Sebentar saja, dia menunduk dengan wajahnya yang memerah, tetapi tampaknya sudah mulai tenang secara bertahap dan rasa malunya perlahan luntur. Ketika wajahnya berwarna merah muda, dia akhirnya menengok ke atas.
[Maafkan aku karena telah memperlihatkan padamu diriku yang tidak enak dipandang.]
[Ah, tidak kok, iya, kamu itu imut…]
[To-Tolong jangan begitu lagi…]
Suara Saito naik satu oktaf lagi saat aku mengatakan kalau itu bukan tidak enak dipandang, tetapi malah imut saat dia tersipu dan menunduk karena malu.
Aku menganggukkan kepalaku dan membuat-buat suara batuk.
[Walaupun, aku tidak menduga kalau aku akan menunjukkan ekspresi semacam itu. Apa aku tampak aneh?]
[Ah, tidak, kamu tampak baik-baik saja. Aku bisa tahu kalau kamu benar-benar menikmatinya.]
[Alasan aku sangat bersenang-senang adalah aku sedang bersama Tanaka-kun, oke?]
[Apa benar begitu?]
[Aku jarang sekali jalan-jalan, jadi aku sangat menantikannya, tetapi ini juga pertama kalinya buatku bersama teman baik seperti Tanaka-kun, jadi itulah alasan terbesarnya.]
Matanya menyipit dan dia tersenyum dengan indah sambil tampak tenang. Aku lega melihatnya tidak berbohong.
[Benarkah? Itu membuatku lega.]
[Aku sangat menantikan apa yang akan datang.]
Fufun, dia mengangkat bahu dan menatapku dengan mata yang penuh harap.
Setelah itu, ketegangan mulai tenang dan kami berjalan menuju ke bioskop. Kami berjalan-jalan sambil membahas buku, sekolah, dan hal sepele lainnya.
Aku terus menatap tangan Saito yang putih berkali-kali, di antara percakapan kami.
Aku memang telah memutuskan untuk memegang tangannya nanti, akan tetapi aku masih gugup untuk benar-benar melakukannya. Ini bukanlah hal yang mudah untuk dibiasakan.
Kami terus berjalan, selagi aku penasaran dengan bagaimana cara kami seharusnya berpegangan tangan.
Setelah berjalan-jalan sebentar, kami tiba di bioskop dan masuk ke dalamnya. Di dalamnya hangat, dan kulitku yang dingin terkena kehangatan ini.
[Wah, ada lumayan banyak film yang diputar!]
Segera setelah kami masuk, ada poster-poster dari film-film yang saat ini masih diputar. Saito bergegas ke arah poster-poster itu dan mulai melihat-lihat dengan minat yang tinggi.
[Apakah kamu sudah menemukan film yang menarik?]
Selain film yang ingin kami tonton, ada berbagai macam film yang berbeda-beda. Fiksi ilmiah, aksi, dan bahkan misteri. Kami memelototi poster-poster itu dengan iseng dan penasaran apa yang mesti kami tonton.
[Tidak, kali ini aku lebih suka menonton film romantis yang Tanaka-kun rekomendasikan.]
[Benarkah? Film yang lain juga tidak apa-apa, kamu tahu?]
[Tidak, aku tertarik dengan film itu. Dan juga…]
[Juga?]
Dia tampak agak tidak nyaman saat dia bicara, jadi aku bertanya padanya. Kalau begitu, dia menoleh padaku dengan pipinya memerah dan tersenyum.
[Lagipula, kalau sedang kencan ya berarti nontonnya film romantis. Apalagi kalau ini kencannya bersama Tanaka-kun.]
[O-Oh, begitu.]
Aku menggigit bibirku saat aku melihat senyumannya, yang lembut dan juga berbunga. Merasakan wajahku memanas, anting-anting yang berkilauan menarik perhatianku.
Aku membeli tiket, dan selagi melakukannya, aku juga membeli minuman dan menunggu waktu filmnya dimulai. Selagi kami menunggu, Saito tampak sangat senang dengan tiketnya di sebelahku beberapa kali.
Setelah beberapa saat, sebuah pengumuman dibunyikan bahwa sudah waktunya buat kami untuk masuk, dan banyak orang yang berjalan masuk. Kami mengikuti barisan dan duduk di bangku yang sudah dipesan.
[Ini tempat yang sangat besar.]
[Iya, kamu benar. Apa kamu pernah ke sini sebelumnya?]
[Ibuku dulu mengajakku ke sini saat aku masih SD, tetapi aku belum pernah ke sini lagi sejak saat itu. Aku biasanya menonton film di DVD.]
[Begitu ya. Aku merasakan hal yang sama. Aku belum pernah menonton film lagi di sini sejak SMP.]
[Terakhir kali kamu ke sini, apa kamu sendirian?]
[Tunggu dulu, aku setidaknya punya teman-teman untuk diajak nonton …Iya, aku memang datang sendirian, sih.]
Itu membuatku kesal bahwa dia mengira kalau aku sendirian saja sepanjang waktu, jadi aku membantahnya, tetapi Saito memberiku tatapan yang bilang [Sudah kuduga.].
Setelah menunggu sebentar, teater mulai digelapkan dan layarnya mulai bersinar terang. Aku menundukkan pandanganku ke tanganku, sadar akan sosok Saito yang terpantul oleh cahaya layar.
Di sebelah kiri, Saito ada di sebelahku, sekitar 10 cm perbandingannya. Tangan kanannya ditaruh di tempat sandaran tangan, dan tangannya yang langsing dan indah.
Aku menelan ludah, dan meraihnya. Perlahan, Perlahan. Secara bertahap aku mendekatkan tanganku, aku sudah cukup dekat untuk menyentuhnya, dan perlahan menyentuhkan tanganku sendiri dengan tangannya.
[…Mmm.]
Saat aku menyentuhnya, tubuhnya bergetar. Ketika aku menatapnya untuk melihat apa yang terjadi, Saito juga menatapku. Mata kami saling bertatapan satu sama lain. Matanya tampak memantulkan cahaya dari layar dan bersinar dengan warna yang aneh.
Dia perlahan menurunkan pandangannya dan mengalihkan pandangan. Dia menjalin jari-jari tangannya dengan jari-jari tanganku.
Panas. Telapak tanganku terasa sangat panas. Kalau aku meremasnya, dia akan meremasnya balik. Benar-benar pertukaran sederhana yang bukan cuma menyenangkan tetapi juga menawan hati.
Saat aku tenggelam dalam kesenangan, aku dengar suara indah yang perlahan menggelitik telingaku.
[Apa kamu mau berpegangan tangan?]
[Eh, ah, ehm, begini…]
Aku malu-malu menanyakan ini. Aku tidak bisa menjawab, dan cuma menjawabnya dengan kosong. Saito tampaknya mengerti apa yang coba ingin aku katakan, dan dia tersenyum, dengan tampang bahagia.
Tampang menggoda di wajahnya membuatku agak jengkel, aku menanyakan satu pertanyaan untuk menyerang balik.
[Lalu, bagaimana denganmu?]
Dari reaksi Saito sejauh ini, dia tampaknya tidak akrab dengan hal semacam ini. Ketika dia melakukannya, dia memang tampak santai, tetapi ketika aku melakukannya, dia tampak malu-malu.
Kalau begitu dia pasti tersipu lagi kali ini, kesimpulanku. Mari kita buat dia melakukannya. Begitulah pikirku, tetapi itu tidak berjalan seperti itu.
[Aku? Tentu saja, aku mau berpegangan tangan denganku. Tetapi aku juga gugup ketika kita berpegangan tangan seperti ini di bioskop.]
[Be-Begitu ya…]
Pipinya agak memerah dan dia mungkin merasa malu, tetapi dia tidak kehilangan ketenangannya. Sebaliknya, dia menunjukkan padaku tangan kami yang terhubung bersama, dan membuatku semakin menyadarinya.
(Bagaimana bisa kamu melakukan itu dengan begitu mudahnya.)
Dengan panas dari wajahku menurun, kami menunggu filmnya dimulai.