Jam 7:00 malam.
Setelah makan malam yang singkat, Yamato berganti baju mengenakan pakaian kasualnya, kemeja putih, dan celana pendek, dan meninggalkan rumah dengan tas serut berisi baju renang di tangannya.
Siang hari sangat panas hingga terasa seperti pertengahan musim panas, tapi pada malam hari dingin. Karena pakaian kasualnya tipis, Yamato merasa sedikit kedinginan.
Jika mereka akan menggunakan kolam renang luar ruangan, Yamato khawatir mereka akan membeku kecuali jika airnya dihangatkan.
Sementara dia memikirkan hal ini, Yamato tiba di sekolah tempat mereka janjian untuk bertemu.
Di depan gerbang sekolah, dia sudah bisa melihat Sayla. Dia tampak imut dalam pakaian kasual musim panasnya, mengenakan atasan bergaris dan celana denim pendek.
“Maaf, apa kamu menunggu lama?”
Ketika Yamato memanggilnya saat dia berlari ke arahnya, Sayla, yang sedang melihat ponselnya, berbalik untuk melihatnya.
“Selamat malam. Aku baru saja sampai.”
“S-Selamat malam. Aku senang mendengarnya.”
Yamato tidak berpikir dia akan terbiasa bertemu dengannya di malam hari, tidak peduli berapa kali mereka melakukannya.
Dan saling menyapa dengan “Selamat malam” membuat hatinya tergelitik.
“Ayo pergi.”
Berbeda dengan Yamato yang gelisah, Sayla mulai berjalan dengan santai.
—Tapi entah kenapa, Sayla berjalan menuju gedung sekolah dan meletakkan tangannya di pintu di dekat gerbang (Pintu masuk petugas dipasang di samping gerbang sekolah).
“H-Hei, apa yang kamu lakukan? Apa yang akan kamu lakukan di sekolah?”
Yamato bertanya dengan bingung, dan Sayla hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Kupikir aku akan menggunakan kolam renang sekolah hari ini.”
“Apa…”
Sementara Yamato terkejut pada jawaban yang tak terduga itu, Sayla dengan ringan melangkah melewati gerbang yang terbuka dan memberi isyarat padanya.
“Ayo, Yamato, cepatlah.”
Saat dia disuruh bergegas dan Yamato tidak punya pilihan selain mengikutinya.
“Aku ingin tahu, apakah kamu sudah mendapat izin dari sekolah?”
“Ya… Aku menelepon pihak sekolah sebelum aku datang, dan mereka memberiku izin untuk masuk ke gedung sekolah.”
Sayla berkata tanpa rasa bersalah.
Anehnya, Yamato merasa lega mengetahui bahwa dia telah diberi izin untuk masuk ke sekolah, dan mengajukan pertanyaan lagi.
“Bagaimana caramu menjelaskan ke sekolah untuk mendapatkan izin masuk?”
“Aku mengaku ingin masuk untuk mengambil barangku yang ketinggalan.”
“Itu kebohongan yang berani. …Ya ampun, bukannya kamu ini Saint.”
Ketika Yamato tercengang, Sayla hanya menoleh dan tersenyum sugestif padanya.
“Sungguh, jika kamu imut, tidak masalah apa yang kamu lakukan …”
Yamato frustrasi melihatnya menutupi tindakannya dengan senyuman, tapi dia harus mengakui bahwa dia imut.
Sayla, yang berjalan di depannya, berjalan di luar gedung sekolah alih-alih masuk ke dalam gedung.
Kolam renang di SMA Ao Saki berada di luar ruangan, jadi Yamato menebak mereka benar-benar akan pergi ke area kolam renang.
Tempat parkir sepeda kosong dan halaman sekolah gelap. Semua pemandangan sunyi di sekolah tampak asing bagi Yamato, dan dia merasakan getaran aneh di dadanya.
Yamato pernah melihat adegan sekolah di malam hari di manga dan drama TV, tapi ketika dia benar-benar melihatnya sendiri, itu lebih gelap dan lebih menakutkan daripada yang dia duga, dia lebih merasa cemas daripada bersemangat.
(Aku baru saja mengatakan ini beberapa hari yang lalu, “Jika Shirase akan tersesat, aku akan menghentikannya.”)
Tempo hari Yamato mengatakan itu kepada kakak Sayla — Reika.
Situasi saat ini dapat diartikan kalau Sayla akan tersesat. Namun, bukannya menghentikannya, Yamato mencoba untuk bersenang-senang dengannya. Jika dia terus seperti ini, dia tidak akan bisa menatap wajah Reika.
Yamato, yang telah menenangkan diri dan membuat keputusan, memanggil punggung Sayla, yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
“H-Hei, bisakah kita tidak melakukan ini? Kita bisa pergi ke kolam renang malam lain hari.”
Namun, Sayla tidak berhenti atau bahkan melihat ke belakang.
“Hei, Shirase.”
“Tidak apa-apa. Mereka tidak akan tahu.”
“Tidak, bukan itu masalahnya …”
Sesampainya di tangga menuju area kolam renang, Sayla akhirnya berbalik.
“Aku yakin ini akan menyenangkan. Yamato tidak suka?”
Karena gelap, Yamato tidak bisa melihat ekspresi di wajah Sayla ketika dia menanyakan itu.
Nada suaranya tenang, jadi Yamato menduga dia tidak kesal. Dia tahu bahwa Sayla dengan tulus mencoba mendengarkan pendapatnya.
“Kamu tahu, aku…”
Saat Yamato bertanya-tanya bagaimana dia harus merespons, Sayla mendekatinya.
Dia mendongakkan wajahnya tepat di bawah wajah Yamato, dan begitu mereka bisa melihat ekspresi satu sama lain dengan jelas, Sayla tersenyum padanya.
“Bagus, sepertinya kamu tidak terlalu marah.”
Mata Sayla tampak bersinar dalam kegelapan, Yamato terserap ke dalamnya hanya dengan menatapnya.
Membuang kekhawatiran yang mengganggu seperti itu dari benaknya, Yamato mengalihkan pandangannya sebelum menjawab.
“…Aku mengatakan kepada kakakmu tempo hari bahwa jika Shirase akan tersesat, aku akan menghentikannya. Jadi, aku merasa bersalah situasinya jadi seperti ini … Shirase sedang tidur pada saat itu, jadi kamu tidak mungkin tahu itu.”
Setelah Yamato memberitahunya semua itu, Sayla mundur beberapa langkah dan menjauhkan diri darinya.
Kemudian, setelah jeda untuk mengatur napas, Sayla membuka mulutnya.
“Hanya itu, terima kasih untuk semuanya. Dan aku minta maaf karena membuatmu khawatir sepanjang waktu.”
Yamato terkejut Sayla berterima kasih dan meminta maaf pada saat yang sama, karena dia tidak mengharapkannya.
Namun, Yamato merasa setengah lega dan setengah kecewa, berpikir kalau percakapan ini berlanjut, mereka akan mempertimbangkan kembali kegiatan renang malam di sekolah ini.
“Tapi jika begitu, aku yakin kamu akan baik-baik saja. Orang itu—Onee-san, akan tertawa dan memaafkanmu untuk hal seperti ini.”
“Tidak, tidak, tidak peduli apa yang kamu pikirkan, dia tidak akan hanya tertawa dan memaafkanku …”
“Lalu, mungkin dia hanya akan tersenyum dan menyentil dahimu.”
“Pfft”
Sayla pasti telah beberapa kali merasakan itu dari kakaknya. Ketika Yamato tahu itu, dia tidak bisa menahan tawa.
“Kamu akhirnya tersenyum. Caramu melihatku sejak tadi seolah kamu sedang dalam kesulitan, jadi aku agak senang.”
“Karena, kamu tahu… Yah, jika dia tidak memaafkanku, dan hal terburuk terjadi, aku akan bersujud. Atau aku akan mendapat tamparan keras di pergelangan tangan.”
“Itu tidak bagus. Yamato tidak perlu berusaha sejauh itu.”
“Tidak, aku akan melakukannya.”
“Keras kepala sekali.”
“—Jadi, untuk mencegah hal itu terjadi, kita harus memastikan bahwa dia tidak tahu kegiatan hari ini.”
Kali ini, Yamato menutup jarak di antara mereka.
Kemudian dia melihat wajah Sayla, yang sangat tercengang.
“Apa-apaan ekspresi lucu di wajahmu itu?”
“Aku tidak begitu mengerti, tapi aku merasa kamu bersikap kasar padaku.”
Alih-alih kesal, Sayla berkata sambil berpikir.
Yamato tersenyum, geli melihat reaksinya.
“Senyum Yamato membuatku merasa lega saat melihatnya. Kenapa ya.”
Yamato merasa malu karena Sayla mengatakan ini dengan wajah datar, jadi dia membalikkan tubuhnya.
“N-Ngomong-ngomong, Ayo masuk ke kolam.”
“Ya, kita sedang berbicara tentang masuk ke kolam.”
“Jangan ulangi. Itu memalukan…”
Yamato kewalahan, kemudian mereka berdua menaiki tangga menuju area kolam renang.
Tentu saja pintu masuk ke area kolam renang terkunci dan mereka harus memanjat pagar yang mengelilinginya untuk masuk.
“Sekarang, aku mulai merasa seperti melakukan sesuatu yang buruk …”
Yamato membuat komentar pasrah saat dia memanjat pagar.
“Ini menyenangkan.”
Sebaliknya, Sayla sudah dalam suasana hati yang baik. Dia sangat berani, atau setidaknya, dia sangat bersemangat dan agak bisa diandalkan.
(Aku tidak pernah bosan bersama Shirase.)
Berkat sikap Sayla yang tampak ceria, pikiran Yamato menjadi jauh lebih santai.
Ketika Yamato akhirnya sampai di sisi lain pagar — area kolam — pemandangan misterius memenuhi penglihatannya.
Permukaan air di kolam yang luas itu berkilauan diterpa sinar bulan yang menembus awan.
Saat permukaan air sedikit bergoyang ditiup angin malam, cahaya lampu berubah bentuk, membangkitkan semangat orang yang melihatnya.
“Luar biasa…”
“Kolam renang di malam hari sangat indah, ‘kan? Atmosfernya jauh lebih terasa daripada yang kukira. ”
Sayla mengobrak-abrik tasnya saat dia berbicara. Dia tampak gatal ingin segera berenang.
“Aku sudah sejauh ini ke kolam renang, aku harus berenang. Aku akan pergi ke ruang ganti pria—”
Saat dia mengatakan ini, Yamato sadar bahwa kenop pintu kamar ganti pria tidak bisa diputar.
…Tidak ada cara untuk masuk ke ruangan yang terkunci itu karena tidak ada kuncinya.
“H-Hei, Shirase, apakah kamu punya kunci ke ruang ganti?”
“Tidak. Aku akan ganti pakaian di sana. ”
“Tidak, itu…”
Terlepas dari keterkejutan Yamato, Sayla menuju ke samping bangunan ruang ganti.
Tidak ada gunanya terus berdiri di sini, jadi Yamato menuju ke sisi lain.
Sayla tampaknya tidak ragu untuk berganti pakaian dalam situasi seperti ini, ini di luar ruangan dan tidak ada penghalang di antara mereka.
Itu artinya, jika dia mau, Yamato bisa mengintipnya… Tidak mungkin Yamato punya nyali untuk melakukan itu, jadi dia dalam diam mulai berganti pakaian.
Tapi tentu saja, dia tidak bisa tenang.
Beberapa meter dari sana, Sayla juga sedang berganti pakaian. Tidak mungkin untuk tidak memperhatikan hal itu.
—Sssh
Saat itulah dia mendengar suara gemerisik pakaian.
Itu pasti datang dari arah di mana Sayla berada. Mungkin karena gelap, pendengarannya jadi lebih sensitif.
—Patunn.
Mungkinkah itu suara baju renang yang sedang dia kenakan? Pikiran Yamato jadi gelisah karena imajinasinya — atau lebih tepatnya, imajinasinya menguasai dirinya.
Tidak butuh waktu lama bagi Yamato untuk mengganti pakaiannya. Dia mengenakan celana renang yang agak kekecilan karena dia membelinya saat SMP dan siap untuk pergi.
“…Aku sudah selesai berganti pakaian, bagaimana denganmu?”
Yamato berjalan ke tepi kolam dan bertanya, dan mendengar suara di sisi lain berkata, “Hampir selesai.”
(Haa! Apa-apaan situasi ini! Apanya yang hampir selesai?)
Dalam situasi ini, kata “hampir selesai” memiliki banyak makna bagi Yamato, dan itu membangkitkan berbagai fantasinya, jadi dia harus mencoba menjadi linglung.
Yamato menghabiskan beberapa menit dalam keadaan linglung, melihat ke kolam.
Sebuah suara “maaf karena membuatmu menunggu” datang dari belakang Yamato, dan dia berbalik untuk melihat Sayla dalam kegelapan.
Saat Yamato mendekatinya, cahaya bulan yang terhalang oleh awan menerangi pemandangan itu.
“…”
Yamato tahu bahwa ini akan menjadi kejutan baginya.
Sayla, yang bermandikan cahaya bulan saat mengenakan pakaian renangnya, tampak seperti peri dari dunia fantasi.
Rambutnya diikat ke belakang membentuk sanggul, memperlihatkan kulit putihnya, anggota badannya yang gemulai, dan dada yang besar. Matanya yang besar, seperti permata, dikombinasikan dengan ekspresi kaburnya, dipenuhi dengan pesona fana yang tak terlukiskan.
Sangat cantik. Yamato berpikir begitu tanpa pikir panjang.
“Hmm? Ada yang salah?”
Melihat Yamato menegang, Sayla bertanya dengan rasa ingin tahu.
Yamato sadar dan buru-buru mengalihkan pandangannya.
“…Umm, kamu memakai pakaian renang sekolah ya.”
Yamato berkata sambil melirik ke samping padanya, dan Sayla menjawab dengan tatapan bingung.
“Ini adalah kolam renang sekolah, jadi tentu saja aku akan memakai pakaian renang sekolah.”
Sayla mengatakannya seolah-olah itu hal yang wajar, tapi biasanya tidak akan ada kesempatan untuk menggunakan kolam renang sekolah pada malam hari. Sejak awal, Yamato bahkan tidak diberitahu bahwa mereka akan menggunakan kolam renang sekolah.
“Apa kamu tahu sesuatu? Sepertinya ada yang salah dengan pakaian renangku.”
“Bukankah itu agak kekecilan?”
“Biarlah.”
Dan kemudian Sayla memunggungi dia dan Yamato berpikir.
“Aku biasanya menggunakan cermin ketika aku menata rambutku, tapi di sini gelap dan aku tidak bisa melihat dengan baik. Bisakah kamu mengecek apakah ini sudah diikat dengan benar? ”
“Eh, ya…”
Ketika Sayla mengajukan permintaan tak terduga itu, Yamato mengalihkan pandangannya ke arahnya, mengecek itu.
Dengan rambutnya yang ditarik ke atas menjadi apa yang disebut kuncir kuda, tengkuk indahnya terlihat, itu sangat mempesona.
“Ini luar biasa …”
“Eh?”
“Kupikir kamu sudah mengikatnya dengan baik.”
“Oke. Kuharap begitu.”
Kemudian Sayla berbalik dan melihat seluruh tubuh Yamato seolah-olah dia sedang melihat sesuatu yang tidak biasa.
“Mengejutkan, Yamato ternyata berotot, ya? Hanya sedikit padat, sih.”
“I-Itu karena aku laki-laki. Dalam kasusku, bukan karena aku berotot, tapi karena aku ini sedikit kurus—Whoa!?”
Tiba-tiba, Sayla menyentuh perutnya.
Sayla masih menatap perut Yamato dengan penuh minat, saat dia memalingkan wajahnya karena terkejut.
“Seperti yang kuduga ini keras. Otot perutmu terbentuk dengan baik. ”
“J-Jangan tiba-tiba menyentuh tubuhku! Dan aku cukup yakin ini sangat kurus untuk seorang pria!”
“Heh, baiklah. Aku juga kadang-kadang melakukan sit-up, tapi tidak setiap hari. Apakah kamu ingin menyentuh perutku?”
Tidak ada alasan bagi Yamato untuk menolak tawaran seperti itu. Satu-satunya cara menyentuhnya adalah melalui kain pakaian renang sekolahnya, dan yang lebih penting, Sayla-lah yang menawarkan itu. Jika dia menolak saat ini, dia akan menyesalinya selama sisa hidupnya.
“…Mari kita periksa.”
Yamato dengan lembut mengulurkan tangan dan menusuk perut Sayla.
—Funi.
Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang lembut dan perlahan tenggelam ke dalamnya.
…Itu adalah momen kebahagiaan.
“Hei, aku tidak punya otot perut, ‘kan? Kurasa aku perlu melakukan beberapa latihan otot. ”
“T-Tidak, tidak masalah, tidak masalah, ini benar-benar tidak masalah …”
Bahkan setelah menarik kembali jari-jarinya, Yamato masih bingung dan jelas bertingkah aneh.
Perutnya begitu lembut. Bagian lainnya pasti—tatapan Yamato secara alami bergerak ke atas.
Sayla, yang sepertinya memperhatikan tatapannya, berkata dengan acuh tak acuh sambil meletakkan tangannya di dadanya.
“Bukankah itu ide buruk? Ini akan menjadi ‘hubungan erotis tidak murni’ yang Yamato katakan.”
“Eh, bukan… aku tidak mencoba menyentuh itumu!”
“Hmm. Bagus kalau begitu.”
Tampaknya argumen Yamato diterima dengan mudah. Setelah kembali ke kondisi normalnya, Sayla menyalakan senter di ponselnya sebagai pencahayaan dan mulai melakukan peregangan. …Kepribadian Sayla menyelamatkan hari.
Bahkan peregangan yang dilakukan oleh Sayla terlihat begitu profesional. Tubuhnya tampak sangat lentur hingga Yamato tidak bisa menirunya.
Yamato juga melakukan yang terbaik untuk menghilangkan kekhawatirannya dan melakukan peregangan dengan serius, karena itu harus dilakukan dengan benar atau akan menyebabkan kram dan kecelakaan.
Setelah peregangan, mereka menuju ke area shower.
Mereka menyalakan keran shower dan air keluar, jadi mereka berdua mandi dulu.
“Sangat dingin.”
“K-Kamu benar.”
Pemandangan Sayla dengan air yang menetes dari rambutnya sangat menggoda. Yamato terlalu terpesona dengan itu untuk memperhatikan dinginnya air shower.
Saat mereka pindah ke tepi kolam, menggigil kedinginan, Yamato menyuruhnya untuk berhati-hati, untuk berjaga-jaga.
“Pertama-tama, jangan langsung masuk. Itu berbahaya. Juga, mari kita buat isyarat jika kakimu kram atau tenggelam. ”
“Oh, kamu sangat berhati-hati.”
“Aku akan melanjutkan dan mengatakan ini juga: aku tidak begitu pandai berenang. Ini menyedihkan.”
“Apakah begitu? Aku tidak berpikir kalau kamu menyedihkan. ”
“O-Oh, terima kasih.”
Pertama, mereka memutuskan isyaratnya dan kemudian mereka mencelupkan kaki mereka ke dalam air.
“Wow, air kolamnya juga cukup dingin.”
“Meskipun sekarang musim panas, tapi saat ini belum bulan Juni. Lagipula, sekarang sudah malam.”
“Sepertinya tim renang membersihkan kolam hari ini. Mungkin kita yang pertama menggunakannya setelah dibersihkan.”
“Aku merasa tidak enak tentang itu …”
“Aku tidak benar-benar tahu, sih. Baiklah, ayo masuk.”
“Ya.”
Dengan percikan kecil, Yamato dan Sayla masuk ke dalam kolam renang.
“Dingin…”
Sayla menggigil saat dia memegang bahunya sendiri. Dia tampak seperti binatang kecil.
“Haha, menyegarkan melihat Shirase kedinginan. —Dingin.”
Saat Sayla memercikkan air padanya, Yamato melakukan hal yang sama padanya untuk membalasnya.
“A-Aku sangat kedinginan! Aku lupa memakai kacamataku. Airnya masuk ke mataku.”
“Ahaha”
“Yamato, kamu terlalu banyak tertawa.”
Melihat Sayla sangat kesal membuat Yamato merasa lebih baik.
Yamato senang melihat Sayla yang tidak seperti biasanya, tapi dia juga mulai terbiasa dengan situasi khusus ini dan mulai benar-benar menikmatinya.
Kemudian Sayla mengatakan sesuatu seolah-olah itu baru saja terpikirkan olehnya.
“aku cukup pandai berenang, jadi bagaimana kalau aku mengajarimu?”
“Apa kamu yakin? Kupikir kemampuanku cukup mengerikan, menurutku sendiri. ”
“Itu berarti memang perlu diajarin. Mau mulai dari mana?”
“Oke, gaya dada dulu, tolong. Sepertinya aku tidak tahu bagaimana cara menggerakkan kakiku.”
“Oh kamu tipe orang berkaki katak. Kalau begitu ulurkan tanganmu padaku dulu. ”
[TL Note: Kurang ngerti sih, tapi maksudnya mungkin gak bisa menggerakkan kaki dengan benar saat berenang.]
“Oke.”
Yamato mengulurkan tangannya seperti yang diperintahkan, dan Sayla meraih keduanya.
“Baiklah, mari kita mulai.”
“O-Oh…”
Dan pelajaran renang pun dimulai.
“Ya, ya, teruskan.”
Saat Sayla memanggilnya, air memercik, memercik, dan memercik.
Sudah dua puluh menit sejak saat itu, Yamato sudah selesai berlatih gaya dada dan beralih berlatih gaya kupu-kupu.
“Ya, itu seharusnya sudah bagus. —Saatnya istirahatlah.”
“Fiuh, aku setuju.”
Namun, sepertinya Sayla berencana untuk tetap berada di kolam renang.
Ketika Yamato yang naik ke tepi kolam lebih dulu, dia sadar bahwa otot-ototnya, yang biasanya tidak digunakan, menjerit kesakitan. Setelah menyeka dirinya dengan handuk, dia duduk di lantai sejenak.
Saat dia melihat Sayla mengapung dengan punggung menyentuh permukaan air, dia tiba-tiba berpikir.
(Aku ingin tahu apakah Putri Duyung Kecil itu seperti ini.)
Pemandangan Sayla yang hanyut di permukaan air pada malam hari seperti sesuatu yang keluar dari dongeng, dan Yamato merasa seperti sedang menyaksikan pemandangan fantasi.
Selain itu, itu adalah pencuci mata karena dia dapat melihat dada besar Sayla mengambang keluar dari air.
Untuk beberapa saat, Sayla mengapung dan melihat ke langit malam di atasnya, tapi ketika tatapannya tiba-tiba bertemu dengan mata Yamato, dia berhenti mengapung dan menuju tepi kolam renang.
“Apakah kamu kelelahan?”
Sayla bertanya sambil menyikat poninya. Dia kemudian duduk di sebelah Yamato dan menatap wajahnya.
Hal pertama yang dilihatnya adalah dahinya yang indah, dan kemudian matanya jatuh ke payudaranya. …Itu masih cukup besar. Dia bahkan bisa melihat belahan dadanya.
“Yah, begitulah.”
Yamato menjawab, berusaha tetap tenang agar Sayla tidak menyadari pikiran kotornya.
Sayla tampaknya percaya itu, dan dia tersenyum lembut.
“Dalam waktu singkat, kamu sudah bisa berenang dengan cukup baik. aku pikir Yamato adalah tipe orang yang bisa belajar dengan cepat.”
“Tidak, itu karena kamu guru yang baik.”
“Yah, mungkin itu benar.”
Dalam situasi ini, Sayla tidak membantah.
Dia menanggapinya dengan jujur dan seperti yang dia pikirkan.
“Serius, Shirase benar-benar suka berterus-terang. Kamu juga kadang-kadang keras kepala. ”
“Terkadang Yamato suka menggangguku.”
“Aku sadar akan hal itu.”
Ketika Sayla tiba-tiba berdiri, dia meregangkan tubuh lebar-lebar.
“Juga, ini dingin. Aku harus pergi mengambil handuk.”
Saat Sayla mulai berjalan pergi.
-Clink.
Ada suara bising di kejauhan.
Itu adalah suara logam, sepertinya ada sesuatu yang berderit.
Mungkin salah satu petugas keamanan menyadari keberadaan mereka dan datang untuk memeriksa.
“Seseorang datang?”
“Mungkin. Kita harus bersembunyi untuk saat ini.”
“Ya.”
Tidak seperti Sayla, yang masih bersikap tenang dan acuh tak acuh, Yamato benar-benar gugup. Dalam hati, dia sangat cemas hingga dia pikir jantungnya akan melompat keluar dari mulutnya.
Mereka pindah ke samping ruang ganti, di mana mereka telah mengemasi barang-barang mereka, dan bersembunyi di sana bersama.
Sayla begitu dekat hingga Yamato bisa merasakan napasnya dari atasnya. Yamato berusaha untuk mengabaikan itu, dan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengawasi tepi kolam.
Lalu terdengar bunyi buk, buk, buk di tangga.
Tidak diragukan lagi, seseorang datang ke arah kolam.
Tidak lama setelah itu, dia mendengar suara kunci dibuka dan ditutup, dan pintu masuk ke kolam terbuka.
“Apakah ada orang di sini?”
Suara pria paruh baya yang tidak dikenal bergema melalui kolam. Tampaknya seorang penjaga keamanan yang datang untuk memeriksa. Mungkin karena dia mendengar suara yang dibuat Yamato dan Sayla, dia tampak sangat berhati-hati.
Yamato dan Sayla bisa melihat lampu senter menerangi air.
Mungkin masih ada jejak kaki basah di tepi kolam. Jika mereka melihat itu, mereka akan mulai mencari di seluruh area itu. Kemudian, peluang untuk ditemukan menjadi sangat tinggi.
“Hei Yamato.”
Saat itu, Sayla berbicara kepada Yamato dengan berbisik.
Yamato melihat Sayla yang basah kuyup menatapnya.
Glup.
Tanpa berpikir, Yamato menelan ludah.
“… A-Ada apa?”
“aku kedinginan. Bolehkah aku menyentuhmu?”
“!?”
Yamato hampir berteriak, tapi berkat Sayla menutupi mulutnya dengan tangannya, dia bisa menahan suaranya.
Ketika Yamato melihat lebih dekat, dia melihat Sayla sedikit menggigil. Dia baru saja keluar dari kolam dan belum menyeka tubuhnya dengan handuk, jadi seluruh tubuhnya mungkin kedinginan.
Namun demikian, jika dia mencoba mengeluarkan handuk dari tas tangannya, suara itu mungkin akan menarik perhatian penjaga itu.
Yamato tidak bisa membiarkannya begitu saja, jadi dia mengangguk kecil.
“Terima kasih.”
—Pito.
Bahu ramping Sayla menyentuh dada Yamato.
Jantung Yamato mulai berdetak lebih cepat saat dia merasakan kulit Sayla yang dingin dan bertekstur lembut.
Sentuhan bahunya saja sudah cukup untuk mengguncang Yamato. Jika dia memeluknya atau semacamnya, Yamato pasti akan berteriak keras.
“Sangat hangat.”
Suara Sayla bergema di telinganya, yang membuat seluruh tubuh Yamato menegang.
Bau kaporit bercampur bau yang sangat manis memenuhi lubang hidungnya.
Jantung Yamato berdetak sangat kencang hingga dia khawatir tidak hanya Sayla tapi bahkan penjaga di kejauhan dapat mendengar detak jantungnya.
(Tolong cepat pergi…!)
Yamato tidak ingin penjaga menemukan mereka. Tapi lebih dari itu, yang lebih menjadi masalah bagi Yamato sekarang adalah untuk menjaga akalnya agar dia tidak memeluk Sayla di depannya.
“Ah, mungkin hanya imajinasiku.”
Setelah beberapa saat, Yamato mengira dia mendengar suara desahan seorang penjaga di kejauhan, dan kemudian dia melihat penjaga itu meninggalkan area kolam.
Dan kemudian pintu itu dikunci lagi.
“Fiuh HA!”
Segera, Yamato menghela nafas panjang. Ini adalah saat ketika benang-benang ketegangannya dilepaskan sekaligus.
“Sepertinya dia sudah pergi.”
Dengan itu, Sayla melepaskan tubuhnya.
Yamato merasakan kesepian saat kulit mereka yang bersentuhan berpisah.
“Para penjaga bisa saja datang lagi. Kita tidak bisa berenang lagi.”
“Ya, kurasa lebih baik aku pulang sekarang.”
“Oke, ayo mandi dulu.”
Tidak seperti Sayla, yang sudah mulai berjalan lebih dulu, Yamato masih membeku di tempat.
Karena itu, Yamato memanggilnya dengan senyum palsu di wajahnya saat dia membelakanginya.
“Umm, Shirase mungkin merasa sangat kedinginan, jadi bagaimana kalau kamu mandi duluan saja? Aku akan mengawasi sekitar kalau-kalau ada penjaga yang datang. ”
“Baik”
Seperti yang baru saja dikatakan Yamato kepada Sayla, mereka harus waspada terhadap para penjaga.
Tapi ada alasan lain kenapa Yamato tidak segera bergerak…
“Hai.”
Sayla muncul dari bayang-bayang gedung dan melihat ke belakang, bermandikan cahaya bulan.
“Ada yang salah?”
“kamu tidak salah, Yamato. Akulah yang menyentuhmu.”
“Eh?”
Sayla tiba-tiba mengalihkan pandangannya dan berkata dengan nada meminta maaf.
“Ummm, Yamato sepertinya merasa aneh tadi, tapi jangan khawatir tentang itu.”
Setelah mengatakan itu, Sayla menuju kamar mandi.
Yamato, yang ditinggal sendiri, berjongkok dan menghela nafas berat.
Kemudian suasana di antara mereka menjadi canggung untuk sementara waktu.
Namun, pada saat mereka sudah berganti pakaian dan meninggalkan sekolah, Sayla tampaknya sudah tidak peduli akan yang tadi.
Berkat itu, pikiran Yamato kembali normal juga.
“Ah, tadi menyenangkan.”
Sayla berkata sambil berjalan di jalanan malam dekat pusat kota.
“Aku juga bersenang-senang. Meskipun kita hampir ketahuan ketika penjaga datang. ”
“Itu juga mengejutkanku. Itu membuat jantung berdebar kencang karena bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika kita tertangkap. ”
“Shirase sepertinya menikmati bagian itu juga …”
Yamato tidak bisa tidak merasa kalau dia bukan orang yang sama seperti sebelumnya.
Tapi tetap saja, dia tidak menyesali waktu yang dia habiskan hari ini sedikit pun.
“Hai. Aku lapar. Ayo makan di suatu tempat.”
“Kamu belum makan malam?”
“Belum, aku belum makan, karena aku bersiap-siap untuk ke kolam renang tadi..”
Itulah yang disebut situasi seorang gadis. Yamato sadar bahwa dia tidak memiliki pengetahuan dalam hal ini dan menyesal.
“Kalau begitu kita bisa pergi ke restoran yang ingin Shirase kunjungi.”
“Aku ingin ramen.”
“Ramen lagi… Tidak apa-apa. Tapi sekarang sudah lewat jam sembilan, dan aku bertanya-tanya apakah masih ada warung ramen yang masih buka.”
“Kurasa warung di depan stasiun masih buka.”
“Oke, ayo pergi ke sana.”
“Ya. Aku tidak sabar untuk itu.”
Melihat senyum bahagia Sayla, suasana hati Yamato membaik.
Dia juga mulai lapar.
“Entah kenapa, aku juga mulai lapar. Karena kegiatan hari ini, aku harus memesan porsi besar.”
“Oh, seperti yang diharapkan dari seorang pria. Aku akan memesan yang besar juga. ”
“Begitulah Shirase yang kukenal.”
“Apakah kamu mengejekku?”
“Aku tidak, aku tidak mengejekmu. Aku hanya mengagumi betapa menakjubkannya Shirase.”
“Baguslah kalau begitu.”
Saat mereka mendekati pusat kota, jumlah orang yang berpapasan dengan mereka meningkat.
Siswa berseragam sekolah dan karyawan yang sedang dalam perjalanan pulang dari tempat kerja tampak sangat mencolok.
Masih terlalu dini untuk menyebut saat ini larut malam, tapi matahari sudah terbenam.
Mereka tidak perlu khawatir akan ditangkap, dan suasana kotanya berbeda dari saat siang hari.
Yamato samar-samar berpikir bahwa dia mungkin paling menyukai waktu seperti ini.
Angin malam terasa sangat menyenangkan saat mereka meninggalkan warung ramen yang Sayl rekomendasikan.
“Anginnya terasa enak. Padahal, aku barusan makan banyak.”
Yamato, yang kekenyangan, bergumam.
“Achoo.”
Di sebelahnya, Sayla bersin dengan cara yang agak menggemaskan.
“Kamu kedinginan?”
“Mungkin. Rasanya dingin.”
“Apakah kamu yakin kamu baik-baik saja?”
Khawatir, Yamato melepas jaket yang dia kenakan dan menawarkannya pada Sayla.
“Ini mungkin tidak banyak membantu, tapi pakailah.”
“Terima kasih.”
Sayla menerima jaket itu tanpa ragu-ragu dan segera melemparkannya ke atas kepalanya.
“Ya, aku merasa jauh lebih baik. Bolehkah aku meminjam ini dan kubawa pulang?”
“Ya. Kamu tidak perlu mencucinya atau semacamnya, kembalikan saja kepadaku kapan pun kalau ada kesempatan. ”
“Fufu, setidaknya aku akan mencucinya.”
“A-aku mengerti.”
Bukannya kasar, hanya saja Yamato tidak bisa membayangkan Sayla mencuci itu. Yamato tidak bisa memaksakan dirinya untuk membayangkan itu.
Sesampainya di depan stasiun, mereka akhirnya harus berpisah.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok. Dadah.”
“Ya, sampai jumpa di sekolah.”
Saat punggung mereka saling berhadap-hadapan, Sayla bersin lagi.
Yamato khawatir dia mungkin benar-benar masuk angin, dan dia pulang dengan pemikiran itu.