Aku meminta maaf pada Sasaki-kun dan menjauh dari lapangan sepak bola. Dia tersenyum dan mengangguk sambil berkata ‘Mengerti.’ Senyuman itu masih melekat di benakku. Saat rapat panitia berakhir, Wataru meninggalkan ruangan dengan wajah seperti masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dia mungkin menuju ke ruangan terdekat atau mungkin ruang OSIS. Sudah sekitar satu jam sejak itu… Jadi, dia mungkin masih di sekolah.
—Apakah kamu benar-benar pergi?
Kakiku mulai bergerak. Tapi, terasa sangat berat. Aku merasakan tekanan aneh memenuhi dadaku, menarikku lebih dalam ke jurang. Saat ini, aku mungkin menghalangi pekerjaannya.
Mungkin dia tidak punya jawaban sama sekali? Haruskah aku benar-benar bertingkah seperti ini sekarang? Mungkin aku harus tenang, dan memikirkan semuanya lagi. Dia mungkin melihatku sebagai pengganggu. Dia mungkin melihatku sebagai gadis yang menyebalkan. Atau mungkin dia tidak akan merasakan apa-apa?
Kembali pada hari itu selama liburan musim panas lalu, aku tidak memikirkan apapun. Ketika pekerjaanku selesai, Wataru sudah pergi dan aku menemukan diriku kecewa…sedih. Itu sebabnya, ketika aku melihat sosoknya kembali waktu itu, aku mulai berlari tanpa berpikir. Saat itu, aku tidak berkonflik ini. Aku merasa takut mendengar bagaimana perasaan Wataru yang sebenarnya. Keberanian untuk berlari tanpa berpikir adalah sesuatu yang aku kurang saat ini.
“Ah…”
Aku tiba di pintu masuk depan, memeriksa loker sepatu Wataru dan menemukan sepatu luarnya masih ada. Dia bukan bagian dari klub mana pun. Tapi mengetahui Wataru, dia mungkin sedang bekerja di suatu tempat. Aku menuju ruang panitia. Lorong-lorong sepi dan sepertinya sebagian besar siswa/i sudah pulang sekarang. Pintu ruangan terkunci, tidak bergeming sama sekali. Wataru pasti tidak ada di sini dan kalau begitu—
“Mungkin dia ada di ruang OSIS…”
Aku tahu tempat itu. Tapi meski begitu, aku sendiri tidak pernah ke sana. Aku tidak tahu pekerjaan apa yang mereka lakukan atau seberapa banyak atau sulitnya itu. Jika ada yang kuketahui, maka itu adalah fakta bahwa Kakak perempuan Wataru adalah wakil ketua OSIS dan juga gadis kasta atas di SMA ini. Dia berada dalam posisi yang diidamkan banyak gadis, dikelilingi oleh pria tampan.
Oh ya, Kakak perempuannya pasti sesuatu yang lain …
Aku menuju ke lantai tiga, mencapai ruangan. Dari dalam, aku bisa mendengar beberapa suara orang sedang mengobrol. Aku tidak bisa hanya melenggang di sana. Tapi, setidaknya aku mendengar suara familiar Kakak perempuan Wataru, menyebut nama Wataru.
Tapi, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?
Ini pertama kalinya aku datang ke sini. Satu-satunya orang yang aku kenal adalah Kakak perempuan Wataru. Dan bahkan jika aku melakukannya, hanya berjalan di sana tidak ada artinya. Bukan masalah berani atau tidak, itu hanya akan menciptakan suasana yang aneh.
“…Ugh…”
* * *
Aku melewati ruangan dan melangkah keluar di lorong penghubung. Dari sana, aku bisa menaiki tangga sampai ke atap. Pintu kaca yang menuju ke dalam terbuka, memungkinkanku untuk melihat setiap kali seseorang meninggalkan ruangan OSIS. Aku duduk di tangga menuju atap dan memutuskan untuk menunggu di sini.
Orang-orang di dalam ruangan OSIS tampaknya mulai bekerja saat suara mereka mulai menghilang. Aku telah mendengar bahwa OSIS bahkan lebih sibuk daripada komite eksekutif. Kurasa mereka tidak punya waktu untuk membicarakan omong kosong. Bagaimanapun, mereka adalah OSIS, mewakili semua siswa. Kau tidak masuk ke sana dengan perasaan ringan. Terutama di sekolah ini, di mana banyak hal terjadi di balik layar. Aku tidak berpikir semua pekerjaan kami di komite dapat dibandingkan dengan itu. Namun, Kakak perempuan Wataru bekerja di sana.
Aku cemburu. Bukannya aku tiba-tiba ingin menjadi wakil ketua OSIS, tetapi aku ingin menjadi seseorang yang menginspirasi seperti Kakak perempuannya. Seseorang yang dapat melakukan pekerjaannya, dapat diandalkan dan tetap menjadi dirinya sendiri. Aku tidak mendapatkan gambaran seperti itu dari cerita yang Wataru ceritakan kepadaku, tetapi ketika dia berdiri di atas panggung itu selama upacara di aula gym, dia terlihat sangat keren. Belum lagi dia yang menjaga Wataru selama ini—
Ah, yah, err, sudahlah.
Mungkin perasaan kekagumanku mirip dengan perasaan Kei tentang ketua komite moral publik Shinomiya-senpai. Jika aku adalah gadis seperti dia, aku mungkin bisa lebih membantu di komite eksekutif festival budaya. Aku mungkin bisa lebih mendukung Wataru. Dan kemudian, aku akan lebih percaya diri tentang diriku—
“Apa lagi sih …”
“-Eh?”
“Eh? Ah …”
Mata kami bertemu. Aku sedang melihat seorang gadis dengan rambut coklat madu dan rok pendek. Dia adalah orang yang baru saja kupikirkan, orang yang kukagumi. Dia membawa kotak kardus yang sepertinya dipenuhi poster. Dia kakak perempuan Wataru—Sajou Kaede-senpai. Dan sekarang, dia menatapku kaget.
“Um, apakah aku menyela sesuatu?”
“T-Tidak! Kamu salah paham! Mn, bukan apa-apa!”
“Begitukah …?”
“Aaaaah…”
Dia menatapku dengan aneh! Dia pasti menganggapku aneh!
Aku bisa merasakan darah mengalir deras ke kepalaku. Sesuatu dalam diriku berakhir dan aku merasa semua kehormatanku hancur berkeping-keping. Aku tidak berpikir aku pernah merasakan dorongan seperti itu untuk menghilang begitu saja dari bumi ini. Aku tidak bisa, aku harus meninggalkan Airi dan meneruskannya. Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkannya dan membebani orang tuaku.
“…Kaede-san? Apakah ada orang di sana?”
“Ya, seorang gadis……Tunggu, tunggu. Bukankah kamu… Natsukawa-san?”
“I-Iya …”
Seorang Senpai berkacamata muncul dari belakang Kakak perempuan Wataru. Dia memegang tangga kecil di tangannya. Jika aku tidak salah… namanya Kai-senpai. Dia kadang-kadang muncul sebagai topik di antara gadis-gadis, kelas kedua yang sangat populer. Dia memiliki reputasi dan suasana yang mengagumkan bagi mereka. Berpikir bahwa dia melihatku barusan, aku merasa lebih malu.
“Woah, dia imut juga …Tunggu, tidak. Apa yang kau lakukan di sini?”
“Ah, um… aku sedang menunggu…”
“Menunggu? …Um, tunggu, jangan bilang padaku.” Kakak perempuan Wataru tampak bingung.
“Iya… aku sedang menunggu Wata—Ah?!”
Kakak perempuannya tepat di depanku. Itu berarti dia meninggalkan ruangan OSIS. Aku begitu tenggelam dalam pikiran, aku bahkan tidak menyadarinya.
“U-Um, di mana Wataru…”
“Dia pergi sebelum kita.”
“…Eh?”
“Ah, tunggu, aku mengerti. Biarkan aku menelponnya. Dia akan kembali ke sini dalam sekejap. Tidak, tunggu saja sepuluh detik. Aku bersumpah jika dia tidak menjawab sekarang…”
“Eh?!”
Wataru sudah meninggalkan ruangan OSIS. Ketika aku terkejut, Kakak perempuannya mengeluarkan smartphone-nya dan mulai mengoperasikannya. Aku mendengar beberapa kata yang tidak menyenangkan darinya. Jadi, tanpa sadar aku meninggikan suaraku.
“Ah Sajou-kun, dia seharusnya masih berada di ruangan komite eksekutif, bukan?”
“…!”
“Kau yakin, Taito?”
“Ya. Dia bilang dia lupa mengembalikkan laptopnya. Jadi, dia meminjam kuncinya dari Ishiguro-kun. Kurasa dia belum meninggalkan sekolah,.”
Mendengar kata-kata ini, aku terlonjak. Sementara Kakak perempuan Wataru mengetuk smartphone-nya, dia menatapku dengan kalimat ‘Apa yang akan kamu lakukan?’ Untuk beberapa alasan, matanya tampak bahagia. Matanya sama dengan mata Wataru, aku mendapati diriku terpesona.
“Um, aku…”
“Ah, yah… ya. Terkadang dia bisa sedikit menyebalkan. Tapi, tolong jaga dia. Dia mungkin tidak memiliki kemampuan apapun. Tapi, dia pandai mendengarkan perintah. Jangan ragu untuk mendorongnya sebanyak yang kamu mau.”
“Ee—Tunggu, apa?”
Aku hampir mengangguk untuk itu. Tapi, aku menyadari sedetik kemudian bahwa apa yang dia katakan anehnya agresif dan menakutkan. Aku mendengar bahwa dia sedikit nakal pada satu titik waktu, tetapi bayangan dia di kepalaku adalah seorang Kakak perempuan yang baik hati, yang datang bergegas ketika dia mendengar bahwa Wataru pingsan.
Mungkin hanya itu yang dirasakan Wataru, ya.
“Oh, ya.. Maaf, ya.. tadi membuatmu takut. Yah, hanya itu saja yang ingin aku katakan.” Dia membalikkan punggungnya ke arahku dan menuju gedung sekolah barat.
Kai-senpai menunjukkan sedikit senyum pahit dan mengikutinya.
Sisi menakutkanku, katanya. Apakah dia berbicara tentang saat dia mencoba membuat Wataru berhenti bekerja dengan Ishiguro-senpai dan komite eksekutif? Yah, dia memang tampak menakutkan saat itu. Tapi aku tahu, dia melalukan itu karena dia mengkhawatirkan adik laki-lakinya. Itu sebabnya, aku menghormatinya dan aku tidak menganggapnya menakutkan. Tapi lebih dari itu—aku ingin tahu kenapa Wataru bekerja sekeras ini.
Aku meminta maaf hanya dalam pikiranku dan menuju gedung sekolah yang memiliki ruangan komite. Karena matahari mulai terbenam, lorong-lorong terasa jauh lebih gelap dari sebelumnya dan cahaya yang masuk kehilangan pancarannya. Aku mencapai area yang dekat dengan tujuanku. Lorong itu kosong seperti sebelumnya dan satu-satunya suara yang bisa kudengar adalah dari klub olahraga di luar. Aku mulai meragukan fakta bahwa Wataru ada di sekitar sini. Tapi meski begitu…
“-Ah.”
Salah satu pintu ke ruang komite festival budaya terbuka. Aku mengambil satu langkah, menuju ke sana. Ini seperti cahaya jingga samar dari luar yang memandu jalanku. Aku bisa merasakan tubuhku menegang, membuat kakiku lebih berat. Tapi angin sepoi-sepoi memasuki lorong, mendorong punggungku.
Aku takut. Aku benar-benar takut. Tapi, aku ingin tahu. Aku ingin bertemu dengan dia. Bayangan terbentuk di kelas saat aku mengintip ke dalam. Sedikit samar oranye membuat debu yang melayang di udara berkilauan. Karena aku tidak pernah bergabung dengan klub mana pun di SMP atau SMA, pemandangan seperti ini adalah sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku melihat seorang anak laki-laki berdiri di samping jendela.
“—Dan dari kita………Eh?”
“…Ah…”
Dia bangkit dari meja dan menyadari kehadiranku. Senyum tipisnya segera berubah menjadi ekspresi kaget. Cahaya di matanya sama dengan Kakak perempuannya. Profilnya yang baru saja kulihat beberapa detik yang lalu… membara dalam pikiranku.
“……”
“……”
Aku tahu dia bingung. Itu sama ketika aku bertemu dengannya saat istirahat makan siang, tetapi selama itu tidak berhubungan dengan pekerjaan, dia tetap menjadi Wataru yang aku kenal. Kekhawatiran dan kecemasanku tidak sepenuhnya hilang, tetapi aku bisa merasakan bahwa aku sedikit lebih rileks.
“N-Natsukawa…?”
“I-Iya …”
Wataru mendekatiku dengan kaki goyah, menggosok matanya seperti tidak percaya pada dirinya sendiri. Aku memberikan tanggapan, yang membuatnya mundur dua langkah. Gerakannya terasa seperti keluar langsung dari anime atau drama, dan itu hampir membuatku tertawa. Saat dia melangkah mundur, sekarang aku bergerak satu langkah ke arahnya.
“Dewi Nat…”
“Apa…”
Rasanya seperti itu muncul entah dari mana.
‘Dewi’ ya?
Dia sering memanggilku seperti sebelumnya sampai aku merasa bosan. Namun, sekarang itu membuatku merasa sangat bernostalgia.
“Di mana itu…!”
“Ah, yah, kau tahu… matahari terbenam …”
“I-Itu…”
Pikiranku tidak bisa mengikuti. Setelah komite eksekutif dibubarkan dan aku berbicara dengan Sasaki-kun, aku memikirkan banyak hal. Hal-hal yang ingin kutanyakan padanya, hal-hal yang tidak kumengerti, semuanya kini bercampur menjadi sebuah kekacauan yang acak. Sesuatu yang penuh gairah dan panas terik yang membuat kepalaku mendidih menciptakan suara, tidak memungkinkanku untuk tetap berpikir logis. Aku sendiri berhenti memahami kata-kata yang kuucapkan dengan lantang.
Bukan itu ….
Ini bukan yang kuinginkan. Aku mati-matian berusaha untuk mengendalikan pikiran dan perasaanku.
Seorang Dewi—aku bukanlah orang yang penting atau hebat, sungguh ….
Sebaliknya, aku bahkan tidak memiliki kepercayaan diri untuk membandingkan diriku dengan orang lain. Aku sadar bahwa setiap hari sejak aku kecil, aku mengandalkan orang tua, kerabat dan teman sekelasku. Namun, aku tidak menganggap itu sebagai alasannya. Lagipula, akulah yang membuat diriku kosong ini.
Kupikir aku mencoba yang terbaik. Kupikir aku sudah cukup menderita. Kupikir aku berhasil melewati tembok itu setelah mengkhawatirkannya berulang kali. Namun, mengapa hatiku begitu kacau sekarang?
Sangat mudah, aku telah mengenakan topeng orang yang berbakat dan percaya diri dan aku tidak ingin mengakui bahwa aku sebenarnya tidak terlalu penting dari keberadaan.
Aku bukan dewi, aku juga bukan seseorang yang bisa diandalkan.
Aku tidak pantas mendapatkan rasa hormat ini. Aku tidak seharusnya diperlakukan seperti ini. Aku hanya seorang anak kecil tidak mau mengakui bahwa aku tidak dapat melakukan apa pun.
Aku menatap Wataru, yang selama ini kaku dan memalingkan wajahnya.
“… Dan juga, kau masih di sini? Aku pikir kau sudah pulang mengetahui tadi Airi-chan datang ke sini.”
… Yah begitulah.
Aku merasa seperti itu. Aku menghargai Airi lebih dari apapun di dunia ini. Kalau aku biss melindungi senyumnya, aku ingin bersamanya secepat mungkin dan bergegas pulang sekarang.
Tapi kalaupun aku lari sekarang, apakah aku benar-benar bisa tersenyum percaya diri saat bertemu Airi? Aku tidak ingin memaksakan senyum lagi. Di samping itu…
“I-Itu… Aku menunggumu…”
“Hm?”
Keinginanku untuk bertemu dengannya saat ini sama kuatnya. Cukup kuat untuk mendorong punggungku seperti ini. Betapa mudahnya jika aku bisa mengatakan itu padanya. Suara samar yang keluar dari bibirku setiap kali aku bernafas terasa sangat menyedihkan dan ujung jariku bergetar karena malu. Meski begitu, aku sudah sejauh ini, aku tidak ingin melarikan diri sekarang.
“A-Aku…menunggumu…!”
“Eh?”
K-Kenapa katak-kataku tidak sampai ke dia…!
Aku hampir saja mengatakan semuanya. Aku mencoba menyembunyikan rasa maluku dan memaksa keluar suara untuk mengulangi diriku sendiri. Namun, hanya erangan samar yang bisa terluka. Rasa frustrasi menguasai diriku dan aku samar-samar mulai menangis. Tidak dapat mengendalikan perasaanku, aku menunjukkan cemberut tajam saat melihat ke arah Wataru. Yang membuatku terkejut, dia menatapku dengan wajah datar. Semua kebingungannya sebelumnya telah hilang, begitu juga dengan diriku.
“… Hm? Kenapa?”
Matanya serius seperti dia benar-benar tidak mengerti apa-apa. Tidak ada kekhawatiran atau kecemasan dan sepertinya dia mencoba menyaring niatku. Aku tahu bahwa semua perhatiannya hanya tertuju padaku. Dan kemudian, mata kami bertemu. Tatapannya dipenuhi dengan tekad. Dia tidak akan berpaling dariku, aku hampir merasa kewalahan dengan semua perhatian ini. Dan meskipun itu membuatku merasa tertekan untuk menceritakan semua yang telah kusimpan di hatiku, aku entah bagaimana berhasil mengendalikan diri.
“…Aku ingin… berbicara denganmu…”
“……”
Tatapan Wataru samar-samar bergerak, seperti dia melihat ke dalam diriku. Tubuhku tidak mau bergerak. Di dalam diriku, hatiku, semuanya terasa seperti sedang diaduk seperti panci panas. Rasanya seolah-olah dia hanya bermain-main denganku sebanyak yang dia mau. Setelah dia selesai melakukannya, tatapannya menjauh dariku, hampir seperti dia menyerah pada sesuatu. Saat sensasi itu menghilang, napasku bertambah cepat. Aku merasakan panas memenuhi seluruh tubuhku. Aku memeluk lengan kananku dengan tangan kiriku. Rasanya seperti topeng yang aku kenakan semakin lemah.
“Err… apa kau butuh saran tentang sesuatu…?” Dia bertanya.
“S-Saran… Mn…kurasa begitu.”
Dia tidak sepenuhnya salah. Namun, aku hanya memberikan tanggapan yang memadai, tanpa waktu untuk benar-benar berpikir. Apa yang ingin aku bicarakan—sebelum datang ke sini—telah terbentuk jelas di dadaku. Tapi, sekarang rasanya seperti balon air yang meledak. Untungnya, yang meletus darinya bukanlah air. Sampai Wataru berbicara lagi, aku mencoba mengendalikan perasaanku. Entah bagaimana, aku berhasil menempatkan perasaanku ke dalam bentuk yang jelas lagi.
“Hm, begitu, ya? Emang ada apa?”
“Yah, akhir-akhir ini…Tidak, bahkan jauh sebelum itu…” aku berbicara dengan suara bergetar.
Kata-kata yang aku paksa keluar dari tenggorokanku terasa lemah. Aku khawatir jika mereka bahkan menghubunginya dengan benar. Atur pikiranku, tuangkan ke dalam kata-kata dan katakan padanya. Andai saja aku bisa melakukan itu. Tetapi pada akhirnya, kata-kata pertama yang muncul di benakku adalah kata-kata yang akhirnya aku ucapkan.
“—Apakah aku…bisa membantu…”
“Eh?”
Tentu saja dia akan bingung.
Bagaimana aku bisa mengharapkan dia untuk memahami kata-kataku yang tidak memiliki konteks atau isi yang jelas?
Hanya aku yang mengganggu sudah sangat jelas. Aku mengangkat pandanganku, memeriksa wajah Wataru. Dia sama sekali tidak tampak kesal dan hanya menunjukkan ekspresi yang dapat diandalkan seolah-olah dia sedang menunggu jawabanku.
“Apa maksudmu…?” Wataru dengan hati-hati angkat bicara.
Dia memberiku kesempatan lagi untuk mengekspresikan diri. Sekarang aku memikirkannya, Wataru tidak pernah sekalipun menyelaku. Aku tidak pernah memikirkannya, tetapi dia benar-benar pendengar yang baik. Bahkan secercah kebaikan kecil itu biasanya bisa menenangkan hatiku yang masih kacau. Namun, itu membuat jantungku berdetak lebih cepat.
“Kali ini… misalnya. Aku hanya melakukan seperti yang diperintahkan…”
“Yah, kita ‘kan kelas satu, bukankah itu normal?”
Tidak, bukan itu yang ingin aku katakan…
Aku tidak bertanya tentang pandangan objektif seperti itu. Aku ingin mendengar bagaimana dia melihatku dalam semua itu.
“Tapi …”
“…?”
Tapi… tapi apa?
Aku bisa melihat diriku sebagai bagian dari drama TV, menjadi tipe wanita menyebalkan yang tidak pernah langsung ke intinya. Aku tidak ingin dia membenciku. Keinginan kuatku membentuk sesuatu seperti doa saat aku menatap Wataru. Dia tampak agak bingung tetapi masih tidak mengeluh. Aku benar-benar tidak berguna sekarang. Aku bahkan tidak bisa memberitahunya apa yang aku mau. Ini hanya memperkuat kebencian diriku. Aku mendapati diriku menatapnya dengan tatapan memohon, berharap dia menebak perasaanku.
“Tidak, dalam diriku—”
Wataru sepertinya merasakan sesuatu, saat dia menatapku. Seolah-olah dia terganggu oleh sesuatu yang sama, saat dia menurunkan pandangannya dan mulai berpikir. Dia mencoba memahamiku. Aku tidak ingin dia khawatir. Tetapi pada saat yang sama, cara dia berpikir begitu dalam hanya demi diriku membuatku bahagia. Cukup nyaman, dia tidak menatapku. Jadi, aku bisa mengeluarkan semua emosi di dalam tubuhku tanpa dia sadari. Aku malah menatap wajah Wataru dan aku tidak bisa melihat diriku bosan menatapnya. Aku melihat perubahan samar dalam ekspresinya dan dalam persiapan untuk kata-katanya selanjutnya, aku menyegel perasaanku, hampir meledak.
“Ah, yah… aku orang luar, kan? Dan apa yang aku lakukan cukup banyak di area abu-abu…bergerak menuju hitam, sungguh. Kalau dipikir-pikir, seharusnya melanggar aturan bagi seorang siswa untuk membayar outsourcing seperti itu. Tidak bisa mengatakan aku telah melakukannya dengan baik meskipun menjadi kaki tangan.”
“Kenapa…?” Aku berseru sebelum berpikir.
Dia membuatnya terdengar seperti dia tidak melakukan apa-apa. Aku tidak bisa menerima cara dia memandang rendah dirinya sendiri. Sampai dia dan Ishiguro-senpai datang, kami dari komite tidak melihat harapan. Kedua orang inilah yang menyeret kami keluar dari ruang gelap tempat kami berada. Aku tidak ingin dia mengatakan bahwa semuanya hancur.
“Um ..”
“…Kenapa kamu melalukan sejauh itu…?”
“Err … Huh?” Wataru bingung.
Ah, aku mengerti sepenuhnya.
Aku tidak ingin menyusahkannya. Aku tidak ingin menyalahkan dia. Aku sepenuhnya memahami itu. Aku ingin dia berhenti mengatakan itu segera. Tetapi sesuatu di dalam diriku menghentikanku dan mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan. Namun, panas yang membara di dalam diriku mendorong kata-kata keluar.
“… Kenapa kamu melakukan sejauh itu, Wataru…?”
“Itu—”
“Kenapa… bagaimana kamu bisa bekerja begitu keras?”
“… Natsukawa?”
Kata-kataku mungkin terdengar agak agresif, tetapi itu adalah perasaan asliku yang akhirnya berhasil aku sampaikan.
Bukankah ini cukup baik?
Aku menyerah dan mencoba menjelaskan diriku setenang mungkin.
“Aku benar-benar terkejut ketika pertama kali melihatmu di sana. Kamu membantu kami seolah-olah kamu tahu tentang semuanya. Bahkan kamu bisa memberikan perintah terhadap para Senpai itu, bahkan berpartisipasi dalam pertemuan … Ketika aku mendengar bahwa ini ada hubungannya dengan OSIS, kupikir kamu bekerja keras seperti ini untuk membantu Kakakmu.”
“Ah…”
“…Tapi, kamu dengan jelas mengatakan kepadanya bahwa ‘yang kamu lakukan’ bukan demi Kakakmu.”
Itulah alasan utamaku menjadi sangat penasaran. Aku bertanya-tanya mengapa Wataru dari semua orang akan melakukan sejauh ini jika bukan karena Kakak perempuannya. Sejak saat itu, aku semakin penasaran.
“I-Itu…kau tahu, kami ‘kan Kakak-adik. Jadi, ada kalanya kamu terlalu malu untuk mengatakan satu sama lain bahwa kami sangat peduli. Yah, Nee-san dan aku tidak pernah sedekat itu, kau tahu.”
“Itu bohong. Aku melihatmu saat itu. Kamu tidak berusaha menyembunyikan apapun atau mengatakannya di saat yang darurat. Aku sudah mengenalmu sejak SMP.”
“………”
Dia sudah bersamaku selama dua tahun terakhir ini. Dia tertarik padaku dan belajar banyak tentang diriku. Namun, aku juga menghabiskan semua waktu itu dengannya. Wajahnya, ekspresinya, nada suaranya… Aku mungkin tidak secara aktif mencoba untuk belajar lebih banyak tentang dia. Tapi, aku sudah melihat banyak ekspresinya yang berbeda dari waktu ke waktu. Dan sekarang, Wataru itu sedang menatap mataku.
“…Kenapa kau begitu ingin tahu?”
“……”
Untuk sesaat…hanya sesaat, aku merasakan secercah kegelisahan dan kemarahan dalam suaranya. Wataru kembali ke meja yang sebelumnya dia duduki, sekarang setengah bersandar di meja itu dan menatapku lagi. Ketajaman dalam ekspresinya sudah lenyap. Sementara hatiku masih kacau, aku menjawab.
“…Aku tidak tahu.”
“Kalau begitu, itu tidak masalah, kan?”
Dia blak-blakan melemparkan kata-kata ini kembali padaku. Aku bisa merasakan penolakan yang jelas dari tatapan Wataru seperti dia tidak ingin mengatakannya bagaimanapun caranya. Perasaan suram dan tidak pasti terus tumbuh di dalam diriku. Kalau dia tidak mau mengatakannya, maka itu berarti dia punya alasan yang tepat. Bahwa dia bekerja untuk alasan lain yang tidak berhubungan dengan Kakak perempuannya. Sumber kekuatannya, rahasianya…Jika orang itu sendiri dengan jelas menyatakan dia tidak ingin mengatakannya, maka aku tidak boleh melewati batasku. Pikiranku tahu itu, tetapi perasaan dan keinginanku untuk tahu lebih banyak lebih kuat dari itu.
“…I-Itu benar.”
“……”
Aku terdengar sangat kekanak-kanakan. Aku telah mendengar nada yang sama berkali-kali dari mulut Airi. Jika aku harus menebak, tidak puas dengan situasinya, aku sudah kembali menjadi anak manja. Biasanya, aku tidak akan menunjukkan sisiku ini kepada siapa pun. Tapi…tapi jika itu Wataru—
‘Lagipula… dia sudah lama menyukaimu, kan?’
Aku ingat kata-kata Sasaki-kun. Seharusnya aku tahu itu, namun setiap kali aku mengingatnya, sesuatu menusuk dadaku. Itu bukti bahwa aku telah mengalihkan pandanganku dari itu. Musim semi telah berakhir. Mendengar keputusan dan tekad Wataru, aku ingat dengan jelas betapa terkejutnya diriku. Kalau dipikirkan lagi, aku sudah mengalihkan pandanganku saat itu. Tidak dapat sepenuhnya mengakui perasaanku—karena tertarik padanya.
“……”
Wataru menatapku dengan mata terbuka, seolah dia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku merasa bersalah lagi. Inilah yang terjadi ketika kamu memanggilku Dewi. Semua ini—apakah aku egois. Selama setiap langkah yang diambil di jalan.
“………Benar…”
“…!”
Aku mendengar desahan samar datang dari Wataru. Itu sangat singkat, kau hampir bisa melewatkannya.
Mungkin dia kesal denganku? Mungkin dia benar-benar membenciku sekarang?
Memikirkannya saja membuat hatiku sakit. Aku tidak bisa mengatakan aku tertarik, bahwa aku ingin tahu tentang dia. Tidak setelah aku menginjak perasaannya berkali-kali. Mengatakan bahwa aku ingin tahu lebih banyak tentang dia. Aku tahu, aku egois. Bahkan jika aku benar-benar merasa seperti itu, itu mungkin sudah terlambat. Tapi meski begitu, meski begitu, aku masih…
“Natsukawa, masalahnya adalah—”
“…Apa…”
—Dia berbicara dengan nada yang begitu lembut. Aku mengangkat kepalaku kaget, menemukan Wataru masih bersandar di meja, melihat ke luar jendela. Kami berhasil melewati malam, karena langit ungu menyerupai warna matanya. Profil dan senyumnya hampir membuatnya tampak seperti sedang mengejek dirinya sendiri, mengingatkanku pada ekspresi yang dia tunjukkan saat pertama kali melihatnya di sini. Itu bukan senyum santai yang biasa, tanpa kekuatan apa pun. Sebaliknya, rasanya dia mencoba menahan rasa sakit yang dia rasakan. Itu adalah ekspresi yang tidak kukenal darinya, yang membuatku bergumam kaget.
“Ah…”
…Dewi yang terkasih…Dewi yang terkasih. Aku tidak bisa menjadi sepertimu. Aku suka merawat adik perempuanku yang lucu, tetapi aku masih seperti anak kecil, terus-menerus membuat ulah. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tumbuh dan dewasa sebagai Kakak perempuan. Tapi setiap kali sesuatu yang menyakitkan terjadi, aku segera berusaha untuk mengandalkan orang lain. Aku tidak berpikir aku bisa menjadi dewasa dalam waktu dekat. Jadi tolong, katakan padaku—
“—Cinta itu membawa kelemahan.”
Bagaimana aku bisa mengendalikan dan mendinginkan panas yang menyengat yang memenuhi tubuhku ini?