“Kalau begitu, aku berangkat.”
“Ya. Hati-hati di jalan.”
Di pagi hari beberapa hari setelah kembali dari vila, aku mengantar Aoi-san di pintu masuk.
Hari ini adalah hari kegiatan sukarelawan yang diselenggarakan oleh sekolah.
Sejak kunjungan pertamanya ke panti asuhan pada semester pertama, Aoi-san secara teratur berpartisipasi dalam kegiatan sukarelawan.
Biasanya Izumi berpartisipasi dengannya, jadi aku hanya ikut serta ketika aku punya waktu atau ketika aku ingin. Kalau bisa, aku ingin berpartisipasi lagi hari ini, tapi aku akan tinggal di rumah dengan tenang.
Karena aku belum membuat kemajuan pada PR musim panasku karena mencari rumah nenek Aoi-san.
Tidak, tidak baik untuk menyalahkan pencarian rumah nenek Aoi-san. Aku punya waktu untuk melakukannya jika aku mau, dan ada juga cara untuk menyelesaikannya sebelum pergi ke vila seperti yang dilakukan Hiyori. Bahkan, Eiji juga menyelesaikannya sebelum pergi ke vila, dan Izumi serta Aoi-san menyelesaikannya sedikit demi sedikit sebelum tidur.
Dengan kata lain, situasiku saat ini adalah situasi yang tercipta oleh diriku sendiri…….
Seperti yang diharapkan, dengan sisa waktu kurang dari dua minggu, aku tidak punya waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan sukarelawan.
Setelah mengantar Aoi-san pergi, aku mengurung diri di kamar dan mengerjakan PR-ku.
“……Haa.”
Alasan kenapa aku terus terusan menghela napas bukan karena PR-ku tidak ada kemajuan.
Alasannya, tidak lain adalah karena aku benar-benar tidak tahu dimana nenek Aoi-san berada.
Aku selalu mencoba memikirkan cara untuk menemukannya sejak kami kembali, tapi aku belum mendapatkan ide yang bagus.
Untuk berjaga-jaga, aku meminta wanita yang kutemui ketika aku mengunjungi rumah nenek Aoi-san untuk memberi tahuku jika ada seseorang yang tahu sesuatu tentang neneknya dan memberinya detail kontakku, tapi sejujurnya, kurasa aku tidak bisa mengandalkannya.
Aku mencari cara lain yang mungkin ada, jika kita mengandalkan seorang pro dalam mencari seseorang, meskipun kemungkinan ditemukannya tinggi, biayanya juga tinggi, dan tidak mungkin kami siswa SMA mampu membayarnya.
Aku berpikir untuk mengandalkan pemerintah, tapi kalau seperti itu, begitu aku memberi tahu mereka keadaannya, Aoi-san kemungkinan besar akan mendapat perlindungan dengan cara yang tepat, dan jika aku mengandalkan layanan publik, aku merasa itu akan menjadi pilihan terakhir.
Dengan kata lain, aku diingatkan bahwa semakin aku memikirkannya, semakin tidak efektif cara yang tersisa.
“Kalau begitu……hanya ada satu cara untuk menyelesaikan masalah tempat tinggal Aoi-san, ya.”
Entah sudah berapa kali. Ayah Aoi-san muncul dalam pikiranku.
Ayah Aoi-san mengatakan bahwa ia menginginkan jawaban selama liburan musim panas.
Liburan musim panas tinggal kurang dari dua minggu lagi, yang berarti Aoi-san segitulah batas waktu yang dimiliki Aoi-san untuk menjawab ayahnya.
Sejak hari pertama kami bertemu ayahnya, dia belum pernah membicarakan sekali pun tentang masalah ini.
Apa yang dipikirkan Aoi-san tentang hal itu sekarang setelah kami belum menemukan neneknya, ya?
Juga, apa Aoi-san sudah berkontak dengan ayahnya sejak saat itu?
Mungkin aku perlu membicarakannya dengannya sekali saja.
Segera setelah aku berpikir begitu.
“Eh—?”
Tiba-tiba, nada dering ponselku berdering.
Ketika aku memeriksa layar, itu dari ayah Aoi-san.
Terkejut dengan waktunya, aku menarik napas dalam-dalam dan mengangkat telepon.
“……Ya. Ini Akira.”
『Ini ayah Aoi. Apa tidak apa-apa aku menelpon sekarang?』
Suara ayahnya melalui telepon terdengar sangat tenang.
“Ya. Ada apa?”
『Aku ada di sekitar tempatmu sekarang. Aku minta maaf ini sangat mendadak, tapi apa kita bisa bertemu dan berbicara? 』
Ini benar-benar mendadak. Ia tidak memikirkan keadaanku sama sekali, ya.
Maksudku, kenapa ia menghubungiku.
“Maaf, tapi Aoi-san sedang keluar untuk urusan sekolah.”
『Tidak, bukan begitu. Maaf membuatmu salah paham.』
“Salah paham?”
『Bukan Aoi yang ingin aku ajak bicara, tapi Akira-kun.』
Untuk sesaat, aku tidak meragukan kalau aku salah dengar.
“Denganku……?”
『Aku ingin tahu apa kita bisa bicara berdua saja.』
Keheningan menyelimuti telepon.
Aku tidak tahu tujuan sang ayah, tapi tidak ada alasan untuk menolak undangan tersebut.
Sebaliknya, mungkin agak nyaman untuk bisa berbicara dengan ayahnya saat Aoi-san tidak ada.
Daripada terus bermuram durja tanpa mengenal ia, lebih baik menanyakan semuanya padanya.
Seperti yang dikatakan Hiyori dan Eiji, buat keputusan setelah mengetahui situasi pihak lain.
“Aku mengerti. Mari bicara.”
Aku menjawab dan memutuskan untuk menerima undangan ayahnya.
PR-ku benar-benar di menghilang dari pikiranku.
*
Setelah menerima telepon dari ayah Aoi-san, aku segera pergi ke tempat pertemuan.
Tempat yang ia tentukan adalah kedai kopi yang kami bertiga kunjungi pada hari kami bertemu ayah Aoi-san.
Ketika aku tiba di kedai kopi, aku melihat ayah Aoi-san duduk di belakang dekat jendela, tempat duduk yang sama seperti terakhir kali. Aku mengatakan pada pegawai kedai yang mencoba mengantarku ke tempat duduk kalau aku punya janji dengan seseorang dan pergi ke tempat duduk di mana ayah Aoi-san sedang menunggu.
“Maaf membuat anda menunggu.
“Aku juga, maaf karena mendadak meneleponmu.”
Ia sepertinya tidak memiliki permusuhan, seperti yang ia tunjukkan dengan senyuman lembut.
Namun demikian, aku tidak bisa santai sementara aku tidak mengetahui maksud ayahnya yang sebenarnya.
Aku memesan es kopi ke pegawai kedai yang datang untuk mengambil pesanan dan kembali menghadap sang ayah.
“Jadi, ada urusan apa?”
Aku tidak berniat berbasa-basi.
Aku menunjukkan niatku untuk memulai urusannya sesegera mungkin.
“Aku bertanya-tanya bagaimana keadaan Aoi setelah itu.”
Penyelidikan tentang Aoi-san, ya.
Yah, aku tahu sebagian besar akan seperti itu.
“Bukankah akan lebih cepat untuk menanyakannya secara langsung padanya daripada bertanya padaku?”
“Ya, tapi……kami belum membuat kontak sama sekali sejak saat itu.”
Tidak ada kontak sama sekali—?
Dengan kata lain, Aoi-san tidak pernah menghubungi ayahnya sejak dia bertemu dengannya lagi?
Kupikir dia membicarakan sesuatu tentang tinggal bersama dengan ayahnya, tapi jika mereka benar-benar tidak berhubungan, maka aku bisa membayangkan kenapa ayahnya meneleponku.
“Aku ingin tahu apa aku bisa memintamu untuk membujuk Aoi.”
Yah, kukira akan seperti ini.
Ia tidak bisa berhubungan dengan baik dengan putrinya, yang sudah lama tidak ditemuinya, dan setelah ia mendapat masalah, ia meminta bantuan dariku, orang yang dekat dengan putrinya, teman sekelas dan teman sekamar.
Nah……aku bisa memahami kecanggungan berhadapan dengan putrinya yang belum pernah ia temui selama sembilan tahun.
“Meskipun dia dirawat di rumah Akira-kun sekarang, itu tidak akan bisa berlanjut selamanya. Jika memikirkannya ketika itu terjadi, akan lebih baik bagi Aoi untuk tinggal bersamaku lebih awal. Jika Aoi mengkhawatirkan hal itu, bisakah kamu memberinya dorongan untuk tinggal bersamaku?”
Sang ayah berkata dalam satu tarikan napas tanpa ragu-ragu.
Dengan kata lain, pria ini percaya dari dalam hatinya bahwa melakukan hal itu demi Aoi-san.
Ialah satu-satunya yang bisa menyelamatkan gadis malang yang ditinggalkan oleh ibunya. Ia bermain tidak bersalah, dan dengan rasa keadilan dan kewajiban di dalam hatinya, ia ingin membuat gadis itu bahagia atas semua yang telah dilakukannya.
……Tanpa mengetahui apa yang Aoi-san pikirkan.
“Aku menolak.”
“Eh……?”
Sang ayah terlihat terkejut.
“Anda harus memberitahu Aoi-san sendiri daripada meminta padaku. Selain itu—”
Aku tidak berniat mengucapkan kata-kata ini.
Namun, aku tidak bisa menahan diri karena sang ayah yang tidak mempertimbangkan perasaan Aoi-san.
“Aku menentang Aoi-san tinggal bersama anda.”
Aku menatap lurus ke arah sang ayah dan mengatakan padanya dengan jelas tanpa berkedip.
Aku berani mengangkat suaraku untuk menyampaikan bahwa inilah pendapatku.
Sang ayah terlihat bingung.
“……Boleh aku bertanya alasannya?”
“Sebaliknya, aku bertanya, apa anda pikir aku akan menyetujuinya?”
Aku membalas pertanyaan itu tanpa jeda dengan sedikit jengkel.
Apa ayah ini tahu apa yang sudah dilakukannya?
“Anda meninggalkannya sendirian selama sembilan tahun dan tidak pernah datang menemuinya, dan sementara itu anda membuat keluarga baru dan hidup bahagia……dan satu-satunya alasan anda datang mencari Aoi-san adalah karena ibunya memintamu untuk menjaganya, dan jika bukan karena itu, anda akan tetap meninggalkannya sendirian sampai sekarang, bukan?”
“Itu—”
Begitu emosiku meluap, emosi itu tidak berhenti.
Meskipun pihak lain adalah orang dewasa, aku tidak berniat menahan diri.
Seorang ayah yang pernah meninggalkan putrinya kini merendahkan dirinya dan berbicara tentang melakukan sesuatu demi putrinya.
“Setidaknya itulah yang kupikirkan, dan aku yakin Aoi-san sendiri merasakan hal yang serupa. Jika Aoi-san belum memberikan jawaban, juga pada akhirnya merupakan ungkapan perasaannya. Karena itulah aku menentang ide anda membawa Aoi-san.”
Sang ayah menunduk dengan ekspresi wajah yang sangat rumit.
Aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan. Tidak ada lagi yang bisa kubicarakan.
Tapi, kenapa perasaanku tidak kunjung cerah, ya?
“Akira-kun……kamu benar-benar mempedulikan Aoi, ya.”
Setelah beberapa saat, sang ayah mengatakan itu dengan suara yang tenang.
Ekspresinya entah bagaimana tampak sedikit puas.
“Tentu saja, dari sudut pandang Akira-kun, aku pasti tampak seperti ayah yang buruk. Sama juga dari sudut pandang Aoi, yang tidak tahu keadaannya. Apa yang Akira-kun katakan barusan tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan. Tapi meskipun begitu……aku tidak berbohong tentang betapa aku peduli pada Aoi.”
Sudah kubilang, bagaimana bisa kau mengatakan kalimat itu—
Ketika kata-kata itu hampir keluar dari tenggorokanku.
“Karena itu aku akan menceritakan semuanya padamu, Akira-ku, supaya kamu mengerti.”
“Semuanya……?”
“Aku ingin kamu mendengarkan apa yang harus kukatakan sebelum kamu memutuskan apakah kamu akan meyakinkan Aoi atau tidak.”
Tidak akan ada yang berubah bahkan jika kau mengatakan hal-hal indah seperti itu sekarang.
Namun demikian, aku masih mendengarkan…….
“Tapi tolong jangan tertawa sebelum aku selesai. Ini adalah kisah yang memalukan bagi pria yang tidak pernah bisa menjadi seorang ayah.”
Itu karena aku merasakan kemauan yang luar biasa dari mata sang ayah yang mengatakan demikian.
*
Setelah aku selesai berbicara dengan ayah Aoi-san dan kembali ke rumah—
Aku sedang duduk di sofa di ruang keluarga, menunggu Aoi-san pulang.
Ketika aku melihat jam, saat itu baru saja lewat pukul lima sore.
Saat itu sekitar pukul tiga ketika aku kembali dari kedai kopi, tanpa kusadari sudah lebih dari dua jam berlalu.
Selama dua jam ini, aku terus memikirkan kembali cerita ayah Aoi-san.
Apa yang dikatakan padaku adalah kebalikan dari apa yang kubayangkan—jika apa yang dikatakan ayahnya padaku benar, aku tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang telah kulakukan selama ini.
Meskipun matahari telah terbenam dan gelap, aku masih menunggu Aoi-san tanpa menyalakan lampu, tiba-tiba suara pintu depan terbuka bergema sampai ke ruang keluarga.
“Aku pulang.”
Aoi-san menyampaikan kepulangannya saat dia menyalakan lampu di ruang keluarga.
Suara tenang Aoi-san yang biasanya membuatku gusar sekarang.
“Lampunya tidak menyala, jadi kupikir kamu sedang keluar.”
“Ah……maaf. Selamat datang.”
“……Akira-kun, ada apa?”
Aoi-san duduk di sampingku dan menatap wajahku dengan ekspresi khawatir.
Aku ingin tahu seperti apa penampilanku sekarang, hingga membuatnya terlihat begitu cemas. Aku minta maaf karena membuatnya khawatir, tapi aku merasa tidak bisa menyembunyikan emosiku sekarang.
“Aku bertemu ayah Aoi-san hari ini.”
“Eh…….”
Aoi-san kehilangan suaranya karena terkejut.
“Aku mendapat telepon darinya setelah Aoi-san keluar dan kami mengobrol.”
“……Begitu ya. Apa yang kalian bicarakan?”
Aku mendongak dan menghadap Aoi-san.
Aoi-san memiliki ekspresi yang anehnya tenang di wajahnya.
Aku bergumul untuk mengeluarkan kata-kata yang sulit diucapkan.
“Kupikir Aoi-san……harus tinggal bersama ayahmu.”
Kedengarannya seperti aku mengatakan yang sangat berkebalikan, tapi inilah yang kupikirkan dari dalam hatiku sekarang.
Kenapa aku, yang selalu menentang dirinya tinggal bersama ayahnya, sampai berpikir seperti itu?
Untuk memberi tahu alasannya, aku harus menceritakan apa yang aku bicarakan dengan ayah Aoi-san.
*
“Tapi tolong, jangan tertawa sebelum aku selesai. Ini adalah kisah yang memalukan seorang pria yang tidak pernah bisa menjadi seorang ayah.”
Mata sang ayah menunjukkan kemauan yang luar biasa untuk menceritakan kisahnya.
“Ini adalah cerita lama, jadi maafkan aku jika agak panjang.”
Sang ayah mengawali ceritanya dengan mengatakan demikian, dan setelah memuaskan dahaganya dengan secangkir kopi, ia mulai menceritakannya.
“Seperti yang kamu tahu, aku bercerai dengan ibu Aoi ketika Aoi berada di kelas satu sekolah dasar. Tapi hubungan pernikahan antara aku dan ibu Aoi……sudah rusak bahkan sebelum itu.”
Seingatku, Aoi-san juga mengatakan hal seperti itu.
Dia mengatakan kalau mereka sudah tidak berhubungan baik sejak dia masih di TK.
“Penyebabnya……hubungan ibunya dengan laki-laki.”
Entah bagaimana, aku merasa itulah yang terjadi.
Salah satu alasan paling serius untuk perceraian orang tuanya.
“Ibu Aoi memiliki kebiasaan yang tidak terlalu baik dengan laki-laki. Kupikir itu adalah kesalahanku karena aku tidak menyadarinya sampai kami menikah, tapi setelah kami menikah dan setelah Aoi lahir, dia berkencan dengan pria lain. Ketika aku menyadari hal ini, kami mengadakan pertemuan untuk mendiskusikannya, tapi ibunya terlalu emosional untuk membahasnya.”
“……”
Mengingat alasan hilangnya ibunya, aku membayangkan bahwa alasan perceraiannya pun sama.
Tapi, hanya karena itu seperti yang kubayangkan, bukan berarti aku bersimpati pada sang ayah. Jika kita hanya fokus pada alasan perceraian, sang ayah mungkin menjadi korban, tetapi itu tidak mengubah fakta bahwa ia meninggalkan Aoi-san.
Itu adalah masalah di antara mereka, bukan alasan kenapa Aoi-san harus ditinggalkan.
“Setelah itu, dia mengatakan padaku bahwa dia ingin bercerai tanpa ada diskusi yang layak. Aku mengusulkan untuk membangun kembali hubungan dengan mempertimbangkan Aoi, tapi ibunya tidak menerimanya. Aku pikir aku tidak bisa meninggalkan Aoi dengan ibunya, jadi aku ingin mendapatkan hak asuh atas dirinya, tapi…….”
Sang ayah mengepalkan tinjunya erat-erat di atas meja.
“Dalam banyak kasus, masalah hak asuh lebih menguntungkan ibu. Aku mencoba segala cara, tapi sayangnya aku tidak bisa mendapatkan hak asuh Aoi dan aku tidak bisa mengambilnya kembal.”
Dari nada tenangnya, ekspresi sedih yang tidak bisa dibayangkan muncul.
Tidak sulit untuk membayangkan betapa ayahnya telah menderita…….
“Aku bisa saja meminta uang kompensasi pada ibu Aoi atas perselingkuhannya, tapi aku tidak melakukannya. Kalau aku melakukannya, jelas kehidupan Aoi akan jadi sulit. Aku tidak mengambilnya agar Aoi tidak hidup dengan tidak nyaman, dan aku terus membayar tunjangan setiap bulannya sesuai dengan jumlah yang diinginkan ibunya.”
Setelah mendengarkan cerita itu, kesan sang ayah dalam diriku perlahan berubah.
Saat aku mulai memahami situasi ayahnya, rasa tidak suka yang kurasakan terhadap ayahnya memudar.
“Hanya saja……memalukan untuk dikatakan, hidup tidak mudah saat itu. Beban keuangan untuk tetap membayar tunjangan anak sambil mencari nafkah untuk diriku sendiri sangat besar. Aku bahkan harus bekerja dua pekerjaan sekaligus. Tapi……selama sembilan tahun terakhir, meskipun aku terus membayar tunjangan anak seperti yang dijanjikan, aku tidak pernah sekalipun diizinkan untuk melihat Aoi.”
“Ha……?”
Tanpa sadar suaraku bocor.
“Anda terus membayar tunjangan anak selama sembilan tahun itu?”
“Ya.”
“Meskipun dia tidak pernah membiarkan anda menemui Aoi-san?”
“Karena meskipun dia tidak pernah membiarkanku melihatnya, aku tetap ayah Aoi.”
Ketika aku mendengar hal itu, aku jelas sadar.
Aku salah paham tentang sang ayah.
“Tapi suatu hari, setelah beberapa tahun hidup seperti itu, aku mengalami masalah dengan fisikku. Dokter mengatakan padaku bahwa hal itu disebabkan karena bekerja terlalu keras, jadi aku terpaksa mengambil cuti.”
Kalau itu, tentu wajar.
Malah aneh kalau kau tidak jatuh sakit setelah hidup seperti itu.
“Saat itulah aku bertemu dengan istriku yang sekarang. Dia tahu situasiku dan mendukungku. Bukan berarti aku tidak merasa bersalah karena memiliki keluarga baru. Bukannya aku mencoba melupakan Aoi. Itu semua karena aku ingin bertemu Aoi. Aku hidup selama sembilan tahun hanya untuk melihatnya lagi suatu hari nanti.”
Tangan yang menggenggam gelas itu lebih kuat.
Berapa banyak orang yang benar-benar bisa menyalahkan sang ayah ini?
Hubungan ibunya dengan seorang pria berujung pada perceraian, ia tidak bisa mendapatkan hak asuh putrinya, ia bisa saja mendapatkan uang kompensasi tapi ia tidak mengambilnya karena mempertimbangkan putrinya, dan ia telah membayar tunjangan anak selama sembilan tahun meskipun ia tidak pernah diizinkan untuk melihat puterinya.
Bahkan pria ini, yang berusaha mati-matian untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, adalah seorang manusia sebelum ia menjadi orang tua.
Tidak ada alasan kenapa ia sendiri tidak boleh bahagia.
Aku bahkan merasa jijik dengan diriku sendiri karena memiliki rasa tidak suka terhadap sang ayah tanpa mencoba mengenalnya dengan baik.
“Mungkin bagi Akira-kun dan Aoi, aku terlihat seperti ayah yang buruk. Kupikir ada cara untuk bertemu dengannya jika aku mau, dan jika kamu mengatakan aku meninggalkan Aoi sendirian, seperti itulah. Tapi……aku memikirkannya dengan caraku sendiri. Mungkin terdengar seperti sebuah alasan, ya.”
“Tidak, tidak seperti itu……”
“Meskipun dengan cara seperti ini, aku akhirnya bisa bertemu kembali dengan Aoi. Aku ingin mendukung Aoi sebagai seorang ayah sebanyak mungkin mulai sekarang. Jika aku melewatkan kesempatan ini, aku mungkin tidak akan pernah melihat Aoi lagi. Jadi tolong bantu aku dan Aoi untuk memulai keluarga kami lagi.”
Seorang pria dewasa membungkuk pada seorang siswa SMA tanpa ragu-ragu.
Melihatnya seperti itu, aku tidak tahu harus berkata apa.
Satu hal yang aku tahu adalah bahwa orang ini tidak meninggalkan Aoi. Sebaliknya, selama sembilan tahun, ia telah berusaha mati-matian untuk menjadi seorang ayah.
Sekarang setelah aku mengetahui segalanya dan telah menerima perasaan sang ayah dengan cara ini, aku memikirkannya lagi.
—Tidak peduli bagaimana perasaanku.
—Aoi-san harus tinggal bersama ayahnya.
Tidak, bukan begitu.
Aku tahu itu sejak awal.
Tapi entah kenapa……aku membencinya.
Aku tidak tahu kenapa, bahkan setelah aku selesai mendengarkan ayahnya.
*
“Begitulah yang terjadi…….”
Setelah aku menyelesaikan penjelasanku, Aoi-san bergumam dengan tenang yang tak terduga.
Kebenaran tentang perceraian.
Perasaan sang ayah dan alasan kenapa ia tidak bisa menemuinya.
Aku tahu ini harusnya bukanlah sesuatu yang bisa kukatakan padanya. Tapi aku masih merasa aku harus menceritakan semuanya padanya karena ayahnya telah mempercayakannya padaku.
“Aku memikirkannya ketika aku sedang berbicara dengannya. Aku yakin bahwa pria ini, sebagai ayah Aoi-san, akan mendukung Aoi-san mulai sekarang. Itulah kenapa kupikir akan lebih baik bagi Aoi-san untuk tinggal bersama ayahnya.”
Kupikir itu akan menjadi yang terbaik untuk Aoi-san.
Sekarang aku tahu bahwa ayahnya bukan orang jahat, tidak ada alasan bagiku untuk menentangnya.
Sekarang kami tidak bisa menemukan neneknya dan tidak ada cara untuk menemukannya, tidak ada keraguan bahwa ini adalah hal terbaik yang harus dilakukannya setelah aku pindah sekolah. Jika aku bertanya pada sepuluh orang, sepuluh orang akan meyakinkanku bahwa itu adalah hal terbaik untuk dilakukan.
“Mari kita pergi dan menjawab ayahmu kalau kamu akan hidup bersamanya.”
Meski begitu……kenapa perasaanku yang sebenarnya berlawanan dengan kata-kataku?
“Akira-kun, terima kasih sudah menceritakan cerita ayahku.”
Meskipun Aoi-san tersenyum lembut, dadaku terasa sakit seolah-olah diremas.
Ya……jika aku bisa melihat senyum ini, perasaanku tidak penting.
Hal yang paling penting adalah masa depan Aoi-san, dibandingkan dengan itu, rasa sakit di hatiku adalah hal yang sepele.
Saat aku mengatakan itu pada diriku sendiri dan akan menelan semua emosiku.
“Tapi, kamu tahu, aku tidak berniat untuk tinggal bersama ayahku.”
“…… Eh?”
Aoi-san mengatakan itu tanpa ragu-ragu.
“Kenapa?”
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya balik.
Tidak ada pilihan lain sekarang, jadi kenapa……?
Terlepas dari ketidaksabaranku, Aoi-san terus tersenyum dengan tenang.
“Karena ayahmu memiliki keluarga baru?”
Jika ada yang dikhawatirkan, itu saja.
“Itu juga tidak sepenuhnya salah. Kupikir jika aku pindah bersama mereka, itu akan menyebabkan banyak masalah bagi keluarga baruku. Tapi……terlepas dari itu, aku sudah memutuskan sejak awal.”
“Dari awal katamu, apa maksudmu ketika kamu bertemu ayahmu lagi?”
Aoi-san menggelengkan kepalanya.
“Pada hari upacara penutupan. Aku memutuskan bahwa apa pun yang terjadi mulai saat itu, aku akan tetap bersama Akira-kun sampai kamu pindah sekolah.”
Dengan sepatah kata itu, aku merasa seolah-olah aku sedang dipeluk dengan lembut di dalam hatiku.
Rasa sakit yang kurasakan beberapa menit yang lalu, sekarang sudah hilang seakan itu tidak pernah ada.
“Tapi, kenapa?”
“Karena hari itu, Akira-kun mengatakan padaku kalau kamu membutuhkanku.”
Kata-kata Aoi-san membawa kembali ingatan pada hari itu.
Pada saat itu, kami membantu Aoi-san karena menurut kami itulah yang terbaik, tapi karena Aoi-san selalu ditolong, dan sebagai akibat dari perasaannya bahwa dia tidak bisa memberikan balasan apa pun, dia mencoba untuk diam-diam menghilang dari hadapan kami.
Kami mencari-cari Aoi-san dan akhirnya aku menemukannya di taman kanak-kanak tempat kami bersekolah.
Di sana aku menjadi sadar akan perasaanku dan mengatakan pada Aoi-san bahwa aku ingin dia tetap berada di sisiku.
“……Jadi kamu mengingatnya ya.”
“Tentu saja. Itu adalah pertama kalinya ada yang mengatakan itu padaku. Aku tidak akan pernah melupakannya.”
Aku sudah sering pindah sekolah sampai-sampai aku sudah menyerah saat berpisah dengan orang lain.
Tapi, ketika aku bertemu Eiji dan Izumi dan mulai hidup bersama Aoi-san, aku mulai berpikir kalau aku tidak ingin melepaskan kehidupanku saat ini.
Alasan aku bisa berpikir seperti itu adalah karena Aoi-san bersamaku, dan jika aku tidak tinggal bersama Aoi-san, aku mungkin akan berpura-pura mengerti lagi, menyerah pada segalanya dan pindah ke sekolah lain.
Aku tidak ingin menyerah pada segalanya—satu kata itu adalah perwujudan perasaanku.
“Itulah sebabnya aku akan tinggal bersama Akira-kun sampai kamu pindah sekolah. Bahkan jika aku menemukan nenekku dan memutuskan untuk bersamanya, kupikir aku akan menunggu sampai tahun kedua.”
Aku tidak bisa berkata lagi.
Aku tidak mengira Aoi-san memikirkanku.
Begitu ya……alasan Aoi-san tidak mengatakan apapun tentang ayahnya bukan karena dia ragu-ragu. Itu karena dia tidak perlu ragu-ragu dan telah memutuskan untuk bersamaku sejak awal.
Seperti yang dikatakan Eiji, itu adalah sesuatu yang sudah dijawab oleh Aoi-san sejak lama dalam pikirannya.
“Jika aku tetap tidak bisa menemukan nenekku, aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan kedepannya……. Namun, sampai Akira-kun pindah sekolah, aku akan bersamamu apapun yang terjadi.”
Tidak peduli apa yang terjadi, dia akan bersamaku……
Ketika aku mendengar kata-kata itu dari mulut Aoi-san lagi.
Pada saat yang sama, aku benar-benar bahagia bahwa kami akan terus bersama, dan alasan kenapa aku mempunyai perasaan yang tidak nyaman pada ayahnya……pada saat itu aku menyadarinya.
Begitu ya……aku ingin ayah Aoi-san menjadi orang jahat.
Jika dia bergantung pada neneknya, dia harus pindah, tapi dia tidak akan pindah sekolah.
Meskipun kami tidak akan bisa tinggal bersama lagi, aku tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu dengannya sampai aku pindah sekolah.
Tapi, jika Aoi-san memilih untuk tinggal bersama ayahnya, dia akan pindah ke prefektur tempat ayahnya tinggal segera setelah liburan musim panas berakhir. Tentu saja, dia harus pindah sekolah……dan aku tidak akan bisa menemuinya lagi.
Aku tidak menginginkannya.
Aku tidak ingin berpisah dengan Aoi-san.
Karena itu, aku ingin menjadikan ayah Aoi-san sebagai orang jahat dan ingin Aoi-san tidak menyukai ayahnya. Karena dengan begitu Aoi-san tidak akan pernah meninggalkanku.
Semua karena aku ingin bersama Aoi-san, aku memutuskan ayahnya adalah orang jahat sejak awal.
“Aku yang terburuk……”
Rasa mual muncul bersamaan dengan kata-kata itu.
Aku merasa pusing melihat keburukan hatiku sendiri.
“Akira-kun……?”
Aoi-san menatap wajahku dengan ekspresi khawatir.
Aku tidak tahu seperti apa wajahku sekarang, tapi aku yakin aku terlihat mengerikan.
“Aoi-san…….”
Aku merasa aku harus memberitahu Aoi-san bagaimana perasaanku sekarang.
Mungkin dia akan membenciku.
Mungkin saja ini hanya kepuasan diri untuk berani berbicara tentang sesuatu yang lebih baik tidak dikatakan.
Meskipun begitu, aku tidak ingin berbohong atau menipu Aoi-san, yang mengatakan bahwa dia akan tinggal bersamaku untuk seterusnya. Jika aku melakukan itu, aku mungkin tidak akan pernah bisa menghadapi Aoi-san lagi.
Bahkan jika dia membenciku, aku berpikir kalau aku tidak bisa bersamanya tanpa memberitahunya.
“Aku punya sesuatu yang aku ingin Aoi-san dengar…….”
“Ya.”
Itu adalah pengakuan seperti sebuah pengakuan bersalah.
Aku berpikir Aoi-san bergarga bagiku, tapi aku tidak mencoba melakukan yang terbaik untuknya. Aku sangat menginginkan Aoi-san bersamaku, jadi aku berusaha membuat ayahnya menjadi orang jahat dan menjauhkannya dari Aoi-san.
Aku menunjukkan semua bagian buruk dari hatiku.
Sementara itu, Aoi-san dengan diam mendengarkanku.
“Aku benar-benar minta maaf……aku yang terburuk.”
Aku mengucapkannya dengan kesiapan bahwa dia mungkin akan membenciku.
Kemudian Aoi-san dengan lembut meraih tanganku.
“Itu tidak benar. Sebaliknya, aku senang kamu berpikir demikian, Akira-kun.”
Dia menggenggamnya di depan dadanya seolah untuk memeluknya.
“Selain itu, aku juga sama.”
“Sama?”
“Aku tahu bahwa tinggal bersama ayahku akan menyelesaikan segalanya, tapi alasan aku tidak melakukannya bukan hanya karena Akira-kun mengatakan bahwa kamu membutuhkanku. Hanya saja, aku tidak ingin berpisah denganmu, Akira-kun. Aku juga, hanya mengutamakan perasaanku sendiri.”
“Aoi-san……”
“Karena itu, jangan membuat wajah bersalah seperti itu.”
Aoi-san berkata dengan senyum penuh kasih sayang.
Aku benar-benar berpikir……kalau aku yang selalu diselamatkan.
Tapi aku yakin bahwa Aoi-san mungkin memikirkan hal yang serupa.
Aku teringat kata-kata yang diucapkan Aoi-san di kamar mandi di vila.
“Aku sangat bahagia sekarang—”
Aku juga begitu.
Aku memiliki seseorang yang dengannya aku bisa berbicara dari hati ke hati.
Aku tidak tahu kalau itu adalah hal yang begitu membuatku bahagia.
*
Suatu sore, dengan hanya beberapa hari tersisa dari liburan musim panas—
Aku bersama Aoi-san ada di kedai kopi tempat dia bekerja paruh waktu.
Kami tidak datang bermain ke tempat kerja paruh waktu Aoi-san seperti biasanya, tapi Aoi-san sendiri yang memilih tempat ini sebagai tempat pertemuan kami untuk memberikan jawaban pada ayahnya.
Aku dan Aoi-san menghadap ayahnya di tempat duduk yang selalu kami gunakan bersama Eiji dan yang lainnya.
“Kedai kopi yang bagus, ya.”
“Aku bekerja paruh waktu di sini.”
Aoi-san tersenyum dengan tenang, seolah dia telah memilah perasaannya.
Tidak, mungkin terlihat seperti itu karena akulah yang sudah memilah perasaanku sendiri.
Aoi-san menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke urusan utamanya.
“Aku mendengar cerita ayag dari Akira-kun.”
“Begitu ya. Kalau begitu, bisakah aku mendengar jawaban Aoi?”
Aoi-san mengangguk dengan tegas.
“Aku……tidak akan tinggal dengan ayah.”
Mata dan kata-katanya dipenuhi dengan kebulatan tekad yang jelas.
“Aku tahu ayah peduli padaku dan aku senang mengetahuinya. Tapi aku ingin terus menjalani kehidupan yang kujalani sekarang sedikit lebih lama lagi. Sampai Akira-kun pindah sekolah, tentu saja, jadi aku tahu aku harus berpikir bagaimana kedepannya. Tapi……..”
Aoi-san mengungkapkan keinginannya dengan tenang tapi tegas.
“Aku menyukai kehidupanku sekarang. Aku bisa berteman untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan orang-orang yang kuanggap berharga bagiku, aku mengalami banyak kesulitan dan aku yakin akan ada lebih banyak lagi di masa depan……tapi aku yakin saat inilah saat dimana aku paling bahagia. Karena itu……aku tidak ingin melepaskan kebahagiaan ini, jadi aku tidak bisa tinggal bersama ayah.”
“……Begitu ya.”
Ayahnya mengangguk sambil menggigit kata-katanya.
“Maafkan aku.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf. Kupikir kamu harus menghargai saat ini ketika kamu merasa bahagia.”
Mungkin karena Aoi-san telah mengungkapkannya dengan kata-kata tanpa ragu-ragu.
Sang ayah tampak tenang dan sepertinya menerima perasaan Aoi-san.
“Aku senang aku bisa bertemu dengan ayah. Meski aku tidak bisa tinggal bersama ayah, mulai sekarang, bisakah aku mengobrol dengan ayah jika ada sesuatu atau jika aku punya masalah?”
“Ya. Tentu saja.”
Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat, dan kupikir itu telah membawa perubahan besar dalam diri mereka.
Tapi, hal itu seharusnya tidak menjadi alasan orang tua dan anak tidak bisa berkumpul bersama.
“Aoi, boleh aku bertanya padamu?”
“Ya.”
“Seperti yang Aoi juga katakan sebelumnya, apa yang akan kamu lakukan setelah Akira-kun pindah sekolah? Jika kamu tidak memiliki rencana apa pun, aku bisa menyewa kamar untukmu dan membayar sewanya.”
“Tentang itu, aku sebenarnya bertanya-tanya apa aku bisa tinggal dengan nenek.”
“Nenek?”
“Ya. Aku sudah mencarinya sepanjang musim panas dan aku menemukan rumahnya……tapi dia tidak tinggal di sana lagi. Aku bertanya pada tetangga dan mereka mengatakan bahwa dia telah kembali ke rumah orang tuanya, tapi aku tidak bisa menemukannya.”
Sang ayah kemudian membuat gerakan seolah sedang berpikir.
“Kalau rumah orang tua nenek, aku pernah kesana.”
“Benarkah?”
“Ya. Aku datang untuk menyapa mereka sebelum aku menikahi ibumu. Mungkin aku ingat.”
Sang ayah kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai mencarinya.
Setelah beberapa saat, informasi lokasi peta dikirim ke Aoi-san.
“Aku cukup yakin di situlah tempatnya. Kamu bisa berkunjung ke sana.”
“Terima kasih……Akira-kun, kita berhasil.”
“Ya. Terima kasih, ayah!”
Aku tidak menyangka akan mengetahui di mana nenek Aoi-san berada dengan cara seperti ini.
Tapi sekarang semuanya mungkin akan berjalan dengan baik.
Aku merasa seperti akhirnya kami memiliki secercah harapan.
“Ketika kamu bertemu nenek, tolong sampaikan salam dariku juga.”
“Ya. Mengerti.”
“Dan satu hal lagi—aku butuh nomor rekening bank Aoi.”
“Rekening bank?”
“Aku sudah membayar tunjangan ke rekening ibumu sampai saat ini……tapi sejauh yang kudengar dari Akira-kun, akan lebih baik mentransfer uangnya langsung ke rekening Aoi mulai sekarang, kan. Aku akan melakukannya sesegera mungkin, dimulai dengan transfer bulan ini.”
“Aku baik-baik saja, kok. Aku tinggal di rumah Akira-kun, jadi aku tidak perlu membayar sewa rumah, dan aku punya pekerjaan paruh waktu jadi aku bisa menabung sedikit demi sedikit.”
“Aku ingin kamu menerimanya, bahkan jika kamu tidak membutuhkannya sekarang. Pasti akan tiba saatnya di masa depan Aoi ketika kamu akan membutuhkannya. Sampai hari itu, kamu bisa menjaganya agar tidak tersentuh dan menyimpannya.”
“Tapi……”
Aoi-san masih mencoba untuk menahan diri.
“Aoi-san. Kamu harus menerimanya.”
Aku tahu itu bukan tempatku untuk ikut campur.
Tapi sekarang setelah aku mengetahui perasaan ayahnya, aku ingin dia menerimanya.
“……Terima kasih.”
Setelah itu, Aoi-san dan ayahnya mengobrol ini itu untuk sementara waktu.
Meskipun kubilang mengobrol ini itu, separuhnya tentang kondisi akhir-akhir ini dan separuh lainnya obrolan ringan. Mungkin masih perlu waktu untuk mengisi kekosongan sembilan tahun mereka berpisah, tapi tidak perlu khawatir. Masih ada banyak waktu untuk itu.
Setelah selesai mengobrol, kami memutuskan untuk sampai sini saja untuk hari ini dan bangkit dari tempat duduk.
“Aku akan berbicara sebentar dengan manajer, jadi kalian berdua tunggu di luar dulu.”
“Ya.”
Ayahnya dan aku pergi ke luar kedai seperti yang diminta Aoi-san.
Ayah Aoi-san kemudian menundukkan kepalanya secara tiba-tiba dengan cara yang anehnya formal.
“A-Ada apa tiba-tiba!?”
“Akira-kun, tolong jaga Aoi untukku.”
Sang ayah mengatakan itu dengan kepala tertunduk.
Aku sudah menemukan beberapa kesempatan ketika orang-orang menundukkan kepala mereka.
Tapi aku belum pernah melihat orang yang menundukkan kepalanya dengan begitu penuh perasaan sebelumnya.
Aku merasa seolah-olah aku dipercayai olehnya sebagai seorang pria, terlepas dari orang dewasa atau siswa SMA.
“Ya. Aku akan melakukan apa pun yang bisa kulakukan.”
“Terima kasih. Jika ada masalah, kamu bisa menghubungiku kapan saja.”
Sang ayah mendongak dan mengulurkan tangan kanannya dengan raut wajah lega.
Aku balik menjabat tangannya.
“Boleh aku menanyakan sesuatu?”
“Apa itu?”
“Apa kamu menyukai Aoi, Akira-kun?”
“Eh……?”
Aku tidak menyangka ayahnya langsung bertanya padaku.
Kupikir ia sedang bercanda, tapi ekspresinya sangat serius.
Karena itu, aku tahu aku juga tidak bisa menghindarinya.
“……Sejujurnya, aku tidak tahu. Tapi aku menganggap dia berharga.”
“Begitu ya. Terima kasih.”
Tapi, jawaban ini mungkin tidak seperti yang diharapkan sang ayah.
“Maaf membuat kalian menunggu……ada apa, kalian berdua?”
Aoi-san keluar dari kedai dan memandang kami secara bergantian dengan ekspresi penasaran.
“Tidak, bukan apa-apa.”
“Ya. Bukan apa-apa.”
“Begitukah? Tidak apa-apa sih kalau begitu.”
Aoi-san berdiri di depan ayahnya dan tersenyum.
“Kalau begitu, aku akan pamit di sini. Aoi, jaga dirimu.”
“Ya. Sampai jumpa lagi, ayah.”
Sampai jumpa lagi—kata-kata itu adalah janji untuk bertemu lagi.
Sang ayah tampak bahagia dan berkali-kali menoleh ke belakang saat ia meninggalkan tempat ini.
Aku dan Aoi-san mengantarnya sampai punggungnya tidak terlihat lagi.
“Sekarang, ayo kita pulang juga?”
“Ya.”
“Masih ada waktu, ingin mampir ke suatu tempat?”
“Benar juga……ke suatu tempat untuk menghabiskan waktu sampai makan malam dan kemudian makan dan pulang ke rumah?”
“Tentu saja, tapi tidak biasa bagi Aoi-san untuk mengatakan sesuatu seperti itu, ya.”
“Pada hari kita pergi ke kolam renang, kita berbicara tentang makan malam dalam perjalanan pulang, tapi kita melewatkannya karena kita bertemu ayahku, bukan? Bagaimana kalau menebus waktu itu?”
“Ya. Kalau begitu, mari kita lakukan itu.”
“Ya.”
Kami pergi ke gedung stasiun untuk menghabiskan waktu.
Dan begitulah liburan musim panas berakhir.
Akhir Bab 2