[……]
Keheningan berlanjut. Kami mulai berjalan sambil berpegangan tangan, tetapi percakapan yang menyenangkan di awal sudah hilang.
Aku harus mengatakan sesuatu, aku mencoba memikirkan sebuah topik, tetapi tidak ada yang terlintas dalam benakku. Aku tidak bisa apa-apa selain merasakan sentuhan tangan Saito yang lembut dan berkulit putih dalam genggaman tangan kami. Semua sarafku fokus pada tangannya, yang jelas berbeda dari tangan lelaki.
Jari-jarinya yang tipis dan aku merasa seperti jari-jari itu akan hancur jika aku meletakkan terlalu banyak tekanan padanya. Gerakan halus dari jari-jarinya membuatku geli. Mungkin itu karena kami sedang berpegangan tangan, tetapi rasa dingin yang aku miliki yang terasa sebelumnya telah menghilang. Tubuhku sedikit panas dan jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
Ketika aku menatap Saito, aku melihat pipinya telah berubah menjadi merah samar dan matanya menyipit. Aku terkejut bisa melihat ekspresinya yang bahagia dan lembut lagi. Merasa bahagia karena memegang tangan seseorang bukanlah hal yang sombong sama sekali, iya kan? Aku menghembuskan napas di dalam hatiku sehingga itu sepadan dengan usaha untuk melihat wajahnya seperti ini.
Setelah beberapa saat terdiam, aku melihat seekor kucing berbulu coklat di pinggir jalan. Dia sedang duduk di atas tanaman dan menggoyangkan ekornya.
[Ah, itu seekor kucing.]
Tampaknya Saito juga menemukannya, dia menarik tanganku dan berlari sedikit lebih dekat ke arah kucing itu. Untuk beberapa saat, aku penasaran apakah kucing itu akan kabur jika kami mendekatinya dengan cepat. Tetapi sang kucing (Neko-san) sepertinya terbiasa dengan orang-orang dan tidak berpindah dari tempatnya.
Mendekati kucing itu, dia duduk dan mulai mengamatinya, mulutnya mengendur dalam kenikmatan. Kucing itu mengeong sekali seakan menyapa.
[Apakah kamu suka kucing?]
[Iya, begitulah. Aku dulu punya satu.]
[Begitu ya. Siapa namanya?]
[Namanya Cocoa. Warnanya sama dengan kucing ini.]
[Hmm…]
Kalau begitu aku rasa itu tidak ada di rumahnya lagi, begitulah, aku rasa seperti itu. Aku tidak kepikiran hal lain untuk dikatakan, dan ketika aku melirik ke arahnya, dia menatap kucing itu dengan mata yang nostalgia.
Saito tersenyum dan menatap kucing itu dengan agak hangat dan menenangkan untuk dilihat. Kecintaannya terhadap kucing dapat dibuktikan dari caranya menatap mereka. Dia pasti merawat dengan baik kucing yang dia punya dulu. Memang mudah untuk membayangkannya mengelus kucing itu dengan penuh perhatian.
Dia telah menatap kucing itu cukup lama sekarang. Ketika aku penasaran apakah dia hanya menatap ke arah kucing itu, dia membuka mulutnya.
[Meong meong?]
Tampaknya, dia sedang berbicara dengan kucing itu. Tentu saja, tidak mungkin kucing itu akan menjawabnya, kucing itu hanya menatap kembali ke arahnya.
[Pffft.]
Aku tidak bisa apa-apa selain terkikik. Itu sangat lucu bahwa dia mencoba untuk melakukan percakapan dengan seekor kucing dengan wajah yang serius. Aku tidak dapat membayangkan Saito sebagai dirinya yang biasa, tetapi memang sangat lucu sehingga aku membuka mulutku. Dia berbalik ke arahku, dan sepertinya dia mendengar aku cekikikan.
[Mengapa kamu tertawa?]
[Tidak, tidak ada apa-apa kok.]
Dia membungkuk dan menatapku. Tetapi dia sepertinya tidak tahu mengapa aku tertawa. Caranya memiringkan kepalanya penasaran itu agak seperti kucing.
Ketika aku melirik ke arah kucing yang berada di sampingnya, kucing itu menatapku dan memiringkan kepalanya, sama seperti Saito. Mata kucing itu indah dan bulat, tepat seperti mata Saito. Aku tidak bisa apa-apa selain tertawa lagi pada seberapa miripnya Saito dan kucing itu terlihat.
[Kamu sudah tertawa cukup lama… Serius deh, ada apa sih?]
[Aku kan sudah bilang padamu tidak ada apa-apa kok.]
Dia menyadari bahwa dia sedang ditertawakan, dan menyipitkan matanya sambil bertanya-tanya dan terus bertanya padaku. Tetapi aku tidak ingin memberi tahunya, karena jika aku melakukannya, dia tidak akan bertingkah seperti kucing lagi.
Itu mungkin saja akan memalukan, jadi aku pura-pura tidak tahu.