,
kok?”
“Uhh …”
Namun, penampilan menggemaskan
Chisaki membuat Touya …
“Serahkan saja padaku. Aku akan
melakukan apapun sebisaku!”
“Benarkah!? Aku senang banget!
Uwaahh~ aku jadi sangat menantikannya!”
“Haha, ha …”
Ia mengangguk paksa dan tertawa
kering. Melihat sosok Touya yang seperti itu, Masachika dalam hati mengaguminya
seraya berkata “Benar-benar panutan
lelaki sejati …” dan menyatukan kedua tangannya dengan kagum. Untuk saat
ini, Masachika bertekad untuk menerimanya apa adanya, meskipun bakal ada bentuk
kedua dari Touya setelah liburan musim panas.
Setelah itu, obrolan terus
berlanjut untuk sementara waktu. Dengan secangkir teh yang diseduh oleh Maria,
mereka berbicara tentang OSIS, sekolah, dan liburan musim panas. Sekitar 30
menit kemudian, Touya tiba-tiba mengeluarkan smartphone-nya, memeriksa layar,
dan kemudian berdiri.
“Hmm … waktu berlalu dengan
cepat. Oh, sepertinya orang tuaku sudah datang, jadi aku akan pergi dulu.”
“Ah, selamat jalan~”
“Lakukan yang terbaik~ … eh,
tapi aneh untuk mengatakan itu, ya.”
Touya meninggalkan ruangan OSIS
sambil tersenyum masam pada sorakan Chisaki. Segera setelah itu, Maria berdiri
dan mulai membersihkan cangkir serta piring kecil semua orang.
“Kalau begitu, karena giliranku
sudah dekat, jadi aku akan membersihkannya dulu.”
“Ah, biar aku bantu.”
Sekarang! Dengan
pemikiran itu, Masachika segera berdiri dan mengambil cangkir Ayano yang ada di
depannya dan cangkir Alisa di sebelahnya. Sambil memberi isyarat kepada Ayano
dan Yuki dengan tatapannya, Masachika menumpuk piring kecil di tangannya.
Kemudian, saat menoleh ke arah Maria dengan tumpukan piring, Maria yang memegang
nampan di tangannya, memalingkan tatapannya sejenak dan kemudian tersenyum.
“Ya? Kalau begitu, tolong ya?”
“Ya, serahkan padaku.”
Masachika meletakkan piring di
atas nampan yang dipegang Maria dan mengambil nampan itu darinya. Kemudian,
mereka berdua meninggalkan ruang OSIS bersama-sama.
Ruang OSIS memliki ketel
listrik dan kulkas kecil, tapi sayangnya tidak ada wastafel di sana. Oleh
karena itu, saat ingin mencuci piring, mereka harus meminjam wastafel dari
ruang klub lain, meskipun hal tersebut sedikit merepotkan. Biasanya mereka
meminjamnya di ruang klub tata boga, tapi kadang-kadang juga meminjam dari
ruang klub sains dalam beberapa kasus. Namun, karena wastafel di ruangan klub
sains kurang higienis, jadi itu adakah pilihan terakhir. Untungnya, ruang klub
tata boga sedang kosong hari ini, jadi mereka memutuskan untuk meminjam
wastafel di sana.
Saat mereka berdua mencuci
piring berdampingan, Masachika diam-diam melirik Maria. Sekilas Maria masih bertingkah
seperti biasa, tapi kalau dilihat lebih dekat, dia terlihat agak canggung.
(Jadi … memang begitu yang terjadi)
Masachika menghela nafas kecil
dalam hatinya, dan saat hendak berbalik darinya, tangannya tak sengaja
menyenggol tangan Maria.
“!!!”
Maria cepat-cepat menarik
tangannya seolah-olah itu ditepak, dan piring yang dia pegang mengeluarkan
suara gemerincing.
“Ah, maaf.”
“U, Umm? Tidak apa-apa, kok.
Maaf ya? Apa tadi itu karena … listrik statis?”
Kurasa
mana mungkin listrik statis bisa terjadi saat mencuci piring di musim panas … tapi
Masachika tidak membantahnya dan berkata, “Bisa jadi” seraya mengangguk. Lalu,
saat Ia diam-diam melihat Maria lagi … Telinga Maria sedikit memerah, dan
memasang senyum di wajahnya, seolah-olah dia sedang berusaha menutupi sesuatu.
“… Masha-san.”
“Hmm? Apa?”
“… Cangkir itu, aku sudah mencucinya, loh?”
“Ara? Benarkah?”
Kemudian Maria melihat cangkir
di tangannya. Saat melakukan tsukkomi dalam hati, “Tidak, kamu takkan mengetahui meski kamu melihatnya …”, Masachika
memiringkan kepalanya dan terheran-heran apa ini reaksi wajarnya atau dia
merasa gugup.
Namun, menilai dari fakta bahwa
insiden itu tampaknya telah berlangsung selama beberapa waktu, Masachika memutuskan
untuk berbicara dengan Maria saat mereka berdua selesai mencuci piring dan
mengelap tangan mereka.
“Um, Masha-san.”
“Ya?”
“Umm … sekali lagi, aku
sungguh minta maaf mengenai kejadian hipnotis tempo hari …”
“Ah, hmm. Tidak apa-apa, oke? Lagian, akulah yang memulainya
duluan …”
Ketika Masachika menundukkan
kepalanya, Maria terlihat sedikit panik dan menyuruhnya untuk mengangkat
kepalanya. Namun, begitu tatapan matanya bertemu dengan Masachika, pipinya mulai
merah merona dan dia buru-buru mengalihkan pandangannya.
“Ah, itu … yah, aku tidak sempat
bertanya pada saat itu, tapi kira-kira … apa yang sudah aku lakukan … pada
Kuze-kun saat aku dihipnotis?”
Dia kemudian bertanya sambil
melirik malu-malu ke wajah Masachika. Masachika secara tidak sadar tergerak
oleh sikap Maria yang tidak biasa ini, karena hal itu berbanding terbalik
dengan tingkahnya yang selalu memancarkan aura kedewasaan. Ia tanpa sadar
menelan ludah dan segera mengalihkan perhatiannya. Dan saat mengingat kembali
kejadian pada waktu itu … Masachika hampir menggeliat karena rasa malu yang
kembali menghapirinya, tapi Ia berhasil menahannya dan berkata dengan jujur.
“Umm, aku dan Alya dipeluk …
lalu Masha-san mulai mengelus-elus kepalaku.”
Masachika menggertakan giginya
karena merasa malu untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun, Maria mengedipkan
matanya secara perlahan dan bertanya dengan ekspresi lega.
“Eh … hanya itu saja?”
“Ya, hanya itu saja.”
Pada kenyataannya, wajahnya
setengah terkubur di payudara montok Maria. Tapi itu hanya bagian dari “dipeluk”. Lebih tepatnya, Ia menyentuh
paha mulus Maria yang tersembunyi di balik roknya … tapi setelah
dipikir-pikir lagi, Ia merasa kalau jari-jarinya menyentuh tempat yang cukup
canggung, tapi itu cuma sebatas “apa yang
Masachika lakukan pada Maria”, dan
bukan “apa yang Maria lakukan pada
Masachika”. Oleh karena itu, Ia tidak perlu repot-repot berkata jujur
padanya. Kejantanan? Kata tersebut tidak ada dalam kamus kehidupan Masachika.
“Begitu ya … syukurlah kalau
begitu.”
Maria menepuk dadanya dengan ekspresi
lega, tanpa menyadari pikiran licik Masachika. Ekspresi polos di wajahnya
membuat perasaan bersalah Masachika semakin meningkat.
“Umm, apa itu baik-baik saja?”
“Ya, kalau hanya sebatas itu
saja tidak masalah. Ah …”
Dan kemudian, Maria sepertinya
kepikiran sesuatu dan dengan cepat mendekap tubuhnya sendiri seakan-akan
melindungi diri dari sesuatu.
“Umm, apa kamu … melihatnya?”
“Ehhh, itu sih …”
Mau tak mau Masachika
mengalihkan pandangannya pada ekspresi agak marah Maria dan tatapan yang
menuduhnya.
Jika harus mengatakan apakah Ia
melihatnya atau tidak, Ia memang melihatnya. Tidak, Masachika justru
memalingkan wajahnya saat Maria mulai menanggalkan seragamnya, tapi apa yang
dilakukan Chisaki terlalu mengejutkan sampai-sampai Ia secara tidak sengaja
mengikuti gerakannya dengan tatapan matanya. Akibatnya … yah, semuanya jadi
terlihat jelas di depan matanya. Penampilan Maria yang sangat seksi, dengan
roknya yang terlepas dan dua kancing terbuka. Namun, karena sosok Alisa yang di
sebelahnya hampir telanjang, jadi Ia lebih mengingat bagian itu ketimbang
dirinya … tapi yah, Ia juga mengingat
betul kalau Maria juga berkulit putih.
Masachika bertanya-tanya
bagaimana caranya menjelaskan fakta tersebut, tapi Maria bakalan tahu kalau Ia
tidak segera menyangkalnya. Bibir Maria berkedut sedikit marah dan menatap
Masachika dengan cemberut.
“Kuze-kun no ecchi.”
“Eh, ya … aku sungguh minta
maaf. Aku tidak sengaja melihatnya.”
Masachika membungkukkan
badannya dengan patuh, sambil terkejut di dalam hati, “Ternyata Masha-san juga bisa marah pada hal semacam ini …”.
Tidak, sebenarnya, Ia sempat berpikir
kalau Maria akan memafkannya sambil tersenyum lembut dan berkata “Hanya segitu saja~ tidak apa-apa~”. Jadi,
rasanya sedikit mengejutkan melihatnya bereaksi seperti gadis normal, dan pada
saat yang sama ada sedikit kesenangan tidak bermoral karena telah melakukan
sesuatu yang menyinggung Madonna sekolah …
“Ku . Ze . Ku . N?”
“Eh,
ah, iya?”
“Mou, apa kamu yakin sudah
menyesali perbuatanmu?”
“Iya sudah, aku sudah menyesalinya.”
Muu~ Maria
memelototinya dengan alis terangkat. Namun, tatapan marah Maria yang berwajah
mungil sama sekali tidak membuatnya takut. Yang ada justru …
(Terima kasih banyak atas ekspresinya
yang langka, itu sungguh imut sekali. Masha-san yang biasanya memiliki aura
Onee-san sekarang justru bertingkah kekanak-kanakan , sejujurnya itu adalah
gap moe terbaik yang pernah ada. Jika dia mengangkat jari telunjuknya dan
memberi peringatan 『
Enggak boleh』, aku
merasa yakin kalau aku bakalan dogeza sambil meneriakan 『 Terima kasih banyak!!』 )
“Mouu! Kamu pasti belum
menyesalinya!”
Saat Masachika terus memikirkan
hal-hal bodoh, Maria menggembungkan pipinya dan dengan cepat mengulurkan kedua
tangannya di pipi Masachika.
Dia kemudian mencubit kedua
pipi Masachika dengan jari-jarinya dan mulai menarik-nariknya ke samping.
“Apha yhang sedhang kamyu
lakyukhan?”
“Hukuman!”
Maria menatap Masachika sambil
mengerutkan alisnya dan menarik pipi Masachika ke berbagai arah. Tapi itu tidak
terlalu menyakitkan. Dibandingkan dengan tamparan tanpa henti Alisa, hukumannya
ini sangat lucu dalam banyak artian. Yang ada justru ini lebih seperti hadiah.
Mungkin karena sudah merasa
puas, Maria melepaskan jari-jarinya dari pipi Masachika dan memegangi pipi
Masachika dengan kedua tangannya lagi. Maria memalingkan wajah Masachika ke
arahnya dan memberitahunya dari jarak yang sangat dekat dengan ekspresi serius.
“Dengarkan baik-baik, oke?
Jangan membuat seorang gadis merasa malu, oke? Lalu, saat orang lain marah, kamu
harus merenungkannya baik-baik.”
Meski diberitahu begitu,
Masachika merasa kalau dia tidak benar-benar marah. Apalagi, posisi mereka
terlihat seperti lima detik sebelum ciuman jika mereka melakukan kesalahan.
Wajah cantik Onee-san yang dilihat dari dekat terlalu merangsang bagi remaja
laki-laki yang sehat, tapi apakah orangnya sendiri menyadarinya atau tidak.
(Jika aku membantahnya di sini, apa dia
akan terus menceramahiku dalam posisi ini?)
Pemikiran seacam itu terlintas
di benaknya, tapi Ia merasa kalau sampai melangkah sejauh itu, Ia akan beneran
menyinggung Senpai yang baik hati ini, jadi Masachika memutuskan untuk menganggukkan
kepalanya dengan jujur.
“ … ya, aku mengerti.”
“Hmm bagus.”
Mengangguk puas pada jawaban
Masachika, Maria menjauhkan tangannya dari pipi Masachika dan menepuk kepalanya
dengan ringan seakan-akan mengatakan “syukurlah
kalau kamu mengerti,” dan kemudian berbalik ke wastafel.
Namun, saat Maria mengulurkan
tangan untuk menyeka piring yang sudah dicuci dengan kain, suara dengungan
samar terdengar dari dalam sakunya.
“Ah… sepertinya ibuku sudah
datang.”
“Oh, kalau begitu silahkan
duluan. Biar aku saja yang membereskannya.”
“Hmm~… maaf banget ya? Kalau
begitu sisanya boleh kuserahkan padamu?”
“Ya, selamat jalan.”
Masachika melihat Maria yang meninggalkan
ruang tata boga dengan ekspresi sedikit menyesal, dan mulai menyeka piring.
Setelah selesai mengelapnya, Ia meletakkan piring di atas nampan dan kembali ke
ruang OSIS.
Setelah itu, lima orang yang
tersisa mengobrol satu sama lain selama sekitar 30 menit, dan kali ini giliran
Chisaki meninggalkan ruang OSIS untuk menemui ibunya. Alisa kebetulan mendapat
giliran setelah pertemuan Maria selesai, jadi dia berdiri segera setelah
Chisaki pergi.
“Kalau begitu, aku pergi
duluan.”
“Oh, selamat jalan~.”
“Selamat jalan.”
“Hati-hati di jalan.”
Beberapa detik setelah mereka
bertiga mengawasi kepergian Alisa dan pintu ruang OSIS ditutup. Yuki yang
sudah mengganti mode Ojou-sama nya, menoleh ke arah Masachika dan berkata suara
kecil dan bernada nakal.
“Akhirnya cuma ada kita berdua,
ya.”
“Kalau begitu, kurasa sudah
waktunya untuk menjemput Jii-chan.”
“Tunggu! Kenapa kamu malah
mengabaikanku~!”
“Kamu sendiri justru
mengabaikan keberadaan Ayano!”
Yuki menjatuhkan dirinya ke
atas meja dan merentangkan tangannya untuk meraih lengan Masachika erat-erat.
Mau tak mau Masachika memandang adiknya dengan tatapan jijik pada tingkah
lakunya yang tidak mencerminkan seperti murid teladan.
“Kenapa kamu menatapku dengan
tatapan seperti itu! Karena belakangan ini lumayan sibuk, sudah lama kita tidak
menghabiskan waktu sebagai saudara seperti ini!”
“Ah … kalau dipikir-pikir,
memang benar sih?”
Usai mendengar kata-kata Yuki,
Masachika merasa kalau perkataannya ada benarnya juga. Dan saat memikirkannya
lagi, Ia merasa sangat tumben sekali kalau mereka berdua tidak menghabiskan
waktu sebagai saudara selama lebih dari sepuluh hari.
“Yah, karena Onii-chan selalu
menghabiskan waktu bersama Alya-san, jadi kamu mungkin tidak memedulikan
tentang itu ~?”
“Itu … tidak benar, kok?”
Yuki menatapnya dengan tatapan
mengejek dan Masachika mengalihkan pandangannya dengan canggung. Kemudian, Yuki
membalikan tubuhnya di atas meja, meletakkan kedua tangan untuk menutupi
matanya dan mulai berpura-pura menangis.
“Hiks, hiks, aku merasa kecepian~.”
“Begitu ya, begitu ya, jadi
kamu merasa kesepian, ya. Aku mengerti, sudah mengerti, jadi tolong turun dari
atas meja? Oke?”
Saat Masachika berkata begitu,
Yuki langsung turun dari meja. Rambut hitam panjang yang telah menyebar di atas
meja menghilang ke tepi meja, dan tersibak ke belakang seperti sayap. Setelah
membiarkan rambutnya yang berantakan tergerai di belakangnya, Yuki kembali
duduk di kursinya dengan bunyi gedebuk. Dia lalu menyilangkan kakinya sambil
bersender di kursi dan mengangkat dagunya dengan sombong.
“Itu sebabnya, manjakan aku.”
“Tidak, apa-apaan dengan
perubahan mendadak emosimu itu …?”
Masachika terkejut dengan perubahan
drastis dalam karakter adiknya, tapi Yuki tampaknya tidak keberatan dan mengangkat
alisnya secara dramatis.
“Ada apa? Ayo cepat lakukan.”
Masachika tidak punya pilihan
selain menuruti sikap bos kejam ini yang memberikan tuntutan tidak masuk akal
pada bawahannya. Ia merasa seperti seorang karyawan bank yang diminta untuk
meminta maaf di depan umum. Masachika lalu meletakkan tangannya di atas meja,
mengerutkan bibirnya, dan mengajukan pertanyaan dengan suara yang terguncang
karena kebingungan dan keputusasaan.
“Di sini …?”
“Itu benar.Tepat di sini, aku
menyuruhmu untuk memanjakanku sekarang, Masachika-kun.”
“Tapi, di sini itu … !”
“Apa? Apa kamu tidak bisa
melakukannya?”
“ … !”
Mendengar kata-kata Yuki,
Masachika berbalik dengan tangannya gemetar dan mengeluarkan suara yang penuh
dengan kesedihan dari bagian belakang tenggorokannya.
“Aku … mengerti …!”
Kemudian, saat perlahan duduk
di kursinya, Masachika tiba-tiba mendongak dan
meletakkan tangannya di sandaran kursi di sebelahnya. Ia lalu
mengucapkan beberapa patah kata sambil berusaha membuat wajahnya setampan
mungkin.
“Ayo, datang kemari.”
“Pfft—”
“Oke, ayo hentikan ini.”
“Ahhh, bercanda, bercanda.
Onii-chan keren banget, kok~.”
Begitu Masachika meninggalkan
tempat duduknya, Yuki bergegas mendekatinya dengan suara manja. Dia duduk di
sebelah Masachika, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Yuki bisa
bermanja-manja dengan kakaknya sebanyak yang dia mau. Masachika juga memanjakan
Yuki sambil tersenyum pada adiknya yang seperti itu. Ayano sudah lama membaur
jadi udara.
Kemudian, sekitar lima belas
menit upaya Masachika untuk membuat Yuki dalam suasana hati yang baik.
Smartphone Masachikan bergetar, mengumumkan kedatangan kakeknya.
“Oh, sepertinya Jii-chan sudah
datang.”
“Baiklah~ selamat jalan~.”
“Iya, aku pergi dulu …
ngomong-ngomong, Ayano pergi kemana?”
Masachika
melihat sekeliling ruang OSIS untuk mencari sosok teman masa kecilnya yang sudah
menghilang tanpa Ia sadari. Namun, keberadaan Ayano tidak bisa ditemukan.
“Eh?
Mungkin karena peka terhadap suasana, dia lalu membaur jadi udara dan sedang
mengawasi di luar ruangan?”
“Kamu … tidak, kurasa aku
tidak berhak bilang apa-apa karena aku sendiri tidak menyadarinya …”
Masachika menggelengkan
kepalanya dan dengan lembut membuka pintu ruang OSIS, lalu seperti yang
dikatakan Yuki, Ayano sedang menunggu di luar seolah-olah sedang menjaga ruang
OSIS. Tidak, sebenarnya, dia berjaga untuk melindungi sifat asli Yuki, jadi
mungkin pengawalan adalah kata yang tepat.
“… Entah kenapa, maaf ya.”
“? Apa yang anda maksud?”
Masachika sangat menyesal
karena sudah melupakan keberadaannya, padahal Ia sendiri yang mengatakan “Jangan mengabaikan keberadaan Ayano!” kepada
Yuki. Tapi Ayano sepertinya tidak memahami perasaan Masachika dan memiringkan
kepalanya dengan ekspresi datar.
Saat Masachika menepuk-nepuk
kepala Ayano sebagai tanda penghargaan dan permintaan maaf, dia memejamkan satu
matanya seolah-olah merasa geli.
“Yah kalau begitu … aku pergi
dulu.”
“Selamat jalan~”
“Hati-hati di jalan, Masachika-sama.”
Dalam suasana hati yang tak
terlukiskan, Masachika mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, mengambil
barang bawaannya, dan mulai berjalan menuju gerbang utama tempat kakeknya
menunggu. Ia berjalan melewati gedung sekolah, mengganti sepatunya di loker
sepatu, dan melangkah menuju gerbang utama … tapi Masachika merasakan dorongan
kuat untuk berbalik arah. Namun, sebelum bisa melakukan itu, Ia sudah dipanggil
dari sisi lain, jadi mau tak mau Ia harus menanggapinya.
“Oh Masachika, akhirnya kamu
datang juga!”
“Jii-chan
…”
Di sana, berdiri seorang kakek
tua ceria dengan kepala botak yang plontos. Ia adalah kakek dari pihak keluarga
ayah Masachika dan orang yang menunjukkan buku dan film Rusia kepada Masachika
saat masih kecil dulu. Beliau adalah Kuze Tomohisa. Berbeda dari kakek dari
pihak ibunya, Suou Gensei, Tomohisa memiliki hubungan yang sangat dekat dengan
Masachika. Ia datang sebagai wali pertemuan orang tua-guru menggantikan ayah
Masachika yang sibuk dengan pekerjaannya.
Ia berdiri tegak, mengangkat
topi putih lembutnya dengan ringan, dan tersenyum bahagia saat melihat
kedatangan cucunya. Ia tampak seperti kakek yang baik hati … tapi masalahnya
justru terletak pada cara berpakaiannya.
“Kenapa pakai baju setelan
putih semua!?”
“Eh? Bukannya ini keren?”
“Cuma orang narsis atau mafia
asing saja yang memakai baju semacam itu!”
“Muu… Ah begitu, mungkin karena
aku tidak memakai ini, ya.”
Masachika berteriak dengan
prasangka, tetapi Tomohisa mengenakan topinya lagi seolah-olah tidak memahami
maksudnya, dan saat Ia merogoh saku dalamnya, Tomohisa mengeluarkan kacamata
hitam dan memakainya.
“Lihat, bukannya sekarang jauh
lebih keren?”
“Level mafianya malah meningkat!
Jii-chan jelas-jelas terlihat seperti pensiunan bos mafia! Sekarang, jika kamu
mengenakan mantel atau kain seperti syal di lehermu, semuanya akan jadi lebih
sempurna!”
“Syal? Ada, kok.”
“Kenapa bisa ada!”
Kali ini, Tomohisa mengeluarkan
kain putih terlipat dari saku dalam di sisi lain. Masachika menghentikannya dan
dengan cepat membawanya ke sekolah sebelum terlihat lebih menonjol lagi.
“Astaga, kenapa Jii-chan
datang ke sini dengan baju memalukan seperti itu, sih …!”
“Aku pikir karena ini lebih
modis …”
“Palingan juga dipengaruhi oleh
semacam film lagi, ‘kan? Maksudku, bagaimana bisa Jii-chan punya barang seperti
itu.”
“Aku sengaja membelinya dengan
uang pensiunan hanya untuk hari ini, kok?”
“Baa-chan akan marah, tau.”
Masachika bergegas menuju ke
gedung sekolah sambil melakukan tsukkomi dengan suara yang sepertinya telah
membunuh kemarahan dan rasa malunya. Sejujurnya, Ia tidak ingin orang lain
melihatnya bersama kakeknya.
Setelah mengganti sepatu di
loker sepatu dan kakeknya mengenakan sandal untuk pengunjung, Masachika
langsung menuju ruang kelasnya.
“Masachika, sepertinya masih ada
lebih banyak waktu, dan aku ingin melihat-lihat sekitar sekolah …”
“Ditolak dengan tegas.”
“Kenapa? Apa bersama Jii-chan
sangat memalukan bagimu?”
“Iya, memalukan.”
“Mu… kalau begitu biar aku
sendiri…”
“Aku punya firasat kalau
Jii-chan akan ditangkap sebagai orang yang mencurigakan, jadi tolong hentikan.”
Masachika mencoba menenangkan
kakeknya, yang begitu gelisah meski umurnya sudah 71 tahun, dan berhasil
membuatnya duduk di kursi yang disiapkan di luar kelas. Kemudian, topik
pembicaraannya beralih mengenai ayah Masachika.
“Fumu … tapi, apa Kyoutarou
masih sibuk saja?”
“Yah, aku mendengar kalau Ia
akan bekerja di Kedutaan Inggris mulai tahun ini … jadi, aku yakin kalau Ia
sangat sibuk sekarang.”
Ayah Masachika, Kuze Kyoutarou,
merupakan seorang diplomat yang bekerja di Kementerian Luar Negeri hingga tahun
lalu, tapi mulai tahun ini, Ia ditugaskan dalam misi diplomatik di luar negeri.
Dari dulu Ayahnya memang sering tidak ada di rumah, tapi setelah bekerja di
luar negeri, Ia jadi jarang pulang ke rumah. Bahkan dalam pertemuan orang
tua-guru, Masachika sampai meminta Tomohisa untuk datang sebagai walinya. Tomohisa
mengangkat alisnya sedikit pada pernyataan cucunya.
“Begitu ya … tapi setidaknya,
Ia bisa meluangkan waktu buat pertemuan orang tua-guru, ‘kan?”
“Apa boleh buat. Butuh lebih
dari setengah hari hanya untuk sampai ke sini.”
“Begitukah? Masachika memang
anak yang baik, ya.”
“Hentikan.”
Masachika dengan malu-malu
mendorong jauh tangan Tomohisa yang mencoba mengelus kepalanya. Mereka berdua
akhirnya menunjukkan hubungan kakek-cucu yang sangat umum di dunia, tapi … suasana
itu dengan cepat terhempas ketika pintu ruang kelas terbuka.
“Saya permisi dulu.”
“Terima kasih banyak, Sensei.”
Alisa dan wanita yang tampaknya
adalah ibunya, keluar dari ruang kelas. Saat melihat mereka berdua… atau
lebih tepatnya, saat menatap Alisa, mata Tomohisa langsung terbuka lebar.
(Sialan! Karena ada banyak hal yang
terjadi sehingga aku lupa memberitahunya !!)
Masachika merasa menyesal
karena seharusnya Ia memberi tahu Tomohisa tentang hal ini sebelumnya, tetapi
semuanya sudah terlambat.
“Ah, Kuze——”
“Keajaiban Eropa Timur!!”
“Astaga, tolong hentikan itu,
Jii-chan!”
Saat Tomohisa berdiri dan
merentangkan kedua tangannya lebar-lebar seakan berterima kasih kepada Tuhan,
Masachika mati-matian mencoba membuatnya duduk kembali di kursi.
Ia lalu buru-buru meminta maaf
kepada Alisa, yang melangkah mundur karena merasa kaget.
“Serius, tolong maafkan aku, Alya.
Ini adalah kakekku, tapi kekagumannya pada Rusia agak terlalu kuat …”
“Eh, Ah, benarkah …”
“Nona muda, siapa namamu?”
“Ya ampun, seriusan tolong
hentikan itu!?”
Tomohisa mencoba mendekati
Alisa dengan ekspresi dan kalimat yang sangat mirip seperti cowok perayu, tapi
Masachika menahannya dan berusaha menundukkan kepalanya.
“Maaf, aku benar-benar minta
maaf. Seriusan, kamu tidak perlu meladeninya.”
“Su-Sunggguh kakek … yang ceria, ya?”
Kata-kata penuh perhatian Alisa
justru menusuk hati Masachika. Masachika meraih kerah Tomohisa dengan tangan
kirinya dan mengarahkan tangan kanannya ke pihak lain “silahkan duluan”
mendesaknya cepat pergi sebelum kakeknya memperlihatkan sisi buruknya lagi. Tapi
kemudian seseorang yang sepertinya adalah ibu Alisa melangkah maju dan
memanggil Masachika.
“Umm, permisi. Apa kamu yang
namanya… Kuze-kun?”
“Eh, ahh, ya. Senang bertemu
dengan anda, nama saya Kuze Masachika. Apa anda ibu dari Alisa-san?”
Saat wanita yang lebih tua
berbicara kepadanya, Masachika dengan cepat melepaskan tangannya dari Tomohisa
dan menyapanya sesuai dengan etika yang sudah ditanamkan padanya sejak kecil.
Tatapan mata Alisa melebar
karena terkejut dan wanita di depan Masachika juga menutup mulutnya dengan
tangan seolah-olah dia terkesan dengan sapaan tenangnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda
kegugupan sama sekali.
“Ara, Ara, kamu sungguh sopan
sekali … Senang bertemu denganmu. Aku ibu Alisa, Kujou Akemi. Aku sering
mendengar cerita Kuze-kun dari putriku.”
“Itu … haha, semoga saja anda
tidak mendengar cerita yang buruk tentang saya.”
“Fufufu, dia menceritakannya
dengan penuh gembira, loh?”
“… begitu ya.”
Mengesampingkan isi ceritanya,
Ia merasa yakin kalau dia berbicara dengan gembira. Hal itu saja sudah cukup
untuk memberi Masachika gambaran umum tentang situasinya.
Kemudian, Ia mengamati wanita yang
ada di depannya sekali lagi. Dia memiliki rambut hitam sebahu yang bergelombang
lembut, serta penampilan lembut dan terawat yang membuatnya gampang sekali
membayangkan kalau dia pasti sangat populer di masa lalu. Tubuhnya penuh dengan
aura keibuan dan seksi, yang dengan jelas menunjukkan bahwa Alisa dan Maria
lahir dari wanita ini. Wajahnya sendiri … mungkin lebih mirip dengan Maria?
(Jika menghilangkan aspek orang luar
negri dari wajah Masha-san, dia mungkin … akan terlihat seperti ini? Tidak, itu
bukan wajahnya, tapi suasananya yang lebih
mirip.)
Dia memancarkan suasana tenang
yang penuh dengan aura keibuan dan perhatian layaknya Madonna. Jika dia adalah seorang selebriti, dia akan menjadi wanita
dewasa cantik yang akan sangat populer di kalangan orang paruh baya dan yang
lebih tua.
Namun meski begitu, tatapan matanya
memiliki kecerdasan tertentu, dan bisa disimpulkan kalau dia bukan hanya wanita
yang baik.
(Apa? Apa dia sedang menilaiku? Apa pun
itu, kurasa sebaiknya aku harus berhati-hati dalam menjawab …)
Setelah mengamati sambil
tersenyum dan berpikir sejauh itu hanya dalam dua detik, Masachika mulai
mewaspadai Akemi. Seolah-olah menyadari kewaspadaan Masachika, senyum Akemi
semakin melebar. Masachika juga merasakan kalau sikap waspadanya sudah
diketahui dan meningkatkan kewaspadaannya lebih tinggi lagi. Kemudian, di
tengah ketegangan tersebut, Akemi perlahan-lahan membuka mulutnya, dan
Masachika bersiaga di balik senyumannya …
“Ngomong-ngomong, apa Kuze-kun pandai
melakukan dansa sosial?”
Akemi menanyakan pertanyaan
yang sama sekali tidak terduga dan membuat Masachika tertegun selama beberapa
saat. Ia berkedip dan mengajukan pertanyaan kembali.
“Dansa sosial …?”
“Ya.”
Masachika semakin kebingungan
saat Akemi menegaskannya dengan cara yang sangat alami.
(Dansa sosial … Eh, apa maksudnya? Apa
ada semacam implikasi? Apa maksud pertanyaannya? Percuma, aku sama sekali tidak
tahu!)
Apa aku perlu menjawab jujur dengan “Kurasa
lumayan …?”. Tidak, aku tidak tahu apa aku boleh
memberikan jawaban yang asal-asalan begitu. Sebelum Masachika yang
merasa risau bisa memberikan jawaban, Alisa memanggil Akemi dengan kesal.
“Bu, apa-apaan pertanyaan itu?
Lihat, Kuze-kun tampak bermasalah.”
“Ehh?”
“Kenapa Ibu menanyakan dansa
sosial?”
“Eh~? Karena bahunya sedikit
miring?”
Akemi meletakkan tangannya di
pipinya sambil melirik ke atas secara diagonal, dan mengatakan sesuatu yang dia
tidak mengerti. Ternyata bukan apa-apa. Itu hanya komentar alami. Lagipula, dia
adalah ibu Maria.
Masachika merasa idiot karena
bersikap waspada, tapi kemudian Tomohisa dengan cepat mendekati Alisa dan
menggenggam tangan Alisa dengan gerakan yang sangat alami.
“Nona muda, Apa kamu mau
menjadi cucuku?”
“E-Ehh?”
“Oii, Jii-chan!”
Masachika melewatkan semua
tingkah kesopanan dan meneriaki kakeknya, yang mengatakan sesuatu yang keterlaluan
seolah-olah Ia sedang melamar.
“Bagaimana? Apa kamu bersedia
menjadi istri Masachika——”
“Seriusan, tolong tutup
mulutmu!!”
Ia menutupi mulut kakeknya
dengan tangannya dari belakang, memaksa Tomohisa untuk diam, dan menariknya
untuk menjauh dari Alisa dengan seluruh kekuatannya.
“Kalau begitu, karena giliran
saya sudah tiba, saya mohon pamit undur diri dulu!”
“Ah, ya.”
“Baiklah. Sampai jumpa lagi.”
Setelah mengakhiri pembicaraan
dengan paksa, Masachika berpamitan pada Alisa dan Akemi. Masachika akhirnya
melepaskan tangan Tomohisa saat mereka berdua pergi menjauh.
“Jadi? Bagaimana menurutmu,
Masachika? Apa kamu ada niatan ingin menikahinya?”
“Sudah kubilang diamlah.”
“Lalu? Apa Alya-chan mau
menjadi istri Kuze-kun?”
“Bu, tolong diam.”
Pada saat yang sama Masachika
sedang melihat kakeknya, Ia mendengar percakapan antara seorang ibu dan
putrinya dari jarak yang cukup dekat, dan Masachika dalam hati menunjukkan
simpatinya kepada Alisa seraya mengatakan, “Kita
sama-sama mengalami kesulitan, ya …”.
Kemudian, saat mendapatkan
kembali ketenangannya dan mengalihkan pandangannya ke dalam kelas … Ia
melihat wali kelasnya tersenyum kaku, dan Masachika mendongak dengan pasrah, “Tentu saja keributan itu bakal kedengaran
…”.
◇◇◇◇
“Kalau begitu, saya permisi
dulu…”
“Permisi.”
Setelah itu, entah bagaimana Masachika dan Tomohisa
berhasil menyelesaikan pertemuan orang tua-guru dan meninggalkan ruang kelas.
Mungkin karena jadwalnya sedikit terlambat, tetapi orang tua dan murid berikutnya
belum tiba di luar kelas, lalu Masachika dan Tomohisa langsung menuju tangga.
“Jadi, mengenai gadis yang
bernama Alisa-san tadi …”
“Jangan bahas cerita itu lagi.”
Masachika merrasa lega karena
sudah berhasil menyelesaikan pertemuan orang tua-guru sembari mengabaikan ocehan
Tomohisa. … Dan ternyata, itu adalah kesalahan. Awalnya, Masachika seharusnya
lebih berhati-hati. Namun, pikiran Masachika benar-benar kacau setelah meladeni
kegaduhan kakeknya. … Akibatnya, mereka akhirnya bertemu satu sama lain di
lorong di depan pintu masuk.
“!!!”
Saat melihat sosok itu,
Masachika merasakan kalau darah di seluruh tubuhnya seolah-olah terkuras. Pihak
lain juga melihat Masachika, melebarkan matanya sejenak, dan kemudian
cepat-cepat membuang muka.
“Oh, Yumi-san. Sudah lama tidak
bertemu.”
“Iya, sudah lama tidak bertemu
juga … Ayah mertua.”
Entah karena sudah bercerai dan
ragu-ragu untuk memanggilnya ayah mertuanya, atau mungkin dia khawatir dengan
hubungan di antara mereka, yang seharusnya menjadi orang asing bagi dunia luar,
atau mungkin karena keduanya?
Bagaimanapun juga, Tomohisa
mendekatinya tanpa khawatir dan berbicara pada Yumi dengan ramah.
“Aku senang melihatmu baik-baik
saja. Yuki juga kelihatannya baik-baik saja, ya?”
“Ya, Ojii-sama. Ojii-sama
sendiri … entah kenapa memakai sesuatu yang luar biasa sekali, ya?”
“Hmm? Keren sekali, iya ‘kan?”
“Fufu, benar sekali.”
“Betul sekali, iya ‘kan! Tapi
entah bagaimana Masachika justru tidak menyukai baju ini.”
Ia tertawa riang karena
mendengar pujian tinggi dari cucunya, kemudian Tomohisa berkata sambil menatap
Yuki dan Yumi secara bergantian.
“Bagaimana, apa kamu
berhubungan baik dengan ibumu?”
“Ya, tentu saja, Iya ‘kan?
Okaa-sama.”
“I, Iya …”
Yumi tersenyum sedikit kaku pada
putrinya yang tersenyum anggun namun polos padanya. Masachika menatap sosoknya
itu dengan mata dingin.
(Dasar pembohong, senyummu terlihat
sangat palsu. Jika kalian benar-benar berhubungan akrab, harusnya kamu lebih
memamerkan Yuki.)
Dia bahkan tidak bisa menunjukkan
ekspresi sebenarnya kepada putrinya sendiri, ibu macam apa itu? Kenapa demi
orang ini, Yuki harus …
“… !”
Sambil menggertakkan giginya,
Masachika mati-matian berusaha menekan rasa jijik yang seolah-olah ingin
membakar paru-parunya. Namun, hanya melihat ibunya saja sudah membuatnya mengingat
kembali kenangan masa lalu yang sudah terkunci di bawah alam sadarnya, dan
kekacauan emosi yang memuakkan muncul dari dasar perutnya. Setiap kali Ia
menarik napas untuk menenangkan diri, Ia merasakan hawa dingin menjalar ke
seluruh tubuhnya, dan di sisi lain, Ia merasakan panas yang basah oleh keringat
di permukaan kulitnya.
Meski begitu, Masachika tidak
berpaling dari Yumi, seolah-olah membuang muka akan menjadi kekalahannya.
Namun, Yumi dengan keras kepala tidak mau melihat Masachika. Dia tidak mengatakan
sepatah kata maupun melihat wajah putranya yang sudah lama tidak dia temui.
(…
sudah kuduga.)
Pada saat itu, api yang telah
bersemayam di dalam Masachika dan panas yang membelai permukaan kulitnya
langsung menghilang dalam sekejap. Entah itu kekecewaan atau kepasrahan yang
menyelimutinya… Bagaimanapun juga, hal itu sudah tidak ada lagi hubungannya
dengan Masachika. Semuanya sudah tidak penting lagi.
“Jii-chan, sudah waktunya kita
harus pergi. Tidak baik juga berhenti di tengah jalan begini.”
Ketika Ia mengatakan ini dengan
suara tanpa emosi, Tomohisa menunjukkan perhatian pada sekelilingnya dan
mengangguk ringan.
“Oh, begitu ya… kalau begitu
sampai jumpa lagi, kalian berdua.”
“Ya, liburan musim panas nanti
saya akan datang berkunjung.”
“…P… Permisi.”
Untuk sesaat, Yumi membuka
mulutnya dan mencoba mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya, tidak ada
sepatah kata pun yang keluar. Yumi menundukkan kepalanya sedikit dan berjalan
menuju tangga bersama Yuki. Tanpa melihat dari balik bahunya, Masachika dengan
cepat mengganti sepatunya. Tomohisa juga berganti dari sandal ke sepatu tanpa
mengatakan apa-apa lagi.
◇◇◇◇
“Hmm~ rasanya panas lagi saat
berada di luar.”
Saat mereka berjalan keluar
dari pintu depan, wajah Tomohisa berkedut di bawah sinar matahari yang cerah
dan Masachika menatapnya dengan tercengang.
“Itu karena Jii-chan memakai
baju seperti itu.”
“Tapi yaa, aku tidak bisa
begitu saja datang memakai kaos polo, iya ‘kan.”
“Aku justru lebih suka memilih
yang itu …”
“Kenapa? Padahal Yuki bilang
kalau ini keren, loh?”
“Tidak, jelas-jelas tadi itu
cuma basa-basi.”
Ia memasang ekspresi tidak puas
saat Masachika mengatakan itu dengan tertawa kering, lalu Tomohisa menatap
langit dan berkata.
“Tapi, Yuki semakin lama
semakin mirip seperti Yumi-san … Meski dia kurang tinggi, sih.”
“… Ah.”
Tomohisa bertanya dengan senyum
masam saat Masachika memberikan jawaban linglung.
“Apa? Apa kamu masih membenci
Yumi-san?”
“…”
Masachika menanggapi pertanyaan
blak-blakan Tomohisa dengan diam. Tomohisa mengelus dagunya dengan serius melihat
respon jelas dari cucunya.
“Aneh sekali. Padahal kupikir
Yumi-san dan Masachika sangat mirip.”
“Mirip? Haa!”
Masachika dengan ringan
menertawakannya sebagai lelucon yang tidak lucu, tetapi Tomohisa mengangguk
tanpa terlihat kesal.
“Memang mirip. Wajahmu terlihat
seperti Kyoutarou ketika Ia masih muda, tapi di dalammu sangat mirip dengan
Yumi-san. Sebaliknya, meski Yuki terlihat seperti Yumi-san, tetapi isinya lebih
mirip seperti Kyoutarou.”
“…”
“Yah, baik kamu dan Yuki, cuma bagian
mata saja yang tidak terlihat seperti orang tua kalian … entah mewarisi dari
siapa mata kalian itu?”
“Entahlah.”
Masachika mengangkat bahu
sambil menyentuh matanya, satu-satunya bagian tubuh yang terlihat sama persis,
serta menunjukkan kalau Masachika dan Yuki adalah kakak beradik.
Tomohisa juga mengangkat
bahunya dengan ringan saat Masachika mempertahankan reaksi keras kepalanya, dan
meninggikan suaranya untuk mengubah suasana hatinya.
“Ah~ tapi suhunya benar-benar panas sekali~ … Bagaimana? Apa kamu ingin
pergi ke suatu tempat untuk makan es serut?”
“Es serut … itu bukan sesuatu
yang bisa ditemukan dengan mudah.”
“Begitukah? Jika melakukan
pencarian cepat …”
Saat Tomohisa mengeluarkan
ponselnya dan mulai benar-benar memeriksanya, Masachika mengomentari, “Jii-chan
masih muda dalam banyak artian,” dengan nada setengah kagum dan setengah lelah.
“Tidak, aku tidak ikut makan di
luar… aku mau pulang saja.”
“Kenapa? Apa kamu merasa lelah?
Ngomong-ngomong, wajahmu juga terlihat sedikit pucat …”
Masachika menjauhkan diri dari
Tomohisa yang menatapnya dengan cemas, dan memalingkan wajahnya ke depan.
“Ini pasti karena sinar
mataharinya yang terlalu terik jadi kelihatannya begitu, kan? Aku cuma ingin
pulang dan mandi secepat mungkin.”
“Apaan? Dasar cucu yang tidak
bisa diajak asyik.”
“Jika Jii-chan berpakaian
sedikit lebih normal, aku mungkin akan ikut menemani.”
Masachika menoleh ke arah
Tomohisa yang mengipasi wajahnya dengan kipas, yang entah dari mana Ia
mendapatkannya. Sepintas, Masachika terlihat bertingkah seperti biasa … tapi
juga Ia terlihat agak tidak bisa diandalkan, layaknya anak kecil yang lelah
menangis.