(Aduh, kapan aku harus memberikan ini padanya…?)
Hari berikutnya, seperti biasa, aku duduk dekat meja menghadap Saito sambil membaca buku.
Biasanya aku bisa berkonsentrasi pada bacaan, tetapi tidak hari ini.
Alasannya adalah hadiah yang dibungkus di tasku.
Aku punya hadiah untuknya sebagai bentuk apresiasi terhadap kue yang dia berikan padaku kemarin.
Namun, aku tidak biasa memberikan hadiah ke orang-orang, dan aku akan merasa malu dan gugup ketika pihak lain itu adalah lawan jenis.
Sebagai hasilnya, aku tidak tahu kapan harus memberikan itu padanya dan aku tidak bisa mengingat isi dari buku yang aku baca karena aku fokus pada hadiahnya.
Aku juga gugup ketika aku memberikannya kado ulang tahun, tetapi ini bukanlah hal yang aku bisa terbiasa dengannya.
Mungkin aku terlalu sadar, tetapi aku merasa seperti itu agak spesial untuk memberikan hadiah pada seseorang dari lawan jenis di Hari Natal.
Aku hanya ingin berterima kasih padanya untuk kue itu. Aku hanya ingin membalas budi. Aku mencoba untuk meyakinkan diriku dengan itu, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang itu.
Selagi aku meliriknya ketika dia sedang membaca, dia melihat ke atas dan mata kami saling bertatapan.
[Ada apa?]
Dia tampak menyadari kalau ada yang tidak beres denganku dan memiringkan kepalanya kebingungan.
Matanya yang indah dan bulat menatapku.
Selama beberapa saat, aku penasaran apakah aku harus berbohong padanya tetapi aku menyadari jika aku melakukannya, aku tidak akan bisa memberikannya kado itu. Jadi aku mengeluarkan kantong kertas itu dan menyempatkan kantong itu di depannya.
[…Ini, ambillah.]
[E-Em, itu…]
[Terima kasih atas kue kemarin.]
Ketika memberikan itu padanya, dia membeku dan matanya berkedip, tetapi dia menerimanya dengan senang hati.
[Bolehkah aku membukanya.]
[Iya, silakan saja.]
Saito dengan perlahan dan hati-hati memindahkan paket yang dibungkus kecil dari kantong kertas itu.
Dengan suara gemerisik kecil, dia membuka pita itu dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.
[Sebuah ikat rambut. Itu imut.]
Ekspresinya santai, dan dia melihat ke ikat rambut di tangannya sambil menyipitkan matanya dengan sedikit bahagia.
Aku memilih ikat rambut berwarna putih dengan garis berwarna merah muda pucat.
Aku tidak punya banyak waktu untuk memilih karena itu begitu mendadak. Aku mengikuti saran Hiiragi-san dari ketika aku terakhir kali bekerja di pekerjaan paruh waktuku, dan tampaknya Saito menyukainya.
Aku memilihnya karena dia telah mengikat rambutnya di ruangan ini akhir-akhir ini, dan aku merasa lega di dalam hati karena dia tampak puas dengan ikat rambut itu.
[Bolehkah aku memakainya.]
[Hm? Tentu.]
Dia melirik dan bertanya sebuah pertanyaan dan aku memberikannya izin. Dia lalu mulai mengikat rambutnya dengan ikat rambut itu.
Rambut panjangnya yang cantik bergoyang. Rambut yang terawat dan berkilau memantulkan cahaya dan berkilauan dengan indah, itu adalah pemandangan yang indah. (TL English Note: Gak bo’ong, cowok ini sangat detail pas ngejelasin semuanya.)
[Iya, bagaimana kelihatannya?]
Ketika dia selesai mengikatnya, dia meninggikan suaranya sedikit dan bertanya padaku dengan malu-malu.
Pipinya agak merah, dan caranya melihatku, seolah-olah ingin bertanya tentang penampilannya, digabungkan dengan kecantikannya, membuatnya sangat menarik.
[Itu… tampak bagus padamu.]
Itu memang bahasa yang santun untuk memberikannya pujian pada saat-saat seperti ini, dan itu adalah fakta bahwa ikat rambut berwarna putih itu di rambut hitamnya terlihat keren padanya.
Aku belum pernah melihatnya menggunakan aksesori rambut apapun sebelumnya, jadi itu terlihat lebih menarik dari biasanya.
[A-Aku mengerti. Aku senang mendengarnya.]
Sambil menggigit bibirnya, dia mengeluarkan seringai kecil. Dia tampak bahagia saat dia tersenyum dan itu membuatku merasa hangat di dalam diriku.
[Oh, tunggu.]
[Ada apa nih…?]
Ada debu di rambutnya, itu pasti sudah berada di sana ketika dia mengikat rambutnya, jadi aku membungkuk dan mengambilnya.
Ketika aku menaruh tanganku dekat dengan kepalanya, dia membeku dan sedikit gemetar. Dia tersipu dan melihatku.
Aku melihatnya dan menyentuh rambutnya. Aku bisa merasakan kelembutan dan sedikit kehangatan dari ujung jariku, lebih dari yang aku bayangkan.
Ketika aku melihatnya membeku di bawah tanganku, aku memiliki dorongan untuk membelainya. Namun, aku menahan dorongan itu dan menghilangkan debu itu dengan telaten tanpa melakukan sesuatu yang tidak perlu.
[Ada debu di sana.]
Ketika aku menunjukkannya debu itu, dia tampak puas. Walau pipinya masih merah.
Itu tidak sering kalau aku menjadi sedekat ini dengan seseorang, bahkan jika itu hanya membersihkan debu dari rambut mereka. Dia masihlah seorang gadis yang sangat ayu dan cantik ketika aku menjadi dekat dengannya.
Dia memiliki mata yang indah dan bibir yang lembut. Bulu matanya yang panjang sekarang menunduk dan tertuju ke bawah. Matanya yang terawat memang menarik dan menawan, dan aku tidak bisa merasa bosan dengannya.
Hal terbaik tentangnya adalah rambutnya yang indah. Memantulkan cahaya, halo yang indah bisa terlihat di atas kepalanya. Rambutnya yang bergoyang dan berkilauan, dan sekarang sebuah ikat rambut mengikatnya, membuatnya lebih menarik. (TL English Note: Jadi fetish-mu rambut ya?)
[Iya… Masih tampak bagus padamu. Kamu benar-benar imut.]
[Te-Terima kasih…]
Dia sangat imut begitulah pikiranku yang keluar dari mulutku.
Terhadap pujianku, dia melirikku dan membiarkan tatapannya berkelana.
Ada apa? Saat aku baru saja ingin berkata begitu, dia menurunkan rambutnya lagi.
[A-Aku akan pergi mengambil beberapa minuman untuk kita lagi!]
[Hah?]
Aku menyadari bahwa ketika dia meninggalkan meja itu dengan memberikan alasan yang lemah, kepalanya menunduk dan tengkuknya merah. Aku melihatnya buru-buru ke dapur dalam kebingungan.