Hiiragi-san berbalik arah dan diam sejenak, lalu terbatuk dan berbalik lagi ke arahku, pipinya masih sedikit dironai warna merah.
[Maafkan aku…, Ngomong-ngomong, aku rasa itu ide yang bagus untuk berpegangan tangan di bioskop terlebih dahulu.]
[Aku mengerti.]
[Iya, itu… …tidak ada orang yang tidak suka tangan mereka dipegang oleh seseorang yang dia sukai.]
Dia menundukkan pandangannya, dan sedikit enggan untuk mengatakan hal itu, seakan-akan ucapan memalukan yang dia buat sebelumnya itu masih melekat di dalam benaknya.
[Aku mengerti. Aku akan memulai dengan menonton film. Lalu setelah itu bagaimana ya?]
[Baiklah, selanjutnya kamu inginnya pergi ke mana?”
[Aku kepikiran untuk pergi ke kafe di suatu tempat untuk makan siang karena sudah hampir siang hari setelah filmnya selesai. Kami kan baru saja selesai menonton film, jadi aku yakin kami akan punya banyak hal untuk dibicarakan.]
[Aku rasa itu ide yang bagus. …mungkin kamu sudah menrencanakan sesuatu untuk dilakukan di sana juga?]
[Em, …Iya.]
Karena kami telah membicarakan sesuatu tentang berpegangan tangan sebelumnya, aku tidak merasakan banyak gejolak. Tetapi ketika aku membicarakan hal lain seperti bermesra-mesraan, aku masih merasa sedikit malu.
[Ngomong-ngomong, apa yang akan kalian lakukan?]
[Kami akan saling menyuapi.]
[…Em, itu artinya, eh, ah, apa kamu serius?]
Dia mengalihkan pandangannya ke samping sebentar, menoleh dari kanan ke kiri, dan kemudian pipinya jadi memerah dengan warna merah terang dan dia menatapku lagi dengan ekspresi yang malu-malu.
[Iya, ini memang sedikit memalukan, tetapi jika ini akan membuatnya merasa malu, aku akan mencobanya.]
[Oke, baiklah, aku rasa itu ide yang bagus.]
[Aku mengerti. Kalau begitu, aku akan melanjutkannya apa adanya.]
Dia mungkin punya beberapa pemikiran sebagai seorang gadis, dan suaranya sedikit tegang, tetapi dia tampaknya tidak punya masalah dengan hal itu untuk saat ini. Aku merasa lega mendengar kalau rencanaku telah diterima.
[Apa yang akan kamu lakukan setelah makan siang?]
[Dia menyukai kucing, jadi kami mungkin akan pergi ke kafe kucing. Aku ingin dia benar-benar menikmati kafe kucingnya, jadi aku tidak berencana untuk menjebaknya dengan suatu cara yang khusus di sana sih. Waktu itu, kami sudah berencana untuk pergi ke kafe kucing dan ini akan menjadi akhir dari kencan itu.]
[Aku mengerti. Aku rasa rencana kencanmu itu bagus. Kedengarannya cukup menyenangkan. Tetapi tetap saja, …… Yang membuatku heran, Tanaka-san, apakah kamu sudah terbiasa berkencan dengan para wanita?]
Dia menatap ke bawah dan ke arahku sebentar seakan-akan dia mengalami kesulitan untuk mengatakan hal itu, tetapi kemudian dia menatap ke arahku seakan-akan dia sedang menerawangku.
[Mana mungkin! Ini pertama kalinya, kok. Apa yang membuatmu berpikir begitu?]
[Kamu punya rencana kencan yang layak dan cukup mengejutkan, kamu sangat agresif dengan si dia… …itu.]
[Oh begitu. Mengenai rencana kencan yang tadi itu, aku cuma mencari di Internet dan memanfaatkan apa yang tampaknya cukup berguna.]
Aku belum pernah berkencan sebelumnya. Tanpa bantuan internet, aku tidak bisa merencanakan kencan yang benar. Aku mungkin akan pergi ke toko buku dan berakhir di sana. Iya, aku pikir aku hanya akan membuat rencana kencan yang cukup bagus untuk dicurigai.
[Dan, iya, aku rasa aku bersikap proaktif karena kencan ini memang istimewa.]
[Istimewa, mengapa?]
Dia mengarahkan matanya ke kanan dan kiri dengan rasa ingin tahu dan memiringkan kepalanya.
[Iya, ketika kami bersama setiap hari, hampir tidak ada yang membuatku atau dia menyadari kalau kami adalah lawan jenis. Dia memercayaiku dan selalu berada di sisiku, jadi aku rasa tidak sopan kalau menuduhnya memiliki motif tersembunyi.]
[Aku mengerti….]
Hiiragi-san menganggukkan kepalanya, karena mengerti. Lagipula, akan sulit untuk berduaan dalam satu ruangan dengan Saito dan tidak memiliki motif tersembunyi. Tetapi menunjukkannya akan menjadi pengkhianatan terhadap kepercayaan Saito, jadi dia biasanya menghabiskan waktunya cuma dengan berkonsentrasi pada buku-bukunya dan tidak mengkhawatirkan hal itu.
[Tetapi terkadang kamu ingin orang yang kamu sukai menyadari dirimu sebagai lawan jenis. Aku ingin dia merasa senang, dan aku ingin melihat dia malu.]
[Aku mengerti! Terkadang kamu ingin merasa kalau orang yang kamu sukai menyadarimu sebagai lawan jenis.]
[Oh, iya, itu benar.]
Sesaat aku takut ketika Hiiragi-san tiba-tiba mengeraskan suaranya sedikit dan membuatku seperti tergigit. Sepertinya Hiiragi-san juga punya cowok yang menyukainya, jadi aku rasa dia dapat berhubungan baik dengannya.
[Nah, itu sebabnya aku memutuskan untuk membuat dia menyadari aku sebagai lawan jenis setidaknya di saat seperti ini, karena kami sedang berkencan. Tentu saja, aku tidak akan melakukan ini jika dia hanya menganggapku sebagai temannya, tetapi tampaknya dia agak mulai menyadariku.]
[Aku paham apa maksudmu. Aku mengerti. Tetapi tolong berhati-hati, ya?]
Hmmm, entah mengapa Hiiragi-san tersenyum dengan sedikit percaya diri. Tidak mengerti maksud dari peringatan Hiiragi-san, aku cuma bisa bertanya balik padanya.
[Berhati-hati?]
[Iya, karena dia mungkin saja merasakan hal yang sama. Mungkin kencan berikutnya akan jauh lebih agresif?]
[Begitu ya. …Baik, aku akan mengingatnya.]
Aku tidak dapat membayangkan Saito menjadi lebih agresif, tetapi jika kamu bertanya padaku, itu pasti merupakan suatu kemungkinan. Karena beberapa alasan, aku tidak bisa melepaskan diriku dari senyuman nakal Hiiragi-san, yang sepertinya sedikit menggodaku sambil tertawa, yang menempel di dalam benakku.