Itu terjadi tidak lama setelah awal bulan Juni.
Pada hari itu, ketika aku dan ayahku makan malam terlambat, beliau berkata “Oh, ngomong-ngomong.” seakan-akan mengingatkan akan sesuatu.
“Hari ini, ada orang asing mengobrol dengan Ayah di stasiun.”
Aku mengeluh di dalam hati, “Yah, begini lagi.”
Kebanyakan hal yang aku obrolkan sambil makan malam dengan ayahku itu tidak penting.
Namun, akan sangat disayangkan untuk mengabaikan beliau dari awal, jadi aku bertanya, “Terus, ada apa?” Jadi aku mendengarkan beliau sebentar. Setidaknya itulah yang dapat aku lakukan buat Ayah.
“Ayah tidak dapat menangani ini, jadi Ayah mengajaknya ke petugas stasiun.”
“Iya, itu merupakan hal yang baik, Ayah.”
“Apa menurutmu Ayah harus ikut kursus bahasa Inggris?”
“Mungkin tidak, itu cuma akan buang-buang uang.
Ayahku membeli beberapa potong ayam goreng dari toko makanan dalam perjalanan pulang dari kerja dan aku menyantapnya. Dan cairannya menyebar dalam setiap gigitan, obrolan ayahku yang tidak penting mencair.
“Ini lezat. Benar deh.”
“Iya, kan? –Kalau begitu, begini, Ayah mau menikah lagi, itu tidak masalah, bukan?”
“Hee~, menikah lagi~…—*Uhuk, Uhuk!?”
Aku tersedak dan buru-buru mengambil secangkir teh jelai ke mulutku.
“—Me-Menikah lagi? Haaaaah!!?”
“Hahahaha, itu reaksi yang bagus.”
“Tidak, tidak, alurnya, alurnya! Pikirkan tentang alur dari obrolan ini, Ayah!”
Pertama-tama, penggunaan frasa “kalau begitu” itu salah. Kedua, frasa “menikah lagi” tidak seharusnya digunakan dalam konteks obrolan tentang orang asing di stasiun.
Biasanya, harus ada sesuatu yang lebih seperti templat. Sebagai contoh, “Ryouta, Ayah punya sesuatu yang penting untuk diberitahukan padamu, jadi tolong duduk di sana.” atau sesuatu yang semacamnya.
Aku memelototi ayahku, yang masih tertawa dengan acuh tak acuh.
Terkadang aku tidak mengerti ayahku.
Itu tepat seperti apa yang terjadi saat ini.
Kejadian hari ini hanyalah permulaan, tetapi ayahku selalu mengatakan sesuatu yang penting setahun sekali.
“Ayah, jelaskan padaku. Apa yang Ayah maksud dengan menikah lagi? Apa Ayah serius?”
“Serius, Ayah kepikiran untuk menikah lagi, bagaimana menurutmu, Ryouta?”
“Eee~… –Apa itu cuma kemauan Ayah untuk menikah lagi?”
“Tidak, Ayah sudah mendapatkan pasangan.”
“…Ini bahkan ulang tahunku hari ini, jadi kejutan macam apa ini?”
“Tidak, tidak, ini bukan kejutan.”
“Ayah tahu, apa Ayah pernah membaca fabel tentang bocah serigala? Kalau Ayah terus-terusan berbohong, tidak akan ada yang percaya pada Ayah pada akhirnya, bukan?”
Makanya wanita itu (ibuku)— Aku hampir tersedak.
Aku tahu alasan dari perceraiannya.
Dialah orang yang merupakan bocah serigala.
Aku belum pernah membicarakan ini dengan ayahku.
Aku telah menghindari topik ini untuk waktu yang cukup lama, tetapi aku tidak pernah menduga kalau topik tentang menikah lagi akan keluar di sini.
“Ayah mungkin sering memberikan banyak kejutan buatmu, tetapi Ayah belum pernah bohong padamu, iya kan?”
“Tidak, tidak, semua yang Ayah lakukan tercium seperti sebuah skandal bagiku. Jadi biarkan aku bertanya pada Ayah, siapa sih wanita tidak beruntung ini yang jatuh ke dalam cara ayahku yang berbau skandal ini?”
“Ayah bertemu dengannya di set pemotretan. Namanya itu Miyuki Tominaga-san. Dia itu penata rias lepas (freelance). Dia itu orang yang sangat seksi.”
Ayahku sepertinya ingin membual tentang penampilan dari pasangan pernikahan kedua beliau. Seringai dari wajah beliau cuma membuatku kesal.
Pertama-tama, aku kagum pada bagaimana beliau dapat menikah lagi tanpa belajar dari pengalamannya.
“Hee~… Ngomong-ngomong, dia baik-baik saja, bukan? Jadi, sudah berapa lama Ayah memacari orang ini?”
“Sudah hampir dua tahun sekarang.”
“Dua tahun!? Tidak, itu lebih mengejutkan daripada Ayah menikah lagi! Ayah telah mengunjungi orang ini selama dua tahun di belakangku!?”
“Oh, ayolah, kamu itu sangat blak-blakan.”
“Aku tidak suka cara Ayah mengatakan itu… —Jadi, apa Ayah tidak punya fotonya atau semacamnya?”
“Kamu mesti menunggu sampai dipertemukan untuk mengetahuinya. Jangan macam-macam dengan istri Ayah, karena dia itu sangat cantik.”
“Aku tidak akan macam-macam…”
Ayah tertawa dengan keras dan menunjuk ke kalender di mejanya.
“Pertemuannya itu hari Sabtu depan.”
“Itu sangat cepat lagi… Aku mesti bercukur pekan ini.”
“Dan Ayah masih punya sedikit kabar baik buatmu. Fufufu~!”
“…Apa itu? Mengapa Ayah tidak bilang saja sekalian padaku.”
Ayah terjeda sejenak, kemudian membuka mulutnya—.
“Kamu akan mendapatkan seorang saudara baru–.”
“Se-Seorang… saudara baru!?”
—Apa Ayah mengerti yang apa yang aku bicarakan?
Aku dan Ayah sudah punya jarak dalam hal persepsi kami kala itu.
Itu merupakan kesalahpahaman homofonik yang tidak akan pernah terjadi kalau kami telah menulis.
Itu benar.
Aku telah salah menganggap kalau aku akan mendapatkan saudara laki-laki.
Dibesarkan sebagai anak semata wayang, aku sudah lama menginginkan sosok saudara.
Karena hal ini, aku bereaksi berlebihan pada kata “saudara”.
Sebagai hasilnya, aku benar-benar sangat gembira, dan kemudian—
“Saudara barumu itu satu tahun lebih muda darimu dan sudah kelas sepuluh SMA, jadi kamu akan menjadi seorang ‘Aa’.”
“Yei! Pernikahan yang bagus, Ayah!”
“Ah, begitu ya? Jadi kamu tidak masalah dengan itu? Apa Ayah benar-benar boleh menikah lagi?”
“Tentu saja! Seorang adik~… Aku sangat menantikannya!”
Kala itu, aku tidak menyadari kalau ada kekeliruan yang serius.
Kalau saja Ayah memberi tahuku kalau adik baruku itu cewek…, Tidak, mari kita tidak men
Kalau saja aku bertanya pada Ayah apakah adikku itu cowok atau cewek, aku mungkin akan lebih bersiap-siap…
Iya, aku mungkin akan melarang Ayah menikah lagi, tanpa mempedulikan apakah aku akan punya adik baru atau tidak.
***
Sebagai catatan sampingan, ada sejumlah persepsi tertentu kalau hubungan adik kakak yang sesungguhnya itu merepotkan.
Terutama saat adik kakak itu jarak usianya dekat, adik cowok cenderung untuk tumbuh melihat abangnya setara, dan menginginkan segala yang abangnya miliki.
Sebagai tambahan, adik cowok lebih khusus cenderung tentang aturan pertandingan dan kompetisi karena tekanan tidak mau kalah dari abangnya. Ini bisa menyebabkan pertengkaran di antara abang dan adik cowok.
Secara historis, pertengkaran daging dan tulang di antara abang dan adik cowok terkadang menimbulkan perang yang melibatkan keseluruhan negara.
Ini adalah masalah yang dihadapi oleh Minamoto no Yoritomo dan Yoshitsune, dan juga Kaisar Taizong dari Dinasti Tang dan adiknya. Sejarah-sejarah gelap itu tentu tidak boleh terulang kembali.
Kalau aku mengincar hubungan yang ideal, tentunya yang seperti Guan Yu dan Zhang Fei dari Tiga Kerajaan.
Dengan pemikiran ini di kepalaku, aku sedang dalam perjalanan menuju restoran di mana kami seharusnya ketemuan.
Ayah punya beberapa pekerjaan penting untuk dilakukan, jadi beliau langsung berangkat dari tempat kerja. Meskipun ini merupakan hari yang sangat penting, beliau tampaknya punya banyak pekerjaan dalam seni film.
Aku tidak punya pilihan lain selain pergi ke tempat yang dijanjikan tepat waktu. Namun, langkahku menjadi berat.
Mungkin ini akan canggung kalau aku sampai di sana duluan dan berakhir dengan keluarga pihak lain. Cuma memikirkannya saja sudah membuatku gugup.
“Di saat-saat seperti inilah di mana kamu harus pergi bersama orang tuamu…”
Saat aku terus berjalan, aku melihat sesosok orang di ujung jalan, berkeliaran ke sana kemari dengan ponsel pintar di tangannya.
Alasan aku tidak bisa apa-apa selain memperhatikannya adalah karena pakaiannya yang khas.
Meskipun ini sudah musim panas, cowok itu mengenakan jaket bertudung (hoodie) yang longgar dan juga celana jin yang ketat dan bahan yang tipis.
Aku berjalan melewatinya tanpa pikir panjang.
Tetapi kemudian aku mendengar sebuah suara yang mengatakan, “Apa yang harus aku lakukan?”.
Aku sekarang punya alasan untuk datang terlambat.
“—Ada apa?”
Kalau aku membantu orang-orang, aku akan punya alasan yang bagus untuk terlambat datang ke pertemuan.
Aku memanggilnya dengan pemikiran yang matang.
Cowok itu merespons dengan, “Hah?” dan berbalik arah.
Tetapi sesaat berikutnya, aku menelan ludah—.
Dia punya rambut yang panjang untuk seorang cowok, mungkin setengah pendek.
Dia punya wajah cantik dan netral yang muncul dari bawah poni yang mengganggu.
Bulu mata yang panjang dan mata biru yang jernih.
Dan bibirnya tampak lembut dan berwarna merah darah.
Dia itu seorang cowok yang sangat cantik sehingga bahkan seseorang dari jenis kelamin yang sama akan pangling saat melihatnya.
Segera setelah aku mendekatinya, aku merasa canggung. Inilah apa yang dimaksud dengan merasa malu.
“Em, apa!?”
Cowok itu menatapku dengan tampang yang bingung.
“A-Ahh…, tidak, bukan apa-apa kok.”
“Begitu. Baiklah, kalau begitu aku permisi ya–.”
“Oh, tunggu sebentar!”
“Iya? Apa yang kamu mau dariku?”
Kali ini, dia agak menjauh dariku, seakan-akan meningkatkan kewaspadaan.
Aku buru-buru memasang senyuman. Aku yakin ini sedikit kecut, tetapi ini masih bagus.
“Aku penasaran apakah kamu sedang ada masalah.”
“Iya, aku sedang ada masalah, tetapi…”
Ini bukan urusanmu, bukan? Dia tampak seperti dia ingin mengatakan itu.
Ketika aku menatap ke tangan cowok itu, aku melihat ke aplikasi peta di ponselnya bergerak.
“Apa kamu secara kebetulan, tersesat?”
“Em, iya…”
“Jadi, kamu mau pergi ke mana?”
“Apa itu penting buatmu ke mana aku pergi?”
“Tidak. Tetapi aku penasaran apakah mungkin aku bisa mengarahkanmu.”
“Apa kamu mau menggebetku?”
“…Hah?”
Aku bingung sejenak.
Memang benar kalau dewasa ini masyarakat yang semakin netral gender, itu tidak biasa bagi seorang pria untuk mengakui perasaan pada seorang pria.
(TL Note: Ini bukan Mimin yang ngomong ya, ini dari authornya, peace.)
Namun, aku tertarik pada cewek, tidak menggebet cowok. Atau lebih tepatnya, aku tidak menggebet cewek, dan aku tidak punya nyali untuk melakukan itu.
Cowok ini memang tampak rupawan, jadi dia mungkin telah didekati seorang pria sebelumnya.
“Maaf, tetapi aku tidak tertarik padamu sedikitpun, jadi jangan khawatir…”
“Ada sesuatu yang aneh dari caramu mengatakan itu…”
“Itu benar. Kalau sedang tidak kesulitan, aku akan pergi saja dan–.”
“Oh, tunggu sebentar!”
Ketika aku dipanggil, aku berbalik arah, dan cowok itu menatapku dengan tangannya dilipat ke dadanya.
“…Apa?”
“A-Apakah kamu benar-benar cuma ingin mengarahkanku?”
“Itu yang dari tadi mau aku lakukan, sih?”
“Kalau begitu, aku akan izinkan kamu bicara padaku…”
Aku kira kalau dia itu cowok yang sombong. Cara dia mengatakan itu atau mengungkapkan itu tidak lucu atau menawan.
Namun, dia itu masih siswa SMP, baik dari perawakannya maupun dari tinggi badannya. Suaranya juga masih belum berubah, jadi akan aku tunjukkan padanya kalau aku lebih tua darinya. Ini mungkin demi masa depannya…
“Jadi, kamu mau pergi ke mana?”
“Emmm… Restoran yang disebut ‘Kanon, Restoran Bergaya Barat…’ ini.”
Aku tidak bisa apa-apa selain melebarkan mataku.
“Wah, benar-benar kebetulan.”
“Eh?”
“Aku juga sedang dalam perjalananku menuju ke restoran itu.”
Benar-benar kebetulan kalau tempat tujuan kami ternyata sama. Sayangnya, orang lain di sini bukanlah seorang cewek cantik, dan aku cuma ingin sebuah alasan untuk datang terlambat, tetapi aku rasa kalau aku tidak punya pilihan lain.
“…Jadi kamu mencoba untuk menggebetku?”
“Tidak, aku tidak begitu. Cuma kebetulan ada sesuatu yang ingin aku lakukan di sana.”
“Begitu ya…”
“Kamu mau aku pergi bersamamu…?”
“Apa kamu berusaha untuk mengajakku ke tempat yang aneh-aneh?”
“Kalau kamu khawatir, menjauh saja dariku, aku akan berjalan sendiri. Dah.”
Beberapa saat setelah aku berjalan, suara sepatu berlari terdengar dari belakangku.
Di dalam bayangan yang tampak pada jendela di jalan, aku dapat melihat seorang cowok yang mengikuti tepat di belakangku.
Dia terdiam sepanjang perjalanan menuju restoran, mungkin karena dia gugup.
Aku, di sisi lain, mencoba untuk menahan seringai yang tidak disengaja saat aku berjalan di depannya.
Ada sesuatu yang imut dari dirinya.
Jadi aku berjalan menuju tempat tujuanku, merasakan kehadiran cowok di belakangku.
***
“Kita sudah sampai. Tempat itu di sini.”
“Ternyata memang benar. Di situ tertulis ‘Kanon, Restoran Bergaya Barat’.”
Aku dan cowok itu melihat ke penanda di depan restoran itu.
Restoran itu baru dibuka sekitar dua tahun yang lalu, dan aku terkadang datang ke sini hanya berdua dengan Ayah.
Restoran itu sebenarnya dijalankan oleh salah seorang teman kerja ayahku yang lama, dan Ayah bilang padaku kalau semua lampu dan aksesori yang bagus di toko ini adalah pemberian dari Ayah untuk memperingati pembukaan dari toko ini, karena lampu dan aksesori itu telah digunakan dalam beberapa film.
“Aku akan menunggu seseorang di sini…”
“Oh begitu. Oke, aku akan masuk duluan. —Sampai jumpa.”
“Hei.”
“Hmmm? Iya, ada apa?”
“Maafkan aku karena telah meragukanmu.”
Cowok itu menundukkan kepalanya dengan jujur. Aku tersenyum lagi.
“Itu ucapan terima kasih karena telah membawaku ke sini, bukan?”
“Oh… Terima kasih, banyak.”
Tampang merasa malu dari wajahnya itu agak imut, dan aku membunyikan bel pintu dengan suasana hati yang enak.
Aku melihat ke sekeliling restoran yang bergaya dan melihat ayahku di sebuah meja di belakang dan melambaikan tangan padaku.
“Maafkan Ayah karena membuatmu datang ke sini sendirian.”
“Tidak masalah. Lagipula, Ayah juga datang tepat waktu, kok?”
“Iya. Ini hari yang penting dan Ayah telah buru-buru menyelesaikan pekerjaan.”
Kegugupan Ayah membuatku gugup juga.
Itu mungkin karena hal itu juga.
Aku akan bertemu ibu tiri dan adik tiriku. Aku belum dikasih lihat foto mereka, jadi aku tidak bisa apa-apa selain penasaran orang-orang seperti apa mereka ini.
Saat aku mendengarkan kata-kata Ayah, aku membayangkan calon adik tiri (cowok)-ku. Aku membayangkan hobinya, kepribadiannya, penampilannya, hal macam apa yang dia sukai, dan kehidupan macam apa yang telah dia jalani.
Aku menunggu kedatangan keluarga Tominaga, aku melihat sesosok orang datang menghampiri kami dari pintu masuk.
Ayah berdiri dan dengan entengnya melambaikan tangannya. Aku mencontoh beliau dan berdiri dari bangkuku.
“Maaf membuatmu menunggu, Taichi-san!”
“Tidak, tidak kok. Kami juga baru sampai ke sini. Miyuki-san, apa kamu tersesat.”
“Iya. —Oh, kamu itu, Ryouta, kan? Nama Tante, Miyuki. Tante sudah lama berpacaran dengan ayahmu. Senang bisa berjumpa denganmu.”
Tante Miyuki mengatakan dengan entengnya, dan kali ini membungkuk dengan tulus.
Kesan pertamaku itu kalau beliau itu bukan cuma awet muda, tetapi juga sopan.
Ketika aku melihat wajah beliau lagi, beliau tampak sangat cantik sampai aku berpikir waktu telah berhenti saat beliau sekitar tiga puluh tahunan. Mungkin itu karena wajah rapi beliau yang tampak cantik dengan riasan dan rambut beliau yang diwarnai dengan warna cerah sehingga membuat beliau tampak begitu.
Senyuman beliau yang tulus itu penuh dengan kecenderungan seorang ibu, dan beliau memberiku kesan seorang ibu yang akan dengan bangga memamerkan anak-anaknya.
Di sisi lain, aku terganggu dengan apa yang aku lihat.
Walaupun beliau sudah dikaruniai seorang anak, sosoknya itu masih dalam keadaan yang baik. Beliau juga agak menggoda dan menggairahkan, dan punya pesona yang cukup untuk membuat seorang pria jatuh cinta.
Singkatnya, beliau itu punya tubuh yang sangat menarik.
Aku tahu kalau aku seharusnya tidak memandang ibu tiriku dengan cara begitu. Meskipun aku tahu akan hal itu, mataku segera tertarik oleh beliau, yang mana itu alami untuk para pria.
Bukankah itu terlalu merangsang untuk tinggal dalam satu atap dengan yang seperti itu?
Saat aku sedang memikirkan hal ini, aku melihat sebuah bayangan dari orang yang ikut di belakang Tante Miyuki.
Sosok itu familier buatku.
“Hah? Kamu itu orang yang tadi ya?”
“Ah…”
Dia itu cowok yang sombong dan waspada itu sehingga aku melihatnya begitu.
Tidak mungkin, dia itu orang yang akan menjadi adik baruku.
Dia bukan anak SMP, tetapi sudah kelas sepuluh SMA, satu tahun lebih muda dariku. Tampaknya pertumbuhan agak lambat untuk anak seusianya.
“Hmm? Apa kalian berdua kenal satu sama lain?”
“Ah, iya, emm… kami bertemu di depan.”
Aku tersenyum meskipun aku sadar diri.
“Sekali lagi, aku Ryouta Majima. Kalau kamu—?”
Dan kemudian aku mengulurkan tangan kananku pada calon adikku. Tetapi—
“Em, pertama-tama, aku tidak mau kalian berdua terlalu dekat denganku.”
—Tangan kanan yang aku ulurkan dibiarkan sia-sia.
“Eh…?”
Aku tidak bisa apa-apa selain mengernyit, senyumanku mengerut.
“Dan juga, Om. Tolong atasi itu.”
Dan lalu sebuah percikan muncul.
Ketika aku menatap ke wajah ayahku, aku melihat kalau Ayah tersedak oleh kata-katanya, “Eh, ah, euhh…”
Tante Miyuki, tampak bingung, mengoreksi cowok itu.
“Akira! Maafkan aku, anakku cuma bisa mengobrol begini… Ini anakku, Akira. —Ayolah, Akira, kamu juga!”
“Halo.”
Akira mengatakannya dengan blak-blakan, kemudian mengeluarkan ponselnya dari sakunya dan mulai bermain dengan itu.
“Ahahaha… Akan lebih baik kalau kamu dapat membiasakan diri secara bertahap dengan Om dan putra Om…”
Kata Ayah, tetapi beliau membiarkannya begitu saja, mengatakan “Benar.”
“Ngo-Ngomong-ngomong, mari kita duduk saja! Oke?”
Ada sesuatu yang meresahkan tentang harapan dari pernikahan lagi ini.
Aku tidak tahu apakah dia itu anak yang menentang atau cuma cowok yang punya keinginan untuk membangkang. Mungkin saja dia cuma malu-malu, mungkin saja dia gugup.
Aku yakin kalau dia itu cowok yang akan meminta maaf dan mengucapkan “terima kasih” dengan tepat. Sekali kamu mengenalnya, atau semacamnya…
Aku akan menutupi Ayah dan Tante Miyuki, dan melihat bagaimana si Akira-kun ini.
Sebelum itu, aku ingin menarik kembali tangan kanan yang sudah aku ulurkan.
***
Setelah itu, kami duduk di sekitar meja, mengobrol dengan cara yang santai, tetapi masih menambatkan kata-kata kami bersama dalam usaha yang putus asa menghidupkan suasana.
Aku mengikuti obrolan dengan Ayah dan Tante Miyuki, bergantian basa-basi.
Atau lebih tepatnya, aku tidak punya pilihan lain selain melakukan itu.
Selama beberapa jam terakhir atau kurang lebih, kata-kata yang kembali padaku dan Ayah ketika mengobrol dengan Akira cuma, “Iya,” “Apa?” “Ya,” “Tidak,” “Lalu?”, “Itu benar?” “Aku rasa begitu”, cuma itu saja.
Aku sangat lelah mengobrol dengan Akira, yang sangat blak-blakan dan kurang ramah, sehingga aku memutuskan untuk menjadi boneka, cuma mendengarkan obrolan dua orang dewasa dan mengobrol dengan mereka.
Sekali-kali, aku dan Akira akan melakukan kontak mata, tetapi tidak lama setelah kami melakukannya, dia akan mengalihkan pandangannya, tampak tidak senang.
Aku ingin akrab dengan Akira karena kami akan menjadi adik kakak, tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi, dan tampaknya kalau dia itu tidak menyukaiku.
Saat kami sudah mendekati akhir dari pertemuan ini, suasananya akhirnya menjadi ramah (kecuali untuk satu orang tertentu.)
Tetapi lalu, Ayah kehabisan akal dan berkata “Ini,” menunjukkan menu pada Akira.
“Aku rasa ini sudah saatnya memesan makanan penutup, kalian mau pesan apa?”
Itu kesempatan yang langka saat aku melihat ayahku tersenyum dengan lembut.
Tanpa tawar-menawar, tanpa percobaan untuk memenangkan hatinya, cuma kasih sayang dan perhatian yang murni.
“Aku tidak sedang dalam suasana hati yang baik hari ini.”
Dia benar-benar hancur.
“Egh…”
Ayahku mengerang, tetapi kalau saja itu aku yang menawarkan menu pada Akira, dia mungkin akan muntah.
“Hei Akira! —Ah, Taichi-san! Aku mau kue bolu ini…”
“Oh, aku rasa aku juga akan memesan yang sama dengan Miyuki-san, hahahaha…”
Para orang dewasa mulai saling tertawa satu sama lain lagi, aku agak kaget.
Akira, di sisi lain, tampaknya tidak menyadari situasi ini dan menyesap minuman ringan dengan sikap yang kasar.
Aku tidak tahu apakah dia bisa membaca suasananya atau apakah dia itu tidak berani, tetapi aku tahu satu hal.
Dia menentang pernikahan ini dari awal, iya kan?
Aku menahan keluhan yang terancam untuk meluap dari lubuk hatiku, dan aku menuju ke kamar mandi.
***
Ketika aku keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan urusanku, aku disambut oleh suara di depan toilet.
Itu Akira. Dia menungguku untuk keluar. Dia mengelus siku kirinya dengan tangan kanannya.
“Apa?”
Aku tidak bisa apa-apa selain menjawabnya dengan terus terang.
Aku buru-buru memasang senyuman, tetapi hari ini aku sudah terus-terusan tersenyum dan itu membuat wajahku jadi tegang.
“Sebelumnya… atau lebih tepatnya sejak kita bertemu, aku sudah memperlakukanmu dengan kasar, jadi—.”
Akira ragu-ragu dan minta maaf lagi, “Maafkan aku.”
“…Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Aku agak mengerti dirimu. Kamu itu menentang pernikahan orang tua kita, bukan?”
“Tidak, bukan begitu–.”
Kali ini, wajahnya memerah dan dia mengunci kata-katanya dengan panik.
“–Aku tidak menentang ibuku menikah lagi. Aku bersumpah.”
Aku terkejut.
Tampaknya begitulah baginya, pernikahan ini bukanlah ide yang buruk.
“Tetapi, bagaimana dengan wilayah kita masing-masing? Aku cuma ingin memastikan kalau kita tidak saling melanggar batas wilayah kita masing-masing…”
Kata “melanggar” membuatku merasa aneh.
Aku penasaran tentang apa yang dia coba lindungi, tetapi karena kami masih belum membina hubungan yang tepat, aku kira kalau aku tidak seharusnya menggali lebih dalam untuk saat ini.
“Kita akan menjadi sebuah keluarga sekarang, jadi kita cuma perlu mewujudkannya sambil berjalan, bukan?”
“Itu benar. Kita akan tinggal bersama, jadi kita harus…”
“Tidak, menjadi sebuah keluarga dan tinggal bersama adalah dua hal yang benar-benar berbeda.”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Mari kita lihat… Menurutmu sebuah keluarga itu bagaimana?”
“Aku rasa itu sekumpulan orang yang tinggal bersamamu. Seperti sebuah komunitas di mana setiap orang memainkan peran?”
“Iya, itulah salah satu cara untuk memandangnya, dan itu masuk akal.”
“Apa kamu punya pandangan yang berbeda?”
“Iya, kamu tahu—…”
Aku meletakkan tanganku ke daguku.
Aku belum yakin apakah aku harus mengatakannya, tetapi jawabanku pada pertanyaan tentang keluarga telah diputuskan sejak lama.
“Hukum Pewarisan Mendel tidak punya kesamaan dengan darah, bukan?”
Akira cemberut.
“Em… Jadi apa maksudmu?”
“Kalaupun orang tua kita menikah, mereka pun masih tetap jadi orang tua kita, dan anak-anak mereka masih akan tetap jadi anak-anak mereka dan saudara kita.”
“…Aku masih agak bingung.”
“‘Hubungan darah’ atau ‘ikatan darah’ merupakan dua hal yang sangat berbeda. Untuk menjadi sebuah keluarga itu tidak perlu darah di antara orang-orang yang tinggal bersama.”
“Darah?”
“Ini bukan soal darah, ini soal ikatan hati.”
“Hati…”
“Sederhananya, aku ingin menjadi anggota keluarga yang baik buatmu.”
Ketika aku mengatakan ini sambil tersenyum, wajah Akira menjadi merah.
“Apakah kamu tidak merasa malu saat kamu mengatakan itu?”
“Iya, mungkin sedikit. —Kamu tidak suka ya?”
“…Itu rumit, tetapi—.”
Kemudian Akira kepikiran sesuatu, ragu-ragu, dan berkata,
“Jangan panggil aku dengan sebutan ‘kamu’.”
Kemudian pipinya memerah.
“Kalau begitu aku harus memanggilmu apa?”
“…Kamu bisa memanggilku Akira.”
Itu mungkin pengakuan terbaik yang bisa Akira buat.
Tetapi itu sebuah kemajuan yang besar buatku.
“Begitu ya. Akira, senang bisa berjumpa denganmu.”
Aku mengulurkan tangan kananku.
“Iya.”
Akira mengikutiku dan mengulurkan tangan kanannya dengan malu-malu.
Itulah pertama kalinya kami berjabat tangan.
Tangannya dingin, namun licin dan lembut. Itu seperti pecahan kaca yang dapat pecah hanya karena satu sentuhan kecil.
Kami berdua merasa sedikit malu dan melepaskan tangan kami lagi bersamaan.
Waktu kami sangat sempurna sehingga kami saling menatap dan tertawa.
Dan kami pasti akan mengenal satu sama lain sedikit lebih baik.
***
Saat perjalanan pulang dari pertemuan tadi, aku dan Ayah berjalan pulang, merasakan angin malam.
“—Jadi Akira itu orang yang baik, cuma sedikit canggung saja.”
Ketika aku menceritakan ini secara keseluruhan pada Ayah, dari saat aku mendekati Akira ketika dia tersesat sampai ke saat kami berjabat tangan, Ayah menghela napas dengan ekspresi yang lega dan menepuk bahuku dengan lembut.
“Terima kasih, Ryouta.”
“Buat apa Ayah berterima kasih padaku? Hentikan itu, Ayah menjijikkan ah…”
Saat aku berbalik arah, merasa malu, aku dengar ayahku tertawa.
“Ayah dengar dari Miyuki-san kalau Akira sangat tidak mudah akrab dengan orang-orang, jadi jangan khawatir.”
“Hmmm~…”
Tiba-tiba, aku menanyakan hal yang mengganggu pikiranku.
“Hei Ayah, mengapa Akira itu seperti sangat menjaga jaraknya dari orang-orang?”
“Jarak?”
“Aku paham soal orang asing, tetapi mengapa dia tidak bisa sedikit lebih ramah?”
Memang aneh kalau dipikir-pikir.
Aku tahu kalau dia itu sedikit canggung. Tidak peduli kalau dia suka orang itu atau tidak, dia ingin memasang dinding di sekitarnya. Para remaja lebih senang untuk tidak diganggu, terutama kalau itu berkaitan dengan orang asing.
[Em, pertama-tama, aku tidak mau kalian berdua terlalu dekat denganku.]
Tetapi dia tidak menentang pernikahan itu.
[Tetapi, bagaimana dengan batas wilayah kita masing-masing? Aku cuma ingin memastikan kalau kita tidak saling melanggar batas wilayah kita masing-masing…]
Aku rasa dia itu mencoba bilang kalau pernikahan orang tuanya tidak ada hubungannya dengan sikap dia ini.
[…Kamu bisa memanggilku Akira.]
Apa itu percobaan untuk sedikit mendekatkan jarak.
Aku menatap ke arah langit berbintang dan memikirkan Akira.
Dan aku agak khawatir.
Mungkin aku sudah kelewat batas, tetapi aku yakin kalau itu tidak akan bagus baginya kalau aku terus-terusan begitu.
Daripada menyesal dan ingin minta maaf karena sangat cuek, aku rasa aku perlu untuk melakukan sesuatu pada kekikukannya. Sebagai seseorang yang akan menjadi anggota keluarga.
Aku tidak punya hak untuk memberi tahunya bagaimana cara mendekatkan jarak di antara orang-orang, dan aku tidak merasa kalau aku cukup baik untuk memberi tahu orang-orang soal itu, tetapi tetap saja…
“Mengapa Akira sangat gugup dalam hubungan antarindividu?”
“Emm, Ayah tidak tahu apakah ini jawabannya, tetapi Ayah rasa Ayah akan memberi tahu Ryouta… Kamu sudah dewasa sekarang, dan kita semua akan menjadi sebuah keluarga—.”
Ayah memasang ekspresi yang rumit di wajahnya.
“Sebenarnya, mantan suami Miyuki-san itu orang yang sulit untuk ditangani.”
“Apa yang Ayah maksud dengan “sulit”?”
“Begini, ia itu tukang mabuk-mabukan, merokok, dan sering berjudi, dan ia juga meninggalkan rumah selama berhari-hari pada suatu waktu, dan ketika ia pulang kembali ia tidak bekerja cukup lama, jadi ia itu sangat pemalas.”
“Aku mengerti. Jadi pria itu seorang b*j*ngan…”
“‘Begini, ia itu seorang pria yang mengejar mimpinya,’ Miyuki-san mengatakannya sambil tertawa. Mungkin karena dia tumbuh dengan seorang ayah yang seperti itu, Akira tidak percaya pada pria…”
Aku pernah dengar soal wanita yang tidak percaya pada pria. Tetapi kalau itu masalah bagi orang-orang dari jenis kelamin yang sama…
Aku penasaran apakah Akira punya teman dari jenis kelamin yang sama?
Aku agak penasaran tentang itu.
“Tidak percaya pada pria… Jadi itu cara dia menyingkirkan kita…”
“Ayah tidak merasa kalau dia itu anak yang bandel.”
“Begitu pula yang aku pikirkan, Akira itu orang yang baik.”
Kalau pernyataan Ayah benar, itu bukan cuma karena itu kami.
Kalau itu seorang pria, dia mungkin akan bersikap seperti itu.
Kalau begitu, hanya ada satu hal yang bisa aku lakukan…
“Kalau begitu kita cuma harus menjadi keluarga yang cukup baik menghilangkan trauma masa lalunya.”
—Aku tahu itu, ini tentang menjadi sebuah keluarga.
“Ryouta…”
“Benar kan? Ayah.”
Tidak peduli apa yang terjadi di masa lalu, kami akan menjadi sebuah keluarga mulai dari saat ini.
Jadi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah mendekati Akira secara langsung.
“Di Hukum Pewarisan Mendel tidak ada darahnya, iya kan?”
Ini bukan cuma demi kebaikan Akira, tetapi juga kebaikan Ayah, kebaikan Tante Miyuki, dan kebaikanku sendiri.
“…Kamu benar. Itu benar-benar tepat, Ryouta.”
“Jadi serahkan saja padaku, Ayah.”
Meskipun dia akan berpikir kalau aku itu menyebalkan, aku akan melibatkan diri sebanyak yang aku bisa.
Sehingga Akira dapat menghabiskan waktu dengan seseorang sambil memasang senyuman di wajahnya.
Ketika Akira tumbuh dewasa, aku mau dia berpikir kalau dia telah bertemu dengan keluarga terbaik…
“Ngomong-ngomong, Ryouta, bagaimana caramu menangani Akira?”
“Begini, pertama-tama aku rasa aku harus lebih seperti temannya ketimbang saudaranya.”
“…Apa kamu sendiri punya teman…?”
“A-Aku punya! Aku punya satu atau dua orang teman!”
“Kamu cuma punya satu atau dua orang teman…?”
“Berhenti melihatku dengan mata yang kasihan begitu. Kualitas di atas kuantitas-lah yang penting.”
Aku cuma berusaha untuk tegar, tetapi teman ya… Apa sebenarnya teman itu?
“Pada tingkat tertentu, aku tidak keberatan dengan adik-adik yang sombong, dan dia sendiri juga punya sisi keimutannya sendiri. Aku akan menyayangi Akira sebagai seorang ‘Aa’.”
“…Apa kamu serius tentang itu? Jangan berlebihan…”
“Aku tahu!”
“Baiklah, kalau begitu, jaga Akira buat Ayah… Ayah agak gugup…”
—Aku memikirkan tentang itu sekarang.
Memang aku tidak diberi tahu saja pada saat itu, Ayah?
Akira, adik baruku, itu bukan cowok, tetapi sebenarnya dia itu cewek…
Iya, ini salahku karena salah paham kalau Akira itu cowok dikarenakan namanya, penampilannya, kepribadiannya, dan caranya berbicara.