Pelatihan
kuliner Fujise pun mendekati akhir.
Dua kotak
bento, yang telah disiapkan sendiri oleh Fujise, diisi dengan berbagai lauk
pauk dan nasi, menjadikannya bento yang luar biasa.
“Akhirnya
selesai, ini jauh dari yang aku harapkan, tapi ini juga masih jauh lebih baik
dari hidangan pertamamu.”
“Malahan, dari
awal ini masih menjadi misteri kenapa masakanmu bisa berubah menjadi materi
gelap.”
“Terima kasih
banyak, Tojoin-san dan Rinke-chan! Jika kalian tidak keberatan,
bisakah aku memberikan ini pada kalian?”
Mata Tojoin-san
terbelalak saat mendengar itu.
“Untuk
kami? Kenapa kamu tidak memberikannya pada Yuuichi saja besok?”
Ada dua kotak
bekal yang tersedia, dan mengingat kalau itu Yuuichi maka dia akan dengan mudah
menghabiskan keduanya.
Tapi
sepertinya Fujise berencana untuk memberikan kotak bento yang berisi hasil
kerja kerasnya itu kepada mereka.
“Aku akan berusaha
yang terbaik dalam membuat bekal untuk Shigemoto-kun sendiri! Aku ingin
memberikan bento ini kepada orang-orang yang telah banyak membantuku.”
“Yah, kalau
begitu, maka aku akan menerimanya.”
“Terima kasih,
Shiho-senpai.”
Rinke menerima
bento itu dengan menghadapnya langsung. Sementara Tojoin menerimanya sambil
membuang muka, mungkin mencoba menyembunyikan rasa malunya.
“Aku tidak
punya bento lagi untuk diberikan pada Sei-chan
saat ini, tapi aku pasti akan membuatkannya untukmu karena aku juga belajar
banyak dari Sei-chan!”
“Ahh, tentu. Aku
sangat menantikannya.”
Sei-chan berkata sambil tersenyum lembut,
seolah-olah dia sedang melihat anaknya sendiri yang akan membuatkan bento
untuknya.
Senyum di
wajahnya begitu manis, hingga mau tidak mau aku terpikat olehnya. Dan kemudian
mata kami pun bertemu.
“……”
Pipi Sei-chan langsung memerah dan dia membuang
muka.
Aku juga
sedikit malu dengan apa yang terjadi sebelumnya, tapi aku juga cukup sedih
hingga aku sangat terganggu oleh hal itu.
Yah, mau
bagaimana lagi.
Dengan itu,
pelatihan kuliner Fujise pun berakhir.
Malamnya, aku
sedang makan di rumah bersama Rinke.
Seperti biasa,
Rinke-lah yang memasak dan rasanya sangat enak.
“Un, hari ini juga enak!”
“Ah,
syukurlah.”
Aku sudah
cukup sering memujinya begitu, jadi kukira dia akan terbiasa, tapi dia masih
membuang muka karena malu.
Rinke sedang
sibuk memakan bento yang dibuat Fujise untuknya.
“Bagaimana
makanan yang dimasak Fujise?”
“Ya, enak kok.
Aku sudah makan beberapa suap sebelumnya jadi aku kurang lebih sudah tahu
seperti apa rasanya.”
“Syukurlah.
Terima kasih untuk hari ini, Rinke. Aku meminta bantuanmu tiba-tiba, dan kamu
jadi harus repot-repot membantuku.”
“Tidak masalah,
aku juga bersenang-senang kok, Kaori-senpai dan Shiho-senpai
adalah orang yang baik.”
“Aku senang
kalian bisa akur.”
Dalam cerita
aslinya, Tojoin-san dan Rinke tidak
akur sebaik itu, jadi aku sedikit khawatir membiarkan mereka bertemu.
Aku tidak
sadar betapa berbedanya perkembangan cerita yang terjadi ketika Rinke tidak
jatuh cinta dengan Yuuichi.
Kuharap mereka
akan terus berteman, meskipun aku harus memastikan bahwa Rinke tidak jatuh
cinta pada Yuuichi sih.
Saat aku
memikirkan hal itu di kepalaku, aku selesai memakan masakan lezat Rinke dalam
diam seperti biasa.
“Terima kasih
atas makanannya, ini sungguh enak”
“Un, letakkan saja piringnya di dalam
air.”
“Tidak, aku
akan mencucinya sekalian dengan kotak bentonya, dan mengembalikannya pada
Tojoin-san.”
“Kalau begitu,
ayo cuci bareng.”
Tak satu pun
dari kami ingin mengalah memperebutkan hak mencuci piring jadi kami memutuskan untuk
melakukannya bersama.
Akhir-akhir
ini, selalu menjadi pertanyaan siapa di antara kami yang akan mencuci piring
dan apakah kami akan mencucinya bersama atau aku yang akan mencucinya sendiri.
Aku tidak akan
pernah membiarkannya melakukannya sendiri, aku tidak bisa memintanya memasak
untukku dan melakukan semua persiapannya sementara aku sendiri hanya duduk
tanpa melakukan apa-apa.
Hari ini, aku
akan mencuci piring bersamanya seperti yang dia minta.
Tapi karena
tidak ada yang perlu dibicarakan, aku hanya akan mencuci piring dalam diam.
Aku mencuci
piring menggunakan spons dan menyerahkannya kepada Rinke untuk menyeka
piringnya.
Saat aku terus
mencuci piring, Rinke pun mulai berbicara.
“Hei,
Onii-chan.”
“Hm? Ada apa?”
“Apakah kakak
melakukannya… dengan Sei-san?”
“Eh, apa?”
“Ciuman…”
“Eh..?”
Aku sedang
melihat ke arah piring yang sedang kucuci, tapi kata-katanya menghentikan
tanganku dan aku berbalik untuk melihat Rinke yang ada di sebelahku.
Rinke juga
berhenti menyeka piring dan melihat ke arahku dengan wajah yang sedikit malu.
“J-Jadi kakak
mencium Sei-san?”
“A-Apa-apaan
dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu?”
“Yah, Onii–chan
dan Sei-san berada di ruangan sebelah berduaan cukup lama. Shiho-senpai
dan Tojoin-senpai juga membicarakannya, jadi aku penasaran.”
Aku tidak tahu
apa yang mereka katakan. Tidak, tidak, jika itu Fujise dan Tojoin-san,
mereka akan dapat mengubahnya menjadi semacam cerita cinta.
Aku tidak
menyangka akan ditanya dengan blak-blakan seperti itu oleh Rinke. Aku bertanya-tanya
apakah Rinke tertarik pada hal-hal semacam itu.
“Yah, tidak
bisakah kami menyimpan ini untuk diri kami sendiri?”
“Yah, kakak
tidak perlu memberitahuku sih, aku hanya penasaran.”
“Yah, iya juga
sih.”
Aku tidak
ingin memberi tahu Rinke tentang seberapa jauh yang telah aku lakukan dengan
Sei-chan.
Aku yakin
kalau Rinke tidak ingin mendengar terlalu banyak tentang itu juga. Tidak, fakta
bahwa dia menanyakan pertanyaan itu berarti dia setidaknya tertarik soal hal
itu.
Tapi… aku
mungkin tidak akan bisa memberikannya jawaban yang dia cari.
Kami belum
berciuman, aku dan Sei-chan.
***
Beberapa jam yang lalu, pada waktu itu.
Saat aku
mengelus kepala Sei-chan, saat itulah aku merasakan getarannya.
Kami saling
memandang begitu dekat sehingga tubuh kami saling bersentuhan, dan kami berdua
pun terdiam.
Saat aku
menatap mata basah Sei, matanya perlahan-lahan menutup.
Aku
memberanikan diri untuk mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menempelkan bibirku
di bibirnya… hampir.
Saat itulah
aku mendengar suara sesuatu yang bergerak di lorong.
Itu pasti
suara pintu ruang memasak yang terbuka, karena Tojoin-san dan yang
lainnya tiba tak lama setelah suara itu terdengar.
Sejujurnya,
suara itu hampir tidak terdengar olehku, tapi Sei-chan bereaksi tidak
normal, mungkin karena dia memiliki pendengaran yang bagus.
Aku mengetahui
itu karena tanganku berada di belakang lehernya, tapi aku benar-benar terkejut.
Sei-chan
langsung melepaskan diri dari tanganku, wajahnya memerah dan langsung menjauhkan
dirinya dariku.
Aku kembali
tersadar ketika melihat reaksinya itu… meskipun aku jadi sangat malu sehingga
aku tidak bisa melihat wajah Sei-chan untuk sementara waktu sih.
Maksudku, aku
benar-benar, SANGAT NYARIS MENCIUM SEI-CHAN!
Sial, harus
kuakui, aku sangat ingin melakukan itu.
Mana mungkin
aku tidak mau, kan? Aku akan mencium Sei-chan kesayanganku lho.
Hanya saja timing-nya
yang buruk, mungkin sih, dan lokasinya juga.
Seandainya
kami memiliki suasana ingin berciuman lebih cepat saja, maka kami pasti
berhasil melakukannya, dan seandainya tempat itu bukan rumah Tojoin-san,
maka kami bisa melakukannya tanpa gangguan.
Sungguh
disayangkan.
Tapi, itu
sangat mendadak sehingga aku terkejut, dan Sei-chan juga tidak
keberatan?
Entahlah, mungkin aku sedikit terburu-buru mengingat kami baru berpacaran
kurang dari sebulan.
Ciuman… ya…
Bagaimana jika dia tidak menyukainya?
Hanya saja,
pada saat itu, Sei-chan…
“DIA
SANGAT IMUT BANGET!”