“!?!?”
Aku secara refleks bangun.
Aku melihat sekeliling dengan bingung, dan saat aku melihat Smartphone milikku di samping tempat tidur, dengan jelas menampilkan tanggal ’22 Desember’.
Perasaan lega dan lelah melanda tubuhku di dalam kamar yang terlalu familiar.
“Itu membuatku takut.”
Apa itu? Bahkan kalau ini hanya lelucon, mimpi itu sangat buruk.
Kenapa Natsumi mati tepat setelah aku menyampaikan perasaanku ? Siapa yang menginginkan sesuatu seperti itu?
“Kenapa aku mimpi itu disaat seperti ini…..”
Bahkan setelah menyentuh pipiku, sensasi darah hangat tidak ditemukan.
Tetapi, hal tersebut terasa sangat nyata sehingga membuatku cemas tak terkendali . Berkat itu, detak jantungku tidak bisa tenang dan dengung bergema di dalam telingaku. Selain itu, tubuhku penuh dengan keringat dan perasaan ku sangat buruk .
Atau lebih tepatnya, kecemasanku meningkat lebih banyak dibanding saat aku lagi dirumah keluargaku.
“Jadi aku melihat mimpi semacam itu karena menginginkan kehangatan tubuhnya? Yah, itu memang bagus sampai pertengahan, tapi tetap saja…”
Dengan demikian, aku teringat sensasi memeluk Natsumi saat aku pingsan di tempat tidur.
Dia begitu lembut dan hangat, dan aku tidak tahu apa itu, tetapi dia berbau sangat harum. Suaranya di dekat telingaku terasa geli dan yang terpenting,
“Dadanya gede sekali.”
Tunggu, bukan itu. Apa yang ku pikirkan pagi-pagi begini?
Baiklah, jangan berkhayal dan saatnya untuk pergi sekolah. Itu adalah mimpi. Pertama-tama, kenapa malah terburu-buru padahal belum malam Natal?
Jika aku menembaknya saat malam natal dan diterima lagi, aku yakin kejadiannya akan persis seperti itu. Jika itu terjadi, bukan hanya dada besarnya, tapi…
“Tunggu, jangan berpikir seperti itu! Aku akan bertemu Natsumi hari ini. Aku tidak bisa menunjukkan wajahku kepadanya jika aku terus berpikir mesum seperti ini.”
Saat aku berdiri untuk menyingkirkan khayalan bodoh itu, udara dingin membuat tubuhku menggigil.
“Dingin!”
Memang, karena saat aku bernapas keluar uap putih, bisa dibayangkan betapa dinginnya diluar. Tapi mungkin ini situasi yang sangat bagus. Kepalaku akan sedikit dingin karena ini.
Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, aku mengambil kamera dari mejaku dan menuju ke balkon, tetapi hawa dingin secara refleks membuatku gemetar.
Tidak aneh jika akhirnya bersin-bersin karena hawa dingin yang menembus udara ini.
Tanpa mempedulikan betapa dinginnya hari ini, aku melihat pemandangan menggunakan lensa kamera, dan seketika kepalaku semakin dingin.
“──”
Saat aku berkonsentrasi, inderaku mulai menajam dan rasanya enak.
Sensasi jernih yang muncul dengan sendirinya setiap kali aku menggunakan kamera ditambah dengan udara yang dingin membuat pikiranku tenang dan nyaman.
Semua pikiran kosong yang aku punya memudar, dan aku mengarahkan lensanya pada pemandangan di hadapan ku.
Tatapan lensa ku melihat dunia secara lebih detail.
Banyak tiang lampu diletakkan di sepanjang deretan rumah. Burung-burung pipit beristirahat di atas kabel listrik, dan di seberang distrik perumahan terdapat distrik bisnis yang berjajar dengan gedung-gedung pencakar langit. Dan di tengah-tengahnya berdiri Menara Abies yang menembus langit.
Jalanan kota Misono sekali lagi diterangi oleh matahari pagi di musim dingin. Matahari bersinar dari bayang-bayang yang mencolok dengan atmosfer yang tenang, dan bahkan kehadiran kerumunan orang banyak pun bermandikan warna yang tenang.
Pagi yang biasa dengan suasana yang aneh dan dengan campuran kelesuan dan bisnis yang biasa.
Banyak orang melepaskan perasaan mereka karena ini adalah waktu untuk memulai hari yang baru ini.
──klik!
Suara jepretan kamera menghiasi telingaku.
“Fuh.”
Saat aku melepaskan mata ku dari kamera dan menarik napas, ketenangan yang aku rasakan saat menggunakan kamera, mulai menghilang. Sejak aku mendapatkan kamera ini sebagai hadiah masuk SMA, aku selalu melihat pemandangan indah ini.
Oleh karena itu, melihat pemandangan yang berubah-ubah setiap hari dan mengarahkan lensa ke arahnya dari lantai empat apartemen, rasanya seperti aku sedang merekam setiap hari dan itu sungguh menarik.
Itulah mengapa aku selalu mengambil satu foto setiap hari.
Itu adalah rutinitas dan kebiasaanku setiap harinya.
“Ngomong-ngomong, hari ini lebih dingin ya.”
Sangat dingin sampai-sampai langit terlihat akan turun salju. Aku yakin General Frost lagi menunggu diatas sana untuk melakukan hal itu.
“Kalau salju akan turun, akan sempurna kalo mulainya saat malam natal.”
Jika keajaiban seperti itu benar-benar terjadi, maka aku yakin Natsumi akan senang. Penampilannya saat bersenang-senang menangkap salju yang jatuh ditanganya itu sangat menawan.
Jika diizinkan, aku ingin memfoto pemandangan seperti itu……
“Kalau begitu.”
Pasti aku bakalan canggung. Lagian, apa yang bakal aku katakan ?
Mau bilang ‘Tolong jadilah modelku ?
Atau mungkin ‘Izinkan aku memotretmu ?
Aku menjadi canggung saat memikirkan hal tersebut, dan itupun saat aku tidak sedang berada di situasi tersebut.
Tapi yah, jika itu Natsumi, aku rasa dia akan bilang ‘boleh’ sambil malu-malu, dan itu pasti bakalan sangat imut.
“Sebaliknya, jangan memikirkan hal yang tidak berguna.”
Menghilangkan khayalanku, aku meninggalkan balkon. Ruangan di mana udara dingin musim dingin yang masuk terasa jauh lebih menyegarkan daripada ketika aku terbangun. Ini membebaskanku dari semua pikiran itu jika aku menarik napas satu kali saja.
Lalu, mengambil kesempatan untuk mengambil album foto dengan sudut-sudut yang usang dan compang-camping dari meja sambil meletakkan kamera di atasnya, juga bisa dikatakan sudah menjadi rutinitas harian ku.
Satu foto disisipkan pada spread yang memiliki lipatan sampai-sampai terbuka dengan sendirinya, dan di sampingnya ada tulisan ini.
“Tempat Pertama – Kuroe Riichi”
“……”
Meskipun ini adalah kata yang pendek, namun ditulis dengan huruf terbesar di dalam spread, dan itu membuat ku merasakan kebahagiaan dan penyesalan yang teraduk.
Foto itu, berjudul “Her World”, adalah sesuatu yang aku ambil sendiri dan dikirim untuk Reader’s Submission Award yang diadakan majalah kamera ini setiap bulan.
“Aku tidak pernah mengira kalo foto ini bakalan menang”
Bagaimanapun juga, sudah lebih dari setengah tahun berlalu sejak diterbitkan, tetapi aku masih belum percaya.
Bahkan, ketika aku dihubungi oleh sang editor mengenai kemenangan itu, aku bersikap seolah-olah itu adalah urusan orang lain, dan berapa lama pun waktu berlalu, tetap saja tidak terasa nyata.
Tentu saja, aku merasa senang karenanya. Namun, di luar itu, berbagai jenis perasaan yang saling bertentangan aku rasakan terhadap Natsumi karena hal itu.
Lagipun, foto ini merupakan sebuah privasi Natsumi, dan aku tidak pernah memberi taunya, bahkan saat aku mengirim foto ini.
“Mau bagaimanapun, aku tidak sopan kalo dipikir-pikir.”
Tetapi, kenapa aku malah senang ? Walaupun menang, tetap saja aku melakukan hal yang tidak pantas ke Natsumi.
Ya, untuk alasan itu, tidak peduli seberapa banyak aku dipuji, aku tidak bisa sepenuhnya menerimanya. Bahkan jika itu adalah kata-kata Natsumi sendiri.
▼
“Mengapa kau menolaknya?”
Natsumi, dengan ekspresi cemberut, dengan headphone besar khasnya yang menggantung di lehernya, seperti biasa. Sekarang, saat istirahat makan siang, aku dan Natsumi menghindari mata publik dan makan siang di dalam ruang kelas yang kosong. Maksudku, bukankah akan sangat memalukan jika kami makan siang bersama di mana semua orang bisa melihat kami?
“Bukannya sudah jelas ? Aku menang cuma kebetulan aja. Pada akhirnya, itu hanya pada tingkat hobi.”
Natsumi yang tidak setuju dengan itu mengerucutkan bibirnya.
“Ayolah, kenapa kau mengatakan itu, Riichi? Meskipun kau punya bakat untuk itu. Dan selain itu, aku, um… Aku suka foto yang kau ambil, tau……?”
“Kalau kau malu, jangan bilang itu. Aku jadi ikutan malu.”
“Apa? Padahal aku sudah memujimu. Hei, jangan buang muka!!!”
Tentu saja, aku buang muka karena malu. Aku senang saat dipuji seperti itu, tapi taulah kan ?
“Aku tidak peduli lagi! Riichi kau idiot.”
Sambil mengangkat bahunya dengan kesedihan yang bertentangan dengan apa yang dia katakan, Natsumi mulai memakan bento kecilnya. Sebagai orang yang membeli banyak roti dan onigiri saat di kantin sekolah, aku tidak tau bagaimana makanan sedikit itu cukup. Tapi, walaupun sedikit dia tumbuh dengan sangat baik. Aku tidak akan menjelaskan tumbuh di bagian mana, tentunya.
“Tapi foto yang kau ambil dipakai untuk brosur penerimaan siswa baru lho. Guru-guru bilang itu bagus, jadi dipake deh. Wajar kan, soalnya menang juara 1 fotonya.”
“Kan udah aku bilang, itu hanya kebetulan. Lagian juga aku foto tanpa izin, jadi gak valid kan ?”
“Kau terlalu jujur, tapi caranya aneh. Keras kepala juga. Bukannya lebih bain kalo santai aja tentang masalah beginian ?”
“Aku gak mau mendengarnya darimu.”
“Mgh. Huh. Bagaimanapun juga, aku adalah gadis yang tidak ramah, keras kepala dan penyendiri dengan kepala yang aneh. Baiklah, aku sudah mengerti.”
“Ah, hei. Jangan pergi merebut minuman orang lain!?”
“Huh.”
Meskipun bertingkah tidak senang seperti itu, telinganya masih merah terang. Dia terlalu mudah untuk dibaca. Bagaimanapun juga, dia menjadi dirinya, dia mungkin khawatir jika dia mengatakan sesuatu yang aneh lagi atau sejenisnya.
“Tapi beneran, aku ambil foto itu hanya untuk Natsumi lihat, Cuma kebetulan aja menang.”
Aku bilang hal yang sama kepada guru, tapi mereka bilang “udah, ambil aja penghargaannya kalo gitu”. Mereka berharap apa sih kepadaku ?
“Riichi.”
“Apa?”
“Kamu kok licik banget sih.”
“Eh, apa maksudmu ?”
“Tidak ada! Ketidakpekaan mu itu benar-benar membuatku jengkel. Tau gak sih, aku lagi berada dalam belas kasihanmu ?”
Aku tidak mengerti maksudnya. Terus, kenapa dia mendadak cemberut ?
“Hei, aku salah apa ? Kalau aku ada salah, kasih tau yang bener biar aku minta maaf.”
“Haah. Mengapa kau berubah menjadi serius pada titik-titik krusial seperti itu. Aku terlihat seperti orang bodoh karena jadi satu-satunya orang yang sadar. Riichi, jika kau terus melakukan hal-hal seperti itu, kau pasti akan ditusuk suatu hari nanti.”
“Kok kamu mendadak ngomongin hal serem sih ? Perasaan pas kita pertama kali ketemu gak begini”
“Diam, kamu…ambil ini…!”
Aduh! Kenapa dia malah menendangku ?
“Aku tidak peduli lagi. Kau bisa licik semaumu. Sungguh, hanya aku yang mengkhawatirkan hal itu, seperti orang bodoh.”
Aku tidak mengerti mengapa kau terdengar sangat bahagia meskipun mengatakan itu. Sebaliknya, bahkan aku punya banyak hal mengenai dirimu yang membuatku cemas, kau tahu?
Suasananya berubah lembut akhir-akhir ini dan dia menjadi imut, dan anak laki-laki di kelas membicarakannya. Ini adalah topik hangat selama pelajaran olahraga bahwa dia memiliki dada terbesar di antara para cewe, dan dia bilang aku tidak peka. Namun, jika Natsumi masih tidak peka, aku mungkin bakal khawatir orang lain bakal merayunya.
“Bukannya lebih baik kalau kau sedikit lebih perhatian ?”
“‘Sedikit’ katamu, berapa banyak itu.”
“K-kau tahu, seperti mengusap kepalaku atau sejenisnya……”
Wah, sangat tidak masuk akal. Apa yang terjadi di dalam kepalanya itu!?
“Jangan menatapku seolah-olah kau sedang melihat sesuatu yang sangat aneh!!!”
“Tidak tidak, bukan itu! Aku hanya sedikit, eh, lebih tepatnya cukup terkejut. Padahal kau sebelumnya pendiam, sekarang jadi lebih berani ya.”
“Diam! Aku bilang kau enggak paham merasakan jarak antar orang.”
“Wah, kata-kata yang hebat. Sungguh luar biasa, Natsumi si pendiam.”
“Hei, kamu ngajak ribut ya ? Beneran ya. Dahlah, ayo usap kepalaku”
Kenapa aku diperintah oleh gadis yang tersipu malu tanpa sebab seperti itu ? Tapi setiap dia menatapku seperti itu, aku merasa harus melakukannya. Kenapa ya ?
“Aduh!?”
Tetapi, melihat dia menyodorkan kepalanya yang tidak berdaya itu, aku malah punya ide jahil.
“Mengapa kamu menjentik dahiku!”
“Yaaa, karena dahimu lagi di posisi yang tepat, jadi…”
Natsumi memegang dahinya sambil menatapku dengan penuh kesal saat aku mengatakannya. Matanya berkaca-kaca dan ia menggembungkan pipinya itu, dia benar-benar mampu menunjukkan segala macam emosi.
“Yaudah deh, aku salah.”
“Ah!”
Inilah sebabnya mengapa aku menjadi bingung setiap kali dia mulai bertingkah manja seperti beberapa saat yang lalu.
Bagaimanapun, pertama kali aku berbicara dengan Natsumi, dia dingin dan tidak ramah. Dia tidak dekat dengan orang lain sampai-sampai dia seperti memiliki dinding pembatas diantara dirinya.
Dan sekarang dia membiarkanku mengusap-usap kepalanya dan mencubit pipinya dengan gembira seperti ini. Kau benar-benar tidak bisa memprediksi bagaimana orang akan berubah.
……Tapi, dia benar-benar memiliki rambut yang cantik. Rambutnya panjang, halus, dan hanya dengan menyentuhnya seperti ini saja sudah terasa luar biasa.
“Mengapa kau berhenti?”
“Eh, gapapa aku lanjut ? Aku sudah mengusap kepalamu selama tiga menit, tau ?”
“W-waktu tidak masalah untuk hal-hal seperti ini. Puaskan saja aku dengan benar……”
Ahh, sialan. Apakah ini semua karena ketidakpekaannya juga.
“Natsumi, kau tidak mengatakan hal yang sama kepada anak laki-laki lain kan?”
“Hm? Mengatakan apa? Dan aku tidak dekat dengan cowok lain selain kamu.”
“──”
Aku tahu itu, bahwa kamu adalah seorang pendiam, tidak punya teman, dan bahwa semua kenangan yang kau simpan itu selalu tentang dirimu yang kesepian; Aku tahu itu semua. Jadi, bagaimana bisa kau mengatakan hal-hal seperti itu langsung ke wajahku!?
“Apa yang salah? Tiba-tiba memalingkan muka seperti itu.”
“Oh diamlah, tinggalkan aku sendiri.”
“Sangat aneh. Haha.”
Sifatnya yang seperti itu sungguh tidak adil. Tentu saja aku sadar ketika dikasih tau hal seperti itu secara tiba-tiba. Tapi, aku mengerti. Jadi apa yang dikatakan Natsumi sebelumnya juga sama, ya?
Ah, nada bicaraku juga semakin keras.
Lagipula, bukankah memang seharusnya begitu? Bagaimana kau bisa bertindak secara normal apabila dipengaruhi oleh emosi yang memalukan seperti itu?
“Tapi sayang juga ya.”
“Apanya ?”
“Foto-fotonya. Walau kau tidak berniat memasukkan fotonya ke dalam brosur, seharusnya tetap diambil aja fotonya.”
“Seperti yang aku bilang, aku menolaknya. Kenapa kau tidak membiarkannya saja sih.”
“Mgh. Meskipun bakat Riichi adalah sesuatu yang diakui oleh orang lain, tidak sepertiku.”
Dia mengatakan kata-kata itu dengan acuh tak acuh, tapi karena aku tahu perasaannya, kata-kata itu bukanlah sesuatu yang bisa kuabaikan begitu saja. Dan begitulah,
“Aduh!? Aku bilang berhenti menjentikkan dahiku!”
“Aku melakukannya karena kau mengatakan hal-hal bodoh.”
“Apa maksudmu bodoh. Benerkan yang aku bilang ? Lagian orang lain gak ngerti aku, bahkan kau juga Riichi. Makanya aku jadi pendiam.”
“Tapi sekarang beda kan ? Lagian, emang kau yakin ? Kau sudah lihat fotonya kan ?”
Ketika aku mengatakan itu, Natsumi menunjukkan ekspresi terkejut dan dia mulai tersipu, dan kemudian dia menunjukkan senyum kecil.
“Kamu benar-benar licik.”
Yah, kata-katanya masih asam seperti biasanya.
“Kau mungkin tidak mempercayainya, tapi aku benar-benar bersyukur kau tahu? Itulah kenapa aku baik-baik saja selama Riichi memahamiku. Bahkan jika aku tidak akan dimengerti oleh orang lain, aku tidak keberatan.”
Bertentangan dengan kata-kata penuh kesepian yang dia gumamkan, ekspresinya penuh kehangatan.
Rasa sakit yang mencengkeram erat hatiku adalah pengingat bahwa dia hidup di dunia yang sedikit berbeda dari orang lain.
Tidak melihat apa yang bisa dilihat orang normal dan melihat apa yang tidak bisa mereka lihat.
Natsumi memiliki keadaan yang sedikit istimewa seperti itu.
Dan karena itu, dia di-bully di SMP.
Itulah mengapa Natsumi selalu sendirian dan buruk dalam mengukur jarak antara orang, tetapi untuk alasan yang sama dia bertingkah aneh, manja, dan menunjukkan berbagai ekspresi.
Tapi sekarang aku senang.
“Riichi, kau gak makan ? Istirahat udah mau selesai lho.”
“Hm, ah, benar juga.”
Kesedihan sesaat berlalu, dan aku kembali ke waktu istirahat makan siang yang dikelilingi oleh kebisingan. Natsumi mengaduk-aduk bento kecilnya sementara aku mengambil tumpukan roti dan onigiri.
Keheningan.
Di ruangan yang membuatmu tenang.
Seakan-akan ada sesuatu yang sangat penting di sini.
“Ngomong-ngomong, tentang dua hari lalu, semuanya baik-baik saja, kan……?”
Tanpa sengaja aku menghela napas karena cara bicaranya yang mengelak.
“A-apa dengan reaksi itu!?”
“’Apa’ kau bilang…bukankah udah jelas. Sudah berapa kali ini ? Kau mengungkit topik itu.”
“Gak masalah kan ? Soalnya wajar, selama ini kan aku gak pernah diajak jalan sama cowo sebelumnya….. ”
“──!”
Natsumi tolong stop. Jika kau mengatakan itu dengan wajah merah padaku, tentu saja aku juga akan merasa malu. Oh man, apa yang harus kulakukan dengan perasaanku yang tidak nyaman ini!?
“Hei, tidak apa-apa, kan? Kau benar berjanji padaku, kan?”
“Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja, jadi aku akan menunggu di depan stasiun pada pukul sebelas.”
“Begitukah. ……aku jadi senang.”
Perasaan apa ini yang membuat aku ingin kabur dari tempat ini? Aku sudah ingin buru-buru kembali ke ruang kelas secepatnya. Dan kemudian membuka jendela secara acak dan hanya berteriak pada langit biru tanpa alasan.
“Ah, jangan lupa ya, Riichi. Aku pasti ingin melihat lampu-lampu Menara Abies.”
“Aku mengerti. Aku pasti akan mengingatnya.”
“Baiklah kalau begitu.”
Natsumi tersenyum puas. Ekspresinya benar-benar cerah. Melihat dia seperti landak pada pertemuan pertama kami, aku dipenuhi dengan emosi ketika memikirkan perubahan yang dialaminya.
Dia benar-benar berubah menjadi imut, pikirku dalam hati. Tapi yah, seperti yang sudah diduga, itu memalukan jadi aku tidak bisa mengatakannya dengan lantang.
“Malam Natal pasti akan menyenangkan. Ayo kita manfaatkan sebaik mungkin.”
Malam Natal.
Aku merasa tidak nyaman dengan hal itu, berbeda dengan Natsumi yang senang.
“……?”
Aku merasakan kekakuan yang aneh. Sebelum memikirkan perasaan yang bersembunyi di dalam hatiku, aku menyadari bahwa itu mungkin disebabkan oleh mimpi yang kulihat hari ini.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Riichi!”
Natsumi jatuh ke belakang saat dia mengucapkan kata-kata itu. Darah merah yang mengalir di bibirnya yang sedikit terbuka bersama dengan noda darah di dadanya membebani hatiku.
Dari adegan yang terlalu realistis itu, aku menutup mulutku dan perlahan-lahan menelan rasa mual yang mendekat, dan keringat lengket dan tidak menyenangkan mengalir di punggungku.
Itu adalah rasa dingin yang berbeda dari dinginnya musim dingin.
Perasaan yang kuat atas kenyataan bahwa Natsumi akan mati tiba-tiba muncul kembali.
“────”
Aku menghembuskan napas dalam-dalam. Aku menyuruh diriku untuk tenang. Tidak apa-apa, lihat dengan baik. Natsumi masih hidup dan sehat disini.
Dia masih hidup. Bukankah dia tepat di depan mataku?
“Riichi……?”
“Ah, bukan apa-apa. Salahku. Aku sedang berpikir sedikit.”
“Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
Kata-kata yang samar-samar itu menunjukkan bahwa aku bimbang. Lagi pula, apa yang bisa ku katakan? Haruskah aku mengatakan “Aku melihatmu mati dalam mimpi” begitu saja? Kepada Natsumi sendiri?
Beri aku kesempatan.
Itu tidak mempengaruhi dirinya yang sebenarnya, jadi mengapa aku harus dengan sengaja mengatakan sesuatu yang akan membuatnya cemas?
“……Apakah itu sesuatu yang tidak bisa kau bicarakan denganku?”
“Tidak perlu menyelidiki setiap hal kecil.”
“D-diamlah. Apakah buruk mengkhawatirkanmu?”
Jika aku menghargai kebaikannya itu, maka aku tidak bisa mengganggunya dengan mimpi burukku.
Pertama-tama, “Aku hanya sedikit mual”, bagaimana aku bisa mengatakan sesuatu seperti itu? Bukankah akan sia-sia merusak waktu yang kuhabiskan bersamanya dengan melakukan hal itu?
“Beneran, gak apa-apa kok.”
“Okelah kalau begitu.”
“Ya, aku hanya melamun sambil memikirkan tentang lusa aja kok.”
“Iyakah ? ……Yeah, aku menantikan hari itu juga.”
Lihatlah, Natsumi menunjukkan senyum secerah ini. Aku lebih suka melupakan mimpi aneh itu.