Sepulang sekolah keesokan harinya.
Di restoran keluarga di depan stasiun terdekat. Yamato dan Sayla bertemu untuk belajar kelompok.
Yamato adalah yang pertama tiba, dan Sayla datang sekitar dua puluh menit kemudian.
“Maaf, apakah kamu menunggu lama?”
Sayla sedikit terengah-engah ketika dia bertanya. Dia mungkin tersesat saat berlari ke restoran.
“Aku juga baru sampai. Karena tadi aku harus mampir ke ruang staf. ”
…Itu bohong, tapi itulah cara Yamato untuk menunjukkan kepeduliannya.
Yamato memilih bertemu di sini karena keegoisannya, tidak ingin dilihat oleh teman-teman sekelasnya, jadi wajar saja baginya untuk menunjukkan kepedulian seperti itu.
“Itu bagus. Ayo masuk, kalau begitu.”
Sayla mendesaknya untuk masuk ke dalam restoran keluarga.
Restorannya tidak begitu ramai jadi Yamato dan Sayla dituntun ke meja untuk empat orang di dekat dinding.
“Apa yang harus kita pesan?”
Begitu mereka duduk saling berhadapan, Sayla segera membuka menu dan bertanya dengan suara yang menggetarkan hati.
“Hmm, kupikir aku hanya akan minum. Jika aku makan sesuatu, aku akan jadi ngantuk.”
“Jadi begitu. Baiklah aku akan memesan.”
“Ya”
Sayla menekan tombol untuk memanggil pelayan, dan seorang pelayan datang untuk menerima pesanan tak lama kemudian.
Sayla menunjuk menu.
Pizza Margherita, kentang krispi, doria otentik, gratin krim udang, dan dua minuman.
“Itu cukup banyak. Dan semuanya adalah makanan berminyak.”
Ketika Yamato bergumam pada dirinya sendiri, Sayla seolah tidak punya pilihan selain memesan lagi.
“Tambah salad Caesar.”
“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk menambahkan itu.”
“Yamato berkata begitu, dan aku merasa kalau itu benar, dan kupikir aku akan makan itu sesekali.”
Yamato mengira selera makanan Sayla sangat kekanak-kanakan, tapi ternyata, dia juga khawatir tentang kebiasaan makannya.
Namun, Yamato tetap menutup mulutnya saat dia merasa bahwa mengatakan lebih dari itu akan membuatnya tertekan.
Setelah pelayan memastikan pesanannya dan kemudian pergi, Yamato dan Sayla meninggalkan tempat duduk mereka untuk mengambil minuman.
“Yang mana yang harus kupilih?”
Begitu mereka tiba di mesin minuman, Sayla menuangkan coke sebanyak setengah gelas, lalu melipat tangannya sambil berpikir.
Apakah dia akan membuat minuman oplosan?
“…Aku akan minum es teh saja.”
“Es teh sangat cocok dengan Coke.”
“Tidak, aku tidak akan mencampurnya.”
“Begitu ya.”
Sayla tidak terlalu kecewa dan menambahkan soda anggur ke gelasnya, tampaknya setelah memikirkannya matang-matang.
Itu adalah kombinasi yang lebih aman dari yang dia duga, pikir Yamato.
“Lalu ini dan ini.”
Itu hanya awal yang aman. Dia menambahkan berbagai minuman secara acak, dan ketika dia akhirnya menambahkan soda melon, cangkirnya penuh.
(Itu benar-benar mengerikan…)
Minumannya berwarna hitam, dengan semburat ungu atau hijau, dan tidak terlihat enak.
Meskipun begitu, Sayla tampaknya lumayan puas.
“Baiklah, aku sudah selesai. Apa Yamato juga sudah?”
“…Ya, ayo kembali.”
Ketika mereka kembali ke tempat duduk mereka, pelayan membawakan mereka salad Caesar.
“Kamu juga bisa makan, Yamato. Jangan khawatir tentang uangnya.”
“Tidak, seharusnya tidak seperti itu. Faktanya, karena kamu akan mengajariku, aku lebih suka kalau aku yang membayar semuanya.”
“Aku mengatakan itu karena aku ingin memakannya juga, kamu tidak perlu khawatir.”
“Yah, setidaknya kita bagi tagihannya.”
“Hmm. Oke.”
Sayla mengangguk setuju, lalu menyesap minuman buatannya.
Sepertinya firasat Yamato menjadi kenyataan, dan wajah Sayla sedikit terdistorsi.
Mungkin untuk membersihkan mulutnya, Sayla mulai memakan saladnya.
“Jika kita membagi tagihannya, Yamato harus makan banyak juga.”
Dengan itu, Sayla memberinya satu piring kecil penuh salad.
“Shirase, kamu harus makan itu juga, oke?”
“Aku tahu.”
Dia mengatakan itu, tapi dia hanya menaruh sekitar setengah dari piring kecilnya. Dia tidak ingin makan salad banyak-banyak. Seleranya masih kekanak-kanakan.
Yamato menatapnya, tapi Sayla tidak membalas tatapannya dan mulai mengobrak-abrik tasnya.
Yamato mengikutinya, mengeluarkan buku pelajaran dan buku catatan dari tasnya sendiri.
“Kalau dipikir-pikir, tujuan utama acara ini adalah untuk belajar.”
“Ya, ya.”
“Mari kita mulai dengan Matematika B.”
Matematika B adalah mata pelajaran yang paling tidak dikuasai Yamato. Dia dapat dengan mudah mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran humaniora, tetapi dia kesulitan mengingat pelajaran sains, dan jika dia tidak mengambil tindakan pencegahan yang tepat, dia akan berakhir dengan hasil yang mengecewakan.
“Tentu. Materi ujiannya sampai halaman 40 dari buku pelajaran, ‘kan? ”
“Ya. Sepertinya aku masih belum menguasai materi grafik dan persamaan.”
“Titik koordinat ya. Jika begitu, mari kita gunakan soal di halaman ini sebagai contoh. Jadi, pertama…”
Dengan itu, belajar kelompok segera dimulai.
Begitu dimulai, Yamato terkejut.
Alasannya adalah gaya mengajar Sayla sangat mirip dengan guru matematika mereka.
Itu bukan tentang nada suara, sikap, atau gerak tubuh. Itu adalah versi yang disederhanakan dari apa yang dikatakan guru di kelas, menunjukkan dengan tepat hal-hal yang penting.
Tidak ada informasi tambahan sama sekali, membuat apa yang tampak seperti soal matematika yang rumit jadi begitu sederhana. Dia merasa tidak enak kepada guru matematika itu, tapi penjelasan Sayla jauh lebih mudah dipahami Yamato.
“—Aku selesai mengerjakan soal latihannya.”
“Ah, jawabanmu benar semua. Kerja bagus.”
“Ini berkat Shirase. Sekarang pelajaran Matematika B tidak akan menjadi masalah.”
“Bagus. Baiklah, mari kita makan dulu. ”
“Benar. Itadakimasu.”
Sejujurnya, meskipun Sayla sudah memesan semuanya, Yamato lupa makan karena keinginannya untuk belajar.
Mungkin itu karena dia sangat berkonsentrasi meski hanya sebentar, dia merasa bahwa tubuhnya membutuhkan makanan. Yamato kemudian mulai melahap makanan itu.
“Fiuh. Aku makan banyak.”
Dia niatnya cuma mengisi perutnya sedikit, tapi dia makan begitu banyak hingga dia mungkin tidak perlu makan malam.
Sayla, yang pasti telah memakan makanan dalam jumlah yang sama, memesan parfait stroberi untuk pencuci mulut, dan Yamato jadi tahu kalau konsep memiliki perut terpisah untuk manisan itu nyata.
“Ngomong-ngomong, Shirase sangat hebat dalam mengajari. Sejujurnya, aku terkejut.”
“Benarkah? Aku hanya menjelaskan apa yang kupelajari di kelas.”
“kupikir itu luar biasa, kamu bisa melakukan itu. Seberapa sering kamu belajar biasanya?”
“Aku tidak belajar saat di rumah.”
“Eh?”
“Mm?”
Dengan ekspresi bingung di wajahnya, Sayla memiringkan kepalanya.
Yamato terguncang dan bertanya lebih jauh.
“Yah… eh, kapan kamu belajar? Mungkin kamu ikut les atau semacamnya?
“Aku tidak ikut les. Jika hanya untuk ujian, aku dapat menyelesaikan sebagian besar soalnya hanya dengan mendengarkan penjelasan saat jam pelajaran.”
“H-Heh…”
Dengan kata lain, Sayla mendapat nilai rata-rata lebih dari sembilan puluh saat ujian hanya dengan mendengarkan penjelasan saat jam pelajaran.
Meskipun SMA Metropolitan Ao Saki memiliki rata-rata nilai yang tinggi, itu tidak terlalu menyusahkannya sehingga dia bisa berprestasi dalam ujian tanpa persiapan dan mempelajari ulang materi ujian seperti siswa/i biasa.
Sayla pastilah seorang jenius karena mampu melakukan itu.
Yamato tercengang oleh pengakuannya yang tiba-tiba, tapi kemudian dia mendengar suara berisik dari dekat pintu masuk restoran.
Dia menoleh dan melihat beberapa gadis berseragam SMA Ao Saki baru saja memasuki restoran.
(Ini adalah hari sialku… Aku tahu ini tidak akan cukup hanya dengan memilih tempat yang berjarak satu stasiun dari sekolah.)
Dia tidak mengenali wajah mereka, jadi dia menduga mereka dari kelas lain — mungkin murid baru. Itu hanya firasat, tapi dia merasa tidak nyaman sebagai senior.
“Yamato?”
Sayla memanggilnya dengan rasa ingin tahu. Dia sepertinya tidak memperhatikan gadis-gadis yang baru saja masuk ke restoran.
Sayla telah bersusah payah menyempatkan waktu untuk mengajarinya. Yamato mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia tidak boleh kehilangan konsentrasi dan membuang pikirannya itu.
“Maaf, tidak ada apa-apa. Selanjutnya, bisakah kamu mengajariku kimia?”
“Dimengerti.”
Dan mereka pindah ke pelajaran berikutnya.
“Hei, bukankah itu saint dari tahun kedua?”
“Uwww, wah. Dia bersama seorang anak laki-laki.”
“Eh, serius? Keliatannya menarik.”
Gadis-gadis yang baru saja masuk ke restoran tampaknya memperhatikan mereka. Meskipun mereka duduk agak jauh, mereka sangat berisik dan menatap Yamato dan Sayla dengan mata sangat ingin tahu.
Sejujurnya, ini canggung bagi Yamato. Itu mungkin sudah mulai menyebar di media sosial, tapi Yamato setidaknya berharap untuk menjaga kedamaiannya setidaknya untuk kesempatan ini.
Tapi keinginan itu sepertinya tidak akan terwujud.
Dalam perjalanan mereka ke mesin minuman, gadis-gadis itu berjalan melewati kursi Yamato dan dengan berani memotretnya dengan ponsel mereka. Mereka melakukan hal yang sama dalam perjalanan kembali dari mesin minuman, dan Yamato mulai menundukkan kepalanya dengan canggung. Hanya masalah waktu sebelum dia jadi bahan pembicaraan.
Saat itu, Sayla menyodoknya dengan pensil mekanik.
“Apakah kamu berkonsentrasi?”
Yamato mengangguk dengan jujur saat dia dihadapkan pada pertanyaan sederhana itu.
“…Bukannya aku terganggu atau tidak bisa berkonsentrasi. Maaf, padahal aku tahu Shirase sedang serius mengajariku.”
“Jadi begitu. Baiklah tunggu sebentar.”
Dengan itu, Sayla berdiri dan langsung menuju ke meja gadis-gadis itu.
Apa yang akan dia katakan? Saat Yamato mendengarkan dengan tidak sabar, dia mendengar suara Sayla.
“Aku tidak bisa berkonsentrasi belajar, jadi aku akan menghargai jika kalian tidak melihatku.”
Langsung ke intinya. Ketika Sayla mengatakan itu dengan nada lembut, gadis-gadis itu menganggukkan kepala mengerti.
“Terima kasih.”
Sayla berterima kasih kepada mereka dan kemudian kembali dengan wajah seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Saat Yamato berpikir bahwa situasinya dapat diselesaikan dengan mudah, dia mendengar suara bernada tinggi datang dari gadis-gadis itu. Mereka tampak bersemangat dan sangat senang.
Ekspresi apa yang Sayla buat di wajahnya ketika dia memperingatkan gadis-gadis itu? Aku penasaran, tapi sayangnya, Yamato tidak bisa melihat wajahnya.
“Sihir macam apa yang kamu gunakan?”
Ketika Yamato bertanya tentang hal itu, dia tampak bingung dan berkata, “Tidak ada. Aku hanya meminta mereka untuk berhenti melihatku,” Dengan kata lain, dia tidak sadar apa yang telah dia lakukan.
Suara bernada tinggi dari sisi lain berlanjut, “Saint itu memiliki wajah yang sangat cantik!” dan “Suaranya juga bagus!” dan “Dia sangat imut menurutku! Aku benar-benar jadi penggemarnya sekarang! ” …Jadi sepertinya rumor tentang Sayla yang populer di kalangan para gadis itu benar.
“Shirase benar-benar populer …”
“Hah? Aku tidak tahu.”
“Sungguh menakjubkan betapa tidak sadarnya kamu.”
Ketidaksadarannya sangat menakjubkan, dan bahkan Yamato menghormatinya karenanya.
Jadi Sayla bertanya dengan ekspresi penasaran di wajahnya.
“Apakah Yamato itu tidak menarik?”
“Pffft!?”
Yamato baru saja menyesap es tehnya tapi seketika menyemburkannya.
“Ah, mubazir.”
“Salah siapa ini? Siapa!”
Yamato menyeka meja dengan tsk dan batuk untuk mengembalikan pikirannya ke jalannya.
“Hmph. …Aku tahu, aku tidak pernah populer.”
“Hmm. Jadi begitu.”
Yamato memiliki perasaan yang rumit karena Sayla setuju dengan mudah, tapi yang penting sekarang adalah bagaimana mengakhiri topik ini. Karena itu, Yamato beralih ke buku pelajaran kimianya.
“Sudah waktunya untuk mengakhiri obrolan ini. Ayo kita lanjutkan belajar kita.”
“Ya, baiklah.”
Sayla tampaknya telah kembali berkonsentrasi, dan belajar kelompok dilanjutkan.
Dua jam berlalu.
Saat konsentrasi Yamato mulai berkurang, mereka memutuskan menyudahinya untuk hari ini.
Setelah membayar, mereka berjalan keluar dari restoran dan melihat pemandangan malam sudah menyebar. Ini agak baru bagi Yamato, karena dia biasanya tidak datang ke stasiun ini.
“Hm, aku lelah.”
Sayla bergumam pada dirinya sendiri saat dia merenggangkan tubuh di sebelah Yamato.
“Selamat malam. Terima kasih untuk hari ini, itu sangat membantu.”
“Itu bagus. Hanya tinggal tiga hari sampai UTS, ‘kan? Mari bekerja keras setiap hari sampai ujian tiba.”
“O-Oh. Aku akan menghargai bantuanmu … ”
Yamato akan bertanya padanya apakah itu tidak mengganggu belajarnya, tapi kemudian dia ingat bahwa Sayla bukanlah tipe orang yang belajar untuk ujian, jadi dia berhenti.
Meskipun ada beberapa gangguan tak terduga tadi, belajar kelompok hari ini sangat efektif bagi Yamato.
Lagi pula, hanya dalam satu hari, Yamato mampu menaklukkan dua mata pelajaran yang paling tidak dia kuasai: matematika dan kimia.
Saat Yamato memutuskan untuk meminta Sayla untuk membantunya meninjau pelajaran yang paling dia kuasai besok, dia tiba-tiba sadar bahwa Sayla menatap kosong ke kejauhan.
Dari sudut matanya, dia melihat sebuah arcade yang kosong.
“Aku tidak keberatan mampir untuk istirahat.”
Ketika Yamato memanggilnya, Sayla segera mengalihkan pandangannya ke arahnya.
“Kamu yakin?”
“Ya. Aku sudah paham semua pelajaran tadi. Ada baiknya untuk istirahat sebentar. ”
“Oke, ayo pergi.”
Sayla meraih tangan Yamato dan mulai berjalan.
Dia membuat ekspresi wajah poker biasanya, tapi Yamato tahu kalau dia agak senang. Dia pasti sudah gatal ingin ke sana.
“Tapi ini sudah larut. Satu jam saja.”
“…Oke.”
Ada jeda sebelum Sayla menjawab, tapi Yamato memutuskan untuk tidak mengkhawatirkannya.
Untuk saat ini, dia hanya ingin fokus bersenang-senang dengan Sayla.
Tiga hari telah berlalu sejak saat itu, dan UTS akhirnya tiba.
Suasana di kelas sudah tegang sejak pagi, dengan beberapa orang membaca buku pelajaran mereka dan menumpuknya, yang lain memohon kepada teman sekelas mereka, dan sisanya menyerah dan tidak melakukan apa-apa. Semua ini adalah adegan yang unik untuk saat-saat sebelum ujian.
“Oh, hei!”
Dalam keadaan seperti itu, suara yang agak ceria bergema di seluruh ruangan.
Suara itu, tentu saja, milik Eita.
Dengan itu, suasana tegang di kelas langsung mereda.
Saat Yamato mengagumi kehadiran pemimpin kelas…Eita mendekatinya untuk berbicara dengannya.
“Hei, Kuraki. Apakah kamu cukup percaya diri?”
“Begitulah, kurasa. Yah, kupikir aku bisa mengerjakan ujian ini lebih baik daripada biasanya.”
“Oh ~, kamu sangat percaya diri.”
Yamato tidak bermaksud terdengar begitu percaya diri, tapi dia lebih positif daripada biasanya karena Sayla telah mengajarinya selama beberapa hari terakhir.
Sebagai tambahan, Sayla sedang duduk di dekat jendela dengan pipinya bertumpu pada tangannya. Dengan kata lain, dia sedang melakukan postur biasanya.
Melihat sosok Sayla, Yamato menjawab Eita seolah-olah dia sedang memberinya petunjuk.
“Apakah kamu percaya diri, Shinjo? Aku tahu ini agak terlambat sekarang.”
“Ketika ini selesai, selanjutnya adalah festival olahraga. Entah aku percaya diri dalam ujian atau tidak, aku hanya menunggu ini selesai.”
Yamato tidak hanya tidak begitu mengerti apa yang dia katakan, tapi Eita juga tampak kurang percaya diri dengan ujiannya. Yamato bertanya-tanya apakah Eita adalah tipe orang yang memikirkan hasil ujian sejak awal.
“Mungkin itu bukan urusanku, tapi kurasa setidaknya kamu harus mendapatkan nilai yang lumayan.”
“Oh tentu. Aku meminjam beberapa buku catatan dan belajar, dan kupikir aku bisa mengatasi ujiannya. Aku hanya tidak sabar menantikan festival olahraga. ”
“Itu bagus kalau begitu.”
Dari sudut pandang Yamato, sebagai seseorang yang tidak pandai olahraga, gagasan menantikan festival olahraga tidak terpikir olehnya, dia juga tidak bisa bersimpati dengan itu.
Namun, Yamato sedikit mengagumi Eita karena caranya menikmati kegiatan sekolah.
“Yah, aku minta maaf karena mengganggumu sebelum ujian. Mari kita lakukan yang terbaik.”
“Ya.”
Setelah Eita pergi dengan senyum cerah, Yamato melihat sekeliling kelas dan melihat May menatap buku pelajarannya dengan ekspresi serius.
“Yah, tingkah setiap orang sebelum ujian itu berbeda dari biasanya.”
Satu-satunya orang yang sama sekali tidak berubah dari biasanya adalah Sayla. Di satu sisi, dia yang paling berbeda dari kami semua, tapi memang seperti itulah dia.
Dan saat Yamato memikirkan hal itu, bel berbunyi.
Mengalihkan pikirannya ke mode ujian, Yamato bersiap untuk memulai UTS.
UTS di SMA Metropolitan Ao Saki diadakan selama empat hari.
Hari demi hari terasa begitu lambat sebelum dimulai, tapi begitu selesai, rasanya seperti berlalu dalam sekejap mata.
Dan, pada hari terakhir UTS, Yamato berhasil menyelesaikan ujian terakhir.
Itu sepadan dengan usahanya. Dia tidak terlalu kelelahan, tapi dia merasakan rasa pencapaian yang luar biasa.
Ini karena Yamato melanjutkan belajar kelompok bersama Sayla bahkan selama masa ujian, dan dia sangat siap untuk hari berikutnya.
(Aku tidak sabar untuk melihat hasilnya. Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.)
Yamato bukan satu-satunya yang merasa seperti itu.
Usai ujian, suasana kelas menjadi heboh. Semua orang dalam suasana pesta pora, berusaha menghilangkan rasa frustrasi belajar hari demi hari.
Ditambah lagi, ini baru pertengahan pagi. Karena jadwal ujian hari ini, mereka bisa meninggalkan sekolah sebelum tengah hari. Untuk memanfaatkan kesempatan ini, sekolah dipenuhi dengan siswa yang membuat rencana untuk bersenang-senang selama waktu luang mereka, dan yang lainnya sangat bersemangat untuk melakukan kegiatan klub setelah sekian lama.
Pada saat itu, Eita, yang berdiri di depan podium, berteriak.
“Hai semuanya, kerja bagus dalam ujian! Besok, kita akan kembali berlatih untuk festival olahraga!”
Saat Eita berteriak, teman-teman sekelasnya (kecuali beberapa yang tidak pandai olahraga) menjawab dengan berteriak, “Ohhh!”
Tanggal festival olahraga tepat dua minggu dari sekarang. Tentu saja saat ini adalah waktu yang tepat untuk mulai berlatih keras.
Namun, Yamato tidak mampu mengikuti atmosfer tersebut. Sebaliknya, dia memikirkan rencana nongkrong selanjutnya dengan Sayla.
Setelah bimbingan wali kelas berakhir, Yamato bersiap-siap untuk pulang ketika dia mengirim pesan ke Sayla, “Sekarang ujiannya sudah selesai, bagaimana kalau kita mampir ke suatu tempat?”
Kemudian, Sayla mendatanginya dengan tas di tangannya.
“Baiklah, kalau begitu ayo pergi.”
Cara Sayla tersenyum pada Yamato sangat imut hingga dia hampir jatuh cinta padanya. Tapi mereka masih di dalam kelas, dan tatapan orang-orang di sekitarnya menyakitkan.
“…Yah, lebih cepat lebih baik.”
Yamato juga mengambil tasnya dan meninggalkan kelas dengan langkah cepat bersama Sayla.
Kemudian, Yamato dan Sayla menuju ke sebuah restoran cepat saji yang terletak tidak jauh dari sekolah.
Saat itu jam makan siang dan restorannya cukup ramai, tapi mungkin karena lokasinya, tidak ada siswa dari SMA Ao Saki yang terlihat.
Masing-masing dari mereka memesan dan duduk berjajar di dekat jendela di lantai dua.
“Ini cukup ramai. Aku senang ada kursi kosong~”
“Iya. Baiklah kalau begitu—”
“”Kerja bagus dalam ujian!””
Mereka saling bersulang dengan minuman berukuran L dan kemudian secara alami saling tertawa.
Sambil tersenyum saat melihat Sayla menggigit burger ekstra besar, Yamato memutuskan untuk bicara.
“Ngomong-ngomong, Shirase, apakah ada tempat yang ingin kamu kunjungi untuk bersenang-senang? Aku mendengar kalau ada banyak tempo hari, tapi jika harus mempersempitnya menjadi satu, aku bertanya-tanya tempat mana yang terbaik.”
Kemudian Sayla menggeliat, mengunyah, dan memiringkan kepalanya sambil berpikir.
Begitu mulutnya benar-benar kosong, dia mengucapkan pikiran yang dia dapat.
“Kurasa aku paling ingin pergi ke kolam renang sekarang. Akhir-akhir ini sangat panas.”
Namun, pergi ke kolam renang berarti mengenakan pakaian renang.
Memikirkan Sayla dalam pakaian renang membuat Yamato merasa canggung, jadi dia memutuskan untuk menyimpan pikiran itu sendiri untuk saat ini.
Karena Sayla ingin itu, tidak mungkin Yamato bisa menolak. Saat ini terlalu dini untuk pergi ke kolam dingin biasa, tapi seharusnya tidak masalah jika mereka pergi ke kolam air hangat.
Yamato berusaha tetap setenang mungkin dan secara alami mencoba menerima usulan itu.
“Tentu, hari ini juga panas. Jika begitu, kita bisa pergi ke kolam renang umum saat akhir pekan.”
“Oh, maksudku bukan kolam renang biasa.”
“Eh?”
Saat itu, Sayla mulai mengutak-atik ponselnya dan segera menunjukkan layar kepada Yamato.
Apa yang dia lihat di layar adalah fasilitas “kolam renang malam” di pusat kota.
Tidak seperti kolam renang umum di lingkungan sekitar, kolam ini didekorasi dengan lampu berwarna cerah dan tampak seperti fasilitas yang glamor dan modis. Gambar pemuda-pemudi dengan pakaian renang yang mencolok membuatnya tampak seperti dunia lain bagi Yamato. Dia sangat terkejut hingga otaknya membeku.
“Yamato?”
Saat Yamato tetap diam, Sayla menyodok bahunya dan memanggilnya.
“Y-Ya, maaf. Itu terlalu mengejutkan. ”
“Kau tidak begitu menyukainya?”
“Bukannya aku tidak menyukainya, hanya saja… aku tidak menyukai fasilitas itu.”
Yamato sendiri juga tahu keberadaan fasilitas kolam renang malam itu.
Itu adalah fasilitas kolam renang yang bisa digunakan pada malam hari, tapi anggapan Yamato tentang itu adalah tempat di mana apa yang disebut “orang-orang pesta” akan berkumpul atau fasilitas berbahaya yang khusus untuk “pemuda-pemudi.” Dia belum pernah benar-benar mengunjungi tempat seperti itu sebelumnya, jadi dia percaya anggapan itu.
Itulah kenapa Yamato menunjukkan penolakan, dan bahu Sayla merosot karena benar-benar kecewa.
“Jadi begitu. Maka mau bagaimana lagi. Aku ingin pergi dengan Yamato.”
Hati Yamato terasa sakit saat dia melihat ekspresi cemberut Sayla.
Yamato mengingatkan dirinya sendiri bahwa mungkin tidak benar untuk berpegang erat pada anggapannya sendiri dan memutuskan untuk menanyakan detailnya.
“…Yah, apakah kamu pernah ke sana, Shirase? Ke kolam renang malam itu dan sejenisnya.”
“Tidak pernah. Tapi ketika saya melihatnya, tampaknya memiliki atmosfer yang menyenangkan dan itu menggelitik minatku.”
“Kelihatannya menarik… itu seperti tempat di mana orang-orang berbahaya berkumpul. Ini adalah tempat di mana kamu dapat menemukan orang-orang yang ingin menggoda gadis-gadis seperti orang-orang yang pernah terlibat masalah denganmu sebelumnya atau sejenisnya.”
“Apakah begitu? Dari apa yang kulihat di situs informasi, sepertinya banyak gadis berkumpul di sana untuk nongkrong dan itu juga sering digunakan oleh pasangan.”
“Yah, itu akan canggung …”
Yamato sadar bahwa pernyataan itu memalukan. Namun, dia merasa bahwa dia tidak bisa menyerah begitu saja pada saat ini. Itu semacam insting pertahanan diri.
“Jadi kenapa kita tidak pergi ke sana dan jika canggung, pergi saja?”
“Tidak, itu akan membuang-buang uang… Tempat itu cukup mahal, tahu? Lagi pula, kenapa tidak ke kolam renang umum biasa saja?”
“Aku tidak begitu mengerti, hanya saja aku merasa tidak nyaman di kolam renang umum.”
Sayla juga cukup keras kepala.
Saat kedua belah pihak terus berdebat, Sayla menghabiskan burger ekstra besar keduanya dan kemudian mengangkat tangannya ke udara seolah-olah dia mendapat ilham.
[TL Note: Ilham mana ilham? :v]
“Tidak masalah jika itu kolam malam, selama tidak ada orang aneh dan tidak mahal, kan?”
“Yah, jika ada tempat seperti itu… mungkin kamu tahu tempat macam itu?”
“Sepertinya aku tahu.”
“O-Oke.”
Jika ada fasilitas impian seperti itu, Yamato berpikir itu akan bagus. Jantung Yamato berdebar kencang saat dia mengantisipasi, bertanya-tanya apakah itu adalah kolam renang pribadi untuk orang kaya.
“Yah, masalah ini sudah terpecahkan kalau begitu. Ayo berangkat malam ini.”
“Mendadak sekali. Yah, aku ada waktu dan tidak ada yang harus kulakukan, jadi kenapa tidak.”
“Bagaimana kalau kita bertemu di depan gerbang sekolah jam 8:00 malam?”
“Bukankah sebaiknya kita bertemu di stasiun?”
“Tidak. Jika kita bertemu di stasiun, kita harus berjalan jauh.”
Tampaknya tempat itu ada di dekat sekolah. Itu bagus karena tidak akan menguras ongkos untuk kereta.
“Itu cukup dekat. Tempat macam apa itu?”
“Kamu harus menunggu dan melihatnya sendiri.”
Lalu Sayla tersenyum penuh arti saat mengatakan itu.
Yamato memiliki firasat buruk tentang ini, memutuskan untuk membayangkannya dengan imajinasinya.
“Oke. Sekarang setelah kita memutuskan rencana kita untuk malam ini, apa yang harus kita lakukan setelah ini? Kita bisa menghabiskan waktu di suatu tempat, atau pulang lebih awal.”
“Aku harus pulang untuk mengambil baju renangku, dan aku ingin tidur, jadi mari kita berpisah.”
“…Sebelum kita terbawa suasana, kita tidak akan begadang semalaman, oke?”
“Aku tahu. Yamato kadang-kadang sangat serius.”
“Aku pada dasarnya selalu serius, bukan hanya kadang-kadang.”
Mereka menghabiskan makan siang mereka, berdebat tentang hal-hal seperti itu.
Setelah meninggalkan restoran, mereka berjalan ke stasiun dan berpisah ketika mereka sampai di jalan utama.
“Aku menantikan ke kolam renangnya.”
Saat akan berpisah, Sayla berkata dengan gembira.
Senyum polos di wajahnya begitu menggemaskan hingga Yamato hampir merasakan pipinya melunak.
“I-iya.”
Menyembunyikan mulutnya, Yamato setuju dengannya. Dia menantikannya, tapi dia sudah gugup, membayangkan Sayla dalam pakaian renangnya.
“Sampai jumpa nanti malam.”
“Ya, sampai jumpa.”
Mereka saling melambaikan tangan dan pulang.
Yamato sangat senang akhirnya bisa melakukan sesuatu yang seperti kegiatan musim panas.