Beberapa hari sudah berlalu sejak pertemuan dengan tiga pacar itu. Setelah pemeriksaan menyeluruh dan berbagai konsultasi, Asuka, temen masa kecil dan pacarku, yang tetap bersamaku hingga akhir.
Teman masa kecil dan pacar bukanlah kata-kata yang awalnya dipasangkan bersama, tapi mau bagaimana lagi karena rasanya paling tepat seperti itu.
Asuka sepertinya telah menerima sebuah kunci cadangan dari diriku yang dulu dan sudah bersamaku sejak sesaat sebelum aku keluar.
Dua lainnya tidak muncul sama sekali, jadi aku pikir wajar saja pacarku, yang punya sejarah paling lama dengaku, akan ada di sana.
Sungguh pemikiran yang aneh.
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat untuk menghilangkan pikiran aneh ini.
Ketika aku mengangkat wajahku dengan penuh semangat, kepalaku terasa sedikit lebih jernih.
Sekarang, setelah sekian lama, aku berdiri di depan rumahku. Sebuah gedung apartemen dua belas lantai yang baru dibangun.
Pintu depan yang bewarna coklat itu memiliki trim emas. Meninggalkan kesan sedikit lebih mewah daripada apartemen lain yang aku liat di sepanjang jalan, dan aku tanpa sengaja berseru,
“Wah, jadi ini rumahku. Kelihatannya tidak asing.”
“Itu hal yang aneh untuk dikatakan.” Asuka, teman masa kecilku, yang sedang menunggu selangkah di belakangku, bergumam dengan nada sedikit kesal.
“Aku tidak bisa menahannya, kan? Inilah perasaanku yang sebenarnya.” jawabku.
Dengan Asuka, yang semakin mendekat, dalam pandanganku, aku memasukkan kunci ke pintu depan.
Saat aku memutar kunci, Aku merasakan sensasi yang kuat dan suara yang memuaskan bergema.
Klik.”Aku pulang!”
“Hei, kau mengganggu tetangga!” Asuka memperingatkan, tapi aku mengabaikannya dan masuk ke dalam rumah.
Rumah yang sudah lama kutunggu-tunggu ini punya suasana nostalgia. Ruang tamunya cukup luas untuk berlarian, dan ada meja panjang di tengahnya.
Terdapat dua pintu yang mengarah ke ruangan lain, memberikan lebih dari cukup ruang bahkan dengan kehadiranku dan Asuka. Rumahku cukup luas.
“Oh iya, aku relatif kaya, kan? Ini terlalu besar untuk tempat tinggal satu orang.”
“Rumah ini luas, kau orang mewah. Orang mewah dengan tiga pacar.”
“Itu benar, tapi agak memalukan kau bereaksi seperti itu!”
“Itu cuma lelucon, aku tidak keberatan.”
“Yah, aku masih berpikir itu sangat aneh…”
Mengabaikan gumamanku, Asuka mengumpulkan barang-barangnya di sudut ruang tamu. Setelah selesai, dia memanggilku.
“Aku akan masak makan malam, jadi kau bisa menonton TV dan menunggu. Remote harusnya ada di laci meja kopi.”
“Hah, laci meja kopi?”
Aku membuka laci seperti yang diinstruksikan, dan benar saja, remote itu ada di sana.
“Oh, serius. Asuka, kau cukup sering datang ke rumah ini.”
“Yaa, yah. Aku ingat tata letak furniturnya secara umum.”
“Wah, kau sering datang ke sini, ya?”
“Yah, kita bersama selama dua tahun, jadi…”
“Itu waktu yang lama.”
“Kenapa kau terdengar tidak senang?”
“Aku bukannya tidak puas sama sekali!”
Aku menggeleng kepalaku tergesa-gesa.
Tanpa sengaja, pikiranku kembali pada ketiga pacar itu.
Sangat jarang orang-orang zaman sekarang yang cantik dan juga pengertian. Malah, ada tiga.
Mengingat sejarah perselingkuhanku yang merajalela, wajar saja aku menerima hukuman dari tuhan dan kehilangan ingatanku.
Aku tidak yakin itu bisa disebut selingkuh di situasi yang tidak masuk akal ini di mana mereka bertiga tahu satu sama lain.
“Hmm. Aku senang kau tidak sedih.”
Asuka menatapku lekat-lekat, lalu mengalihkan pandangannya pada sesuatu yang ada di tangannya. Sepertinya dia akan memasak untukku sekarang, karena aku bisa dengar dentingan logam dari dapur.
Dengan lancar dia mengeluarkan piring, menandakan bahwa dia sudah sering mengunjungi rumah ini.
“Ngomong-ngomong, apa kau ingat di mana saja letak benda-benda di rumah ini?”
“Ah… sebagian besar. Walaupun aku sudah lupa di mana remote-nya.”
“Ohh begitu. Mungkin tidak ada hubungannya dengan amnesia-mu.”
“Mungkin.. Ketika aku diperiksa, mereka juga mengatakan bahwa masih ada beberapa area yang samar-samar.” Jawabku sambil mengembalikan remote pada tempatnya.
Alih-alih menonton TV, menjelajahi rumahku sendiri menjadi prioritas. Mengikuti ingatanku yang masih kabur, aku berjalan selangkah demi selangkah dari ruang tamu ke kamar tidur, lalu ke toilet dan kamar mandi.
Dengan setiap pemandangan, kenangan akan rumahku kembali dengan jelas. Menurut dokter, meski dengan amnesia yang sistematis, gejalanya bervariasi dari satu orang ke orang lain.
Dalam kasusku, aku cuma lupa hubungan dengan orang lain, tapi ada saatnya aku tidak bisa mengingat detail spesifik tempat-tempat atau hal-hal yang sangat mencerminkan hubungan tersebut.
Itu bisa berupa ruang kelas di sekolah atau bahkan rumahku sendiri. Dengan kata lain, alasan kenapa kenangan-kenangan mengenai rumahku muncul begitu cepat adalah karena waktu yang orang lain habiskan di sana terbatas.
Dan itu mungkin juga berlaku untuk keluargaku. Apartemen dengan dua kamar tidur. Itu agak terlalu besar untuk siswa SMA yang tinggal sendirian.
…Tinggal sendirian di rumah seperti ini sungguh sebuah keistimewaan.
“Meskipun aku hanya seorang siswa SMA,” Aku bergumam dengan nada yang terdengar terpisah dari diriku.
Merasa sedikit kesal dengan diriku sendiri, aku membuka ruangan terakhir.
“Apa ini..?”
Sebuah altar Buddha.
Saat aku berjalan mengelilinginya, seorang wanita tersenyum padaku.
…Wanita itu ibuku. Aku mengetahuinya di rumah sakit bahwa ibu sudah meninggal. Aku merasa aneh bahwa tidak satupun orang tuaku datang mengunjungiku, jadi aku tanya Asuka tentang hal itu.
Aku penasaran bagaimana reaksi ibu melihat situasiku saat ini jika dia masih hidup.
Dia pasti khawatir.
“Apa yang kau lakukan?”
“Whoa!?” Kaget, aku berbalik dan Asuka juga sama terkejutnya.
“J-Jangan membuatku kaget seperti tadi! Kau pikir aku hantu atau apa?”
“Hei, kenapa dengan hantu? Bukannya masih mending jadi hantu daripada monster?”
Asuka menunjukkan reaksi kaget terhadap kata-kataku dan menggelengkan kepalanya, mencoba untuk kembali tenang.
“Aku salah bicara di depan ibumu..”
“Tidak, tidak apa-apa. Aku rasa ibu akan menganggapnya lucu,” kataku, membiarkan senyum tersungging di wajahku.
Asuka berkedip mendengar kata-kataku.
“Yah, begitulah menurutku. Ibu adalah orang yang baik hati.”
“Huh, kurasa begitu,” Jawabnya.
“Aku pernah mengalami masa sulit sebelumnya, dan ibu selalu ada untukku dan mendengarkanku.” Asuka duduk di sampingku dan melipat tangannya di depan altar Buddha.
…Jadi Asuka pernah mengalami masa sulit sekali. Sebagai teman masa kecil, ibuku mungkin tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
Itu belum pasti, tapi aku punya firasat. Dengan mengingat hal itu, aku menanyakan sesuatu yang ada di pikiranku.
“Hey, kau pikir apakah ayahku orang yang dingin?”
“Hah? Kenapa?” Asuka melepaskan tangannya dan mengalihkan pandangannya padaku.
“Yah, ayahku masih hidup, kan? Tapi dia bahkan tidak repot-repot menjengukku di rumah sakit. Apa masalahnya?”
Ternyata, ayahku telah mengalihkan kepemilikan apartemen kepadaku, dan dia memilih fokus pada pekerjaannya.
Dia selalu pergi untuk urusan bisnis, dan sudah sekitar tiga tahun sejak terakhir kali kami bertemu. Bahkan Asuka, teman masa kecilku, sepertinya tidak tahu apa pekerjaan ayah, atau bahkan informasi kontaknya.
“Ah, yah, aku juga berpikir begitu,” katanya.
“Bahkan tidak ada satu kontak pun dari kerabatmu satu-satunya, ayahmu, untuk berkunjung. Aku benar-benar punya latar belakang yang keras dalam mode keras.”
“Nada santaimu tidak menyampaikan apa-apa…”
“Aku menangis di dalam hati!” Aku menirukan gaya menangis, tapi Asuka benar-benar mengabaikanku.
Kayaknya dia mulai dingin sedikit lebih cepat.
Tidak tahan lagi, aku berdehem dan kembali mengarahkan pandanganku pada altar Buddha tadi. Ibuku sedang mengawasiku dengan senyum lembutnya, bahkan setelah usaha canggungku untuk bercanda.
…Aku yakin ibu akan sedih jika dia tau aku hilang ingatan.
Dan apabila ayah tidak sedih, mungkin itu hal yang bagus.
“Lebih baik sedikit orang yang sedih. Jadi mungkin ini situasi plus-minus-nol. Meskipun aku memiliki perasaan merindukan saudara kandung, kupikir aku merasa lebih lega menjadi anak tunggal.” Kata-kataku membuat Asuka mengendurkan bibirnya.
“Rayuan gombal.”
“Hentikan, ini memalukan!”
“Tapi itu agak mirip denganmu.” Aku mengedipkan mata.
Nada Asuka luar biasa tenang. Aroma harum menguar dari dapur. Suara minyak mendesis.
Suasana memasak sampai ke ruangan kami. Rasanya hangat.
Pemandangan ini, yang melelehkan air beku, menambah warna lembut bahkan pada pikiranku yang kosong.
Tenggelam dalam perasaan mengantuk, Asuka melanjutkan kata-katanya dengan lembut.
“Aku sudah mengatakan ini sebelumnya, tapi sesekali aku akan datang dan menolongmu bersih-bersih. Aku yang paling bertanggungjawab atas pekerjaan rumah.”
“Maksudmu di bawah mereka?”
“Yap. Saki dan aku sudah bagi-bagi tugas untuk sebagian besar bagian.” Kata Asuka melihat ke arahku.
Rambut emas terang dan mata biru besar. Melalui Asuka, aku melihat bayangan diriku sebelumnya.
16 tahun hdiup. Fakta bahwa banyak ingatanku yang hilang masih terasa tidak nyata.
Ketika ketebalan akumulasi 16 tahun diratakan dalam sekejap, semua orang di sekitarku mengakumulasi 16 tahun.
Aku adalah eksistensi tanpa banyak substansi, eksistensi yang tidak jelas. Itulah kenapa aku bisa menerima keadaan yang tidak normal ini.
Tidak, aku tidak punya pilihan selain menerimanya.
Seperti spons putih bersih yang menyerap warna apapun, semua yang terjadi di depanku menjadi milikku.
Entah itu karena kehilangan ingatan atau cara hidupku dulu yang tidak jelas.
“Hei.” Asuka, yang mendekatiku, menyentuh hidungku dengan telunjuknya.
“Bahkan jika kau merasa takut, aku ada di sini, jadi jangan khawatir.”
“Eh, tidak…”
“Kalau Yuuki ada masalah, aku akan membantu. Apapun, sungguh.”
“Apa pun?”
Tanpa pikir panjang, kata-kata itu keluar dari mulutku dan Asuka mengedipkan matanya.
“Kau baru saja membayangkan hal aneh ya?”
Tidak tahu harus menjawab apa, aku memutuskan untuk jujur.
“Aku membayangkan sesuatu yang aneh.”
Dalam sekejap, hidungku digenggam dengan kuat.
Rasa sakitnya cukup membuat wajahku jatuh dan aku berteriak.
“Aw aw aw aw! Apa yang kau lakukan pada pasien yang baru keluar?”
“Diam! Kenapa kau harus membawanya kembali ke titik ini? Kembalikan niat baikku!”
“Mau bagaimana lagi? Ini hal yang wajar bagi orang sehat, akal sehatku yang mengatakannya!”
“Kau jauh dari sehat saat ini!”
“Hentikan, karena terluka itu normal!”
Menanggapi jawaban Asuka, aku hanya bisa protes.
Kami paham bahwa kami memiliki hubungan di mana kami bisa berbicara secara terbuka, dan aku tidak terlalu terluka.
Meskipun aku mungkin kadang keberatan tentang itu. Hina punya kesan yang sama.
“Hei, Asuka, apa kau naif? Kita sudah bersama selama dua tahun.”
“Ahaha, naif? Itu kata terakhir yang harus kau ucapkan.”
“Kau terlalu tajam dengan balasanmu. Kau memotongku ketika aku ingin mengatakan sesuatu yang penting!”
Terlepas dari betapa perhatian dirinya di hari pertama, dia sudah sangat berubah.
Tapi aku tidak merasa bersalah. Tanpa banyak pikir, kata-kata terus keluar dalam pertukaran refleksif.
Hanya saja kami telah lama menghabiskan waktu bersama-sama. Meskipun ingatanku hilang, hubungan kami yang dulu tidak menghilang.
Ketika aku berbicara dengan Asuka, aku bisa merasakannya.
Pasti ini pertukaran yang begitu lama.
Ketika aku mencoba menikmati nostalgia yang tidak ada, perasaan tidak nyaman muncul sebelumnya.
Bukan perasaan internal, tapi ketidaknyamanan itu berasal dari luar.
“Aku mencium bau aneh.”
“Hah?” Asuka mengerjapkan matanya dan dengan tenang berjalan ke lorong.
Aku mengikuti Asuka dan melihat sumber bau itu.
Asalnya dari dapur.
Asap abu-abu keluar dari penggorengan.
“Wow, apa itu, sumber api?!”
“Kyaa!? Oh tidak, warnanya buruk!”
Asuka mengeluarkan suara seperti teriakan dan bergegas menuju penggorengan.
Bau yang keluar dari dapur nyaris tidak mengandung esensi makanan.
“Ini sangat buruk!”
“Aku lupa menyetel timer-nya!”
“Aahh, tidak! Harusnya ini jadi nasi telur dadar yang enak!”
Selama Asuka terus berteriak, aku berdiri di sampingnya dan memikirkan satu hal.
–Sekolah dimulai besok.
Bukannya aku tidak takut. Tapi tetap saja, aku merasa bahwa semua akan baik-baik saja selama Asuka berada di sisiku.
Aku memikirkan itu sambil melihat peralatan dapur yang berserakan. Dan aku pun juga memutuskan untuk membuat bento untuk besok sendirian.