[Kamu… Apa yang kamu lakukan?]
Saito, yang seharusnya sudah pulang sekolah sedari tadi, berhenti di depan papan penanda toko es krim.
Sudah berapa lama dia berada di sana?
Agar dia bisa mendahuluiku, aku pulang lima menit setelahnya, tetapi fakta bahwa aku mendapati dirinya berarti dia sudah berdiri di papan penanda itu agak lama.
[Aku menunggumu.]
[Eh?]
[Ada promo untuk es krim dengan batas waktu terakhirnya hari ini. Tolong pergi bersamaku.]
[Mengapa aku juga harus pergi..?]
[Kamu bilang kalau kamu akan pergi bersamaku jika tidak ada seorangpun yang bisa kuajak, bukan.]
Memikirkannya lagi, aku memang bilang begitu. Aku bilang sesuatu seperti itu saat terakhir kali kami pergi ke sini bersama.
Pada waktu itu, aku bilang begitu hanya untuk membuatnya nyaman sih…
[Aku memang bilang begitu… Tetapi mengapa kamu tidak pergi sendirian saja?]
[Itu karena… aku gugup kalau aku sendirian…]
Tidak seperti dirinya yang biasa, tampangnya yang agak cemberut sangat manis dan menghibur, menyebabkanku tertawa.
[Apa yang kamu tertawakan?]
[Tidak, tidak ada kok. Mari kita pergi kalau begitu.]
Tampak kalau dia sangat menyukai es krim yang membuatnya bersedia untuk makan di tempat yang kurang familier. Atau mungkin dia tertarik dengan promo terbatas itu.
Saito masihlah seorang gadis.
Aku entah mengapa diyakinkan oleh alasannya untuk pergi, dan aku tidak punya pilihan lain selain ikut pergi bersamanya.
[Aku merasa seperti aku diperlakukan seperti orang bodoh.]
Pipinya mengembung, dan dia tampak seolah-olah protes terhadapku yang menertawakannya.
[Aku yang akan memesannya kali ini. Kamu mau rasa apa?]
[Oh, terima kasih. Kalau begitu aku mau rasa matcha.]
[Baiklah.]
Ketika aku bilang padanya apa yang aku mau, dia berjalan menuju kasir, tetapi aku penasaran apakah dia akan baik-baik saja.
Ada hal lain yang dipesan selain es krim, sih.
[Apa?! Pelengkapnya juga…? Apa yang harus aku lakukan…?]
Tentu saja, aku mendengar dia bilang begitu.
Aku berhasil menempatkan pesananku, dengan ragu-ragu.
Dia tampaknya sudah menyelesaikan pesanannya, entah bagaimana. Dan tampak seolah-olah dia menuntaskan sesuatu yang hebat.
[Nomor ∆ ∆]
Mereka memanggil nomor antrean kami dan kami pergi untuk mengambil es krim kami.
Dia memegang es krim itu dengan canggung, mungkin karena dia tidak terbiasa dengan itu.
Aku terbahak-bahak terlepas dari penampilannya memegangnya dengan wajah tegang.
[Ada apa sih?]
[Tidak usah khawatir. Bukan apa-apa.]
Aku hanya menganggap itu menghibur kalau dia masih tegang karena dia gugup.
Tetapi aku tidak mau tertawa lagi, karena aku merasa seperti dia akan menatapku dengan tampang yang serius jika aku melakukannya.
Aku duduk di kursi yang ada di tempat itu, dan dia duduk di sebelahku.
Aku hampir tertawa lagi karena pergerakannya yang canggung, tetapi aku menahan diriku karena dia duduk di sebelahku.
Dia duduk dan menatap ke es krim di tangannya, dengan mata yang tampak seperti bersinar.
[Baiklah, mari kita makan!]
[Iya, aku akan memakannya.]
Ketika dia bilang “selamat makan”, dia membawa es krim itu mendekati mulutnya, dan memakannya dengan hati-hati.
Promo terbatas itu biasanya memiliki rasa yang berbeda, tetapi apakah itu enak? Aku menanyakannya.
Aku menatap ke arahnya, dan dia tampak menikmatinya. Dia memutar matanya selagi dia menjelaskan rasanya, dan mulutnya agak rileks.
Akhir-akhir ini, aku merasa jumlah dirinya yang tak berekspresi telah menurun secara drastis.
Setiap kali aku menggigit es krim, wajahku secara alami rileks selagi aku menikmati es krim itu.
[…? Ada apa nih?]
Dia menyadari aku menatapnya secara intens, dan memiringkan kepalanya dengan penasaran.
[Aku hanya merasa kamu menikmati makanan itu.]
[Tentu saja. Karena ini lezat.]
[…Aku mengerti.]
Dia tersenyum lembut dan berkata “ini lezat”. Dia memiliki wajah yang seperti sebuah bunga yang bermekaran, dan sangat menarik perhatian.
Itu terasa tidak bisa tertahankan untuk menatap ke arahnya, jadi aku segera mengalihkan pandanganku.