Saat ini hari
Senin, dua hari setelah latihan memasak Shiho di rumah Tojoin.
Aku keluar
rumah dan berjalan menyusuri jalan menuju sekolah.
Jalan itu
adalah rute yang biasanya aku lewati untuk pergi ke sekolah, cuacanya normal
tapi blazerku terasa sedikit panas.
Aku berhenti
ketika aku sudah berjalan sekitar setengah jalan.
Aku menarik
napas dalam-dalam.
“Fuu…”
Sudah hampir
sebulan sejak aku mulai berpacaran dengan Tsukasa Hisamura.
Setiap hari
Senin sejak kami mulai pacaran, kami akan ketemuan di jalan dan pergi ke
sekolah bareng.
Kami pernah ke
sekolah bareng beberapa kali, jadi aku sudah sedikit terbiasa, tapi aku masih
merasa gugup.
Selain itu,
ini adalah pertama kalinya aku bertemu Tsukasa sejak hari Sabtu kemarin…
Wajahku
menjadi panas saat mengingat kejadian hari itu.
Aku hampir
berciuman dengan Tsukasa saat itu.
Jika aku tidak
mendengar suara di lorong, aku mungkin akan… Aku akan menempelkan bibirku
dengan bibirnya.
Ketika aku
memikirkannya semakin dalam, wajahku mulai semakin panas dan aku tahu bahwa
wajahku mulai memerah.
Sialan,
tenanglah… aku akan bertemu dengan Tsukasa saat ini, aku tidak boleh seperti
ini sebelum bertemu dengannya…
Aku bersemedi
sebentar dan menarik napas dalam-dalam.
Alasan kenapa
aku sangat terganggu dengan apa yang terjadi adalah karena aku teleponan dengan
Shiho tentang hal itu kemarin.
Teleponan
dengan Shiho juga tiba-tiba, dan ketika aku mengangkat telepon, kata-kata
pertama Shiho adalah,
“Kamu ciuman
dengan Hisamura-kun?!”
Atau begitulah
katanya.
Ketika aku
mendengar itu, aku refleks berteriak “Oi!”.
Rupanya,
ketika aku dan Tsukasa pergi ke ruang persiapan, Shiho sedang melakukan
percakapan seperti itu dengan Tojoin dan Rinke.
Terlebih lagi,
ketika mereka bertiga datang ke ruang persiapan, mereka sepertinya telah
memutuskan bahwa kami pasti berciuman karena suasana di sekeliling kami yang
menjadi sangat canggung.
Ada kamera
pengintai di ruangan jadi aku tahu mereka akan tahu kejadian sebenarnya, tapi
aku tidak bisa melihat kameranya dari sudut itu jadi aku bertanya langsung.
“Tunggu
sebentar, ada kamera keamanan di ruangan itu?”
“Iyalah, itu
kan rumah Tojoin-san.”
Sungguh
menakjubkan bagaimana kata-kata itu langsung berhasil meyakinkanku.
Untung saja
aku tidak menciumnya di sana.
Itulah yang
aku pikirkan saat itu.
“Selamat pagi,
Sei-chan.”
“Uwaa!?”
Tiba-tiba aku
mendengar sebuah suara yang berbicara padaku dari belakang dan tubuhku bereaksi
dengan tersentak.
Aku menoleh ke
samping dan melihat orang yang aku bayangkan dalam pikiranku sebelumnya,
Tsukasa Hisamura.
“Kamu
baik-baik saja?”
“Aku baik-baik
saja, kok. Selamat pagi, Tsukasa.”
Sesuatu yang
memalukan keluar dari mulutku, aku langsung berbicara dengan cepat untuk
menutupi hal itu.
“Kamu datang
lebih awal hari ini. Selain itu, mana Rinke? Sepertinya kamu tidak membawa
sepedamu hari ini.”
“Rinke lupa
kalau dia piket hari ini, jadi dia tidak bisa menungguku, mengambil sepeda dan
pergi duluan.”
“B-Begitukah,
sepertinya Rinke agak kikuk juga, ya?”
“Sangat mudah
untuk kelupaan hal-hal seperti itu setelah akhir pekan, sih.”
Adik Tsukasa,
Rinke, tidak ada di sini, jadi sepertinya sudah diputuskan bahwa hanya kami
berdua yang pergi bareng ke sekolah hari ini.
Hari ini, aku
sangat ingin pergi ke sekolah bersama Rinke, dan tidak berduaan dengan Tsukasa.
Tentu saja
bukan karena aku tidak ingin berduaan dengannya, tapi karena aku ingat apa yang
telah… terjadi, aku tidak yakin apakah aku bisa berbicara dengannya secara
normal.
Untuk sesaat,
keheningan yang tidak mengenakkan muncul di antara kami.
“Yah,
sebaiknya kita berangkat sekarang. Kalau tidak, kita juga akan terlambat ke
sekolah.”
“Ya.”
Ketika Tsukasa
membalasku dengan biasa, aku sedikit jengkel.
Sepertinya hanya
aku yang… yah, kepikiran soal hal itu…
Aku berpikir
begitu di benakku, tapi aku tidak berani menyuarakannya.
Kami berdua
mulai berjalan di sepanjang rute seperti biasa, namun sedikit berbeda, menuju
sekolah.
Meskipun kami
sudah berjalan sekitar lima menit, kami jarang melihat siswa lain di sepanjang
jalan.
Itulah
sebabnya ketika Rinke tidak ada, kami biasanya selalu berpegangan tangan selama
lima menit dalam perjalanan ke sekolah
Tapi, hari ini
kami tidak berpegangan tangan.
“Apa pelajaran
olahraga hari ini, ya?”
“Kalau tidak
salah, laki-laki bermain basket, sedangkan perempuan bermain tenis.”
“Oh, iya. Jika
basket, itu mungkin akan jadi permainan satu sisi Yuuichi.”
Percakapan itu
sendiri sama seperti biasanya, tapi aku merasa sedikit tidak nyaman.
Aku merasa
Tsukasa berbicara kepadaku lebih banyak dari biasanya.
Kami tidak
berpegangan tangan, dan Tsukasa terus berbicara lebih dan lebih banyak lagi.
Mungkinkah
Tsukasa juga sedikit terganggu dengan apa yang terjadi tempo hari?
Atau mungkin
aku harus bilang bahwa, akan aneh untuk tidak sedikit terganggu oleh hal
itu.
Setelah
kejadian tempo hari, aku juga tidak aktif di RINE.
Tak satu pun
dari kami yang menyebutkan soal percobaan ciuman itu di sepanjang waktu ini.
Saat berbicara
dengan Tsukasa, aku melirik tangannya, yang sangat dekat dengan tanganku.
Ini pertama
kalinya kami tidak berpegangan tangan saat kami sedang berduaan dalam
perjalanan ke sekolah.
Setiap kali
kami berpegangan tangan, Tsukasa-lah yang selalu mengambil inisiatif dan
memegang tanganku duluan.
Aku menunggu
Tsukasa melakukannya lagi hari ini, tapi kami sudah hampir mencapai titik di
mana akan ada lebih banyak siswa yang muncul di sepanjang jalan.
Aku belum
pernah yang memulai melakukannya duluan.
Sambil
mengulangi pikiran-pikiran itu dalam benakku, aku pun memegang tangannya.
“..!
Eh?”
“Fufu,
ada apa?”
“T-Tidak, aku
hanya terkejut.”
“A-Apakah
aneh, b-bahwa aku ingin memegang tanganmu?”
“Tidak aneh
sama sekali kok, aku hanya sangat senang. Jika aku memiliki enam tangan lagi,
aku akan menggunakan semuanya untuk memegang tanganmu.”
“Kamu akan
berubah jadi laba-laba kalau begitu.”
Tsukasa
berbicara dengan gayanya yang biasa, tapi aku tahu dia sedikit malu.
Jika dia
sangat senang bergandengan tangan denganku, aku merasa ingin melakukannya lagi di
masa mendatang.
Yah… Aku
juga tidak menolak untuk berpegangan tangan, sih.
Sudut mulutku
terangkat saat aku berfantasi tentang dia.
“Sei-chan,
soal Sabtu lalu…”
“..!
K-Kenapa dengan Sabtu lalu?”
Aku tidak
mengira kalau dia akan tiba-tiba berbicara tentang hari Sabtu, jadi aku agak
terkejut.
Aku
memandangnya dengan wajah malu dan memerah, sementara Tsukasa lebih memasang
wajah yang meminta maaf daripada wajah memerah.
“Yah,
anu, di ruang persiapan, itu terjadi begitu tiba-tiba, jadi aku minta
maaf.”
“Eh?”
“Oh, tidak,
hanya saja, itu agak terlalu mendadak, dan aku, mencoba melakukan itu… tanpa
mempertimbangkan perasaanmu.”
“….”
Memang benar
saat itu, suasananya tiba-tiba saja… menjadi seperti itu, dan aku sangat
terkejut karenanya.
Sangat nyaman
rasanya saat kepalaku dielus, dan aku mencondongkan kepalaku ke arah Tsukasa
seolah-olah aku membiarkan diriku terbawa perasaan itu, dan ketika aku membuka
mata dan melihat ke atas, wajahku begitu dekat dengannya.
Wajah Tsukasa,
yang belum pernah kulihat sedekat itu sebelumnya, ternyata sangat menarik, dan
aku mulai merasa gugup.
Dia menatap
lurus ke mataku, dan wajahnya perlahan mendekat ke wajahku.
…! Jangan ingatkan aku tentang hal
itu!
Seketika itu
juga, aku membayangkan adegan itu di kepalaku dan wajahku menjadi lebih merah.
“Jadi, aku
minta maaf. Sebelumnya, aku berpikir kalau mungkin saja Sei-chan jadi
tidak menyukaiku setelah itu, karena itulah aku tidak memegang tanganmu.”
“B-Begitu ya…”
“Itulah
sebabnya aku sangat senang ketika Sei-chan
memegang tanganku.”
Saat Tsukasa
tersenyum polos padaku, jantungku mulai berdebar kencang.
Sudah kuduga
kalau Tsukasa juga kepikiran atas apa yang terjadi saat itu, dan dia
mengkhawatirkanku dengan caranya sendiri.
Apa yang
membuatnya merasa tidak nyaman mungkin adalah fakta bahwa Sei-chan akan
terlalu malu untuk bertemu dengannya setelah itu dan meninggalkannya.
Maaf, tapi aku
sedikit senang bahwa dia sendiri berpikir seperti itu.
“Mana mungkin
aku tidak menyukai Tsukasa hanya karena itu? Aku pacaran dengan Tsukasa karena
aku suka itu..”
Tadi pagi aku
ragu untuk mengatakan hal yang memalukan seperti itu, tapi karena akulah yang
membuat Tsukasa merasa gelisah, aku melakukan tanggung jawabku dan
mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata.
“Sei-chan…
Terima kasih, aku mencintaimu Sei-chan.”
“A-Ah, terima
kasih.”
Aku menerima
kata-katanya dengan sedikit malu.
Kami berjalan
sedikit lebih jauh dan sampai di tempat yang banyak siswanya, jadi kami harus
melepaskan tangan kami.
“Sei-chan,
sudah waktunya.”
“Ya, aku
tahu.”
Saat dia hendak
melepaskan tanganku, ada sesuatu yang ingin kukatakan tentang pernyataan yang
dia buat tadi.
“Tsukasa,
ketika kamu bilang padaku bahwa kamu tidak mempertimbangkan perasaanku…”
“Ehh…? Uh…
ya.”
Tsukasa
bereaksi dengan cara yang menyiratkan pertanyaan ‘Kenapa kita membicarakan ini lagi?’
Ada satu hal
yang ingin aku sampaikan sebagai tanggapan.
Ini sangat
memalukan.
Jadi aku
melihat sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar yang
mendengarkan kami.
Aku mendekati
telinga Tsukasa dan berkata dengan suara pelan.
“Waktu itu,
aku memejamkan mata, jadi itulah yang aku rasakan.”
Aku segera
menjauh dan menjaga jarak darinya.
Untuk sesaat,
Tsukasa tampaknya tidak mengerti apa maksud perkataanku, tapi saat dia mengerti
apa artinya, wajahnya mulai memerah.
“Eh…? E-EHH?!”
“Oke, kamu
sudah ngerti maksudku! Lihat, kita akan terlambat ke sekolah, jadi ayo jalan!”
Tsukasa, yang
jatuh cinta padaku, telah berhenti dan hendak mengulurkan tangan untuk memegang
tanganku, tapi aku menghentikannya karena ada siswa lain di dekatnya.
Aku berlari di
depan Tsukasa dan berbalik.
“Ayolah, ayo
pergi, Tsukasa.”
“Fufu,
aku tidak bisa bersaing denganmu, Sei-chan. Kurasa aku tidak akan pernah
bisa menang melawanmu.”
Sambil
menggumamkan kata-kata itu, Tsukasa pun berdiri di sampingku dan mulai berjalan
bersamaku.
“Suatu hari,
aku akan melakukannya. Dan ketika aku melakukannya, aku akan memastikan matamu
terbuka.”
“…Baiklah.”
Kami berhenti
sejenak karena kami tersipu malu dan kemudian kami pun perlahan mulai berjalan
menyusuri jalan menuju sekolah.