[Tidak biasanya kamu masih tidur jam segini, sih. Apa yang membuatmu terjaga?]
Saat aku dituntun ke ruangan, aku duduk di posisi yang biasanya. Aku penasaran dan memutuskan untuk bertanya padanya tentang itu. Memang benar-benar tidak biasa baginya untuk kesiangan, jadi aku ingin mengetahui alasannya.
Jika dia tidak ingin membicarakan itu, aku akan berhenti. Jadi aku bertanya padanya dengan ringan, dan matanya berkeliaran karena panik.
[I-Iya… Memang seru bisa pergi keluar bersama Tanaka-kun pada malam Tahun Baru…]
Dia tersipu dan menurunkan matanya karena merasa malu, dan bergumam dengan suara yang samar. Bagian terakhir hampir tidak terdengar olehku.
[Oh, aku mengerti. Memang benar kalau kamu pulang terlambat pada hari itu. Tidak heran kalau kamu sangat mengantuk.]
Bukan karena dia tidak bisa tidur, tetapi dia sudah mengantuk dari awal dan tidur sepanjang waktu. Memang benar kalau aku juga bangun terlambat di malam hari, dan dalam artian itu, aku mungkin bisa saja tidur selama dirinya. Aku hanya merasa seperti sudah tidur terlalu banyak.
[…]
Meskipun aku sudah puas dengan penjelasannya, karena beberapa alasan, dia kelihatannya belum puas. Dia cemberut dan menatapku seolah-olah dia ingin memberi tahuku sesuatu.
[N? Ada apa?]
[…Tidak ada apa-apa. Aku akan mengambilkan teh.]
Dia berpaling dan berkata [Permisi.] dengan terus terang, dan pergi ke dapur dengan suasana yang jengkel.
Tercengang oleh perubahan yang tiba-tiba, aku hanya bisa melihat punggungnya dalam keadaan linglung.
Dia masih tampak agak cemberut ketika dia datang kembali, tetapi ketika dia membuka bukunya dan mulai membaca, dia melonggarkan mulutnya seolah-olah dia sedang menikmatinya sendiri.
Aku bisa tahu bahwa suasana hatinya sudah agak pulih kembali, dan aku merasa lega dalam hatiku.
Ketika aku datang kembali dari mengambil sebuah buku di rak, aku tiba-tiba memiliki sebuah ide.
Aku tidak tahu mengapa, tetapi dia sedang berada dalam suasana hati yang buruk di awal, jadi aku memutuskan untuk mengobrol dengannya dan memberikan rasa terima kasihku padanya.
[Terima kasih karena telah meminjamkanku bukumu, Saito.]
Ketika aku berterima kasih padanya seperti biasa, dia berpaling padaku dan mata hitamnya yang cantik berkedip.
Dia sepertinya tertangkap basah, atau mungkin dia hanya agak tercengang, dan kekanak-kanakan tertentu yang biasanya disembunyikan muncul. Ekspresi yang dia pasang adalah mungkin seseorang yang sedang “kebingungan”.
Tampaknya, dia terkejut karena dipanggil dengan nama pemberiannya.
[Kamu sendiri yang memintaku untuk memanggilmu dengan namamu.]
[…Itu benar.]
Aku tidak menduga kalau dia akan terkejut, jadi aku mengikutinya. Lalu senyuman samar yang lembut muncul di wajahnya. Senyuman yang sepertinya mengindikasikan kalau dia merasa lega membuat jantungku berdebar sedikit.
[Itu agak memalukan untuk dipanggil dengan nama… Tetapi… aku senang kamu memanggilku begitu.]
Dia bergumam dengan suara yang samar dengan pipinya yang agak memerah.
Sosoknya yang merasa malu begitu imut, sehingga aku berakhir mengalihkan pandanganku darinya.
Aku memalingkan pandanganku darinya karena jika aku menatapnya lebih lama lagi, perasaan yang berdengung di dadaku akan tumbuh, dan aku merasa seolah-olah aku dikemudikan oleh sesuatu yang membuat gatal dan frustrasi.
Aku berpura-pura membaca buku di tanganku dan hanya membalas dengan [Begitukah?].