“Jadi, apa yang harus kulakukan?”
“Eh?”
Untuk apa “Eh?” itu…
Sepulang sekolah keesokan harinya, di sebuah kafe bernama “Café Proof”. Yuzuki Minato, yang duduk di seberangku, memiringkan kepalanya dengan bingung. Itu sangat lucu.
Tapi apapun itu. Tidak masalah, Io. Fokus.
“Kau pasti memiliki beberapa teori yang ingin kau uji dengan kekuatanku, ‘kan? Itu sebabnya kau datang padaku,” aku menjelaskan.
“T-Tidak. Kamu tahu … Aku tidak yakin tentang kemampuanmu, apa yang bisa kamu lakukan dengan itu. Aku tidak bisa sepenuhnya memahami itu.” Suaranya berangsur-angsur menjadi teredam.
Jadi sepertinya dia berencana untuk menyerahkan itu padaku.
Singkatnya, tidak ada petunjuk sedikit pun. Firasat kemarin sekarang terbukti benar.
Aku memilih tempat ini untuk konsultasi karena pengelola kafe ini adalah sepupuku. Jaraknya cukup jauh dari sekolah, ideal untuk sesi rahasia. Aku juga menggunakan tempat ini sesekali dalam aktivitas Malaikat normalku. Sepupu tersebut juga suka terlibat dan itu mengganggu.
“Jika itu masalahnya, konsultanmu tidak harus aku sejak awal,” kataku.
“Itu tidak benar. Kamu bisa melakukan hal-hal yang orang lain tidak bisa. Selain itu, Malaikat menanggapi kekhawatiran konsulti mereka dengan serius. Itulah yang dikatakan rumor.”
“Ya, tapi akulah yang mengeluarkan rumor itu.”
“Ugh… T-Tapi! Aku sudah percaya begitu…”
“Begitukah? Nah, sekarang sudah terlambat untuk mundur. Dan aku sedikit senang kau memercayaiku. Kalau begitu, ayo kita lakukan.”
“Y-Ya!” dia mengangguk dengan gugup, tapi matanya bertekad.
Oke, ini bukan keahlianku, tapi bukan berarti kompromi bisa diterima. Jika kau melakukan ini, maka seriuslah, Io. Kompromi tidak bisa diterima.
“Pertama, aku akan menjelaskan apa yang bisa kulakukan.”
Di seberangku Yuzuki menelan ludah. Aku menyesap cider itu. Manisnya dan rasa asam yang menusuk menjernihkan pikiranku. Ketika aku menggunakan kepalaku, ini pasti cara terbaik.
Tln : cider, sari buah apel
“Sederhana saja, hampir sama dengan hipotesismu kemarin: Sentuh wajah seseorang dan aku akan melihat siapa yang mereka sukai. Jika banyak, maka aku melihat semuanya.”
Clink, es dari cider berdenting.
“Dengan ‘suka’, maksudku perasaan romantis. Itu tidak bekerja untuk rasa hormat, kekaguman, cinta keluarga, juga tidak persahabatan,” lanjutku.
“Itu sangat menakjubkan, mendengar semuanya lagi.”
“Sejujurnya, tidak juga. Aku hanya bisa melihat gambaran mental mereka tentang orang itu, tanpa profil, tanpa usia, tanpa nama, hanya wajah mereka. Identifikasi hanya mungkin karena kita berada di ruang sekolah yang terbatas. ”
Dia hanya mengangkat alisnya yang melengkung indah pada saat itu.
Yah, “tidak juga” adalah pernyataan yang berlebihan. Bahkan dengan keterbatasan ini, itu masih merupakan kemampuan supernatural. Aku sudah memiliki kekuatan ini sejak lahir, jadi aku mungkin menerimanya begitu saja.
“Dan jika target tidak menyukai siapa pun, maka tidak akan terjadi apa-apa. ‘Tidak ada’ atau pemberitahuan seperti itu akan lebih baik. Ini sedikit merepotkan dalam kasus ini. ”
Bahkan jika aku menambahkan segi negatifnya, Yuzuki masih diam.
Tapi ya, membedakan antara bahwa aku gagal menyentuh mereka dan bahwa mereka tidak menyukai siapa pun adalah hal yang menyebalkan.
“Dan bagaimana dengan kekuatannya, apa sebenarnya itu? Bagaimana kamu mendapatkannya?” dia tiba-tiba bertanya.
“Apakah itu perlu? Mengetahui apa yang kubisa dan apa yang tidak kubisa harusnya sudah cukup.”
Ketika aku menjawab, dia membuang muka dengan canggung. “Y-Ya… Tapi…”
Sepertinya suaraku secara tidak sengaja menjadi dingin.
“Maaf, ini bukan topik yang menyenangkan. Jika ada kebutuhan maka aku akan memberitahumu kalau begitu. ”
“Tidak, aku bertanya terlalu banyak… Maaf.”
Canggung… Tidak, ini salahku.
Wajar jika ingin tahu tentang kekuatan seperti ini. Sebenarnya, aku harus bersyukur bahwa dia menahan diri seperti ini.
Aku memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang, dan berkata, “Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak terbiasa memiliki orang yang tahu tentang kekuatanku. Ada banyak hal yang tidak ingin kukatakan, tapi kau bisa menanyakan apa saja padaku, aku akan menjawab apa pun yang kubisa.”
“Oke aku mengerti. Aku akan berhati-hati,” dia mengangguk pelan beberapa kali.
Dia masuk akal, dan mungkin bisa menempatkan dirinya pada posisi orang lain juga. Itulah yang kupelajari tentang karakternya. Percakapan kami di Danau Biwa kemarin juga seperti itu.
Jika itu masalahnya, aku juga tidak boleh terlalu tegang.
Untuk membuat konsultasi lebih efektif, mendapatkan kepercayaan pihak lain adalah suatu keharusan. Dan untuk mencapai itu, penting bagiku untuk mempercayai mereka terlebih dahulu.
“Ngomong-ngomong, itu semua tentang kekuatanku. Selanjutnya adalah tentang situasimu … ”
Bahu Yuzuki tersentak mendengar kata-kataku. Ekspresinya menegang. Dia sangat gelisah.
“Umm…”
“Hm?”
“Jangan sampai jijik, oke?” gumamnya, rona merah tipisnya sulit terlihat dalam bayangan pandangannya ke bawah.
Aku sudah mendengar bahwa mata terbalik seorang gadis cantik itu merusak.
Tapi ini, ini lebih dari yang kubayangkan.
“…Aku tidak akan jijik.”
“K-Kamu ragu-ragu! Apa itu bohong?!”
“T-Tidak. Maksudku, aku sudah tahu sebagian besar, jadi aku bertanya-tanya apa yang tersisa…”
Aku tidak bisa begitu saja mengakuinya.
Mengguncang tubuhnya, dia memprotes. Untuk menghindari kemarahannya, aku mengembalikan perhatianku ke cider. Selamatkan aku, cider-chan.
“…Itu bermula dari sangat awal,” kata Yuzuki dengan suara lemah dan seperti berbisik.
“Sangat awal?”
“Sejak SD, saat itu ketika kamu mulai punya orang yang kamu suka. Keanehan Jatuh Cintaku adalah sejak saat itu… Orang yang pertama kali kusuka adalah lima orang sekaligus…”
“Aku mengerti. Jadi dari sangat awal…”
“B-Bukankah itu aneh? Aku tidak bisa bersungguh-sungguh… tidak tulus…” Yuzuki meringkuk karena malu dan bersalah.
Mudah untuk menenangkannya, tapi dia pasti tidak menginginkan itu.
Dia pasti mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa dia tidak salah.
Tapi kata-kata saja tidak cukup meyakinkan. Jadi dia membenci dirinya sendiri.
Kupikir aku bisa memahami perasaan itu.
Dia putus asa sampai-sampai dia memilih untuk memburu Malaikat dari rumor tak berdasar, enam bulan dihabiskan untuk itu. Kesedihannya bukanlah sesuatu yang bisa dikurangi dengan kata-kata.
“Sejak dulu sampai sekarang?”
“Yup, dan… Mungkin… Ini semakin parah.”
“Dan apa kau tahu apa yang menyebabkannya?”
“…Tidak. Aku sudah banyak memikirkannya, tapi aku tidak bisa mengetahuinya,” katanya dengan pahit.
Dan ketika semua tampak tidak ada harapan, dia mendengar rumor Malaikat, sepertinya.
Jadi semua ada di pundakku, ya? Akulah yang menentukan nasibnya…?
“Kalau begitu, kita perlu mencari tahu penyebabnya dulu,” Untuk meningkatkan semangat kami, aku menunjukkannya dengan tegas.
“Ya. Benar…”
“Dan untuk mencapai itu, aku perlu penaksiran situasimu saat ini.”
Ada penyebab untuk setiap masalah. Untuk mengatasinya, kau perlu mengatasi penyebabnya.
Tapi untuk memahami penyebabnya, diperlukan pemahaman yang baik tentang masalahnya.
“Dengan itu, ini.” Aku menawarkan tangan kananku.
“Apa?” Dia menatap tanganku dengan curiga.
Apa maksudmu dengan “apa?”? Kau secara tidak terduga tumpul untuk siswa top.
“Biarkan aku menyentuhmu sekali lagi”
“Hii?!” Seperti sebelumnya, dia menarik diri dan memeluk dirinya sendiri dengan erat.
Gadis ini… Apa dia benar-benar sudah bertekad?
“Idiot, aku ingin melihat siapa yang kau suka, jadi aku bisa menyelidiki siapa mereka.”
“K-Kalau begitu katakan dengan jelas! Kamu mengejutkanku, tahu!”
“Mengerti, mengerti. Maafkan aku. Kalau begitu, ayolah.” Aku melambaikan tanganku, memberi isyarat padanya.
Tentu saja, aku tidak langsung menyentuh wajahnya, aku pria yang bijaksana, kau tahu?
Dia tetap diam.
“Ayo, cepatlah.”
“M-Maksudku, itu tidak perlu, kan? Aku tahu siapa yang kusuka, jadi…”
Bukankah aku mengatakan pemahaman yang baik. Presisi itu penting, kau tahu!
“Bisakah kau menjamin kalau kau mengetahui semuanya?”
“Eh?”
“Bukankah ‘jatuh cinta tanpa menyadarinya’ itu, salah satu aspek paling umum dari cinta?”
Dan berkat aspek sialan ini, pekerjaan Malaikat lebih sulit dari yang seharusnya.
“Tapi! Kita di kafe…” keluhnya.
“Tidak apa-apa, sepupuku tahu tentang kekuatanku. Dan meja ini terpisah dari yang lain. Kita sudah siap di sini.”
“Tapi—” dia mengerang.
” ‘Aku akan melakukan apa saja!’ ” Aku mengingatkannya.
“Nghh”
Pada kartu trufku, Yuzuki menyusut, matanya tertunduk.
Memiliki komitmennya itu sungguh nyaman, untungnya dia mengatakan itu kemarin.
Dia yang mengatakan itu, jadi bukan salahku.
Ngomong-ngomong, membuat gadis cantik sepertinya merona adalah kesenangan yang membuatku merasa bersalah.
“Mesum.”
“Hei, jangan kasar pada Malaikat.”
“Malaikat Mesum!”
“Maksudmu Hentai Shinshi?”
Tln : permainan kata-kata, Minato bilang malaikat mesum/hentai tenshi, diplesetin ama Io jadi hentai shinshi, yang merujuk ke HENTAI SHINSHI CLUB, trio Jepang yang dibentuk pada tahun 2017.
“… Apa itu?”
“Ah, bukan apa-apa.” aku mengalihkan pandangan.
Jadi itu tidak berhasil, ya? Yah, oke, dicatat.
Dia meletakkan tangannya di dadanya dan menghela nafas pasrah yang panjang. Lalu dia membawa tangan kananku ke wajahnya dengan ragu-ragu.
Aku juga mencondongkan tubuh ke depan dan bersiap untuk mengaktifkan kekuatanku.
Tanganku perlahan menyentuh wajahnya.
Sungguh suatu kebahagiaan bisa menyentuh kulit lembut seorang gadis cantik, tapi bagiku, tanganku tidak merasakan apa-apa saat kekuatanku bekerja. Aku hanya merasakan sensasi lembut pada milidetik pertama, dengan sisanya kosong. Ya, kekecewaaku tak terukur. Sekali lagi, sebagai catatan, aku bukan orang mesum.
Tapi bibir wajah cemberutnya sangat seksi.
“Bagaimana?”
“Ah, ya… Tidak ada yang luar biasa, aku bisa melihat mereka dengan baik.”
“Aku mengerti.”
Kenapa kami terlihat seperti pasangan yang baru mulai berkencan…
Untuk sesaat, aku hampir melupakan wajah-wajah itu. Hei, apa yang kau lakukan, Io!
“L-Lalu apa selanjutnya?”
“Yah, tunggu saja,” kataku sambil mengeluarkan buku catatan dan kotak pensil dari tasku. “Aku akan mencatat mereka yang kukenal, dan aku akan menggambar potret untuk sisanya. Kemudian kau memberi tahuku nama mereka,” jelasku.
“Kamu bisa menggambar?”
“Tentu saja?”
Meskipun aku mengatakan itu, aku tidak berpikir bisa menggambar adalah sesuatu yang sebiasa itu. Semua adalah hasil dari latihan.
Untuk memanfaatkan kekuatan ini sebaik-baiknya, kemampuan menggambar sangatlah penting. Aku hanya bisa melihat wajah mereka sebentar, dan itu tidak seperti aku bisa memotret. Lebih baik mengisi informasi sebanyak-banyaknya selagi masih mengingatnya.
Aku segera mencatat enam belas yang namanya kutahu, dan menggambar potret untuk sisanya.
“Ah, tidak bagus, aku lupa.”
Aku tahu itu, aku tidak bisa menyelesaikannya sekaligus.
Yah, aku bisa melihat lagi. Target yang mengetahui tentang kekuatanku pasti memiliki kelebihannya. Biasanya itu adalah satu kesempatan.
Aku menawarkan tanganku lagi.
Tapi Yuzuki tidak meraih tanganku. Sebaliknya, dia hanya memutar matanya dan menatapku kosong.
“Hei!”
“Eh? Apa?”
“Apa? Masih banyak yang tersisa, sekali lagi.”
“Eh?!”
Yuzuki mundur dengan cara yang berlebihan, mengguncang meja dengan suara gemerincing.
Sungguh orang yang bersemangat.
“Jangan bilang kau mengharapkan aku menyelesaikannya sekaligus …”
“Tentu saja! Kenapa lagi…”
“Terlalu banyak wajah. Tepatnya dua puluh tiga orang. Sebagian besar adalah anak laki-laki dari sekolah, tapi aku ingin memastikan, mungkin ada beberapa dari tempat lain. ”
Dia membuang muka.
” ‘Apa saja.’ ”
Frase kode itu membuat bahunya merosot seolah-olah dia sudah menyerah. Tatapan dendamnya adalah keseimbangan sempurna antara imut dan dewasa. Kau membuatku pusing, kau tahu.
Dan kau bukan satu-satunya yang malu. Ugh…
Sejak saat itu, aku mengulangi prosesnya.
Tapi Yuzuki bersikeras untuk tidak kooperatif, jadi aku harus menyentuh pipinya sendiri. Hemat waktu.
“Asal tahu saja, aku tidak menikmati ini.” Maksudku, aku perlu mengklarifikasi.
“Aku sudah tahu!”
“Kalau begitu tolong berhenti melotot.”
“Tetap saja!”
Tapi sejujurnya, pipinya menyenangkan saat disentuh. Sangat lembut. Kadang-kadang aku bahkan bisa merasakan rambutnya yang halus seperti sutra.
Tapi itu masalah yang terpisah. Ini adalah suatu keharusan. Sungguh, aku mengatakan yang sebenarnya, kau tahu.
Kami akhirnya membutuhkan waktu satu jam untuk mengidentifikasi mereka semua. Pada saat itu, kami berdua kelelahan dan memutuskan untuk berhenti sejenak.
Kafe itu terletak di dekat stasiun kedua dari SMA Kuze, di sepanjang Jalur Keihan Ishiyama Sakamoto. Stasiun ini juga dekat dengan Stasiun JR Zeze. Yuzuki sepertinya menggunakan yang itu.
Menuju ke stasiun terletak di bukit Tokimeki, sebuah jalan miring yang sempit dan ramai dengan toko-toko yang mengapit kedua sisinya.
“Ah, aku lupa menyebutkannya.” Aku memecah kesunyian.
Yuzuki, yang telah melihat sekeliling dengan penuh minat, tiba-tiba menoleh ke arahku.
“Ada kemungkinan sepupuku dari toko atau rekan Malaikat mengetahui situasimu. Apa kau masih ingin melanjutkan?”
“Umm…”
Ekspresinya menjadi tegang. Aku bisa membaca kecemasan, ketakutan, dan sedikit rasa ingin tahu darinya
“Mereka semua bisa tutup mulut. Mereka tidak akan membiarkan informasi orang lain hanya untuk bersenang-senang. Tentu saja aku akan meninggalkan namamu. Apa itu tidak apa apa?” tambahku.
“…Mengerti. Jika kamu menganggapnya perlu maka lakukanlah … Jika kamu memercayai mereka maka tidak apa-apa. ”
“Oke. Terima kasih.” Aku mengangguk.
Jika aku tidak mendapatkan persetujuan mereka sejak awal, itu bisa membahayakan kredibilitasku nanti. Sama seperti dalam pekerjaan Malaikat biasa.
Di depan kami, sebuah truk datang perlahan. Aku menarik Yuzuki ke samping dan melindunginya.
Bukit Tokimeki bisa menjadi sedikit berbahaya jika kau tidak terbiasa.
“T-Terima kasih.”
“Ya.”
Reaksi lemah lembutnya sangat imut, gadis ini… Dia biasanya terlihat tenang dan kalem, sungguh gap yang indah. Jika dia menunjukkan sisi dirinya ini, popularitasnya akan naik drastis.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau menolak Matsumoto?” Aku tiba-tiba teringat.
Matsumoto sudah mengaku pada Yuzuki beberapa waktu lalu, tapi ditolak. Namun, dia muncul di salah satu wajah yang kulihat.
“Maksudku, bukankah kalian berdua memiliki perasaan satu sama lain? Selain itu, kau menolak setiap pengakuan. Maafkan caraku mengatakannya, tapi apa kau pernah mencoba berkencan dengan mereka?”
Dia terdiam beberapa saat.
Kemudian, dengan nada mencela dirinya sendiri, dia memaksakan diri, “Tentu saja aku mencoba,” suaranya bergetar, “Mungkin aku akhirnya bisa setia jika aku berkencan dengan seseorang, kuharap. Saat di SMP. Tapi…” dia meringis. “Tapi itu tidak menjadi lebih baik. Tidak peduli siapa yang kukencani, aku terus jatuh cinta dengan orang lain… dan itu terus tumbuh…”
“Aku mengerti…”
“Bukankah itu kasar? aku yang terburuk. Mungkin aku bisa menyembunyikan fakta itu dan terus berkencan, tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Lima kali aku mencoba, tidak ada yang berhasil. Aku tidak akan berkencan dengan siapa pun sampai aku sembuh. Aku sudah memutuskan.”
“Dan kelima orang itu?”
“Aku meminta maaf pada mereka dengan benar. Aku putus segera setelah berkencan, aku yakin mereka mendapat masalah. Tentu saja. Mereka tidak salah sedikit pun, tapi aku memanfaatkan mereka hanya karena situasiku…”
“Aku benar-benar yang terburuk,” tutupnya.
Tangannya yang mencengkeram ujung roknya bergetar.
Jadi menolak pengakuan mereka adalah caranya sendiri untuk menunjukkan ketulusannya…
“Singkatnya, aku JK yang egois, kebalikan dari yang setia. Apa kamu tidak jijik?… sungguh idiot.”
‘Aku mengerti’, kata itu terhenti di ujung lidahku. Tapi perasaannya, aku agak bisa mengerti.
Betapa frustrasinya dia, aku bisa mengerti dari suaranya yang jijik dan ekspresi sedihnya. Ya, aku memahaminya dengan baik.
Tapi dia tidak tahu.
Tentang aku, tentang dirinya. Dan tentang cinta.
“Apa aku seharusnya merasa jijik? Dengan itu?”
“Eh?” Dia menatapku heran.
Sebelum aku menyadarinya, kami mencapai perlintasan kereta api di depan stasiun, dengan tiang gerbang turun di depan kami.
Bunyi dentang mesin yang memekakkan telinga. Sebuah kereta mendekati kami, diikuti oleh kebisingan. Suara angin kencang menelan kami semua.
Tapi aku hanya bisa mendengar suaranya. Dan pasti sama untuknya.
“Cinta bukanlah sesuatu yang bisa kau kendalikan. Bahkan jika kau tidak mau, kau jatuh cinta. Itu bukan salahmu.” Aku mencari matanya. “Dan dari interaksi kita sampai sekarang, aku yakin kau orang baik. Aku tidak menyesal menerima permintaanmu. Aku akan membantumu, jadi bertahanlah.”
“…Ya”
Jawaban singkatnya membuatku malu. Aku menggelengkan kepalaku untuk menenangkan diri.
Ah, tidak ada pengubah suara atau kamera yang tertutup di sini… Aku tidak bisa seenaknya mengatakan hal-hal yang dangkal…
Kereta di depan kami perlahan pergi. Deru peringatan berhenti dan tiang gerbang terangkat perlahan.
“Sampai jumpa lagi.”
Aku mengantarnya ke gerbang tiket JR dan mengucapkan selamat tinggal. Tapi dia berdiri di sana, gelisah.
Apa?
“Um… Akashi-kun.”
“Y-Ya?”
“Itu bukan karena apa yang baru saja kamu katakan tadi…!”
Matanya masih ke bawah, lanjutnya.
Melalui celah di rambut hitamnya yang indah, aku bisa melihat pipinya. Itu semerah buah ceri.
“Aku… um…”
“…”
“Kupikir aku mungkin… kupikir aku juga menyukaimu…”
“Eh?”
…
“Kurasa aku harus minta maaf sekarang… Maaf.”
“Tidak… umm… Yah, tidak apa-apa…”
Dia kemudian berbalik. Rambut dan roknya bergoyang.
Aku menatap dengan linglung bahkan setelah punggungnya menghilang di balik gerbang tiket.
“…sungguh merepotkan.” Aku bergumam.
Masih linglung, aku berjalan ke bangku dan menunggu keretaku.
◆ ◆ ◆
Mode kerja: aktif.
Pengubah suara: aktif, kamera: mati. Kualitas panggilan: baik.
“Yuzuki tidak berkencan dengan siapa pun sekarang. Aku sudah mencari-cari, aku cukup yakin,” aku mengumumkan.
『Seriusan!?』 Di seberang telepon, aku bisa mendengar Makino menghela napas lega.
Tapi bukan hanya kelegaan murni, ketidaksabaran, kegugupan, dan firasat bercampur, dugaanku.
Yah, tentu saja, ini berarti ia tidak punya alasan lagi.
“Tapi apa dia menyukai seseorang …” Kejadian beberapa hari terakhir berputar di belakang pikiranku. “Aku tidak tahu. Maaf.”
『Uuh… Begitu…』 Makino mendengus, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
Dia mungkin menunggu tanggapanku, bimbang, terjebak dalam kesulitan sebelum pengakuan. Pembuka paling umum untuk sebuah pengakuan.
Di situlah Malaikat membawa mereka ke resolusi.
“Makino.”
『Hm?』
“Aku sudah mengatakan ini sebelumnya. Tidak peduli bagaimana Yuzuki, kau harus mengaku. Walaupun sepertinya tidak berjalan dengan baik,” tutupku.
『Ini tidak semudah itu.』
“Ini tidak semudah itu. Tidak ada yang ingin ditolak. Itu wajar. Aku tahu persis bagaimana perasaanmu.”
『K-Kalau begitu!』
“Meski begitu, memberitahunya bagaimana perasaanmu adalah hal yang tepat. Pastinya.” kataku tegas.
Di sisi lain, Makino menarik napas dengan tajam.
Kata-kata Malaikat mungkin lebih kuat dari sebelumnya.
“Ditolak itu menyakitkan. Diberitahu bahwa mereka tidak memiliki perasaan yang sama denganmu oleh seseorang yang kau sukai itu menakutkan. Tapi jika tidak, kau akan menyesalinya seumur hidup. ‘Kalau saja aku mengaku saat itu’, kemungkinan yang tidak akan pernah menjadi kenyataan akan menghantuimu selamanya.”
Sama seperti bagaimana itu menghantuiku.
『Uh…』
『Tapi itu tidak berarti aku ingin kau masuk begitu saja dan ditolak. Untuk meminimalkan kemungkinan itu, kau telah melakukan yang terbaik sampai sekarang. Itu, aku tahu yang terbaik.』
Tln : Io pake 俺 disini, “aku” untuk laki-laki, sedangkan sampe sekarang Io menggunakan “私”, “aku” yang lebih netral(Meskipun sedikit cenderung feminin) ketika menjadi Malaikat
『sh…hss,』 Suara statis lembut mengiringi keheningannya.
“Tapi tidak ada pengakuan seperti itu yang menjamin kesuksesan di dunia ini. Tidak peduli seberapa percaya dirinya kau, tidak peduli seberapa menjanjikan hal-hal yang tampak, kemungkinan ditolak tetap ada. Itulah kenapa kau harus mengatasi rasa takut itu pada akhirnya. Itulah yang dimaksud dengan pengakuan.”
『Malaikat…』
“Aku tidak mengatakan bahwa kita perlu melakukan ini segera. Ayo taklukkan ketakutanmu perlahan, sampai saat itu, aku akan menemanimu.”
『Ya… Ya.』
“Dan dalam beberapa kasus, ditolak bukanlah akhir dari segalanya, kau tahu? Kau bisa mengaku lagi. Ada batasan untuk itu, tentu saja.”
『Ha ha. Ya kau benar. Ya.』 Suaranya menjadi cerah sepenuhnya.
Aku menghela nafas panjang dan mencoba untuk santai.
Jantungku berdebar kencang, tenggorokanku kering. Sebelum aku menyadarinya, aku menjadi terlalu intens. Dari cangkir terpercayaku, aku minum cola. Rasa sakit yang menusuk dan dingin yang menusuk membuat ketenanganku muncul kembali.
『Terima kasih, Malaikat. Entah bagaimana… aku merasa lebih baik.』
“Tidak, maaf aku mengoceh.”
『Tidak apa. Tapi, itu. Bagaimanapun, Malaikat itu laki-laki,』 tambah Makino.
“Eh?”
Apa itu barusan?
Dan kenapa ia tahu?
『Beberapa saat yang lalu, kau menyebut dirimu ‘Aku/俺’. Biasanya itu ‘Aku/私’』
“Apa begitu…”
Aah, idiot!
Sudah satu tahun, arghh…
“Tolong lupakan itu…”
『Ahaha. Identitasmu adalah rahasia dan sebagainya, aku tahu. Tapi aku senang aku tahu lebih banyak tentangmu, aku praktis tidak tahu apa-apa tentangmu sebelumnya.』 Ia tertawa polos.
“…Aku akan menutup telepon”
『Oh. Kalau begitu, aku dalam perawatanmu.』
“Ya. Kalau ada apa-apa aku akan meneleponmu.” Dengan itu, aku sendiri yang mengakhiri panggilan.
Konsultan yang membangunkan itu bagus, tapi jangan pernah kehilangan ketenanganmu, Akashi Io.
Kau adalah Malaikat, jangan lupakan itu.
“…”
Aku berbohong pada Makino tentang satu hal.
Yuzuki menyukai seseorang, banyak dari mereka. Dan salah satunya adalah Makino, itu aku konfirmasi dari sesi di kafe hari ini.
Tapi aku tidak akan menghentikan pengakuannya. Meskipun aku tahu betul dia tidak bisa membalas perasaannya.
“Maafkan aku, Makino…”
Mulai sekarang juga, maafkan aku, Yuzuki.
Tapi perasaan yang harus disimpan, tidak ada hal seperti itu.
“Ayaha…”
Nama yang tidak sengaja kubisikkan.
Wajahnya terlintas di pikiranku.
Memaksa diriku untuk mencekik kenangan itu, aku menenggak cola yang sekarang tidak bersoda.
◆ ◆ ◆
“Hei…”
“…”
Keesokan harinya, Yuzuki dan aku bertemu di kafe sepupuku untuk memutuskan tindakan selanjutnya. Di tempat duduk biasa, setelah mengambil minuman yang kami pesan, aku menyentuh pipinya lagi.
“…Bukankah ini lebih banyak dari yang terakhir kali?”
“…”
Pada interogasiku, dia membuang muka dengan malu, pipinya merona merah muda.
Sepertinya dia sadar diri. Jadi inilah kenapa dia terlihat sangat gugup saat aku hendak menyentuh pipinya hari ini.
Tapi tetap saja, dia sangat mudah jatuh cinta…
“T-Tidak, itu… itu… Maaf.”
“Nah, kau tidak perlu minta maaf. Katakan saja alasannya. Orang itu Aoki, kan?” aku bertanya.
Anggota terbaru dari “Daftar Naksir”, Aoki, adalah kelas delapan sepertiku. Maafkan caraku mengatakannya, tapi ia bukan pria yang paling berkesan.
Tapi jika aku ingat, ia adalah salah satu dari klub penggemar Yuzuki.
“Kenapa… aku juga tidak tahu.” Dia mengerutkan kening.
“Tidak tahu? Sesuatu yang membuatmu tertarik, apa saja?” Aku terus menyelidiki.
Kerutannya semakin dalam, “…Dia mengambilkan saputanganku untukku di lorong. Kami mengobrol sedikit saat itu, tidak ada yang khusus sebelum itu.”
“Penampilannya adalah tipemu?”
Probabilitasnya rendah, tapi aku tetap bertanya. Dan itu untuk melindungi apa yang tersisa dari kehormatan Aoki.
“Kurasa tidak… Di antara orang-orang yang kusukai, penampilan mereka bervariasi, jadi…”
“Aku mengerti…” kataku.
Itu benar. Dari dua puluh tiga… Tidak, dari dua puluh empat orang dalam daftar ini, tidak ada dari mereka yang memiliki kesamaan dalam hal penampilan. Beberapa tampan, beberapa polos. Beberapa kekar, beberapa kurus. Dalam hal tinggi badan atau tipe tubuh, penyimpangannya juga tinggi.
“Jadi tidak apa-apa untuk menganggap bahwa penampilan tidak memiliki pengaruh? Untuk mereka semua, maksudku.”
“Mungkin… kurasa begitu. Tapi jika tidak lalu apa? Kenapa aku menyukai mereka? Aku tidak punya jawabannya…”
“…Jadi kamu tidak tahu apa-apa.”
“Ya…”
“Hah…” Aku menghela nafas.
Ini akan menjadi lebih merepotkan daripada yang kubayangkan.
“M-Maksudku… Ada terlalu banyak… Dan tidak ada pola pasti untuk menyukai seseorang. Selain itu, alasan aku meminta bantuanmu justru karena ini. ”
“Yah… kurasa itu benar.”
Selain itu, aku sendiri yang mengatakan bahwa perasaan romantis bukanlah sesuatu yang bisa kau kendalikan.
Dia benar. Tapi hanya itu, fakta bahwa ada terlalu sedikit data masih ada.
“Walaupun tidak ada polanya, pasti ada alasan kenapa kau menyukainya. Seperti dalam kasus ini, diperlakukan dengan baik.”
“Aku sudah mempertimbangkan itu. Tapi jika itu alasannya, maka kupikir jumlahnya tidak masuk akal. Di samping itu…”
“Di samping itu?” aku mengulangi.
“Jika begitu, maka tidak mungkin aku tidak… menyukai… mu.” Suaranya perlahan menghilang.
Tln : Di bab-bab selanjutnya, Io mengatakan ia tidak melihat dirinya sendiri ketika ia menyentuh Yuzuki, bertentangan dengan pernyataan Yuzuki di akhir bab 1
Kesunyian.
“Y-Yah…” Aku berdehem.
“Io—!” Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ceria dari samping meja kami.
Aku berbalik dan melihat sepupuku yang periang. Celemek di atas kemeja dan denimnya, seringai cerianya membuatku kesal tanpa henti.
Dan ia berani muncul ketika itu adalah saat yang memalukan.
“Apa yang kau inginkan?”
“Hei, hei. Aku menyediakan tempat untukmu. Bersikap baiklah, oke?”
“Bukankah ini kafe? Kami bahkan memesan.”
“Hmmm. Apa kau yakin mengatakan itu? Aku mengamankan kursi itu?” Ia cemberut.
“Ah–, maafkan aku. Aku benar-benar berterima kasih–” Aku menarik tanganku ke atas sebagai tanda menyerah.
Orang ini…Aku memang berhutang budi padanya, tapi ia selalu bermain-main denganku.
“Jadi, ada apa?”
“Nahh–, aku melihatmu berbicara dengan seorang gadis, jadi kupikir aku akan bergabung,” ia terkekeh.
“Bagaimana dengan kembali bekerja? Kerja?”
“Tidak apa-apa, sekarang tidak terlalu sibuk.”
Jangan “Tidak apa-apa”, pekerja paruh waktumu mengeluh …
“Ah, um, maaf kami tinggal di sini untuk waktu yang lama …” Yuzuki menundukkan kepalanya.
Dia teliti dalam hal ini, ya? Seperti yang diharapkan.
“Tidak, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Ini terjadi sepanjang waktu, terima kasih pada Io. Selain itu, memiliki gadis manis sepertimu di sini membuat toko ini tampak bergaya.”
“Ah, tidak. Tak sebanyak itu…”
“Oh! Aku hampir lupa memperkenalkan diri. Aku Akashi Yukito, sepupu Io dan CEO dari Café Proof ini.” Ia menyeringai lagi.
“Kau hanya seorang manajer,” aku mengingatkannya.
“Aku sudah memeriksa definisi CEO, aku memenuhi kualifikasi.”
Betapa nyamannya dirimu. Kau hanya suka bagaimana kedengarannya, bukan.
Yukito tujuh tahun lebih tua dariku, sepupu dari pihak ayahku. Ia tahu tentang aktivitasku sebagai Malaikat dan bersedia meminjamkanku tempatnya ketika aku membutuhkannya, sama seperti sekarang. Sejujurnya, ia banyak membantuku.
Tapi alangkah baiknya jika dia menghentikan interupsi yang mengganggu ini.
“Aku Yuzuki Minato. Aku teman Akashi dari sekolah,” dia memperkenalkan dirinya.
“Teman. Hmm, teman, ya?” Yukito meletakkan tangannya di dagunya dan menggelengkan kepalanya.
“Yukito-san?”
“Wah. Hentikan ‘Yukito-san’ itu, itu agak memalukan.”
“Eh, tapi…”
“Panggil saja dengan nama depan, Yuzuki–”
“Jangan konyol,” potongku.
Mengingat nama keluarga kami sama, logikanya agak bisa dimengerti.
“Dan jika kamu akan memanggil dengan nama depan, lakukan dengan Io. Ah, dan Io juga, panggil Yuzuki-san dengan nama depannya. Sungguh waktu yang tepat.”
“Eeehh?!”
“Hei, Yukito…”
Itu tidak perlu…
“ ‘Io’ hanyalah dua huruf. Selain itu, akan ada lebih banyak kesempatan untuk memanggilnya, jadi masuk akal, kan? Dan perempuan tidak bisa menyebut nama depan laki-laki secara sepihak.” bantah Yukito dengan seringai.
Tln : penjelasannya disini
Inilah yang membuat pria ini sangat menyebalkan. Ia terlihat seperti sedang bercanda, tapi ia sangat pandai memvalidasi leluconnya secara logis.
Sungguh…
“Tidak mungkin… Kami perlu berbicara di sekolah juga.”
“Tidak jarang saat ini, kan? Kamu selalu memanggil orang dengan nama mereka, kamu tidak suka saat itu giliranmu?”
Tln : Jika kalian memperhatikan, Io tidak pernah menggunakan honorifik
“Urgh…” erangku.
“Dengarkan apa yang dikatakan pelindungmu, Io. Aku akan kembali untuk memeriksamu, supaya kau tahu. ”
“Ha? Oi!”
Saat itu, Yukito kembali bekerja. Dari konter, ia mengirimi kami kedipan riang.
Orang itu…Aku akan mengingat ini!
“J-Jadi apa selanjutnya?” dia bertanya, bingung. Reaksi biasa.
“Ini menyebalkan… Tapi Yukito serius di saat seperti ini. Lebih baik ikuti apa yang ia katakan, lebih baik daripada mendengarkan keluhannya… kurasa.”
Ia pandai menyodok titik lemah orang, dan bahkan lebih membuat orang mengikuti sarannya. Dengan mengingat hal itu, mendengarkan apa yang ia katakan tanpa perlawanan adalah solusi terbaik.
Para pekerja paruh waktu di sini juga pasti bermasalah. Aku bisa membayangkan perjuangan mereka sehari-hari.
“Tapi, kupikir ia akan puas dengan mengolok-olokku. Sebelumnya, kau hanya digunakan olehnya untuk mencapai itu. Itu sebabnya tidak apa-apa jika kau membiarkan aku memanggilmu dengan nama belakangmu, kau tidak perlu memanggil dengan nama belakangku. ”
Ia mungkin tidak akan menyudutkan Yuzuki seperti yang ia lakukan padaku. Bagaimanapun, ia cenderung menjaga penampilan luarnya tetap bagus.
“Tapi tetap saja, jika hanya kamu, itu akan aneh, kan?” dia mencatat.
“Hm? Nah… Yah, mungkin terdengar tidak seimbang, tapi hanya itu. Kau tidak perlu khawatir tentang itu, ” bantahku
Meskipun aku mengatakan itu, Yuzuki tenggelam dalam pikirannya.
Dia serius, tidak… jujur dengan cara yang aneh.
“Um, ya. Bagaimanapun, aku akan memanggilmu juga… dengan nama belakangmu,” dia bersikeras
“U-um, oke…”
“…”
Wajahnya memerah.
Aku tidak ingin menghentikannya semenjak dia mengatakan itu, tapi bukankah itu terlalu memaksakan diri?
“Kalau begitu, bagaimana kalau memanggil itu hanya ketika kita di sini? Maaf, Minato.”
“Hya!…Umm. Uhhh…I-Io!”
Sama seperti bagaimana orang membuat kontrak di anime, kami memanggil nama satu sama lain sekali.
Yah, itu seharusnya tidak menjadi masalah besar. Ubah saja cara kita memanggil satu sama lain, itu saja. Tapi masalahnya, Yuzuki– Minato– tampak menggeliat, pipinya bahkan lebih merah dari sebelumnya.
“Kau tidak perlu, kau tahu?”
“T-Tidak. Tidak apa-apa…! Hanya saja… aku tidak pernah memanggil anak laki-laki dengan nama depan…” gumamnya dengan suara yang teredam dan memudar.
Reaksi itu, jika kau bisa, tolong hentikan…
◆ ◆ ◆
“Apa yang kau lakukan?” Sambil menyeka piring di konter, aku memelototi Yukito yang sedang menutup kasir.
Setelah itu, kami membahas tindakan kami dengan cepat. Minato pulang, sedangkan aku langsung membantu toko sampai café tutup.
Ini adalah salah satu syarat untuk menyewa tempat.
Sementara aku dibayar, pada dasarnya aku dipanggil untuk mengisi shift seperti yang diinginkan Yukito.
“Bukan apa-apa-. Aku hanya mencoba mendukung sepupuku yang imut untuk berteman dengan seorang gadis cantik, ”jawabnya.
“Dukungan apa? Orang dewasa tidak bermain-main dengan siswa SMA. Itu menjijikkan.”
“Aku masih muda, baru dua puluh tiga. Sayangnya.” Suaranya muram, kegembiraannya yang biasa tidak bisa ditemukan di mana pun.
Apa pun arti dari kata-kata itu, itu untuk nanti.
Tingkah laku Yukito lebih buruk dari biasanya hari ini.
“Kau selalu membantu cinta orang lain, bagaimana dengan cintamu? Aku hanya ingin menyinari masa muda kesepian Io, ada apa dengan itu?”
“Ya, benar-benar salah. Kau sudah tahu bahwa aku belum– ”
“Io,” Menyela argumenku, Yukito menatapku.
Dengan senyum lembut masih di wajahnya, ia melanjutkan dengan nada menegur.
“Kau juga, bukankah lebih baik jika kau berhenti memberikan perlakuan khusus pada gadis itu?”
“…”
“Sesuatu yang menyakitkan, kau akan lebih baik jika kau melupakannya, kau tahu? Kau masih harus maju.”
“…Diam.”
Diam saja kau, Yukito.
Aku tahu. Aku tahu ini yang terbaik.
“Hei, Io-kun.”
Dalam ingatanku, gadis itu berkata dengan riang.
Sama seperti langit dan awan yang terlihat dari atap, dia seperti angin sepoi-sepoi.
“Jika, secara hipotetis, oke? Jika kamu memiliki kekuatan khusus, apa yang akan kamu lakukan?” dia bertanya.
“Ada apa dengan itu, tiba-tiba sekali …”
Seperti biasa, kami membicarakan banyak hal dan tidak ada yang khusus, hanya obrolan santai.
Tapi bagiku, waktu yang dihabiskan di atap ini lebih penting daripada yang lainnya.
“Drama yang kulihat kemarin adalah tentang itu. Aku hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan Io-kun,” dia menjelaskan.
“Bukankah itu fiksi? Lagipula itu tidak mungkin.”
Namun, topik hari ini agak meresahkan.
Karena aku adalah satu-satunya yang tahu bahwa itu bukan tidak mungkin.
“Bukankah aku baru saja mengatakannya–? Aku mengatakan ‘jika’. Lalu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Maksudmu sihir?”
“Um, ya! Dan kekuatan supranatural! Esper! Cenayang!”
“Dasar kekanak-kanakan.”
“Hei! Aku lebih tua di sini?!”
“Intinya, kamu lebih tua tapi lebih kekanak-kanakan.”
“Hmm? Meskipun aku bisa membuatmu bersemangat seperti ini?”
“Ap-! Oi!”
Tiba-tiba lenganku ditarik, jantungku berdetak kencang karena sensasi lembut dan aroma manisnya.
Meskipun aku berjuang mati-matian, dia tampak menikmati dirinya sendiri.
“Jangan menempel padaku! Kamu idiot! Hei!”
“Ahahaha. Kamu sangat lucu, Io-kun. Anak baik, anak baik.”
“…Sial.”
Meskipun dia adalah Senpai-ku, dia adalah seorang idiot.
Tapi penampilannya dewasa, suaranya bernada tinggi namun dalam, aku dengan tanpa harapan jatuh cinta padanya.
“Kembali ke topik, apa yang akan kamu lakukan? Esper Io.”
“Kedengarannya sangat mirip Esper Ito.”
Tln: Esper Ito, komedian Jepang.
“Kuno! Astaga, sungguh kuno! Io-kun, apa kamu benar-benar lebih muda dariku?”
“Meskipun kamu mengerti itu juga. Lagi pula, itu hanya perbedaan satu karakter,” aku cemberut.
“Ah, lupakan, lupakan. Apa yang akan kamu lakukan?”
“Jadi… Kekuatan supernatural, misalnya?”
“Hmm. Yah, membaca pikiran orang, misalnya!”
“Eh…”
Jantungku berdetak kencang lagi.
Tapi gadis itu–Ayaha tidak menyadari kegelisahanku saat dia mengarahkan pandangannya padaku, di wajahnya, seringainya yang biasa.