“Hei, kau tidak bosan bertingkah seperti itu ?”
“Kenapa kau mengatakan itu seolah-olah kau mengerti ? Apa yang kau ketahui tentang ku?”
“Aku tidak tahu apa-apa. Lagian, kau bahkan tak pernah berbicara di dalam kelas. Bukankah mustahil bagiku untuk mengetahuinya ?”
Fakta bahwa dia terus memposting hal-hal gila di situs sosial.
Fakta bahwa dia memakai headphone dan bermain dengan smartphone-nya sendiri di kelas.
Hanya itu yang aku tahu tentang Shiranamise. Aku tidak bisa tidak setuju ketika dia mengatakan kepada ku bahwa aku tidak tahu apa-apa tentangnya.
“Jadi, kau siapa ?”
“……siapa, kah ? Kuroe Riichi, teman sekelasmu.”
“Oh. Jadi apa yang dilakukan teman sekelasku ini di sini? Atap ini seharusnya zona dilarang masuk.”
“Itu berlaku untukmu juga. Lagian aku disini tanpa alasan khusus. Jika aku terpaksa mengatakan, hmmm… Aku rasa, karena hari ini cuacanya bagus, aku bisa mengambil foto yang bagus dari sini.”
Mengatakan itu, aku segera mengangkat kamera ku untuk menunjukkan padanya. Sebaliknya, benda ini tidak rusak, kan? Aku merasa seperti jatuh dengan hebatnya ketika aku menyelamatkan Shiranamise beberapa waktu yang lalu.
“M-mesum!!!”
“Huuh?”
“Kau mengambil fotoku dengan itu, bukan!? Kamu cabul!”
Kalau dipikir-pikir lagi, dia juga menendang dan memukul ku saat itu.
“Berhenti memukul ku!”
“Lepaskan aku!!!”
“Tidak mungkin, aku akan tertabrak jika aku melakukannya. Tenang sebentar.”
Bukannya landak, aku merasa seperti sedang menenangkan seekor anjing liar. Dia menampakkan taringnya padaku dengan penuh kewaspadaan persis seperti seekor anjing.
“Dengar, aku tidak mengambil gambar yang aneh.”
Aku menunjukkan foto yang kupotret sambil merasa lega karena kameranya tidak rusak. Layar kecil memproyeksikan sosok sedih Shiranamise yang berdiri di atas tumpukan potongan kayu dengan smartphone-nya diarahkan ke langit.
“Ini foto yang cantik……”
“Benar kan ? Tak mungkin aku tidak mengabadikan momen indah ini saat sedang memegang kamera.”
“Kenapa malah jadi sok penting ? Mau gimanapun juga ini tetap ngintip kan ?”
“Kata-kata itu tidak berlaku lagi, kan kau barusan bilang kalo fotonya bagus. Sekarang giliranmu.”
“Eh?”
“Foto, maksudku. Kau yang mengambilnya, kan? Jadi tunjukkan padaku.”
Aku rasa kebingungan dan ketakutan lah yang tiba-tiba melintas di wajahnya ketika aku mengatakan itu. Penampilannya saat dia menggenggam erat smartphone-nya tampak seolah-olah dia sedang menahan sesuatu.
“Aku tidak akan ketawa walau jelek kok.”
“Bukan itu yang ku maksud.”
Lalu apa lagi? Aku tidak bisa dengan mudah menanyakan hal itu setelah melihat ekspresinya yang terlalu gelisah. Namun, jika ada sesuatu yang begitu membingungkan,
“Aku pikir kau harus mengatakannya dengan benar.”
“Mengapa kau bertingkah sok penting sih ?”
“Aku bukannya bertindak sok penting. Cuma kepikiran aja. Soalnya, kau terlihat kesakitan. Jika mau curhat, aku bisa mendengarkan.”
“Tapi……”
Tapi Shiranamise masih khawatir. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya begitu keras kepala, tapi, bagaimanapun, aku tidak punya rencana untuk meninggalkannya di atap seperti ini.
“Bahkan aku memiliki hal-hal yang tidak bisa kukatakan pada orang lain. Contohnya, aku ingin lensa baru dan diam-diam bekerja di sekolah. Jadi gimana ya ? Gak usah disimpan sendiri, ya kan ?”
“……kau orang yang aneh.”
“Iyakah ?”
“Ya, beneran. Orang normal tidak akan bertindak sejauh itu dan masuk ke dalam masalah orang lain.”
“Tapi, kau lagi ada masalah, kan?”
“Kau ikut campur terus.”
Ada perasaan gatal ketika diberitahu sesuatu seperti itu. Kali ini aku tidak punya niat seperti itu dan aku hanya bertanya karena Shiranamise terlihat bermasalah, jadi itu benar-benar tidak beralasan.
“Apa warna langit bagimu?”
Pertanyaan yang tiba-tiba itu sampai ke telingaku dengan gema yang hening. Ada keseriusan yang sangat serius yang dimasukkan ke dalam nada suaranya yang berbeda dari saat dia membaca buku teks dengan keras di kelas.
Namun, karena hal ini, aku menyadari bahwa dia tidak menanyakan pertanyaan ini kepadaku sebagai semacam lelucon.
“Langit berwarna biru. Yah, berbeda pada malam hari dan semacamnya.”
“Aku mengerti. Begitulah biasanya, ya. Langit berwarna biru. Sesuatu seperti itu adalah hal yang masuk akal.”
“Itu cara bicara yang sangat putus asa. Lalu, bagaimana menurut mu? Warna apa yang tampak bagimu?”
“Pink pucat.”
“……”
“Selain itu, pada saat aktif, juga berubah menjadi keunguan.”
Aku merasa gelisah, apakah aku harus menyuruhnya pergi ke dokter mata atau tidak. Aku tidak memahami apa yang dikatakan Shiranamise.
Langit pink pucat katanya, maksudnya apa ?
Yah, tergantung pada situasinya, langit memang bisa tampak seperti itu saat fajar atau malam hari. Tetapi, apa yang dikatakan Shiranamise tentu saja bukan itu.
“Lalu, apa? Apakah semua foto yang kau ambil tampak seperti itu bagimu?”
“Y-Ya. Tapi itu hanya muncul sebagai langit biru normal pada gambar-gambar itu.”
Kalau dipikir-pikir, wajar rumor seperti itu menyebar. Ketika mereka mendengar hal seperti itu, orang-orang di sekitarnya tidak akan bisa memahaminya sama sekali.
“Bagaimanapun juga, kau tidak memahaminya, huh?”
“Ya, ya. Tapi, tunggu sebentar.”
Sambil berkata demikian, aku mengarahkan lensa ku ke langit.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Bagaimana bentuk langit pink pucat, sebagai contoh ?”
Aku memberi isyarat kepada Shiranamise yang kebingungan untuk datang ke samping ku. Kemudian, saat kami melihat layar bersama-sama, aku mengoperasikan kamera dan terus mengubah rona warna.
“Itu luar biasa. Apa yang kau lakukan……?”
“Aku sedang mengutak-atik white balance. Mudah dipahami jika kau membayangkan pelangi, tetapi ada banyak warna dalam cahaya. Ini adalah fungsi koreksi untuk mengambil gambar dengan nada warna yang diinginkan di antara warna-warna itu. Nah, pada awalnya, ini adalah fungsi yang berasal dari pemikiran tentang cara menangkap warna putih murni sebagai putih murni.”
Sambil memamerkan pengetahuan ku yang luas dengan sedikit bangga, aku mengoperasikan kamera di depan Shiranamise yang terkejut, dan menyesuaikan warna langit yang terpantul pada layar. Aku mengubah suhu warna dan juga menyesuaikan koreksi yang mendetail. Pada setiap klik, langit yang ditampilkan pada layar berubah rona warnanya.
Langit yang tadinya berwarna jingga pucat, secara bertahap diwarnai dengan warna merah jambu, dan kemudian, saat aku mengubah nilai koreksi ke sisi biru, warna langit mulai berubah menjadi rona yang bisa dikatakan bukan ungu maupun pink.
“Ini dia!!!”
Dan kemudian, kami akhirnya mencapai langit yang dilihat Shiranamise.
Dan saat seluruh layar diwarnai dengan warna keunguan pucat, Shiranamise menunjuk ke salah satu bagian layar. Tempat itu memang diwarnai dengan rona samar-samar yang bisa disebut pink pucat.
“Jadi ini adalah langit yang dilihat Shiranamise?”
Aku mengklik rana dalam keadaan itu.
“Tapi itu masih berbeda. Yang benar adalah bahwa seluruh langit telah menjadi semacam warna pink pucat ”
Suaranya yang terengah-engah mencapai telingaku dari sampingku. Karena Shiranamise sedang asyik melihat layar, suaranya yang tidak lebih dari bisikan begitu dekat sehingga terdengar sangat jelas.
“Ah, maaf. Maafkan aku.”
“Tidak, aku juga, maaf.”
Situasi konyol di mana kami saling meminta maaf dan berpisah dalam kegusaran membawa sedikit senyuman di wajahku. Bersamaan dengan itu, aku ingat dengan jelas jantung ku berdetak lebih cepat dari yang diperlukan dari nafasnya yang aku rasakan di dekat ku serta suhu tubuhnya yang masih samar-samar tertinggal di lengan atas ku.
“Hehe.”
Tetapi ketika Shiranamise tertawa senang, aku merasa tubuh ku semakin panas. Itu terlalu memalukan, jadi aku berpura-pura mengutak-atik kamera dan mencuri-curi pandang ke arahnya. Rambutnya, yang disinari oleh sinar matahari saat tertiup angin, menumpahkan butir-butir cahaya hanya di sekelilingnya.
“……Sangat cantik.”
“Eh?”
“Eh, ah, tidak, maksud ku, itu…tidak ada apa-apa. Maksud ku, kau tahu, langit. Ku pikir itu cantik. Itulah yang aku maksud.”
Aku tidak bisa lebih menyedihkan lagi. Kenapa aku bisa bingung seperti itu?
Tapi, aku tidak bisa menahannya.
Shiranamise adalah gadis yang cantik, tidak peduli bagaimana kau mengatakannya, dan dadanya menyentuh lenganku sampai beberapa saat yang lalu. Meminta ku untuk tidak bingung adalah hal yang tidak masuk akal.
“Terima kasih, Kuroe-kun.”
Tanpa mempedulikanku, yang mengarang alasan yang tidak berarti jauh di lubuk hati, dia menghadapku dengan senyuman lembut. Ekspresinya sangat indah tanpa batas, dan, pada saat aku menyadarinya, aku berdiri di sana seperti orang bodoh sekali lagi, setelah terpesona olehnya.