[Apakah ada tempat yang ingin kamu kunjungi?]
Aku membuka mulutku, rasa panas di pipiku mulai hilang. Bagaimanapun, aku tahu dia sangat menantikan kencan kami, jadi sekarang kami harus memutuskan ke mana kami harus pergi. Aku bisa memutuskannya sendiri, tetapi karena kami akan pergi bersama, aku ingin Saito sendiri menikmatinya juga.
[Aku rasa begitu. …hmmm.]
Tidak dapat kepikiran ide apapun, Saito mengalihkan pandangannya secara diagonal ke atas dan terus mengerang. Lalu aku tiba-tiba teringat bahwa Saito adalah seorang pecinta kucing. Aku memutuskan untuk menyarankan tempat yang terlintas dalam benakku.
[Kalau begitu bagaimana kalau kita pergi ke kafe kucing?]
[Kafe kucing! Oh, ….iya, aku pikir itu ide yang bagus.]
Dia meninggikan suaranya sedikit terhadap saranku, dan sejenak wajahnya berseri. Namun, dia segera sadar dan kembali ke rasa tegangnya yang biasa, pipinya berubah merah padam karena malu.
Dia mencoba untuk memasang ekspresi tenang, tetapi jelas bahwa dia bersemangat. Reaksi Saito, yang coba dia sembunyikan dengan sekuat tenaga, membuatku tersenyum.
[Kamu tidak perlu menyembunyikan apapun, oke?]
[Bukankah itu terlalu kekanak-kanakan dengan polosnya bahagia dengan sesuatu yang kamu sukai?]
[Benarkah? Menurutku… …itu lucu.]
[Iya, itu memang lucu… ….Tetapi itu juga bagus, jadi tolong hentikan itu.]
Tampaknya, bagi Saito, reaksinya yang sebelumnya itu memalukan. Dia sepertinya tidak ingin disentuh lagi, jadi dia berbalik dan berkata untuk memperkuat kata-kataku.
[Iya, aku tidak masalah, Jadi, apa kamu mau kita pergi ke kafe kucing? Saito, kamu itu suka kucing, bukan? Dan terakhir kali kita pulang bersama-sama, kamu tampak senang melihat kucing itu.]
[Iya, benar. Aku mau kita pergi ke kafe kucing karena aku selalu ingin mengunjunginya. Ngomong-ngomong, kok kamu bisa tahu kalau aku suka kucing?]
[Begitulah.]
Bagaimana bisa aku melupakan saat-saat di mana dia mencoba berbicara dalam bahasa kucing itu? Bahkan saat ini, ketika aku mengingat penampilan Saito saat itu, aku hanya bisa tersenyum karena dia saat itu sangat menggemaskan.
[Mungkin lain kali aku berbicara denganmu dalam bahasa kucing, kamu akan merespons.]
[Eh!? Ah, lupakan itu!]
Aku menggodanya sedikit dan wajahnya menjadi merah dan berkata. Dia menggembungkan pipinya frustrasi dan melotot agak ke atas. Tetapi itu tidak membuatku takut sama sekali; Bahkan, itu membuatku semakin ingin menggodanya. Iya, aku tidak tahu apa yang akan dia katakan jika aku menggodanya lagi, jadi aku tidak melakukannya.
[Ngomong-ngomong, waktu itu kamu bilang kamu kamu pernah punya kucing.]
[Iya, dia sudah berpulang sekarang.]
[Apakah kamu punya fotonya atau semacamnya?]
[Seingatku itu ada di kamarku. Apakah kamu ingin melihatnya?]
[Iya, aku mau.]
[Tunggu sebentar ya.]
Setelah mengatakan ini, Saito membuka pintu yang tertutup dan memasuki ruang sebelah. Dia lupa menutup pintu dan membiarkannya terbuka, sehingga aku bisa melihat bagian dalam kamarnya. Aku tidak yakin apakah aku boleh melihat atau tidak, tetapi rasa ingin tahuku menguasaiku dan aku akhirnya mengintip ke dalam ruangan itu untuk pertama kalinya.
Skema warna keseluruhan adalah putih dengan rak dan meja yang tertata rapi. Itu sangat bersih, meskipun tidak feminim, dan aku pikir dia itu gadis yang serius.
Setelah melihatnya selama itu, mataku tiba-tiba terpaku pada sesuatu di atas meja. Itu adalah bingkai foto. Di foto itu ada Saito yang sedikit lebih muda dan seseorang yang sepertinya adalah ibunya. Namun, sang ayah tidak ada di dalam foto itu.
(…………)
Ibu Saito, yang pertama kali kulihat, sangat cantik, sama seperti dirinya. Ketika Saito tumbuh dewasa dan semakin tua, dia mungkin terlihat seperti ibunya dalam foto itu. Dia sangat mirip dengan Saito sampai-sampai aku dapat memprediksi hal semacam itu. Alasan mengapa ayahnya tidak ada di dalam foto ini mungkin karena ia yang memotretnya. Tetapi ataukah…
Aku belum pernah bertemu orang tuanya, dan juga tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun, dari hubungan kami yang dulu, aku dapat menebak kalau ada semacam latar belakang keluarga yang terlibat dalam situasinya saat ini. Ya ampun. Tetapi itu bukan berarti itu adalah topik yang harus diangkat dengan entengnya. Aku menyimpan itu di dalam pikiranku dan mengalihkan pandangan dari kamarnya.
Setelah beberapa saat, suara pencarian foto di rak itu berhenti, dan Saito keluar dari kamarnya membawa album foto yang tebal.
[Maaf membuatmu menunggu. Memang cukup jauh di belakang, jadi aku tidak bisa menemukannya… Ada apa?]
[Hmm? Tidak, bukan apa-apa kok. Yang lebih penting, kucing itu, siapa namanya? Em, Cocoa? Coba sini aku lihat. Kamu pasti bangga pernah memiliki kucing itu, bukan?”
[Iya, itu benar. Ini Cocoa.]
Ketika aku mengubah topik pembicaraan dengan menipunya, Saito meletakkan album foto itu di atas meja dengan matanya yang bercahaya. Dia membuka album itu, yang masih ada di sana, dan menunjukkan halaman dengan sejumlah foto di dalamnya. Di dalamnya, aku dan Saito melihat transisi Cocoa dari pas masih anak kucing sampai menjadi kucing dewasa.
Di salah satu foto, dia sedang tidur telungkup. Di foto lain, dia sedang berbaring telungkup, memiringkan kepalanya dengan cara yang aneh. Di foto yang lainnya lagi, dia sedang bermain dengan mainan kucing.
[Hmm, pantas saja, dia itu imut.]
[Benarkah? Dia dulu sahabatku yang paling aku sayangi.”
[…Aku mengerti.]
Menoleh ke samping, aku melihat sosok Saito yang menyipitkan matanya sedang nostalgia, mungkin mengingat kucingnya itu. Senyuman Saito yang sekilas itu begitu indah sampai-sampai aku tidak bisa apa-apa selain mengaguminya, dan karena beberapa alasan, dadaku sesak.