Dengan demikian, kamp belajar berlanjut pada hari Sabtu dan Minggu.
Kami belajar bersama, makan bersama, dan berjalan-jalan di sekitar lingkungan untuk melepas penat.
Dengan melakukannya bersama orang lain, kami bisa belajar lebih efisien daripada yang kuharapkan, tanpa mengendur seperti ketika belajar sendirian.
Ini berarti bahwa hal itu memiliki efek yang signifikan pada kemampuan akademik Aoi-san.
Kemampuan akademiknya, yang telah tertinggal setengah semester pertama ini, jauh lebih baik pada hari terakhir sekolah.
Tentu saja, belum terkejar sepenuhnya, tapi masih ada waktu seminggu lagi.
Jika dia terus belajar dan melakukan kamp pada hari Sabtu dan Minggu sebelum ujian, dia pasti akan bisa melakukannya.
Lalu pada malam ketiga.
“Kalau begitu, kami akan pulang sekarang.”
“Ini menyenangkan! Mari kita lakukan lagi Sabtu dan Minggu depan!”
Aku dan Aoi-san mengantar mereka ke pintu depan.
“Terima kasih kalian berdua.”
“Kamu tidak perlu berterima kasih. Karena kita adalah teman♪”
Izumi membalas dengan senyum pada Aoi-san, yang berterima kasih padanya.
“Sampai jumpa besok, disekolah.”
“Ya. Ah, Benar juga—”
Kemudian Izumi mulai mengobrak-abrik tasnya seolah-olah dia teringat sesuatu.
“Ini, Akira-kun.”
Apa yang diulurkannya adalah sebuah kantong kertas berwarna coklat.
“Apa ini?”
“Aku membelinya karena kupikir Akira-kun membutuhkannya, tapi aku hampir lupa memberikannya padamu.”
Aku membuka kantong itu, sambil bertanya-tanya apa isinya.
“Hei—!”
Aku mengeluarkannya dari dalam, lalu menyadari apa itu dan buru-buru memasukkannya kembali ke dalam kantong kertas.
“Akira-kun, apa itu?”
“Ah, tidak, bukan apa-apa!”
Aku memegangnya di tanganku di belakang punggungku untuk menyembunyikannya dari Aoi-san, yang mencoba mengintipnya.
Di dalamnya terdapat produk karet yang digunakan pasangan saat melakukan itu.
“Kamu tidak perlu khawatir kalau sudah punya persiapannya,’kan!”
“Ughh……”
Izumi mengedipkan mata dan menjulurkan ibu jari kanannya.
Aku merasa ingin men-tsukkomi berbagai hal dan membalas kembali, tapi…… di depan Aoi-san, aku tidak bisa bereaksi berlebihan yang membuatnya penasaran, dan menelan kata-kata yang sudah sampai ke tenggorokanku.
“Sampai jumpa ~ ”
Dengan demikian, kamp belajar berakhir dengan Izumi menggodaku.
Mari kita sembunyikan di belakang lemari untuk saat ini.
Setelah itu, aku dan Aoi-san melanjutkan belajar untuk ujian bersama setiap malam.
Karena sekarang pekan sebelum ujian, Aoi-san mengambil istirahat dari kedai kopi, tempat dia bekerja paruh waktu, dan berkonsentrasi untuk belajar.
Sesampainya di rumah sepulang sekolah, dia melanjutkan belajar sendiri selagi aku membuat makan malam, dan aku mengulangi rutinitas mengajarkan apa yang tidak dia mengerti ketika aku selesai makan malam dan mandi.
Hari-hari seperti itu terus berlanjut, dan suatu malam ketika masa ujian tinggal dua hari lagi.
Ketika aku terbangun di tengah malam saat ingin ke toilet, pintu kamar Hiyori yang digunakan Aoi-san terbuka sedikit dan cahayanya keluar dari dalam.
“Aoi-san… kamu belajar sampai selarut ini?”
Kami belajar bersama sampai tanggal berganti, dan aku menyuruhnya pergi tidur dan mengakhirinya… Apa dia terus melanjutkan setelah itu?
Setelah selesai dari toilet, aku pergi ke ruang keluarga.
Saat aku mengalihkan pandanganku ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 2.
Aku berpikir untuk menyiapkan kudapan atau semacamnya, dan mengeluarkan teh dari lemari es dan menuangkannya ke dalam dua gelas. Aku meletakkannya di atas nampan dengan cokelat yang kubeli dan meninggalkan ruang keluarga.
Ketika aku berdiri di depan kamar Hiyori yang Aoi-san gunakan, aku dengan lembut mengetuk dan membuka pintu.
“Terima kasih atas kerja kerasmu. Tidak apa-apa kalau aku mengganggumu sebentar?”
“Maaf ya. Apa aku membangunkanmu?”
Aoi-san menghentikan tangannya dengan sedikit terkejut.
“Tidak, ketika aku bangun untuk pergi ke toilet, listriknya menyala, jadi,”
“Begitu ya.”
“Kupikir akan buruk mengganggumu, tapi kupikir karena kamu belajar sampai larut, jadi aku menyiapkan kudapan. Bagaimana kalau beristirahat dengan secangkir teh hitam? Kupikir kamu juga akan lapar jadi aku membawa cokelat juga…”
“Terima kasih. Aku juga berpikir untuk istirahat.”
“Kalau begitu, tidak apa-apa aku bersamamu sebentar?”
“Ya. Tentu saja.”
Aoi-san meletakkan pena di atas meja dan seolah mengundangku untuk duduk di sebelahnya.
Aku meletakkan nampan di atas meja dan duduk di sebelah Aoi-san.
“Bagaimana perkembangan belajarmu?”
“Kukira itu tidak terlalu buruk. Semuanya sudah repot-repot meluangkan waktu untuk mengajariku, jadi aku ingin melakukan yang terbaik yang aku bisa. Meskipun tidak mungkin tiba-tiba mendapatkan nilai yang bagus.”
“Begitu ya.”
Dari ekspresi Aoi-san yang berkata begitu, aku bisa melihat tekad yang jelas.
Kupikir Aoi-san mungkin, adalah orang yang tidak memiliki banyak keinginan.
Dalam hal belajar pun, kupikir dia juga adalah bukan tipe orang yang berusaha sampai memaksakan diri karena ingin mendapatkan nilai yang bagus. Namun, kupikir alasan mengapa dia berusaha begitu keras adalah karena perasaannya yang ingin membalas budi pada kami yang besar.
Apakah aku sudah cukup memahami Aoi-san sampai berpikir kalau yang seperti ini itu Aoi-san sekali?
“Tapi ada beberapa bagian yang aku tidak mengerti.”
Aku melihat kearah buku teks dan buku catatan yang tersebar di atas meja.
“Matematika ya. Berapa banyak soal?”
“Sekitar dua… atau tiga.”
“Kalau begitu aku akan mengajarimu sekarang.”
“Itu … itu tidak bagus.”
“Tidak perlu menahan diri. Kupikir itu bagus untuk belajar dengan keras sampai larut, tapi jika kamu melakukannya sampai begadang terlalu larut, itu akan mempengaruhimu hari esok. Mari kita selesaikan apa yang tidak kamu mengerti dan tidur.”
Ketika aku mengusulkan itu, Aoi-san mengangguk sedikit meski masih menahan diri.
“Terima kasih. Kalau begitu, bisa aku meminta bantuanmu?”
“Tentu saja. Yang mana.”
Ketika aku mencoba melihat ke dalam buku teks.
“Ah……”
Aoi-san bergumam kecil.
“Hmm? Ada apa?”
Sambil mengatakan itu, aku melihat kearahnya dan memahami alasan kenapa Aoi-san bergumam.
Disana, wajah Aoi-san, yang pipinya diwarnai warna merah dengan wajah terkejut, sangat dekat.
Tln : ilustrasi sebelah kiri
“M-Maaf!”
Sepertinya saat aku mencoba melihat ke dalam buku teks, aku mendekatkan wajahku lebih dari yang diperlukan. Jika saja, aku mengalihkan wajahku kearahnya dengan keras, tidak aneh jika kecelakaan terjadi. Sayang sekali.
Dengan terburu-buru, aku mengambil jarak dan menjauhkan wajahku.
“Tidak. Aku juga… maaf.”
Melihatnya malu-malu atau lebih tepatnya gusar, membuat hatiku sesak.
Ini buruk.
Kami sedang belajar sekarang, jadi bukan waktunya untuk berdebar.
Aku menyeruput teh hitam dan memakan cokelat untuk mengalihkan perasaanku.
“Yosh. Ayo kita mengerjakannya!”
“Ya.”
Aku tidak bisa tidak berharap kerja keras ini akan membuahkan hasil yang baik.
Dengan demikian malam semakin larut.