Hari Minggu, setelah menghabiskan hari-hari seperti itu ….
“Disinilah fasilitas yang kita kunjungi hari ini.”
Aoi-san, Izumi dan aku, kami bertiga mengunjungi panti asuhan di kota.
Beberapa hari setelah kami memutuskan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sukarelawan yang disponsori sekolah atas saran Izumi, Izumi segera memberi tahu guru tentang partisipasi kami, dan begitulah kami berakhir di sini.
Aku kagum dengan kemampuan Izumi untuk mengambil tindakan, karena dia segera membuat rencana untuk akhir pekan setelah kami berkonsultasi padanya.
Ada lebih dari sepuluh orang di sekitar kami, termasuk guru yang memandu dan beberapa siswa. Ada lebih banyak partisipan daripada yang kukira.
Omong-omong, Eiji punya rencana lain dan tidak berpartisipasi.
“Seperti yang kukatakan dalam perjalanan ke sini, ada anak-anak dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama yang tidak bisa tinggal bersama orang tua mereka karena berbagai alasan. Kita mengunjungi mereka secara teratur untuk membantu mereka belajar, bermain dengan mereka, dan pada waktu Natal, kita membawakan mereka hadiah yang dikumpulkan melalui sumbangan.”
Izumi mengatakan bahwa ada banyak fasilitas seperti ini di prefektur.
Kami terkejut bahwa ada begitu banyak anak yang tidak bisa tinggal bersama orang tua mereka, tapi mungkin ada banyak keluarga seperti itu yang tidak kami ketahui.
Faktanya, Aoi-san berada dalam situasi yang sama.
Itu sebabnya aku bertanya-tanya— apakah itu benar-benar tidak apa-apa untuk membawa Aoi-san ke sini?
Ketika Izumi memberi tahu kami ke mana tujuan kami, aku menyarankannya untuk lebih baik tidak melakukannya, tapi yang mengejutkan, Aoi-san memilih tempat ini di antara banyak tempat lain untuk dikunjungi.
“Jadi, apa kita akan mengajari mereka untuk belajar hari ini? Atau apa kita akan menjadi teman bermain mereka?”
“Teman bermain hari ini. Terkadang staf memikirkan kegiatan rekreasi, tapi hari ini kita akan bermain dengan anak-anak sebanyak yang mereka inginkan.”
Saat kami sedang berbicara, sensei memanggil kami dan membawa kami ke ruang rekreasi.
Ketika kami memasuki ruangan, semua anak kecil berlari ke arah Izumi dan siswa lainnya sekaligus.
“Lama tidak bertemu, semuanya~♪”
Izumi dengan bersemangat mulai bermain dengan anak-anak.
“Yosh. Kalau begitu, ayo kita bermain bersama!”
Begitulah, anak-anak mulai bermain satu sama lain.
Aku diundang oleh Izumi untuk mulai bermain kejar-kejaran dengan siswa SD, sementara anak laki-laki lain bermain sepak bola dengan siswa SMP, Aoi-san dan gadis-gadis lain mulai bermain dengan siswa TK.
Setelah tiga puluh menit bermain—
“Izumi…… aku akan istirahat sebentar…….”
Lelah karena bermain kejar-kejaran dengan kekuatan penuh, aku berbicara dengan Izumi dengan terengah-engah.
“Ya. Aku akan menemani mereka sedikit lebih lama lagi.”
“Ya. Kau juga jangan berlebihan.”
Aku menjawab seperti itu dan meninggalkan perkumpulan anak SD itu.
Sejujurnya, aku meremehkan fakta bahwa aku bermain dengan siswa SD. Ada apa dengan kekuatan fisik yang tidak ada habisnya itu.
Awalnya, kupikir aku bisa bermain kejar-kejaran dengan mudah dengan anak-anak, tapi seiring berjalannya waktu, perbedaan kekuatan fisik menjadi jelas. Di paruh terakhir permainan, aku hampir seperti raksasa karena mereka menargetkanku ketika aku kelelahan.
Untuk seorang dari klub pulang kerumah sepertiku, terlalu berat bagiku untuk bermain dengan seorang anak di masa puncak mereka.
Aku meninggalkan perkumpulan, mencoba mengatur napas, dan mencari tempat untuk beristirahat.
Kemudian mataku bertemu dengan Aoi-san, yang sedang bermain rumah-rumahan dengan siswa TK.
Aoi-san memperhatikanku dan memberiku lambaian kecil sambil tersenyum.
“Apa kamu sudah selesai bermain kejar-kejarannya?”
“Y-Ya. Aku berpikir untuk bermain dengan anak-anak yang lain juga.”
Aku terlalu malu untuk mengatakan kalau aku dikalahkan sepenuhnya oleh anak-anak dalam hal kekuatan fisik.
“Begitu. Kalau begitu, mau bergabung dengan kami?”
“Ya. Maaf mengganggu.”
Aku duduk di antara Aoi-san dan gadis-gadis kecil.
Kemudian, semua gadis kecil itu menatapku pada saat yang bersamaan.
Mata bulat dan lucu menatapku. Entah kenapa, aku merasakan semacam tekanan……
“Hei, hei.”
“Hmm? Ada apa?”
Gadis di sebelahku melihat ke arahku, menarik-narik lengan bajuku.
“Onii-chan, apa kamu pacar Onee-chan ini?”
“P-Pacar—!?”
Apa yang gadis ini katakan tiba-tiba!
Kemudian, mata polos tanpa maksud buruk itu menatapku seolah ingin aku menjawab.
Jangan bilang bahwa semua anak ini mengharapkan jawabanku?
Akupun bingung dengan jawabannya, sambil berpikir anak-anak TK jaman sekarang terlalu dewasa untuk seumuran mereka…
“Orang ini bukan pacarku.”
Aoi-sa menjawab menggantikanku, dan aku menepuk dadaku.
Aku merasa lega sejenak.
“Kalau begitu, apa ia suamimu?”
Tanpa jeda, siswa TK itu mengajukan pertanyaan yang lebih dari itu.
Kalau bukan pacar, ya suami, loncatan cara berpikir yang menakutkan.
“B-Bukan juga suamiku, ia……”
“Begitu ya…… padahal jika itu pacar atau suamimu, kalian bisa memainkan peran ayah dan ibu.”
Semua anak TK terlihat kecewa dan sedih.
Sebenarnya aku juga kecewa……karena Aoi-san langsung menjawabnya, meskipun aku memang bukan pacarnya.
Yah, nyatanya aku bukan pacarnya jadi mau bagaimana lagi.
“Laki-laki ini bukan pacarku atau suamiku, tapi ia orang yang sangat penting bagiku…… jadi jika kalian tidak apa-apa dengan itu, bisakah kami berperan sebagai ayah dan ibumu?”
“Apa itu tidak apa apa?”
Mata siswa TK berbinar dengan penuh harap pada kata-kata Aoi-san.
“Tentu saja. Kan, Akira-kun.”
“Y-Ya. Benar!”
“Yeay!”
Senyum polos mereka, yang tidak berusaha menyembunyikan perasaannya, membuatku tersenyum.
Aku menggumamkan kata-kata, “Orang yang berharga,” yang dikatakan Aoi-san sambil berperan sebagai seorang ayah.
Aku bukan pacarnya, bukan pula suaminya. Dan tentu saja aku bukan keluarganya, tapi Aoi-san bilang aku adalah “orang yang berharga” untuknya.
Itu aneh bahwa aku tidak terlalu peduli dengan posisiku hanya karena itu.
Padahal awalnya kami hanya teman serumah, tapi mungkin kami menjadi sedikit lebih dekat…….
Kemudian, setelah beberapa saat bermain dengan anak-anak TK, tiba-tiba figur seorang gadis SD yang sedang menggambar sendirian di sudut ruang rekreasi masuk dalam pandanganku.
“Anak itu itu sudah lama sendirian.”
Aoi-san juga menatapnya dan bergumam.
“Beberapa siswa mencoba berbicara dengannya, tapi sepertinya dia tidak mau berbicara dengan siapapun.”
“Begitu ya……”
Apa dia anak yang sangat pemalu?
Atau apa dia seorang gadis yang suka menyendiri?
Yang manapun itu, dia terlihat sangat kesepian bagiku.
“Aku akan kesana sebentar.”
“Aku akan pergi bersamamu.”
Kemudian Aoi-san sedikit menggelengkan kepalanya.
“Aku akan pergi sendiri. Jika dua siswa SMA pergi bersama, aku yakin dia akan takut.”
“Begitu ya. Kurasa memang begitu.”
“Maaf ya.”
Aku melihat Aoi-san pergi saat dia menuju ke gadis itu.
Beberapa saat setelah itu, aku memperhatikan Aoi-san dan gadis itu saat aku sedang bermain dengan siswa TK, tapi gadis itu tidak menanggapi suara Aoi-san.
Bukan saja dia tidak menanggapi Aoi-san, dia bahkan tidak melakukan kontak mata dengan Aoi-san.
“……Ah, permisi.”
Aku memanggil seorang staf wanita yang kebetulan lewat.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Anak itu… apa dia selalu menghabiskan waktunya sendirian?”
Kemudian ekspresi staf itu mendung.
“Ya. Sudah tiga bulan sejak dia datang ke sini, tapi dia selalu seperti itu. Meskipun anak-anak lain ataupun kami berbicara dengannya, dia tidak menanggapinya…… Kami juga bingung bagaimana sebaiknya kami berhubungan dengannya.”
Tiga bulan ya…… itu waktu yang cukup baginya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
Tapi itu waktu yang terlalu singkat bagi seorang anak kecil untuk menenggelamkan kesepian karena berpisah dengan orang tuanya.
Aku juga, ketika di sekolah dasar aku mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan kelas baru setiap kali aku pindah sekolah.
“Anak-anak yang datang ke sini memiliki berbagai macam keadaan, dan kami mencoba memperlakukan mereka secara berbeda sesuai dengan keadaan mereka…… tapi yang satu itu mungkin anak yang sedikit sulit.”
“Begitu ya…”
Itu membuatku berpikir tentang arti menjadi sukarelawan.
Memang penting untuk menjadi teman bermain bagi anak-anak, tapi alangkah baiknya jika kita bisa dekat dengan hati anak seperti anak itu, tapi……. Kami tidak tahu bagaimana melakukannya karena kita tidak memiliki pengetahuan.
Bahkan jika kami tahu bagaimana perasaan mereka, tidak ada yang bisa kami lakukan. Ini sedikit membuat frustrasi.
Aku kembali ke kumpulan anak-anak yang lain dengan pikiran itu di benakku.
Beberapa jam kemudian, waktu kunjungan berakhir.
Saat sensei dan para siswa bersiap-siap untuk pulang, aku mencari-cari Aoi-san. Lalu, aku menemukan Aoi-san duduk di samping gadis itu. Mungkin dia terus bersamanya.
Dia tidak melakukan apa-apa, tapi memperhatikan gadis yang sedang menggambar di sebelahnya.
“Aoi-san. Sudah waktunya pulang.”
“Ya. Aku mengerti.”
Pada saat Aoi-san akan berdiri.
“Eh—?”
Gadis itu meraih lengan baju Aoi-san.
Baik Aoi-san dan aku sama-sama terkejut, dan menatap gadis itu.
“….. jangan pergi.”
Setelah beberapa saat, gadis itu bergumam dengan suara kecil dengan mata tertunduk.
Itu adalah bisikan kecil sampai aku hampir melewatkannya.
“”……””
Tanpa sadar aku dan Aoi-san saling memandang.
Kemudian, Aoi-san menggenggam tangan gadis itu.
“Maaf ya. Hari ini aku harus pulang. Tapi, aku pasti akan datang bermain lagi.”
“……Sungguh?”
“Ya. Pada saat itu, mau menggambar bersama?”
“Ya. Baiklah.”
“Terima kasih. Kalau begitu, janji ya.”
Aoi-san tersenyum dan mengulurkan jari kelingkingnya, dan gadis itu mengaitkan jari kelingkingnya lalu mereka bertukar janji.
Kami meninggalkan fasilitas dengan staf dan anak-anak mengantar kami pergi.