Ketika aku meninggalkan teater bioskop, angin musim dingin yang dingin bersentuhan dengan kulitku. Perbedaan suhu antara di dalam dan di luar membuatku menggigil. Saito, yang berada di sampingku, juga merasakan hal yang sama, agak menggigil dan bergemetar.
[Di-Dingin juga di luar, ya.]
[Aku rasa begitu. Apalagi karena sangat hangat di dalam teater bioskop.]
[Iya, mari kita buru-buru dan makan. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah tahu kita mau makan di mana?]
[Iya, aku sudah memesan meja di sebuah toko panekuk, aku pikir kamu akan menyukainya. Aku dengar kalau restoran itu sangat terkenal.]
[Begitu ya. Aku sangat menantikannya.]
Wajah Saito berseri dan tersenyum saat aku mengatakan ini.
Aku sudah berpikir begitu sejak aku melihatnya makan es krim dan kue, tetapi Saito punya kesukaan terhadap makanan manis. Aku mengangguk di dalam hatiku, berpikir kalau akan sepadan dengan kesulitan mencarikan tempat yang cocok untuknya.
[Iya, aku juga menantikannya.]
[Ngomong-ngomong, apa ini toko panekuk di dekat stasiun kereta api yang baru dibuka setahun yang lalu?]
[Iya, benar, yang itu.]
[Aku pernah makan di sana sebelumnya dan rasanya enak. Aku tidak percaya kalau aku akan makan di sana lagi. Aku sangat menantikannya.]
[Itu membuatku tenang. Panekuk lumayan populer, iya kan? Aku sedikit khawatir soal apakah kamu suka itu atau tidak, karena aku membayangkannya seperti kue dadar (hotcakes), tetapi aku senang kamu menantikannya.]
[Apa yang kamu bicarakan, panekuk dan kue dadar itu sangat berbeda.]
[Be-Begitu ya.]
Dia tampaknya terganggu dengan kata-kataku dan menatapku dengan ekspresi yang serius. Matanya yang indah dan jernih menoleh ke arahku.
[Biar aku jelaskan? Panekuk itu hidangan manis yang membuat semua wanita Jepang tergila-gila. Sebaliknya, tidak berlebihan mengatakan kalau itu bukan cuma disukai para wanita tetapi juga pria dari segala usia. Itu sangat berbeda dengan kue dadar.]
[A-Ahh, begitu ya. Aku sangat menantikannya.]
Aku secara tidak sadar tersentak dan menggigit kata-kataku di depan Saito saat dia berbicara dengan antusias. Tampaknya, panekuk merupakan favoritnya. Aku belum pernah melihatnya banyak bicara kecuali saat dia membicarakan soal buku, jadi ini pasti topik yang sangat penting buatnya.
Ketika aku buru-buru menganggukkan kepalaku, Saito tersenyum puas dan berkata [Iya, aku rasa Tanaka-kun akan terpikat dengan itu.].
Didorong oleh rasa dingin, kami berjalan menuju tempat tujuan kami, toko panekuk. Di perjalanan, aku diberi tahu soal betapa enaknya panekuk itu, dan terus berlanjut sampai kami tiba.
[Kita sudah sampai.]
[Tampaknya benar begitu.]
Saito, yang berbicara dengan antusias, itu imut dan aku ingin menyaksikannya selamanya, tetapi aku memutuskan percakapan kami saat kami sampai. Dengan suara gemerincing dari lonceng, aku membukakan pintu dan masuk ke dalam toko.
Interiornya gelap dan terasa agak elok. Angin yang tenang dan hening dapat terasa melalui kulit.
Pelayannya menuntun kami ke meja kami dan aku duduk berseberangan dengan Saito, menghadapnya. Pelayan menyerahkan menunya pada kami dan pergi.
[Aku belum pernah pergi ke sini sebelumnya, tetapi aku suka suasananya. Aku akan menuntaskan baca bukuku di sini.]
[Ih, mengapa standarmu buku, sih…]
Saito tersenyum sambil meremehkan. Tetapi dia tampak bersimpati, berkata [Aku tidak bisa apa-apa selain mengerti.].
Aku membuka menunya dan melihat apa yang ada di dalamnya. Menu itu tersusun dengan segala hal yang aku sudah pernah lihat saat aku mencari-cari di internet.
[Yang mana yang sudah kamu makan terakhir kali kamu datang ke sini?]
[Yang ini. Ini yang paling populer. Ada es krim vanila dan sirup di atasnya, ditambah rasa manisnya cukup dan enak.]
[Begitu ya. Kedengarannya enak.]
Saito menunjuk ke foto yang menunjukkan tiga buah panekuk bertumpukan, dengan es krim vanila dan sirup berwarna emas yang tebal dan kelihatan manis di atasnya.
Foto yang kelihatan enak menggugah seleraku, dan aku menelan ludah.
Saito tampaknya melihat ke halaman lain dari menu itu, matanya berbinar dan bergerak perlahan. Mungkin dia juga senang, saat mulutnya santai dan matanya terpaku pada menu itu.
[Yang mana yang Saito mau?]
[Iya, aku akan memilih… Saat ini aku sedang bimbang antara yang ini atau yang itu.]
Dia lalu menunjuk ke arah panekuk teh hijau dan panekuk stroberi dengan waktu terbatas. Keduanya tampak lezat, tidak heran kalau dia tidak bisa memilih.
Tetapi, yang sangat menarik perhatianku itu kata-kata “dengan waktu terbatas”. Aku rasa terakhir kali kami mampir ke toko es krim, itu karena dia melihat diskon dengan waktu terbatas…
[Saito suka benda dengan waktu terbatas, ya?]
[Iya, tetapi apa itu buruk?]
Dia agak tersipu dan menatapku seakan-akan berpikir kalau dia terlalu sederhana.
[Tidak, aku tidak keberatan dengan itu. Aku cuma berpikir kalau kamu peduli tentang hal semacam itu.]
[Tetapi itu cuma dengan waktu terbatas, kamu tahu? Kalau kamu ketinggalan itu sekarang, kamu mungkin tidak akan mampu memakannya lagi.]
[Emm, iya. Kalau begitu, mengapa kamu tidak memesan yang dengan waktu terbatas saja? Biar aku yang memesan yang teh hijau.]
[Apa itu tidak masalah?]
[Iya. Aku penggemar teh hijau, dan aku juga penasaran dengan yang stroberi.]
Aku sebenarnya suka teh hijau, dan aku rasa yang stroberi juga kelihatan enak. Tetapi alasan nomor satunya yaitu untuk memberinya kesempatan untuk memakan yang rasa stroberi.
Puas kalau rencana itu akan berjalan dengan mulus, aku memanggil pelayan dan memesan makanannya.
Setelah beberapa lama, dua piring panekuk dengan aroma manis tiba. Segera setelah panekuk itu diletakkan di atas meja, aroma yang lembut dan gurih menggelitik hidungku.
[Wah, kelihatannya enak.] (TL English Note: Kedengarannya enak.) (TL Note: Mimin jadi pengen.)
Mata Saito berbinar terang saat dia mengatakan ini. Ekspresinya yang agak polos, penuh dengan kewaspadaan dan keinginannya untuk memakan panekuk itu, menggemaskan.
Perbandingan antara sikap acuh tak acuhnya yang biasa dan sikap santainya ini membuatku tak bisa menahan tawa.
[Kalau begitu, mari kita makan.]
[Iya, selamat makan.]
Setelah dia meletakkan tangannya bersamaan dan berterima kasih atas makanannya, Saito perlahan menggerakkan garpunya lebih dekat dengan panekuknya. Dia memotong bagian seukuran satu gigitan menggunakan pisau, perlahan menusuk bagian dengan garpu, dan mengarahkannya langsung ke mulutnya.
Saat panekuk itu masuk ke mulutnya, dia mengeluarkan suara yang agak imut dan berkata [Mmm!], dan memutar matanya. Tetapi tak lama, matanya menyipit dan wajahnya santai seakan-akan menikmati pengalaman itu.
[Apa itu enak?]
[Iya, betul! Bukan cuma manis, tetapi juga sangat menyenangkan dengan rasa tajam dari stoberinya.]
Saito tersenyum lebar padaku, seakan-akan berbunga-bunga. Itu ekspresi yang sangat hangat, lembut dan mempesona.
Aku mengambil satu gigitan panekuk teh hijauku sendiri. Saat aku menggigit, rasa manis dan pahit dari teh hijau itu memenuhi mulutku. Itu sangat enak sampai memuaskan selera makanku.
[Bagaimana rasanya?]
[Iya, itu enak.]
Saito menatapku seakan-akan untuk melihat panekukku seenak apa, jadi aku memberitahukannya pendapatku, dan mulutnya tenang, dan tampak lega.
Aku kira ini akhir dari semuanya, tetapi ternyata dia tampaknya masih punya sesuatu di pikirannya dan melihat ke tanganku.
Seperti yang sudah direncanakan. Ini akan memancingnya untuk mencoba panekukku.
[Apa kamu mau coba juga?]
[Iya.]
[Baiklah, kalau begitu, ini.]
Aku memotong bagian seukuran satu gigitan dan menyodorkannya ke mulut Saito. Pipi Saito memerah, dan tatapannya berkeliaran kemana-mana seakan-akan dia agak ragu.
[Ah, ehm…]
[Ada apa, aku pikir kamu mau coba juga?]
[A-Aku mau kok!]
Aku tahu kalau dia ragu-ragu karena dia malu-malu, tetapi aku memancingnya dengan menurunkan garpuku, dan Saito tersentak dengan itu dengan tidak sabar.
[Bagaimana rasanya? Apa itu enak?]
[Ini enak…]
Dia menggumamkan suara pelan dan kecil dan menatapku dengan tampang murung di wajahnya. Aku bisa tahu kalau dia merasa malu dari ekspresinya, yang ditandai dengan warna merah, dan aku tahu kalau strategiku telah berhasil.
Puas rencanaku telah berhasil, lalu Saito tiba-tiba memotong bagian panekuk stroberinya menjadi seukuran satu gigitan dan menyodorkannya ke mulutku.
[Euhh, Saito?]
[Ini cuma sedikit buatmu. Ini, makanlah.]
Dia menatapku dengan tampang yang agak sebal, namun menggoda dan tidak akan menghadap ke belakang. Aku tidak menduga kalau dia akan membalasku tetapi menggigit panekuk yang dia tawarkan, merasa sedikit malu.
[Bagaimana rasanya?]
[I-Iya, ini enak.]
[Begitu ya. Kalau begitu, ini satu lagi.]
Dia menyodorkan satu bagian lagi ke mulutku sambil berkata begitu.
[Eh? Ah, tidak itu…]
Aku tidak bisa memikirkan harus bilang apa, aku tidak bisa menemukan kata-kata. Tanpa mampu memprosesnya, aku terdiam di depan panekuk yang ditawarkan padaku.
[Apa kamu tidak mau?]
[A-Aku mau, kok. Aku akan memakannya.]
Setelah itu satu gigitan lagi.
Mendapatkan kesempatan untuk melakukannya untuk yang kedua kalinya membuatku semakin menyadarinya, dan pipiku memanas. Aku membiarkan panas itu keluar, aku menatap Saito dan melihatnya sedang tersenyum puas.
[Ini, sekali lagi.]
[O-Oh.]
Lalu aku mengikuti alurnya dan terpaksa memakannya beberapa kali lagi.
––Mengapa bisa jadi begini, sih?