Setelah Onii-chan meninggalkan rumah, aku berdiri di sana dengan linglung untuk beberapa saat.
Setelah beberapa detik, aku menghela nafas dan kembali ke ruang tamu.
Aku duduk dan memakan sisa sarapanku dengan linglung.
“Onii-chanku… akan berkencan…”
Mau tak mau aku menggumamkan apa yang sedari tadi kupikirkan di kepalaku.
Adapun Rinke, dia tidak menyangka dirinya akan begitu terganggu oleh fakta bahwa kakaknya Tsukasa pergi berkencan.
(Tidak, kakakku adalah siswa kelas dua SMA… Dia sudah cukup besar untuk berkencan…)
Saat aku sedang makan sambil memikirkan ini, nasi di piringku sudah hilang tanpa aku sadari.
Menyadari ini, aku membawa piringku ke dapur dan mencelupkannya ke dalam air.
Sarapan Onii-chan akan dimakan oleh temannya, Yuichi Shigemoto, yang masih ada di lantai atas, seperti yang kakak sebutkan sebelumnya.
Rinke naik ke atas dan mengetuk pintu kamar onii-chan-nya.
Pintu segera terbuka, dan Yuuichi menatapku penasaran.
“Hmm? Rinke, ada apa?”
“Aku membuat sarapan, apakah kamu mau?”
“Apa? Untukku?”
“Aku membuatnya untuk Onii-chan, tapi dia pergi tanpa memakannya.”
“Oh, begitu ya. Kurasa aku akan dengan senang hati menerimanya.”
“Aku akan membawanya sekarang.”
“Oh, aku akan ke ruang tamu saja… Tidak, tapi dia menyuruhku untuk tidak meninggalkan kamar.”
“…tidak apa-apa, kan? Itu mungkin hanya lelucon.”
“Benarkah? Kalau begitu, bisakah kita makan di ruang tamu?”
“Ya, aku tak keberatan kok.”
Jadi mereka berdua pergi ke ruang tamu.
Yuuichi duduk dan memakan sarapan yang telah dibuat Rinke.
“Mmm! Ini enak, Rinke!”
“Terima kasih…”
Rinke berterima kasih padanya sambil mencuci piring
“…Rinke, apa kamu baik-baik saja?”
“Eh..?”
Yuuichi, yang dari tadi memperhatikan Rinke, bertanya sambil memakan sarapannya.
“Apakah kamu baik-baik saja? Entah kenapa, kamu tampak sedikit linglung.”
“Tidak… soal itu. Yuuichi-san, apa kamu tahu dengan siapa kakakku berkencan?”
“Ya, aku tahu. Dia cewek di kelasku yang bernama Sei Shimada.”
“Sei… Shimada…”
Tampaknya, Onii-chan benar-benar kencan dengan seorang cewek.
“Apakah Onii-chan pacaran dengan orang itu?”
Rinke sangat ragu dan gugup untuk menanyakan pertanyaan itu, tapi dia tetap melakukannya.
“Tidak, menurutku mereka tidak pacaran, setidaknya masih belum sih.”
“B-Begitu… belum ya?”
Aku hampir merasa lega saar aku mendengar kalau mereka tidak pacaran, tapi apa yang dia katakan masih melekat padaku, dan hatiku tiba-tiba kacau balau.
“Ya, Tsukasa sepertinya sudah menembaknya.”
“Huh…?”
Mata Rinke melebar saat mendengar itu.
“Apakah benar begitu… Kakak menembaknya?”
“Ya, Tsukasa sendiri yang bilang. Jadi aku cukup yakin kalau memang benar begitu.”
“B-Begitukah…”
Dia tidak mengira kalau kakaknya sendiri, Tsukasa, akan menembak seorang cewek suatu hari nanti.
“Terima kasih untuk makanannya. Ini enak, Rinke-chan.”
“Oh… terima kasih. Tolong sinikan piringnya.”
“Aku saja yang cuci piring, Rinke-chan. Kamu terus melamun sejak tadi, kurasa kamu akan menjatuhkan piringnya kalau terus begitu.”
“Terima kasih…”
Yuuichi berdiri di depan wastafel dapur menggantikan Rinke, dan mencucikan piring miliknya juga.
“Aku akan mengurus ini, jadi kamu bisa pergi dan beristirahat di kamarmu.”
“Kalau begitu, aku akan menuruti kata-katamu. Kalau sudah selesai, bersihkan piringnya dengan lap dan letakkan di sana.”
“Mengerti.”
Setelah bilang begitu, Rinke meninggalkan ruang tamu dan naik ke atas.
“…Dia tampaknya sedih, mendengar kalau Tsukasa sedang menyukai seseorang. Sepertinya bukan hanya Tsukasa ya. Rinke juga seorang brother complex.”
Yuuichi mencuci piring perlahan, menggumamkan hal seperti itu pada diri sendiri.
Sementara itu, setelah naik ke atas dan kembali ke kamarnya, Rinke ambruk telungkup di ranjangnya.
Wajahnya menoleh ke samping dan melihat ke arah dinding… tempat kamar Tsukasa berada.
“Onii-chan bodoh”
–Kamu bilang kalau aku imut.
Rinke membenamkan wajahnya di bantal, “Uuu!” erangnya.
Kupikir kamu bilang kalau kamu mencintaiku, Onii-chan.