Hari berikutnya, setelah menerima saran (nasihat) dari Hiiragi-san di pekerjaan paruh waktuku. Aku begitu gugup sehingga aku tidak bisa menekan bel pintu di rumah Saito sama sekali.
(Tenanglah, bertingkah seperti biasanya saja…)
Aku memberi tahu diriku dalam pikiranku dan mengambil napas dalam-dalam lalu mengulangi lagi (menekan belnya).
Aku sadar bahwa aku mulai menyukainya, tetapi itu agak canggung gugup dan aku tidak tahu bagaimana berhadapan dengannya.
Aku membunyikan bel pintu dengan ragu-ragu, menyadari bahwa suara jantung berdebar tidak tenang sama sekali.
[Iya.]
Pintu terbuka dan mengungkapkannya dari dalam ruangan. Saito tampak seperti biasanya, dengan rambutnya yang diikat ke belakang dengan satu simpul, mengenakan hoodie longgar dan celana pendek denim.
Di masa lalu, satu-satunya kesan objektif yang aku miliki pastinya adalah dia tampak cantik dan luar biasa.
Namun, mungkin itu karena aku menyadari perasaanku sendiri padanya bahwa dia tampak sangat imut. Dia masihlah seorang gadis cantik dengan wajah yang sederhana dan datar tak berekspresi, dan dia memiliki pesona tertentu yang membuatku tertarik.
Ketika aku jadi menyadarinya sebagai seorang target cinta (love interest), aku menyadari sekali lagi betapa cantiknya dia.
Dia memiliki mata yang indah dan mulut yang seperti buah masak. Dan untuk melengkapinya, dia memiliki rambut hitam yang indah yang berkilau dalam kilauan cahaya. (TL Note: Masih fetish rambut ternyata, hihi.)
Aku hampir jatuh cinta dengan itu, dan jantungku deg-degan seperti orang gila.
[Apa ada yang salah?]
[Ti-Tidak, tidak ada yang salah.]
Aku telah menatapnya terlalu lama, dan dia memiringkan kepalanya dan menatapku kebingungan. Dia masih blak-blakan seperti biasanya, tetapi aku sedikit lebih senang karena ketajaman ucapannya telah hilang secara perlahan dan lebih lembut dari sebelumnya.
Tidak mungkin aku bisa bilang kalau aku mengaguminya, jadi aku pura-pura tenang, dan dia mengizinkanku masuk.
[Silakan, masuklah.]
[A-ah, iya.]
Sedikit gugup, aku meninggikan suaraku dan masuk ke dalam.
Aku berjalan lurus menuju ruangan dan duduk di bangkuku yang biasanya. Saat aku mengambil ranselku untuk mengambil bukuku, aku mendengar suara hentakan dan suara seseorang sedang duduk di sebelahku.
Ketika aku berbalik untuk melihatnya, aku melihatnya sedang duduk di bangkunya dengan tanda merah di pipinya.
[…Eh?]
[Ada apa?]
Ketika aku melihatnya dengan terkejut, dia memelototiku dengan juling dan nada yang Tsun (jual mahal) di suaranya.
[Ti-tidak ada, tetapi duduk di sebelahku…]
[Apakah aku tidak boleh duduk di sebelahmu?]
[Aku tidak keberatan…]
[Kalau begitu, itu tidak apa-apa.]
Ketika dia berkata begitu dengan nada yang tinggi, aku tidak punya alasan untuk menolak, jadi aku menganggukkan kepalaku. Ketika dia mendengar persetujuanku, dia berpaling dariku dalam suasana hati yang baik, membuka bukunya, dan mulai membaca.
Aku tidak bisa apa-apa selain dibingungkan oleh sikapnya yang mendadak. Aku melihatnya lagi, penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi tidak ada yang tidak biasa darinya. Ekspresinya sedikit santai seperti biasanya, dan dia dengan bahagia membaca sebuah buku.
Aku tidak tahu apa niatnya, tetapi aku tidak ingin dia mendekatiku saat ini. Selagi aku mencoba seperti biasanya, ketika aku jadi dekat dengannya, aku mulai khawatir tentang berbagai hal.
Aku bisa mencium aroma bunganya yang manis yang tidak aku dapatkan ketika kami saling berhadapan, itu benar-benar buruk buat hatiku untuk mendapati dirinya berada di dalam jangkauanku.
Sebagai tambahan, aku tidak terlalu peduli sebelumnya, tetapi sekarang aku menyadari dirinya sebagai lawan jenis, aku tidak bisa apa-apa selain berhati-hati dengan jarak di antara kami.
Aku penasaran, aku ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang, jadi aku meliriknya. Ketika aku melakukannya, dia juga menatapku, dan mata kami bertemu.
[Ada apa?]
[Ti-Tidak, itu cuma…]
Aku buru-buru memalingkan wajah, tetapi aku terkejut karena ketahuan meliriknya. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, tetapi benar-benar malu karena ketahuan. Pipiku mulai memanas dan aku merasa wajahku terbakar.
[…Begitu ya.]
Dia memutar matanya dengan agak terkejut, dan melembutkan ekspresinya dan tersenyum sambil cekikikan.
Aku rasa itu mungkin karena rasa panikku yang tiba-tiba sehingga dia pikir itu lucu. Dia menatapku dengan seringai dan senyum bahagia di wajahnya.
[Apa yang kamu tertawakan?]
[Hm? bukan apa-apa kok?]
Aku agak merasa malu karena dia menertawakanku, jadi aku menanyakannya dengan lebih kuat, tetapi dia tidak berhenti dan tertawa dengan senyuman yang jahat (senyum iblis), seperti dia menggodaku.
Aku sedikit frustrasi oleh itu, aku tidak bisa apa-apa selain membalas senyuman lembutnya.(?)
[Ah, iya juga. Tanaka-kun.]
[…Ada apa.]
Rasa frustrasi karena senyuman menggodanya ketika mata kami bertemu masih tertinggal, dan aku tidak bisa apa-apa selain mengeluarkan itu.
[Emm…]
[Hm?]
[Apakah kamu memiliki buku apapun yang bisa kamu rekomendasikan, Tanaka-kun? Aku ingin meminjam jika boleh.]
[Ah, ada kok. Baiklah kalau begitu, aku akan membawanya besok.]
[Terima kasih.]
Aku telah dipinjamkan banyak sekali buku, jadi bukan masalah besar jika aku meminjamkan satu atau dua buku padanya.
Aku mengangguk setuju dan dia menunduk sebagai rasa terima kasih.
[Aku menantikannya besok. Aku penasaran dan ingin tahu hal macam apa yang Tanaka-kun sukai…]
[I-Iya.]
Dia terdengar sedikit tegang karena kegugupannya. Dengan pipinya yang diwarnai merah terang, dia memiliki perasaan dan wajah yang malu sehingga membuat jantungku deg-degan.
Aku bisa saja salah, tetapi tampang di wajahnya membuatku heran apakah dia melihatku sebagai seseorang dari lawan jenis. Pemikiran semacam itu masuk ke dalam benakku, dan wajahku jadi panas lagi.