Beberapa hari setelah dimulainya semester kedua, saat istirahat makan siang pada hari Jumat.
“Begitu ya. Jadi yang seperti itu juga terjadi…….”
Kami sedang makan siang di ruang kelas, membicarakan tentang ayah Aoi-san.
Kami belum pernah membicarakannya sebelumnya, dan sekarang setelah masalah diselesaikan.
Kupikir, tidak perlu memaksanya untuk membicarakan hal itu, tapi kami memutuskan untuk menceritakan semuanya, karena kami pikir, topik tentang ayahnya tidak bisa dihindari dalam menjelaskan mengapa kami mengetahui lokasi rumah keluarga neneknya.
Aoi-san sendiri mengatakan bahwa dia tidak ingin menyembunyikannya, jadi ini akan menjadi kesempatan yang bagus.
Yah……aku sudah menjelaskannya pada Eiji, tapi aku yakin ia akan bisa mengikuti ceritannya.
“Aku tidak ingin membuat kalian berdua khawatir, jadi aku tidak memberitahukannya…….maafkan aku.”
“Aoi-san juga punya alasan tersendiri untuk melakukan apa yang kamu lakukan, jadi tidak ada yang perlu dimintai maaf.”
“Ya, ya. Aku senang kamu menceritakannya, meskipun di akhiran seperti ini.”
Izumi mengelus kepala Aoi-san, menepuk-nepuknya dengan lembut.
Aoi-san juga tidak membencinya, melainkan menyodorkan kepalanya.
Bahkan selama liburan musim panas, aku merasakan perubahan dalam diri Aoi-san, tapi……sungguh, tidak terpikirkan olehku. Gadis yang tadinya berambut pirang penyendiri itu sekarang tersenyum seperti ini.
Entah kenapa, hanya menolah ke belakang membuatku tersenyum.
Tln : menoleh ke belakang disini maksudnya melihat ke masa lalu yak, bukan beneran noleh
“Walaupun begitu, aku tidak pernah menyangka kalau kita akan menemukan lokasi rumah orang tua nenek Aoi-san dengan cara seperti ini.”
“Ya. Kalau dipikir-pikir, wajar saja kalau ayah Aoi-san tahu di mana rumah orang tuanya…….aku sangat terkejut dan bingung sampai-sampai aku tidak berpikir sejauh itu.”
Seandainya kami tidak memberi tahu ayahnya kalau kami sedang mencari rumah nenek Aoi-san, kami masih dalam kebingungan.
Dalam hal itu, aku sangat senang mereka bisa menerima ini.
“Kapan kamu berencana untuk pergi menemui nenekmu?”
“Aku berpikir untuk pergi besok. Dengan Akira-kun dan kalian berdua.”
“Begitu ya. Kuharap kita bisa bertemu dengannya kali ini.”
“Ya. Terima kasih.”
Seperti kata Izumi, kali ini seharusnya kami bisa bertemu dengannya.
Ketika aku memikirkannya, aku tidak sabar menunggu hari esok.
“Jadi, kita sudah mencapai tujuan awal kita untuk saat ini, kan? Bahkan jika Aoi-san tidak bisa tinggal bersama neneknya, jika ayahnya ada, masalah tempat tinggal akan teratasi, bukan?”
“Ya, itu benar. Tentu saja, akan lebih baik jika dia bisa tinggal bersama neneknya.”
Meski begitu, dua masalah yang awalnya kukhawatirkan—
Masalah reputasi buruk Aoi-san di sekolah dan masalah tempat tinggalnya setelah aku pindah sekolah telah terpecahkan.
“Aku merasa lapar sekarang karena aku merasa lega.”
“Ha? Kau baru saja makan siang, bukan?”
Itu adalah kalimat yang kau ucapkan ketika kau begitu asyik dengan sesuatu sampai-sampai kau lupa makan, bukan ketika kau baru saja menyelesaikan makan siangmu dan menutup tutup kotak makan siangmu.
“Oh, Aoi-san, mau ke kantin beli beberapa makanan penutup? Untuk perayaan sudah tahu dimana rumah nenekmu, atau haruskah aku mengatakannya pra-perayaan? Apa pun itu, aku akan mentraktirmu!”
“Benarkah? Terima kasih.”
“Aku akan pergi dengan Aoi-san, ya!”
“Ya. Hati-hati.”
Keduanya meninggalkan ruang kelas sambil bergandengan tangan, dan aku dan Eiji melihat mereka pergi.
Kuharap si Izumi itu tidak mempengaruhi Aoi-san untuk terlalu banyak makan……
“Masih ada yang membuatmu khawatir?”
Saat aku memikirkan itu, Eiji bertanya padaku.
“Tidak, yang kukhawatirkan sekarang karena alasan yang tidak penting. Berkatmu, tidak ada yang kukhawatirkan.”
“Senang mendengarnya.”
Kebetulan sekali aku bisa sendirian dengan Eiji saat ini.
Aku terus-menerus membuat Eiji khawatir dan merepotkannya, jadi aku ingin menjelaskannya dengan benar.
“Pada akhirnya, aku tidak ingin berpisah dengan Aoi-san. Itulah kenapa kupikir aku merasa seperti orang jahat yang mencoba untuk mengambil Aoi-san dari ayahnya yang mencoba untuk membawanya. Aku yang terburuk ya……kupikir akan lebih baik baginya untuk tinggal bersama ayahnya, tapi aku tidak ingin membiarkannya melakukan itu.”
Eiji, seperti biasa, membiarkanku berbicara sampai aku puas.
“Tapi, Aoi-san menerima perasaanku yang seperti itu. Sejujurnya, aku tidak ingin pindah sekolah. Aku tidak ingin meninggalkan tidak hanya Aoi-san, tapi juga kau dan Izumi. Aoi-san mempertimbangkan perasaanku dan mengatakan bahwa dia akan tetap bersamaku apa pun yang terjadi sampai aku pindah sekolah. Seperti yang kau katakan, Aoi-san sudah memiliki jawabannya sejak awal.”
Bahkan, ketika Aoi-san mengatakan itu, aku tiba-tiba teringat sesuatu.
Itu adalah malam pertunjukan kembang api di vila.
“Eiji, kau mengatakan padaku kalau aku harus memberi nama pada emosi ini, bukan?”
“Ya. Aku mengatakannya.”
“Aku sendiri tidak sebodoh itu, jadi kupikir aku tahu apa yang kau coba katakan.”
Dengan kata lain, aku harus memperjelas di mana letak perasaanku terhadap Aoi-san.
Ketika kami pertama kali bertemu, perasaanku terhadap Aoi-san adalah penyesalan dan simpati. Aku menyesal tidak melakukan apa pun untuk gadis cinta pertamaku, dan aku merasa simpati pada Aoi-san, yang agak mirip dengan gadis itu, dan mengulurkan tangan padanya.
Tidak lebih, tidak kurang, tidak ada perasaan lain di sana sama sekali.
Tapi, karena kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama, entah bagaimana dia menjadi orang yang berharga bagiku. Fakta bahwa Aoi-san adalah cinta pertamaku mungkin salah satu alasan yang membuatku berpikir demikian.
“Tapi……jika kau bertanya apakah perasaan ini adalah cinta, aku tidak merasakannya.”
Ini adalah perasaan jujurku sekarang.
“Bukan berarti tidak ada apa pun, dan kupikir akan menyenangkan kalau bisa berada dalam hubungan semacam itu.”
Tapi sekarang, aku tidak bisa memutuskan apakah perasaan ini adalah perasaan romantis atau tidak.
“Jadi aku akan memikirkannya perlahan-lahan selama enam bulan yang tersisa sebelum aku pindah sekolah.”
“Kau benar. Itu bagus.”
Untungnya, masalah yang dihadapi Aoi-san memiliki solusi di depan mata.
Mulai sekarang, aku akan bisa memikirkan hal-hal semacam itu.
Melihat ke luar jendela, matahari sama teriknya seperti biasanya, tapi angin sepoi-sepoi yang berhembus jauh lebih sejuk, dan sebelum aku menyadarinya, musim panas akan segera berakhir.
*
Keesokan harinya, Aoi-san dan aku mengunjungi kota pedesaan tempat rumah keluarga neneknya berada.
Rumah keluarga neneknya terletak lebih jauh ke utara dari rumah neneknya yang kami kunjungi tempo hari.
Jaraknya satu setengah jam perjalanan dari kota kami dengan kereta api, tapi bahkan jika Aoi-san harus tinggal bersama neneknya, dia masih bisa terus bersekolah di SMA kami saat ini. Meski agak melelahkan.
Di tengah-tengah kecemasan dan kegugupan, kami mengikuti sistem navigasi pada ponsel kami.
Setelah berbelok di beberapa sudut, kami menemukan sebuah rumah tua di ujung jalan terbuka.
Menurut sistem navigasi, itu pasti rumah yang diceritakan ayah Aoi-san pada kami.
Di depan rumah, ada seorang wanita tua yang sedang bersih-bersih.
“Aoi-san.:
“Ya…….”
Ketika aku mendekati Aoi-san, berpikir bahwa wanita itu adalah nenek Aoi-san, Aoi-san memandang wanita itu dengan mata yang sedikit basah.
“Aoi-san, kamu baik-baik saja?”
“Ya. Aku tidak gugup seperti sebelumnya. Tapi……”
Aoi-san mengulurkan tangannya padaku.
“Bisa kamu menggenggam tanganku seperti yang kamu lakukan tempo hari?”
“Ya. Tentu saja.”
Aku menggenggam tangannya yang dia ulurkan dan mulai berjalan bersama menuju rumah itu.
Saat kami semakin dekat, nenek itu memperhatikan kami dan menghentikan bersih-bersihnya.
Saat kami mendekat, neneknya memberikan senyum penasaran namun ramah.
“Selamat sian. Ada yang bisa kubantu.”
Tangan Aoi-san yang memegang tanganku penuh dengan kekuatan.
“……Nenek.’
Aoi-san mengatakannya sebaik mungkin sambil menahan emosinya yang meluap-luap.
Saat berikutnya, keheningan menyelimuti kami, dan momen berikutnya—
“Aoi……? Aoi, apa itu kamu?”
Neneknya melepaskan alat bersih-bersihnya dan memegang lengan Aoi-san.
“Aoi, kan?”
“Ya……aku selalu ingin bertemu denganmu.”
“Ah……sungguh mengejutkan.”
Keduanya tidak bisa menahan tangis dan saling berpelukan.
Aku melangkah mundur dan memperhatikan mereka agar tidak mengganggu reuni mereka.
“Aku akan membuatkanmu secangkir teh, jadi tunggu sebentar ya.”
“Terima kasih.”
Setelah reuni yang emosional, Aoi-san dan aku diundang masuk ke dalam rumah.
Sementara neneknya membuat teh, aku melihat sekeliling rumah.
Aku tahu dari eksteriornya bahwa ini adalah rumah yang tua, tapi interiornya baru, seperti sudah direnovasi.
Aku mendengar kalau neneknya kembali ke rumah orang tuanya untuk merawat orang tuanya—dengan kata lain, buyut Aoi-san, tapi dari apa yang kulihat, sepertinya dia tinggal sendirian.
“Maaf membuat kalian menunggu.”
Neneknya meletakkan teh untuk kami bertiga di atas meja dan duduk sehingga dia menghadap kami.
“Meskipun begitu……bahkan aku tidak pernah bermimpi kalau Aoi akan mengunjungiku.”
“Maafkan aku. Aku minta maaf karena tiba-tiba datang seperti ini.”
“Tidak apa-apa. Aku pindah kembali ke rumah untuk merawat orang tuaku, tapi mereka berdua meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu, aku tinggal sendiri jadi aku kesepian. Aku senang kamu datang menemuiku seperti ini.”
Neneknya tampak benar-benar senang melihat Aoi-san lagi.
“Tapi bagaimana kamu tahu di mana aku berada? Apa ibumu memberitahumu?”
“Tidak. Aku pergi ke rumah lama nenek dan para tetangga mengatakan kalau nenek sudah kembali ke rumah orang tuanya. Aku kesulitan menemukan tempat ini, tapi ayah memberi tahuku.”
“Ayah……?”
Seperti yang sudah diduga, neneknya pasti merasakan situasi yang tidak biasa.
Ekspresinya berubah dari tersenyum menjadi mendung.
“Aku tahu sesuatu pasti telah terjadi karena kamu datang mengunjungiku sendiri, tapi……apakah itu lebih sulit dari yang kubayangkan? Kalau boleh, bisa menceritakannya padaku?”
“Ya. Sebenarnya…….”
Aoi-san kemudian menceritakan kisah tentang apa yang telah terjadi padanya tanpa menyembunyikannya.
Suatu hari di awal bulan Juni, ibunya menghilang dengan seorang pria saat dia menunggak uang sewa, dan dia terpaksa meninggalkan apartemen, meninggalkannya tanpa tempat untuk pergi. Saat itulah dia bertemu denganku dan mulai tinggal bersamaku.
Dia hanya bisa tinggal bersamaku sampai Maret tahun depan, ketika aku akan pindah sekolah, dan dia perlu menemukan tempat di mana dia bisa hidup dengan tenang sebelum itu, jadi dia memutuskan untuk mengandalkan neneknya.
Pada saat itu, ayahnya, yang telah diminta oleh ibunya untuk membawa Aoi-san, muncul dan mereka bertemu lagi untuk pertama kalinya setelah sembilan tahun. Dia bisa datang menemui neneknya dengan cara ini karena ayahnya ingat alamat rumah orang tua neneknya.
Ketika bertemu ayahnya lagi, aku yang menjelaskan semuanya, tapi sekarang Aoi-san melakukan yang terbaik untuk memberitahunya dengan kata-katanya sendiri.
“Begitu ya. Yang seperti itu juga terjadi ya……”
Ketika Aoi-san menyelesaikan penjelasannya, neneknya menyeka matanya dengan sapu tangan.
Dia sangat sedih karena cucunya telah sangat menderita tanpa sepengetahuannya.
Mungkin tidak pantas untuk mengatakan hal ini, tapi bukankah merupakan suatu berkah memiliki seseorang yang dapat mencucurkan air mata untukmu?
Aku berpikir begitu ketika aku melihat neneknya.
“Jika tidak terlalu merepotkan, aku ingin tinggal bersama nenek……”
“Tentu saja. Tentu saja boleh.”
Aoi-san dengan cemas mengatakannya, tapi neneknya langsung menjawab tanpa ragu-ragu.
“Kalau Aoi tidak keberatan, kamu bisa langsung pindah.”
“Terima kasih. aku berpikir untuk tinggal bersama nenek mulai tahun keduaku.”
“Kenapa?”
Aoi-san terlihat malu.
“Itu……aku ingin tinggal bersama Akira-kun sampai ia pindah sekolah.”
“……Begitu ya. Aku mengerti.”
Neneknya mengangguk dengan senyum ramah di wajahnya.
Setelah itu, Aoi-san dan aku dijamu makan siang yang disiapkan oleh neneknya dan menghabiskan waktu sebanyak waktu yang memungkinkan untuk membicarakan berbagai hal. Baik Aoi-san maupun neneknya terus berbicara seolah-olah mereka mencoba menebus waktu yang mereka lewatkan.
Aku yakin bahwa ini adalah pemandangan yang wajar bagi sebuah keluarga.
Namun, itu bukanlah hal yang wajar bagi Aoi-san, dan mungkin bukan hal yang wajar bagi neneknya, yang telah kehilangan orang tua dan suaminya dan yang telah kehilangan kontak dengan putrinya.
Karena itulah, mereka merasa senang bisa bertemu kembali dengan anggota keluarga yang bisa mereka ajak bicara seperti ini.
Saat aku menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama mereka, sesekali bergabung dalam percakapan mereka, tanpa sadar matahari sudah terbenam.
“Aoi-san, sudah waktunya bagi kita untuk pamit hari ini.”
“Ya. kamu benar.”
Ketika kami mulai bersiap-siap untuk pergi, neneknya mengantar kami keluar rumah.
“Kalau begitu, aku akan menghubungi nenek lagi.”
“Ya. Hubungi aku kapan saja. Jangan sungkan.”
“Ya.”
Aoi-san dan neneknya berpelukan sebelum kami pergi.
“Dan, Akira-san.”
“Ya.”
“Berkat Akira-san, aku dan Aoi dipertemukan kembali seperti ini. Terima kasih banyak.”
“Tidak. Tolong jangan khawatir tentang itu.”
Neneknya meremas tanganku dengan kedua tangannya.
“Tolong, untuk kedepannya, tolong terus jaga Aoi untukku.”
Sebanding dengan perasaannya, tangan neneknya dipenuhi dengan kekuatan.
Aku juga balik menggenggem tangannya sebagai jawaban.
“Serahkan padaku. Aku akan bertanggung jawab untuk melindungi Aoi-san sampai dia tinggal bersama anda.”
Kami meninggalkan rumah nenek Aoi-san setelah membuat janji dengan nenek Aoi-san.
Pada akhir musim panas yang panjang, semua masalah akhirnya terselesaikan.