Sekitar seminggu yang lalu, pada bulan Juni, ibuku meninggal.
Itu adalah kecelakaan lalu lintas.
Hanya aku dan dia, ibuku, keluarga tanpa ayah.
Artinya, aku baru saja kehilangan satu-satunya anggota keluargaku, dan ditinggalkan.
Lalu, pada hari yang sama dengan selesainya pemakaman yang diselenggarakan dengan bantuan kerabatku, sesuatu terjadi.
Pada malam hari, aku merasa tidak berdaya di dalam apartemen.
Ketika aku dihadapkan dengan jenazah ibuku, aku menangis. Aku mungkin laki-laki, tapi aku masih seorang siswa SMA tujuh belas tahun. Kuharap kalian tidak akan memanggilku menyedihkan untuk itu.
Namun, aku segera menemukan diriku sibuk dengan tradisi seputar pemakaman, dan tidak punya waktu untuk berkabung.
Kremasi selesai sebelum aku menyadarinya, dan ketika aku kembali ke rumah dengan abu kremasi dan potret almarhum, aku tidak lagi memiliki energi untuk menangis lagi dan hanya kehilangan kata-kata di luasnya rumah dimana aku ditinggalkan sendirian.
Saat aku memikirkan apa yang harus kulakukan sekarang, bel pintu berbunyi.
Aku berdiri dengan gerakan tak berdaya, saat itulah aku menyadari bahwa matahari sudah terbenam, dan hal pertama yang kulakukan adalah menyalakan lampu.
“Siapa ini?”
Aku membuka pintu depan tanpa berhati-hati, berdiri di sana adalah seorang pria paruh baya, berpakaian elegan dalam setelan kelas tinggi.
“Apa kamu Makabe Shizuru-kun?”
Ia menatap lurus ke mataku dan bertanya.
Makabe Shizuru memang namaku.
“Ya, ada apa?”
“Begitu ya …”
Saat aku mengangguk, ia menjawab dengan emosi yang dalam, lalu menatapku lagi.
“Boleh aku bertanya siapa anda?”
“Oh, tentu saja. Aku rekan kerja ibumu dan inilah aku.”
Ia mengeluarkan kartu nama dan mengulurkannya padaku. Aku tidak tahu bagaimana menerima kartu nama, jadi aku menerimanya dengan kedua tangan sesopan mungkin.
Diatasnya tertulis namanya dan nama Rumah Sakit Universitas yang tidak terlalu jauh dari sini, dan menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli jantung di sana.
Ibu adalah seorang perawat di rumah sakit yang sama, meskipun dokter dan perawat berasal dari departemen yang berbeda, mereka pasti bisa disebut rekan kerja.
“Aku baru saja pergi ke luar negeri untuk menghadiri konferensi akademis. Dan aku baru saja mendengar tentang kematian ibumu beberapa hari yang lalu.”
“Apa begitu?”
Jika kata-katanya benar, maka dia pasti telah mendengar berita kematian ibu dan segera terbang ke Jepang.
“Aku tidak bisa menghadiri pemakamannya, tapi aku harap setidaknya aku bisa berdoa di depan potretnya.”
“Aku mengerti. Terima kasih suda repot-repot datang. Aku yakin ibu aku akan senang mendengarnya. Silakan masuk.”
Yakin akan tujuan kunjungannya, aku segera mengundangnya masuk.
Ibuku membesarkanku seorang diri, tapi dia adalah seorang perawat berpengalaman yang juga menjabat sebagai kepala perawat dan dibayar cukup baik, jadi aku tidak perlu terlalu khawatir tentang situasi keuanganku.
Rumah ini adalah apartemen 2LDK, tapi itu lebih dari cukup untuk ditinggali oleh seorang ibu dan anak tunggal.
Tln : 2LDK, 2 kamar, living, dining, kitchen
Di sudut ruang tamu, ada sebuah altar sederhana dengan foto ibu dan abunya di atasnya, ia duduk di depan foto itu dan menyatukan kedua tangannya.
Sementara itu, aku memutuskan untuk menyiapkan teh untuk tamu.
Ibu adalah orang yang sibuk, sesuai dengan posisi dan karirnya, itulah sebabnya aku sering mengambil alih pekerjaan rumah tangga, dan aku bisa melakukan pekerjaan tingkat ini tanpa banyak perhatian.
Ketika aku kembali ke ruang tamu setelah menyiapkan secangkir teh, ia masih duduk di depan altar.
“Keiko-san…”
Saat itulah aku mendengar gumamannya.
Itu adalah nama ibuku.
“Aku membuatkanmu teh, jika kamu mau, silakan.”
Aku berpura-pura tidak mendengarnya dan memanggilnya dari belakang.
Kemudian ia tersentak kaget, seolah-olah tidak mengira aku kembali, atau telah melupakanku.
Tidak ada balasan segera.
Sebaliknya, ia menekankan saputangan yang dia pegang ke matanya. Aku tidak bisa melihatnya dari sini, tapi aku bertanya-tanya apakah itu air mata yang baru saja ia hapus.
“… Terima kasih. Aku akan menerimanya.”
Setelah melakukannya, ia akhirnya menjawab dengan suara yang sedikit terangkat.
Ia menjawab, tapi terlepas dari kata-katanya, ia tidak meninggalkan altar sama sekali.
Aku meletakkan telapak tanganku di pahaku dan menatap altar ibuku.
Aku memikirkannya sebentar, dan kemudian aku memutuskan untuk melontarkan beberapa kata ke punggungnya.
“Maafkan aku jika aku salah. Kamu ayahku, bukan?”
Segera, tubuhnya sedikit menegang.
“… Bagaimana kamu tahu?”
Kemudian, dengan membelakangiku, ia bertanya kepadaku, memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Bagaimana?
Ada beberapa faktor untuk menyimpulkannya.
Salah satunya adalah caranya menatapku.
Yang lainnya adalah punggungnya saat ia melihat kearah altar ibuku.
Aku merasa bahwa keduanya tidak ditujukan kepada rekan kerja belaka atau putranya.
Aku tidak tahu banyak tentang hubungan di antara rekan kerja. Tapi apa rekan kerja biasa memanggil nama belakangnya dan menatap altarnya seolah-olah ia dalam kesedihan yang mendalam? Apa ia tahu nama putra rekan kerja belaka dan melihat padanya dengan mata penuh kasih? Aku telah menjalani seluruh hidupku tanpa mengenal ayahku. Tapi itu adalah mata seorang ayah, bukan?
“Hanya firasat.”
Tapi kupikir tidak ada gunanya menjelaskannya di sini, jadi aku hanya mengatakan itu.
Jika aku harus mengatakannya dengan kata-kata, aku akan mengatakan itu adalah intuisiku sebagai orang tua dan anak yang memiliki hubungan darah. Sebaliknya, aku akan mengatakan bahwa aku mencari alasan setelah aku memiliki perasaan seperti itu.
“Apa ibumu mengatakan sesuatu tentang ayahmu?”
“Tidak ada yang khusus. Tapi di sisi lain, melihat ke belakang, aku tidak berpikir dia pernah mengatakan bahwa ayahku sudah meninggal.”
“Begitu ya …”
Kemudian, ia akhirnya meninggalkan altar dan duduk di sofa.
Aku sudah berdiri sejak meletakkan cangkir teh di meja rendah.
“Aku sudah menikah pada saat itu, dan ibumu, yah, itu adalah hubungan yang tidak bisa kita umumkan secara terbuka.”
Dia menyesap tehnya untuk membasahi tenggorokannya dan mulai berbicara tanpa dengan jelas menegaskan pertanyaanku.
“Jadi, tentu saja, kami tidak bisa bertahan lama dalam hubungan. Aku tahu dia punya anak, dirimu, karena hubungan kita, tapi aku berpisah dengannya dengan mengetahui itu.”
Mungkin itu karena aku telah menemukan jawabannya sendiri, tapi aku tidak terlalu terkejut.
‘Orang ini adalah ayahku.’
Saat aku mendengarkan pengakuannya, aku menjadi yakin bahwa ia benar, tapi pada saat yang sama, aku dengan tenang berpikir bahwa ibuku dan aku mungkin telah didukung oleh tunjangan anak yang ia bayarkan. Berpikir seperti ini adalah kebiasaan burukku, atau lebih tepatnya, sifatku.
“Kamu pernah melihat rumah sakit kami?”
“Pernah, beberapa kali.”
Ada Rumah Sakit Universitas di depan stasiun kereta bawah tanah, sekitar lima perhentian dari sini.
Namun, aku belum pernah ke rumah sakit sebagai orang sakit atau karena terluka. Pertama-tama, sistem medis Jepang tidak mengizinkan orang untuk tiba-tiba bergegas ke rumah sakit besar kecuali dalam keadaan darurat. Aku hanya makan di kafetaria rawat jalan dengan ibuku.
“Itu rumah sakit besar, kan? Jadi sangat mudah untuk menghindari bertemu satu sama lain jika kau berada di departemen yang berbeda. Tapi aku tidak pernah berpikir aku tidak akan pernah melihatnya lagi.”
Ia menatap cangkir teh yang ia pegang di kedua tangannya dan bergumam sedih.
Pasti menyedihkan baginya saat ibuku meninggalkan dunia ini tanpa peringatan, bahkan jika mereka sudah lama tidak bertemu setelah menyelesaikan hubungannya.
Aku pun duduk di sofa.
Seolah-olah ia telah menunggunya, ia melihat ke atas.
“Apa yang akan kamu lakukan mulai sekarang?”
“Dari sekarang?”
Aku menanyainya kembali.
“Benar. Kupikir terlalu sulit bagi seorang siswa SMA untuk tinggal sendirian di sini. Atau apa kamu punya kerabat yang bisa kamu andalkan?”
“Untuk berjaga-jaga, kakekku memanggilku.”
Ini benar-benar ‘untuk berjaga-jaga’.
“Aku mengerti. Jika tidak apa-apa denganmu, uhm …”
Di sini ia melanturkan kata-katanya seolah-olah ia kesulitan mengucapkannya.
“Jika tidak apa-apa bagimu, kenapa kamu tidak datang kepada kami?”
Kemudian ia memotong kata-katanya lagi.
“Aku tidak bisa melakukan apa pun untuknya sekarang setelah dia meninggal, tapi kupikir itu adalah tugasku sebagai orang tua untuk melakukan apa yang aku bisa untukmu, yang ditinggalkan olehnya … Bagaimana menurutmu? Apa kamu ingin datang ke rumahku? ”
“…”
Dengan kata lain, ia ingin menerimaku.
Mau tak mau aku merasakan rasa tanggung jawabnya yang kuat saat ia memilih kata-katanya.
“Untungnya, jika kamu bisa menyebutnya begitu. Istriku meninggal beberapa tahun yang lalu. Kamu bisa yakin bahwa kamu tidak perlu khawatir tentang itu.”
Ia mengulangi kata-katanya, mencoba meyakinkanku.
“Aku punya anak perempuan yang seumuran denganmu. Kupikir dia bisa menjadi teman bicara yang baik.”
Kurasa tidak, itu lebih merupakan hambatan, bukan? Jika seseorang dari lawan jenis yang seusia tiba-tiba datang untuk tinggal di rumahnya, aku tidak berpikir dia akan menyukai orang itu.
Sekarang giliranku untuk melihat ke bawah.
Aku melihat ke bawah dan memikirkannya.
“Aku tahu itu tidak akan semudah itu, ya …”
“Kupikir juga begitu.”
Ibuku adalah seorang ibu tunggal yang dengan keras kepala menolak untuk memberi tahu siapa ayah dari anaknya. Karena itu, dia tidak dianggap serius oleh kerabatnya. Namun, dia adalah salah satu kerabat mereka, dan karena dia meninggal terlalu dini di usia pertengahan empat puluhan, mereka datang ke pemakaman. Mereka bahkan melanjutkan dengan upacara peringatan, yang terlalu berat untuk siswa SMA sepertiku. Sering dikatakan dengan dikucilkan.
Namun, tidak ada yang diputuskan setelah ini.
Di zaman sekarang ini, tidak mudah menambahkan satu anggota keluarga lagi. Lebih sulit lagi jika kerabat yang tidak banyak berhubungan denganmu. Kakek-nenekku adalah satu-satunya yang mendekatiku, tapi seperti halnya dengan kebiasaanku, aku curiga itu hanya basa-basi, jadi aku menahan jawabanku, kecuali aku secara proaktif meminta bantuan, tidak ada yang mau terlibat denganku lagi.
‘Nah, bagaimana perasaanku tentang orang di depanku?’
Aku bertanya pada diriku sendiri.
Ia ayahku. Aku tidak ingin menuduhnya seorang diri meninggalkan ibuku, karena aku tidak tahu apa yang sedang terjadi saat itu atau bagaimana perasaannya. Tapi faktanya ia berselingkuh dengan ibuku meskipun ia sudah menikah.
Dan saat aku memikirkannya.
“Lalu, bagaimana kalau hanya sebulan?”
“Sebulan?”
Aku memiringkan kepalaku pada saran aneh yang keluar dari mulutnya.
“Pemakaman ibumu sudah selesai, tapi masih ada beberapa prosedur rumit yang harus diselesaikan. Kamu juga memiliki kehidupan dan pekerjaan sekolahmu sendiri yang harus diselesaikan, Shizuru-kun.”
“Itu benar.”
Itu bagian yang aku bingungkan. Setelah pemakaman ibuku, tidak semuanya berakhir. Hari ke-50 kematiannya segera menyusul, dan masih ada hal-hal seperti kuburan dan tulang yang harus dikubur. Menurut kerabatku, Makam keluarga ibuku tidak didekat sini.
Di sisi lain, aku masih harus pergi ke sekolah, menghadiri kelas, dan mengikuti ujian. Hanya karena aku kehilangan orang tuaku tidak berarti bahwa sekolah akan menampung siswa yang tidak beruntung.
“Jadi, jika kamu datang ke rumahku setidaknya selama sebulan, sampai liburan musim panas dimulai, kurasa bebanmu akan berkurang banyak.”
“Itu benar.”
Jika aku melakukan apa yang ia katakan, setidaknya beban kehidupan sehari-hari akan sangat berkurang.
“Apa pun setelah itu, kamu bisa memikirkannya lagi. Jika kamu suka, kamu bisa tinggal. Dan, uhm … Jika kamu tidak merasa nyaman denganku, kamu selalu dapat memilih cara lain. Tentu saja, aku akan melakukan semua yang kubisa untuk membantumu.”
Alih-alih memaksaku untuk membuat pilihan, ia menatapku dengan tatapan memohon. Sebagai orang tua, ia harus dipaksa untuk melakukan sesuatu.
Normalnya, sudah pasti ia benar dan aku tidak akan merasa tidak baik tentangnya, tapi jika kau akan menuduhnya berselingkuh dengan ibuku ketika ia sudah menikah, tidak adil jika kau juga tidak menyalahkan ibu untuk alasan yang sama.
Dan ketika aku dengan tenang memeriksa perasaanku sendiri, aku menyadari bahwa aku mungkin tidak menentangnya sama sekali.
Aku tidak memiliki kondisi yang tepat untuk memiliki perasaan negatif terhadapnya sejak awal. Aku belum pernah mendengar ibuku mengeluh tentangnya, dan mengingat fakta bahwa dia bekerja dengannya dan tidak mengambil tindakan apa pun, kupikir hubungannya berakhir cukup memuaskan.
Ia sendiri tampaknya memiliki setidaknya rasa tanggung jawab atas apa yang telah terjadi, apakah itu terburu-buru ke sini atau mencoba membawaku masuk.
Sekarang apa yang harus kulakukan dalam kasus ini?
Seperti biasa, aku berpikir dengan tenang dan masuk akal.
“Aku mengerti. Aku akan berada dalam perawatanmu selama sebulan sebagai permulaan.”
“Aku mengerti! Terima kasih. Dengan ini, aku akhirnya bisa berdamai dengan diriku sendiri.”
Ia bersorak gembira dan meraih tanganku dengan kedua tangannya.
Ini mungkin solusi terbaik saat ini.
Bagaimanapun, aku tidak tahu harus berbuat apa dengan diriku sendiri. Namun, aku lebih suka untuk tidak bergantung pada anggota keluarga yang tidak ingin diandalkan. Dan lebih dari segalanya, itulah yang ia inginkan. Maka, aku harus membiarkan ia melakukan apa yang ia ingin lakukan.
Yah, itu juga bukan hal yang buruk bagiku.