“Ah—… Aku kenyang.”
“Kau makan terlalu banyak ……”
Setelah makan malam, Izumi duduk di sofa, menggosok-gosok perutnya, terlihat kesakitan.
“Sangat menyenangkan makan bersama dengan semua orang, jadi,”
Meski begitu, tiga hamburger dan menambah nasi itu terlalu banyak, ‘kan.
Aku tidak tahu berapa banyak yang harus dibuat untuk empat orang, karena biasanya aku hanya membuat cukup untuk dua orang, dan aku berpikir bahkan jika aku membuat terlalu banyak, aku bisa membekukannya dan memakannya di kemudian hari.
Izumi melihat itu dan berkata, “Jika berempat, kita bisa makan semuanya!” Jadi aku memanggang semuanya…… tapi tidak peduli bagaimana kau melihatnya ada sejumlah steak hamburger yang tidak bisa dimakan di atas meja.
Akibatnya, Izumi terbawa suasana dan makan terlalu banyak.
“Izumi, kamu tidak apa-apa?”
“Ya. Jika aku beristirahat sebentar.”
Izumi membalas suara khawatir Eiji dengan senyum masam.
Ini mengingatkanku pada seekor hamster yang sudah makan terlalu banyak dan tidak bisa bergerak.
“Aku juga membeli beberapa sakura mochi untuk camilan malam, tapi sepertinya aku akan menyimpannya untuk besok.”
“Sakura mochi!? Aku mau!”
Saat Izumi mendengar kata “sakura mochi”, dia tersentak bangun.
Matanya bersinar, seolah dia yang mengerang kesakitan tadi adalah bohong.
…… tidak tidak, kau bercanda, ‘kan?
“Berbicara tentang kamp, itu adalah camilan, ‘kan, Aoi-san!”
“Eh? Y-Ya…… mungkin?”
Hentikan mengombang-ambingkan Aoi-san.
Karena dia anak yang polos, dia pasti akan mempercayai semuanya, ‘kan.
“Izumi, apa kau serius mengatakan kalau kau ingin memakannya?”
“Ya. Masih ada tiga hari lagi, seharusnya aku juga beli camilan di supermarket ya~”
Dia mengungkapkan kekecewaannya, sepertinya dia tidak bercanda.
Apa dia itu semacam jelmaan dari nafsu makan?
Aku sering mendengar kalau bagi anak perempuan, manisan dan kue-kue punya perut yang terpisah, tapi bagaimanapun, jumlah yang masuk ke mulut tidak seimbang dengan ukuran tubuhnya.
“Benar juga, Aoi-san, ayo kita beli camilan di toserba!”
“Ya.”
“Sungguh!? Yaey!”
Izumi berdiri seolah-olah dia sudah lupa kalau dia kesakitan sampai tadi.
“Tunggu sebentar.”
“Apa?”
Saat aku melihat jam, sudah lewat pukul sembilan.
Aku khawatir membiarkan dua anak perempuan berjalan di luar sendirian.
Dan aku tidak bisa membiarkan anak yang makan sampai kekenyangan pergi ke toserba.
“Aku dan Eiji yang akan pergi membelinya, jadi kalian berdua tunggu saja sambil mandi atau yang lainnya.”
“Seriusan? Seperti yang diharapkan dari Akira-kun, ia laki-laki yang baik kan, Aoi-san.”
“Ya. Akira-kun selalu baik, lho.”
“Hee~ Seperti apa?”
Yang seperti itu tanyakan saat tidak ada orang yang bersangkutan.
Seperti yang kuduga, menceritakannya tepat didepanku itu terlalu memalukan, ‘kan.
“Eh? Umm, seperti…… ia selalu mendengarkan apa yang ingin kulakukan. Ketika aku tinggal dengan ibuku, dia tidak pernah mendengarkan perasaanku…”
“””……”””
Tanpa sadar, kami kehilangan kata-kata.
Aoi-san mungkin tidak bermaksud seperti itu, tapi pengungkapan tak terduga tentang situasi keluarganya membuatnya tidak bisa berkata-kata.
Tidaklah sulit untuk membayangkan seperti apa kehidupan yang pasti dialaminya ketika ia menghabiskan hari-harinya dengan menahan bahkan perasaannya sendiri tanpa mampu mengungkapkannya dalam kata-kata.
“Tidak apa-apa untuk mengungkapkan perasaanmu, dan kamu juga boleh lebih manja, lho. Khususnya pada Akira-kun!”
“Apanya yang khususnya!”
Izumi memegang kedua pundak Aoi-san dan memutarnya menghadapku.
“Yosh. Katakanlah camilan apa yang ingin kamu makan pada Akira-kun!”
“U-Umm……”
Sambil didesak Izumi, Aoi-san bergumam seperti kebingungan.
Setelah sedikit melirik kearahku,
“Puding, aku ingin itu…”
“Ya. Mengerti.”
Aku akan membeli pudding di toko kalau begitu.
“Oke. kalau begitu, mari kita dengarkan kelanjutannya sambil kita mandi bersama♪”
“M-Mandi bersama?”
Aoi-san bertanya dalam kebingungan.
“Ya. Kalau bicara tentang perkumpulan gadis, sudah jelas itu mandi bersama!”
Izumi mengatakannya seolah-olah itu adalah hal yang sangat wajar.
Sudah kubilang berhenti mengombang-ambingkan Aoi-san.
Dia akan percaya karena dia polos, dan mandi bersama itu membuatku iri.
Kesampingkan kecemburuanku, sejak kapan pertemuan ini menjadi perkumpulan gadis.
Sambil men-tsukkomi di dalam pikiranku, kuharap kau memaafkan kalau anak SMA yang sehat membayangkan satu atau dua hal tentang itu. Hanya dengan membayangkan dua gadis cantik mandi bersama di bak mandi rumahku membuatku bahagia, ‘kan.
Maksudku, dari awal, apakah perempuan itu seharusnya mandi bersama?
…… tanpa sadar aku membayangkan sesama laki-laki mandi bersama dan semangatku menurun.
Aku bahkan tidak seharusnya membayangkannya.
“Kalau begitu, kami akan mandi dan menunggu kalian.”
“Ya. Lakukan itu.”
“Akira-kun, dalam berbagai arti, aku duluan ya~♪”
Aku tidak berani bertanya apa maksudnya, tapi Izumi menyeringai seolah berkata, “Kamu cemburu, ‘kan?” dan meninggalkan ruang keluarga…… Sudah jelas aku cemburu!
“…… ayo kita pergi ke toserba.”
“Ya.”
Sambil diejek Izumi, kami keluar rumah untuk membeli puding.
Bukannya ada maksud mendalam, tapi ketika pulang nanti, ayo mandi lebih dulu sebelum Eiji.
Setelah membeli sejumlah besar camilan dan puding di toserba, kami pulang ke rumah, dengan tas belanjaan di tangan.
Jalan-jalan perumahan di luar jalan utama memiliki penerangan yang remang-remang, seperti yang kuduga, sukurlah aku tidak membiarkan para gadis itu pergi sendirian. Ini bukan area yang tidak aman, tapi pada saat-saat seperti ini, lebih baik menghindari kecerobohan.
Ketika kami kembali, kami harus mulai belajar.
“Kelihatannya Aoi-san sangat mempercayaimu, ya.”
“Tolong jangan selalu menggodaku kalau kami seperti pasangan.”
Itu cukup memalukan.
“Aku tidak bermaksud untuk menggodamu. Aku hanya penasaran seperti apa kehidupan kalian berdua.”
“Biasa-biasa saja. Pada awalnya, suasananya canggung karena aku salah mengira kalau Aoi-san adalah seorang gal, dan Aoi-san sangat menahan diri, jadi kami tidak berbicara lebih dari yang dibutuhkan.”
Bahkan hari ini, jika Izumi tidak mengatakan hal seperti itu, dia tidak akan mengatakan bagaimana perasaannya.
“Kalau itu mau bagaimana lagi. Sulit bagi orang asing untuk bergaul satu sama lain.”
“Baru-baru ini aku menjadi sangat sadar akan arti dari apa yang kau katakan di mall…”
Pria dan wanita pada dasarnya tidak bisa saling memahami.
Karena mereka adalah orang yang penting, komunikasi diperlukan untuk melindungi hubungan.
Mengenal orang lain mengingatkan kita betapa sedikitnya yang kita ketahui tentang mereka. Kau tidak bisa memahami mereka tanpa percakapan, dan setelah memahaminya, apa yang tidak kau ketahui akan bertambah.
Tapi jika gagal melakukan upaya itu, kau mungkin tidak akan bisa bersama mereka cepat atau lambat.
Terutama jika pihak lain adalah lawan jenis.
“Tapi, kalau seperti ini, kehidupan bersama kalian sepertinya akan berjalan dengan baik.”
“…… Entahlah.”
“Apa ada yang kau khawatirkan?”
Tidak mungkin tidak ada yang kukhawatirkan.
Tidak, ada banyak yang kukhawatirkan
“Sejujurnya, aku masih belum tahu. Apakah membawa Aoi-san pulang pada waktu itu adalah hal yang benar.”
Pada saat-saat tidak terduga, terkadang aku berpikir seperti itu.
Seolah-olah aku hanya mencoba memecahkan masalah yang tidak ada jawabannya.
“Aku senang Aoi-san mempercayaiku. Aku senang jika aku bisa membantu Aoi-san walaupun hanya sedikit. Tapi, aku tidak tahu bagaimana perasaan Aoi-san yang sebenarnya. Mungkin saja ada cara yang lebih baik, atau mungkin apa yang kulakukan adalah hal yang tidak perlu….”
“Begitu ya……”
“Tapi aku tidak bisa menanyakan hal itu padanya. Aku tahu bahkan jika aku bertanya padanya, dia pasti akan mengatakan, ‘Tidak, itu tidak benar’. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah itu perasaannya yang sebenarnya atau bukan. Kadang-kadang aku tidak tahu apakah yang kulakukan itu benar. Kegelisahan seperti itu…… selalu ada.”
“……”
Eiji terdiam untuk beberapa saat.
Meski aku melihat kearahnya, aku tidak bisa melihat ekspresinya karena kegelapan di sekelilingnya.
“Kupikir, apa yang kau lakukan itu bukan hal yang tidak perlu ataupun bukan hal yang salah.”
“Eh……?”
Eiji mulai berbicara dengan nada suara yang tenang, seolah-olah memilih kata-katanya.
“Meski begitu, itu tidak mengubah fakta bahwa Aoi-san diselamatkan oleh Akira.”
“Apakah… begitu?”
“Mungkin ada cara yang lebih baik, tapi kalau berbicara tentang kemungkinan maka tidak ada habisnya. Hanya Aoi-san yang tahu apa yang Aoi-san pikirkan, tapi kupikir ketika Aoi-san mengatakan bahwa Akira itu orang yang baik, tidak ada kepalsuan dalam kata-kata itu. Kupikir, itu saja sudah berarti kalau Akira yang mengulurkan tangannya itu ada artinya.”
“…… Begitu ya.”
Aku merasa kata-kata yang diarahkan oleh sahabatku padaku membuat pikiranku tersegarkan.
“Jika orang lain mendengar tentang situasi kalian berdua, kupikir akan ada orang yang tidak baik atau munafik yang akan mengatakan ini itu. Tapi, yang paling penting adalah bagaimana perasaan kalian. Selain itu, jika kau menolong seseorang yang benar-benar dalam masalah, itu tepat untuk bersikap tegas. Karena bagaimanapun, pihak lain pasti akan menahan diri.”
“Sepertinya begitu…”
“Juga, penting untuk mempercayai kata-kata Aoi-san. Aku mengerti kekhawatiranmu, tapi dalam hubungan laki-laki dan perempuan, kau juga perlu memiliki kekuatan untuk percaya pada kata-kata yang pihak lain arahkan padamu tanpa mencoba membaca arti dibalik kata-kata itu. Kupikir alih-alih khawatir tentang sesuatu yang tidak bisa kau lihat, kau harus menghargai apa yang bisa kau lihat.”
“…… terkadang aku bertanya-tanya apa kau benar-benar seorang siswa SMA.”
“Siswa SMA sama sepertimu, kok. Hanya saja, sedikit lebih cepat mendapatkan pacar.”
Jika kau bisa berpikir seperti itu hanya karena kau punya pacar, maka masalah perceraian akan hilang dari dunia ini.
“Yah bagaimanapun, terima kasih. Aku merasa sedikit lebih baik.”
“Tidak ada yang tahu apa jawaban yang benar. Lebih baik melakukan apa yang bisa kau lakukan, bahkan jika itu salah, daripada memikirkannya secara berlebihan dan mencemaskannya. Karena kehidupan ini tidak akan berlangsung selamanya.”
“Aku tahu.”
Pasti bukan imajinasiku kalau kata-kata Eiji terdengar suram.
Mungkin karena baik aku maupun Eiji, sudah melihat masa depan seperti itu yang tidak terlalu jauh.
“Ayo, sebentar lagi kita sampai. Mari kita akhiri kesuraman ini.”
“Ya.”
Seperti yang kuduga, apa yang harus dimiliki adalah sahabat.
Mungkin aku tidak perlu membawa dan mencemaskan segala sesuatunya sendirian.
Mari percaya pada kata-kata Aoi-san dan lakukan yang terbaik yang kubisa.
Aku memperbarui perasaanku dan membuka pintu rumah.
“Kami pulang.”
“Selamat datang!”
Izumi, yang sudah selesai mandi, menyambut kami seolah mengatakan kalau dia sudah menunggu kami.
Di belakangnya, Aoi-san juga datang dari ruang keluarga, seperti mengintip kearah kami.
“Selamat datang.”
“Aku pulang. Ini, puddingmu.”
“Terima kasih… eh?”
Ketika aku menyerahkan kantong di tanganku pada Aoi-san, dia mengintip ke dalam dan menaikkan suaranya karena kaget.
“Ini, semuanya?”
Di dalamnya, kantong itu terisi penuh dengan puding.
“Tidak, kamu tahu…… ada banyak jenis puding yang berbeda, ‘kan? Aku tidak tahu mana yang sebaiknya kuambil, jadi kupikir aku hanya akan membeli dua dari setiap jenisnya, tapi ternyata jumlahnya lebih banyak dari yang kupikirkan.”
Meski sebelum pergi ke toserba aku berpikir untuk membeli semuanya, seperti yang kuduga aku tidak bisa benar-benar memborong semuanya, tapi…… ternyata hasilnya seperti aku memborong semuanya.
“Tidak perlu memaksakan diri untuk memakannya.”
“Tidak. Aku akan memakannya. Terima kasih.”
Melihat Aoi-san dengan senyuman lebar di wajahnya, secara refleks aku membuang muka.
Sejujurnya aku senang kalau dia senang dengan hal kecil seperti itu, tapi…… aku merasa agak malu.
“Areare~? Akira-kun, apa kamu malu saat mendapat ucapan terima kasih?”
“Aku tidak malu!”
“Benarkah~? Mukamu memerah lho.”
Izumi terus-menerus mempermainkanku seperti itu.
“Ini, kami juga membeli camilan, jadi ayo mulai belajarnya!”
“Oke~. Kami sudah menyiapkannya.”
Aku mengikuti mereka kembali ke ruang keluarga dengan camilan di tangan.
Ketika aku melihat ke meja untuk segera mulai belajar, di sana ada sebungkus sakura mochi yang kosong.
“……”
“Ada apa?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
Aku sudah lelah untuk membalasnya.
“Ngomong-ngomong, siapa yang akan mengajari Aoi-san?”
Saat kami duduk mengelilingi meja, entah kenapa aku mengajukan pertanyaan itu.
Aku hampir lupa tentang hal itu, tapi tujuan dari kamp belajar ini adalah untuk meningkatkan prestasi akademik Aoi-san. Untuk mengejar ketertinggalan pada paruh pertama semester pertama, mendapatkan nilai yang baik dalam ujian akhir dan meningkatkan kesannya terhadap para guru sebanyak mungkin.
“Tidak apa-apa kalau kita semua mengajarinya, ‘kan. Kita akan melakukan review.”
“Baiklah kalau begitu.”
Jadi akhirnya, kamp belajar dimulai.
Kami mulai dari awal buku teks, halaman pertama.
Jika mempersiapkan untuk ujian akhir, kita hanya perlu mempelajari rentang materi yang akan keluar di ujian, tapi Aoi-san menghabiskan waktunya untuk bekerja paruh waktu dan melewatkan sebagian besar semerter pertama, jadi, dia tidak akan bisa menjawab pertanyaan ujian akhir kecuali dia me-review dari awal.
Kami mengajari Aoi-san belajar, meskipun kami harus mengesampingkan pelajaran kami sendiri.
Kupikir ini akan menjadi pekerjaan yang sulit, tapi ketika aku memulainya, ternyata tidak demikian.
Aoi-san hanya tidak mengikuti kelas tapi sepertinya dia memiliki dasar yang baik, dan dia melanjutkan dengan pemahaman yang baik tentang apa yang kami ajarkan padanya. Meskipun kami bertiga mengajarinya dengan hati-hati, aku tidak menyangka akan sejauh ini.
Semakin aku mengenal Aoi-san, semakin aku terkejut dengan perbedaan dari kesan awalku.
Jika seperti ini, aku yakin dia akan baik-baik saja untuk ujian akhir.
Sambil mengajari Aoi-san, aku dan Eiji bergantian mandi dan beristirahat. Saat aku menyadarinya, ternyata kami terus belajar sampai lupa waktu dan jarum jam menunjukkan kalau hari sudah berganti.
“……Hnnnn.”
Seperti yang diduga, dia pasti sudah lelah karena semua kegembiraan.
Yang pertama tertidur adalah Izumi, ketika sudah lewat pukul satu.
Fakta bahwa ia sedang membungkukan badannya di atas meja, tapi masih memegang sekantong camilan, menunjukkan pertarungan sengit antara nafsu makan dan keinginan untuk tidur. Pilih dengan jelas, kau ini mau makan atau tidur.
Bahkan Izumi, tidak mungkin bisa makan dalam tidurnya.
“Bagaimana kalau kita mengakhirinya disini.”
“Benar juga. Masih ada besok dan lusa.”
“Ya. Terima kasih semuanya.”
Aoi-san meletakkan penanya dan membungkuk dengan sopan pada Eiji dan Izumi, yang tertidur.
“Akira, di mana aku dan Izumi harus tidur?”
“Tempat tidur orang tuaku kosong, jadi gunakan saja. Kamarnya ada di ujung koridor.”
“Terima kasih. Aku akan memakainya.”
Eiji mengatakan itu, lalu membopong Izumi ala tuan putri.
“Selamat malam. Besok lagi.”
“Ya. Selamat malam.”
“Selamat malam.”
Tln : wait, jadi, mereka berdua tidur bareng?
Kami mengantar mereka pergi dan Aoi-san dan aku ditinggalkan di ruang keluarga.
Kami telah menghabiskan waktu bersama selama ini, tapi ada suasana yang rumit di antara kami.
“Mari kita rapikan sedikit dan kemudian kita pergi tidur juga.”
“Ya. Tapi sebelum itu……”
“Hm? Ada apa?”
Aoi-san berjalan ke arah lemari es dan membuka pintunya.
Kemudian, dia mengeluarkan dua puding yang kubeli dari dalam.
“Kalau tidak apa-apa denganmu, bagaimana kalau kita memakannya bersama-sama dan kemudian tidur?”
“Tentu. Tidak apa-apa.”
“Terima kasih.”
Dia duduk di sampingku dengan mengembangkan senyum yang sedikit bahagia di wajahnya.
Ketika aku membuka tutupnya dan memasukkan puding ke dalam mulutku, rasa manis yang pas menyebar di mulutku.
“Ini enak.”
“Ya. Sudah lama aku tidak memakannya, tapi ini enak.”
“Sebenarnya, aku juga sudah lama tidak memakannya.”
“Benarkah?”
“Ketika kedua orang tuaku masih rukun, ayahku biasa membelikanku puding saat pulang kerja. Dulu aku sangat suka memakannya bersama kami bertiga sekeluarga setelah aku mandi.”
Aoi-san memiliki ekspresi nostalgia di wajahnya.
Dia mengingat kenangan bahagia tentang orang tuanya.
“Maaf ya. aku jadi membicarakan hal yang suram. Aku sebenarnya tidak ingin membicarakan tentang hal itu, aku hanya ingin mengatakan kalau aku senang bisa makan dengan seseorang seperti ini lagi. Umm, karena itu… aku harap kita bisa makan puding bersama lagi.”
“Aoi-san……”
Aku senang bahwa orang itu adalah aku.
Pada saat yang sama, ada juga bagian dari diriku yang pesimis tentang keadaan Aoi-san.
Meski begitu, jika dia masih berpikir bahwa waktu yang kami habiskan bersama itu menyenangkan, kalau begitu,
“Tentu saja. Jika kamu mau, kita bisa makan bersama setiap hari. Aku ingin kamu memberitahuku apa lagi yang kamu sukai, bukan hanya puding. Mulai sekarang, mari kita lakukan banyak hal yang menurut Aoi-san menyenangkan.”
“Ya. Terima kasih.”
Jika aku bisa melihat senyuman ini lagi, aku akan mendukungnya sebanyak yang aku bisa.
“Dan juga, ada satu hal lagi…….”
“Satu hal lagi?”
“Terima kasih sudah memikirkan banyak hal demi aku.”
Aoi-san anehnya berbicara dengan cara yang formal.
“Seperti kamp belajar hari ini, dan konsultasi dengan Izumi-san dan Eiji-kun sehingga aku bisa memiliki teman. Aku selalu ingin berterima kasih padamu, tapi aku tidak menemukan waktu yang tepat untuk mengatakannya padamu dengan benar.”
Tidak bisa dihindari kalau hatiku tergerak oleh kata-kata itu.
“Aku shock saat ibuku menghilang, tapi aku tidak pernah berpikir aku bisa menghabiskan hari-hari menyenangkan seperti ini. Ini semua berkan Akira-kun yang menyelamatkanku. Aku benar-benar berterima kasih.”
Aku memikirkannya ketika melihat Aoi-san berbicara dengan senyum lembut di wajahnya.
Apa yang kulakukan, bukanlah hal yang sia-sia ataupun mengganggu.
“Akira-kun membantuku sepanjang waktu, jadi aku berharap aku bisa melakukan sesuatu sebagai balasannya, tapi …… aku tidak pandai memasak dan aku minta maaf karena satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah bersih-bersih.”
“Itu sudah cukup. Yang paling penting adalah Aoi-san menghabiskan waktu dengan bahagia.”
“Ya…… tapi, jika ada yang bisa kulakukan untukmu, tolong katakan padaku, ya.”
“Ya. Terima kasih.”
Dengan demikian, malam pertama kamp belajar berakhir.
Seperti yang dikatakan Eiji, aku akan mencoba menghargai apa yang bisa kulihat.