Aku tidak bisa mengeluarkan ide untuk Saito selain buku yang dia inginkan, jadi aku ingin coba untuk menanyakan gadis lain, sayangnya, aku kurang memiliki koneksi dengan para gadis.
Satu-satunya orang yang bisa kupikirkan adalah gadis di pekerjaan paruh waktuku. Aku tidak bisa bilang kalau kami itu dekat, tetapi aku sudah pernah mengobrol dengannya tentang Saito sebelumnya, dan dia mudah untuk diajak bicara.
Kupikir kalau aku akan bisa mendapatkan pendapatnya karena dia mungkin memiliki selera yang sama dengan Saito. Setelah sif pekerjaan paruh waktuku berakhir, aku mendekatinya.
[Hiiragi-san, Bolehkah aku mengobrol?]
[Iya, ada apa?]
Ketika aku memanggilnya, dia memberiku tampang yang aneh.
[Sebenarnya, aku ingin bertanya padamu sesuatu…]
[… Silakan saja.]
Aku pikir dia mungkin akan menolak, karena kami kan memang tidak begitu dekat, tetapi dia malah mengangguk dan menerima permintaanku, meskipun ada jeda yang aneh sebelumnya.
[Ini hampir waktunya hari ulang tahun seseorang yang dekat denganku akhir-akhir ini, tetapi aku tidak yakin apa yang bisa aku kasih ke dia…]
Hiiragi-san bereaksi pada kata-kataku dengan tersentak dan membeku.
[… Apa orang yang ada di pertanyaan ini bilang sesuatu tentang apa yang dia sukai atau inginkan?]
[Dia selalu menjadi pecinta buku, dan ketika aku bertanya padanya hari ini, dia bilang dia menginginkan sebuah buku baru.]
[Begitulah dirimu…]
[Ada apa?]
Matanya yang berada di belakang kacamatanya menatapku.
Dia membuka mulutnya dan ingin bilang sesuatu, tetapi ragu-ragu dan menutup mulutnya lagi.
[… Tidak, tidak ada apa-apa, kok, jika begitu kejadiannya, aku rasa sebuah buku akan baik-baik saja, bukan?]
[Hmmm…]
Aku tahu itu pilihan paling aman, tetapi itu masih cukup rumit.
Ini adalah sebuah kado ulang tahun, jadi aku pikir kalau sebuah buku terasa sedikit membosankan sebagai kado.
[Jika itu sangat mengganggumu, kamu tidak usah benar-benar memberikannya apapun, kamu tahu?]
Selagi aku tersesat dalam pikiranku, dia menyarankan kalau aku tidak usah memberikannya apapun saja dengan suara yang dingin, seolah-olah dia kehilangan kesabaran.
Tetapi, aku tidak bisa melakukan itu.
[Tidak, aku ingin memberikannya kado. Aku benar-benar berutang padanya. Meskipun dia tidak punya kewajiban untuk meminjamkanku buku, dia masih melakukannya begitu tanpa ragu-ragu dan dengan ekspresi yang bahagia juga. Terkadang dia agak kepo, tetapi aku sangat berterima kasih padanya. Namun, aku terlalu malu untuk bilang ini ke dianya langsung sih…. Apa ada yang salah?]
Itu bukan berarti aku tidak mau diberi tahu oleh siapapun, tetapi ini masih terasa malu untuk berbicara tentang perasaanku yang sebenarnya terhadap orang lain.
Selagi aku berbicara lagi dan lagi, dan mulai untuk merasa malu, Hiiragi-san membeku, memutar matanya di belakang lensa itu.
Dia menurunkan matanya dan lirikannya ke kanan ke kiri seolah-olah dia berpaling dariku.
Pipinya tampak diwarnai dengan sedikit pewarna.
[… Jangan khawatir tentangku, lanjutkan saja.]
Aku mencoba untuk menanyakan apa yang terjadi padanya, tetapi dia merespons dengan suara dinginnya yang biasa.
Dia terdengar tidak peduli, jadi aku pikir tidak akan ada masalah dan lanjut berbicara.
“Benarkah begitu? Iya, itulah mengapa aku ingin memberikannya sesuatu sebagai balasannya. Aku ingin dia jadi bahagia sebagai cara untuk membalas budi yang telah dia lakukan untukku sejauh ini. Aku suka ketika dia tersenyum bahagia.]
Terkadang dia menyipitkan matanya dan tersenyum bahagia, yang mana itu sangat memikat, dan juga menyegarkan untuk dilihat, dan aku ingin melihatnya lagi dan lagi. Aku jarang melihat senyumannya karena dia biasanya datar tak berekspresi, tetapi itu membuatku bahagia kapanpun aku melihat senyumannya.
Kapanpun dia tersenyum, dia tampak senang, dan ada sesuatu tentang itu yang membuatku terpesona.
[Aku mengerti… kalau sebuah buku tidak cukup, mungkin tambahkan saja aksesori sebagai hadiah tambahan untuknya.]
Dia bilang itu padaku dengan suara yang lebih kencang dari biasanya.
[Tidak ada aturan yang menyatakan kamu tidak bisa memberikan dua hadiah.]
Aku ingin memberikannya buku itu karena aku ingin dia jadi bahagia.
Aku tahu kalau dia akan benar-benar menyukai buku itu jika aku memberikannya, tetapi alasan mengapa aku ragu-ragu adalah karena ada banyak yang belum pernah dia tunjukkan padaku.
Dia juga seorang gadis normal. Buktinya adalah fakta bahwa dia menyukai yang manis-manis seperti es krim.
Aku juga merasa kalau dia menyukai hal-hal yang imut dan cantik.
Aku akan memberikannya kado yang lain. Aku rasa itu adalah ide yang bagus untuk memberikannya hadiah cadangan juga.
[Iya, aku rasa itu akan menjadi ide yang bagus. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang, dah.]
[Ah, iya, terima kasih banyak.]
Setelah memberikanku beberapa saran, dia segera pergi. Aku melihatnya pergi sambil berpikir untuk diriku sendiri.
Selagi dia berjalan pergi, aku pikir telinganya dicat dengan warna merah.