Cain pun mulai menceritakan tentang penyeragan pertama, lalu dilanjutkan tentang keberhasilan mencegah penyaerangan kedua dan ternyata yang memimpin penyerangan itu adalah Priest Oliver.
“Oliver ya… Dia adalah salah satu fraksi Cardinal Bangla…”
Cain juha Cain juga beranggapan bahwa semua ini di dalangi oleh Cardinal Bangla berdasarkan adanya Oliver dan juga penggunaan tim pembunuh, namun pemilihan ini berggantng dari jumlah pemilih, dan dia tak bisa berbuat apapun.
“Tidak bisakah dia menjadi di diskualiikasi akibat kasus ini??”
“Tidak bisa… ini seperti menangkap ekor kadal… paling dia akan bilang, tidak tahu, tidak ada urusan, dia saja yang melakukan itu seenaknya…. Lagipula ini tidak akan merubah bahwa fraksinya itu banyak….”
Cardinal Denter menggelenkgan kepalanua dan menjawab pertanyaan Cain dengan pasrah.
“Aku juga lebih senang jika Cardinal Denter yang menjadi Pope… Aku benar-benar menikmati pembicaraan ku dengan Cardinal Denter….”
“Aku merasa terhormat jika anda mengatakan bergitu…. Tapi kalau cuma itu saja tidak bisa…. Aku tidak terlalu suka membuat fraksi, jadi apa boleh buat….”
Sepertinya Hinata juga menginginkan Cardinal Denter menjadi Pope, namun karena jumlah pendukung yang sangat minim bahkan orangnya sendiri pun sudah pasrah.
Namun, Cain punya satu hal yang harus dibiarakan.
“Cardinal Denter…. Ada satu hal yang akan aku katakan padamu…”
“Cain-sama…”
Melihat ekspresi Cain tiba-tiba menjadi serius, Cardinal Denter pun ikut menjadi serius. Hinata dan Bishop Hanam tetap diam seakan sudah menebak maksud ekspresi ini.
“Ini adalah pesan dari Lime-sama,Dewa Kehidupan…. Silahkan anda menjadi Pope berikutnya…”
Cardinal Denterpun gemetaran setelah mendengar perkataan Cain. Dia pun langsung bangkit dari sofa dan kemudian berlutut dan bersujud dihadapan Cain.
“Aku, Denter, akan menerima perintah Lime-sama dengan senang hati…”
Cain pun mengangguk. Namun, ada setumpuk rintangan yang akan menghalangi Cardinal Denter untuk menjadi Pope yang baru. Meskipun Cain adalah utusan dewa sekalipun, yang akan memenagangi pemilihan ini adalah jumlah pemilihnya.
“Tapi apa yang harus kita lakukan… Kakak ku memang seorang Cardinal, namun fraksi pendukungnya sangat sedikit…. Tantangan terbesar kita adalah Cardinal Bangla….”
“Tentang itu … Aku akan coba tanyakan langsung…”
“Cain-sama apa anda akan ketempat itu lagi??”
Cain berusaha menjawab pertanyaan Bihsop Hanam sebisanya.. Dan pun penasaran, karena dia juga pernah ketempat para dewa. Ada kemungkinan bahwa mereka bisa kesana bersama jika mereka berdoa bersama lagi.
“Mungkin saja Hinata nanti bisa ikut… apa kamu mau berdoa bersama ku??”
“Ya tentu saja.”
Hinata mengangguk dan tersenyum lebar.
“Besok aku ada jadwal berdoa…. Mari kita berdoa bersama…”
Biasanya berdoa kepada dewa akan dilakukan dipagi hari. Sedangkan sore hari adalah jadwal untuk para temu dan juga perjamuan.
“Kalau begitu sampai jumpa besok.. Aku akan sangat menantikannya…”
Caim dam yang lainnya pun meninggalkan ruangan Hinata karena jadwal pertemuan mereka sudah habis. Bishop Hanam dan Cain pun menuju ke kamar mereka. Namun entah kenapa Cardinal Denter juga mengikuti mereka.
“———Kakak… Apa kamu ini lagi nganggur??”
Mendengar pertanyaan Bishop Hanam, Cardinal Denter pun mengangguk sambil tersenyum pahit. Apa boleh buat, akhirnya mereka pun mengundang Cardinal Denter ke kamar mereka.
Entah kenapa Cardinal Denter langsung duduk disamping Bishop Hanam, jadi Cain pun duduk sendirian dihadapan mereka berdua.
“Apakah kau tidak ada rencana untuk berbicara dengan fraksi pendukungmu dan mempersatukan mereka???”
“Mana bisa aku melakukan hal seperti itu….”
Meskipun Cain mendengar bahwa dia ini adalahh orang yang kepribadiannya cocok menjadi Pope, namun ia pun menjadi agak khawatir apakah tidak apa-apa jika orang seperti ini menjadi Pope.
Namun sejauh dari apa yang dia dengar, memang sepertinya para Cardinal adalah orang yang sangat berbeda. Dia malah sempat berpikir mengapa tidak Bishop Hanam saja yang menjadi Pope.
“Cain-sama… Kakak ku memang seperti ini… Memang kepribadiannya ini sangat baik, namun dia ini agak aneh…”
“Apa-apaan kamu ini hanam!! Memperlakukan orang seperti orang aneh begitu!!”
“Lagian emang bener kan?? Kalau menemukan ada anak yatim piatu kau terus-terusan memungut mereka… padahal uang mu sendiri pun tidak cukup meski sudah memakai uang dari sumbangan…. Meskipun kau ini adalah Cardinal dan numpang tinggal di kuil, setidaknya kau harus punya uang sedikit!! Sudah berapa kali kakak meminjam uangku??!”
“Tidak apa-apa kan… Kamu juga gak pake buat apa-apa dan menumpuk banyak kan……”
“Aku yang tidak mau meminjamkannya…. Aku ini mengabdikan diri pada Kerajaan Esfort!!”
Meskipun harus mendengarkan pertengkaran dua bersaudara ini, Cain merasa sedikit lebih memahami kepribadian Cardinal Denter.
Jelas dia bukan orang yang buruk, bagi orang yang mau merawat anak yatim piatu tentu saja dia orang yang baik. Namun dia merasa sedikit prihatin dengan hidupnya yang kekurangan. Tanpa sadar Cain pun tersenyum.
Pertengkaran mereka berdua berlanjut selama kurang lebih satu jam, namun Cardinal Denter tampak meninggalkan ruangan dengan wajah yang lebih lega. Sebaliknya, ekspresi Bishop Hanam yang ditinggalkan itu nampak sangat kelelahan.
“…Apa anda pikir kakak ku yang seperti itu pantas untuk menjadi Pope??”
Cain hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Bishop Hanam.
Cain pun mulai menceritakan tentang penyeragan pertama, lalu dilanjutkan tentang keberhasilan mencegah penyaerangan kedua dan ternyata yang memimpin penyerangan itu adalah Priest Oliver.
“Oliver ya… Dia adalah salah satu fraksi Cardinal Bangla…”
Cain juha Cain juga beranggapan bahwa semua ini di dalangi oleh Cardinal Bangla berdasarkan adanya Oliver dan juga penggunaan tim pembunuh, namun pemilihan ini berggantng dari jumlah pemilih, dan dia tak bisa berbuat apapun.
“Tidak bisakah dia menjadi di diskualiikasi akibat kasus ini??”
“Tidak bisa… ini seperti menangkap ekor kadal… paling dia akan bilang, tidak tahu, tidak ada urusan, dia saja yang melakukan itu seenaknya…. Lagipula ini tidak akan merubah bahwa fraksinya itu banyak….”
Cardinal Denter menggelenkgan kepalanua dan menjawab pertanyaan Cain dengan pasrah.
“Aku juga lebih senang jika Cardinal Denter yang menjadi Pope… Aku benar-benar menikmati pembicaraan ku dengan Cardinal Denter….”
“Aku merasa terhormat jika anda mengatakan bergitu…. Tapi kalau cuma itu saja tidak bisa…. Aku tidak terlalu suka membuat fraksi, jadi apa boleh buat….”
Sepertinya Hinata juga menginginkan Cardinal Denter menjadi Pope, namun karena jumlah pendukung yang sangat minim bahkan orangnya sendiri pun sudah pasrah.
Namun, Cain punya satu hal yang harus dibiarakan.
“Cardinal Denter…. Ada satu hal yang akan aku katakan padamu…”
“Cain-sama…”
Melihat ekspresi Cain tiba-tiba menjadi serius, Cardinal Denter pun ikut menjadi serius. Hinata dan Bishop Hanam tetap diam seakan sudah menebak maksud ekspresi ini.
“Ini adalah pesan dari Lime-sama,Dewa Kehidupan…. Silahkan anda menjadi Pope berikutnya…”
Cardinal Denterpun gemetaran setelah mendengar perkataan Cain. Dia pun langsung bangkit dari sofa dan kemudian berlutut dan bersujud dihadapan Cain.
“Aku, Denter, akan menerima perintah Lime-sama dengan senang hati…”
Cain pun mengangguk. Namun, ada setumpuk rintangan yang akan menghalangi Cardinal Denter untuk menjadi Pope yang baru. Meskipun Cain adalah utusan dewa sekalipun, yang akan memenagangi pemilihan ini adalah jumlah pemilihnya.
“Tapi apa yang harus kita lakukan… Kakak ku memang seorang Cardinal, namun fraksi pendukungnya sangat sedikit…. Tantangan terbesar kita adalah Cardinal Bangla….”
“Tentang itu … Aku akan coba tanyakan langsung…”
“Cain-sama apa anda akan ketempat itu lagi??”
Cain berusaha menjawab pertanyaan Bihsop Hanam sebisanya.. Dan pun penasaran, karena dia juga pernah ketempat para dewa. Ada kemungkinan bahwa mereka bisa kesana bersama jika mereka berdoa bersama lagi.
“Mungkin saja Hinata nanti bisa ikut… apa kamu mau berdoa bersama ku??”
“Ya tentu saja.”
Hinata mengangguk dan tersenyum lebar.
“Besok aku ada jadwal berdoa…. Mari kita berdoa bersama…”
Biasanya berdoa kepada dewa akan dilakukan dipagi hari. Sedangkan sore hari adalah jadwal untuk para temu dan juga perjamuan.
“Kalau begitu sampai jumpa besok.. Aku akan sangat menantikannya…”
Caim dam yang lainnya pun meninggalkan ruangan Hinata karena jadwal pertemuan mereka sudah habis. Bishop Hanam dan Cain pun menuju ke kamar mereka. Namun entah kenapa Cardinal Denter juga mengikuti mereka.
“———Kakak… Apa kamu ini lagi nganggur??”
Mendengar pertanyaan Bishop Hanam, Cardinal Denter pun mengangguk sambil tersenyum pahit. Apa boleh buat, akhirnya mereka pun mengundang Cardinal Denter ke kamar mereka.
Entah kenapa Cardinal Denter langsung duduk disamping Bishop Hanam, jadi Cain pun duduk sendirian dihadapan mereka berdua.
“Apakah kau tidak ada rencana untuk berbicara dengan fraksi pendukungmu dan mempersatukan mereka???”
“Mana bisa aku melakukan hal seperti itu….”
Meskipun Cain mendengar bahwa dia ini adalahh orang yang kepribadiannya cocok menjadi Pope, namun ia pun menjadi agak khawatir apakah tidak apa-apa jika orang seperti ini menjadi Pope.
Namun sejauh dari apa yang dia dengar, memang sepertinya para Cardinal adalah orang yang sangat berbeda. Dia malah sempat berpikir mengapa tidak Bishop Hanam saja yang menjadi Pope.
“Cain-sama… Kakak ku memang seperti ini… Memang kepribadiannya ini sangat baik, namun dia ini agak aneh…”
“Apa-apaan kamu ini hanam!! Memperlakukan orang seperti orang aneh begitu!!”
“Lagian emang bener kan?? Kalau menemukan ada anak yatim piatu kau terus-terusan memungut mereka… padahal uang mu sendiri pun tidak cukup meski sudah memakai uang dari sumbangan…. Meskipun kau ini adalah Cardinal dan numpang tinggal di kuil, setidaknya kau harus punya uang sedikit!! Sudah berapa kali kakak meminjam uangku??!”
“Tidak apa-apa kan… Kamu juga gak pake buat apa-apa dan menumpuk banyak kan……”
“Aku yang tidak mau meminjamkannya…. Aku ini mengabdikan diri pada Kerajaan Esfort!!”
Meskipun harus mendengarkan pertengkaran dua bersaudara ini, Cain merasa sedikit lebih memahami kepribadian Cardinal Denter.
Jelas dia bukan orang yang buruk, bagi orang yang mau merawat anak yatim piatu tentu saja dia orang yang baik. Namun dia merasa sedikit prihatin dengan hidupnya yang kekurangan. Tanpa sadar Cain pun tersenyum.
Pertengkaran mereka berdua berlanjut selama kurang lebih satu jam, namun Cardinal Denter tampak meninggalkan ruangan dengan wajah yang lebih lega. Sebaliknya, ekspresi Bishop Hanam yang ditinggalkan itu nampak sangat kelelahan.
“…Apa anda pikir kakak ku yang seperti itu pantas untuk menjadi Pope??”
Cain hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Bishop Hanam.