Sudah sekitar satu minggu sejak aku memutuskan untuk
mulai bekerja paruh waktu.
Aku sudah melamar untuk wawancara kerja sebelumnya dan
hari ini, Sabtu, adalah hari wawancara itu.
Aku menuju sebuah kedai kopi yang berjarak dekat
dengan berjalan kaki dari rumah.
Arahnya berlawanan dari sekolah, jadi mungkin agak
merepotkan untuk ke sana, tapi itu masih dapat diterima.
Suara gemerincing terdengar ketika aku membuka pintu,
dan aku pun memasuki toko yang interiornya bernuansa retro.
Ini bukanlah tempat modis dan bergaya modern seperti
kafe, tapi lebih seperti kedai kopi dengan nuansa jadul.
Aku melamar pekerjaan di kedai kopi ini karena aku
merasa akan bertemu lebih banyak orang jika aku sendiri bekerja di sini.
Restorannya cukup luas dan karena ini masih pagi, jadi
di dalamnya belum ada banyak palanggan.
“Selamat datang.”
Seorang pria, yang berusia sekitar 50 tahunan,
mendekat sembari tersenyum lembut.
“Saya Tsukasa Hisamura, dan saya kemari untuk wawancara
kerja paruh waktu hari ini.”
“Oh, jadi kamu orangnya, ya.
Yah, syukurlah. Ayo masuk, jangan sungkan-sungkan.”
“Ya.”
Aku berjalan ke bagian belakang toko bersama seorang
pria, yang terlihat seperti manajer. Dia tersenyum, namun bukan jenis senyum
yang ditujukan untuk pelanggan, melainkan senyum lebar yang benar-benar
bahagia.
Gawat, aku sudah lama tidak melakukan wawancara kerja
paruh waktu, jadi aku merasa gugup sekarang.
Aku memasuki ruangan yang terdapat persedian dan loker
di dalamnya, lalu duduk berhadapan dengan pria itu.
“Senang bertemu denganmu, namaku Saito, manajer toko
ini.”
“Ya, senang bertemu dengan Anda juga. Saya Tsukasa
Hisamura, dan mohon bantuannya hari ini.”
“Sama-sama. Jangan terlalu gugup, aku hanya ingin melihat
sekilas CV-mu dan mengobrol santai.”
“Ya, um, ini CV saya.”
“Oh, terima kasih. Hmm… Oh, kamu bersekolah di SMA
Tojoin. Sungguh mudah untuk pergi ke sini karena dekat, kan?”
“Ya, tempat ini hanya
berjarak sepuluh menit berjalan kaki dari rumah saya.”
“Oh, begitu ya. Akan lebih bagus karena kamu tidak
perlu membayar biaya transportasi.”
Dan begitulah, wawancara dimulai dengan cara yang
santai, tapi ini lebih seperti sesi mengobrol daripada wawancara sungguhan.
Tempat kerja paruh waktuku sebelumnya adalah tempat franchise,
jadi aku mengalami proses wawancara yang ketat di sana, tapi karena tempat ini
adalah kedai kopi milik pribadi, jadi mungkin di sini lebih longgar di bagian
itu.
Bagiku, aku lebih senang yang seperti ini.
“Apa motivasimu untuk mulai bekerja paruh waktu?”
“Motivasi saya karena, yah, sejujurnya, saya ingin
menghasilkan uang…”
“Ahaha, begitulah kerja paruh waktu itu. Ketika kita
seorang siswa SMA, kita merasa ingin bersenang-senang, dan itu bukanlah hal
aneh sama sekali. Itu alasan yang cukup sehat untuk melamar.”
“T-Terima kasih.”
“Apakah kamu tidak mengikuti ekskul?”
“Tidak. Jadi saya bisa datang kemari sekitar pukul 16:00
sepulang sekolah.”
“Begitu, ya, senang mendengarnya. Apakah kamu luang
setelah ini?”
“Eh, ah, ya, begitulah, saya tidak ada kerjaan apa
pun di rumah nanti.”
“Jadi bisakah kamu langsung masuk setelah ini?”
“Huh?”
Masuk setelah ini? Itu artinya masuk untuk bekerja
paruh waktu, kan?
“Uum, apakah itu artinya saya sudah lulus wawancara?”
“Ng? Ah, benar juga. Aku mencari pekerja paruh waktu
dan Hisamura-kun sepertinya anak yang baik. Jika kamu bersedia,
aku ingin kamu bekerja paruh waktu disini.”
“T-Tentu saja bersedia! Mohon
bantuannya!”
Ah, syukurlah, aku lulus.
Aku sudah memberi tahu Rie dan Sei-chan kalau
aku ingin mulai bekerja paruh waktu, tapi jika aku gagal wawancara, aku akan
terlalu malu untuk bertemu dengan mereka.
“Jadi, bisakah kamu masuk sekarang?”
“Ah, ya, saya tidak keberatan.”
“Baguslah. Tentu saja, bayaranmu dihitung mulai hari
ini, dan kamu tidak perlu terlalu tegang pada awalnya, cukup pelajari saja alur
dan cara melayani pelanggan dengan santai.”
“Ya, mohon bimbingannya.”
“Nah, ini seragammu. Kamu dapat berganti pakaianmu di
sini saat jam kerjamu dimulai. Kita di sini tidak punya celana seragam, tapi
kamu bisa memakai celana panjang hitam seperti yang kamu pakai sekarang,
Hisamura-kun.”
“Ya, saya mengerti.”
Setelah menerima seragam, Manajer Saito pun
meninggalkan ruangan.
Seragamnya adalah kemeja navy dan dasi hitam.
Dasinya bukanlah jenis yang diikat, tapi jenis yang
dapat dilepas pasang.
Dan celemeknya berwarna kecoklatan, yang panjangnya
hanya dari pinggang ke bawah, kalau tidak salah nama celemek ini
disebut celemek sommelier.
Secara keseluruhan warnanya gelap, tapi menurutku itu
memberikan ketenangan dan cocok dengan suasana kedai ini.
Oke, aku lulus wawancara dan mendapat kerja paruh
waktu, jadi aku akan bekerja keras!
Sambil berpikir begitu, aku pun mulai melepas baju
untuk berganti pakaian di sini, lalu kemudian aku mendengar suara denting
lonceng dari luar ruangan.
Mungkin ada pelanggan yang datang, lagipula sekarang
sudah hampir jam makan siang.
Ah, iya juga, aku perlu menghubungi Rie dan bilang
padanya kalau aku lulus wawancara kerja paruh waktu dan langsung masuk kerja, jadi
aku tidak perlu dibuatkan makan siang.
Saat aku mengeluarkan ponsel dengan bertelanjang dada
dan hendak mengirim pesan pada Rie…
Terdengar suara gemerincing dan pintu ruangan pun
terbuka.
“Huh?”
“Ng–?”
Kupikir yang masuk adalah manajer, tapi itu ternyata
seorang wanita cantik.
Rambut kuning mudanya yang panjang dikeriting dengan
lembut, memberikannya penampilan yang terkesan agak lembut.
Matanya besar dengan sudut matanya yang rendah, dia
cantik tapi bukan dalam tipe yang dingin, melainkan tipe onee-san yang
lembut.
Ng? Aku merasa seperti pernah melihat wajahnya di
suatu tempat sebelumnya, semacam perasaan deja vu…
…Tunggu dulu, aku, yang lagi setengah telanjang,
sedang melihat wanita yang dengan santainya masuk ke sini?
Aku tengah ganti pakaian, lho?
“Ah, mungkinkah kamu pekerja paruh waktu yang baru
masuk itu…?”
Dalam hati, aku merasa gugup, tapi wanita yang muncul
itu tidak peduli sama sekali, dia pun langsung masuk dan mulai berbicara
padaku.
“Eh, ah, ya, benar.”
“Sudah kuduga–. Senang bertemu denganmu. Aku baru
bergabung baru-baru ini, jadi aku tidak merasa seperti senior. Aku berusia
sembilan belas tahun, seorang mahasiswi tahun kedua. Kamu tahun ke berapa?”
“Oh, aku siswa kelas dua SMA.”
“Eee~, beneran? Kamu
terlihat sangat dewasa, jadi kukira kita seumuran.”
Tidak, meski kami membicarakan sesuatu yang normal,
tapi aku masih telanjang, lho.
Orang ini sepertinya tidak terlalu terganggu oleh itu,
jadi kurasa dia seseorang yang tidak masalah dengan pria yang bertelanjang dada.
Meski aku awalnya tiba-tiba membeku, aku pun mulai
memakai baju seragamku.
“Maaf, padahal ini pertemuan pertama kita, tapi aku
malah sedang berganti pakaian.”
“Ng–? Tidak masalah kok. Lagian, kita berada di ruang
belakang, jadi di sini memang seharusnya tempat berganti pakaian, kan? Aku juga
mau ganti pakaian sekarang.”
“Senang mendengarnya… Eh?”
Ganti pakaian, sekarang?
Tidak, kita memang seharusnya ganti pakaian di sini,
tapi apa maksudnya dengan sekarang?
Saat aku memikirkan itu, dia tiba-tiba melepas
pakaiannya.
“K-Kenapa kau ganti baju!?”
Aku langsung panik dan mengalihkan pandanganku darinya
ke arah yang berbeda.
Dia mengenakan kemeja, jadi dia mulai membuka bajunya
dari kancing depan. Aku memang tidak melihat pakaian dalamnya sih, tapi belahan
dadanya yang cukup besar terlihat olehku.
“Eh? Sebab, di sini tempat berganti pakaian, kan?”
“Aku laki-laki, jadi tolong tunggu aku keluar dulu!”
Kamu kok ceroboh sekali, sih!?
“Tidak, aku sudah selesai memakai kemejaku, aku akan
berganti pakaian di luar!”
“Kamu yakin? Aku minta maaf karena membuatmu merasa
tidak nyaman.”
Aku meninggalkan ruang belakang dengan membawa dasi
dan celemekku.
Haaah, cewek itu apa-apaan sih…
“Ah, Hisamura-kun. Apakah kamu sudah bertemu
pekerja paruh waktu yang perempuan?”
“Ya, meski saya terkejut ketika dia tiba-tiba masuk ke
ruangan belakang.”
“Maaf, aku lupa menjelaskan pada gadis itu soal
Hisamura-kun.”
Manajer Saito meminta maaf.
“Tidak, gak masalah kok…”
“Aku akan memperkenalkannya padamu lagi setelah dia selesai
ganti pakaian.”
Jadi beberapa menit kemudian, setelah aku selesai
mengenakan dasi dan celemek, lalu diajarkan bagaimana cara mengisi absen,
perempuan itu pun muncul.
“Manajer. Maaf membuat Anda menunggu.”
“Ah, Tobise-san, pas sekali.”
Tobise…?
Di mana aku pernah mendengar nama itu sebelumnya, ya?
Kalau dipikir-pikir lagi, ketika aku bertemu dengannya
beberapa saat yang lalu, aku merasa aku pernah melihatnya di suatu tempat…
“Ini Tsukasa Hisamura-kun, yang akan bekerja
paruh waktu di sini mulai hari ini.”
“Salam kenal, saya Tsukasa Hisamura.”
Tapi, karena ini mungkin kali pertamaku bertemu
dengannya, aku akan menyapa dengan benar.
“Ini bukan seperti kita belum pernah bertemu
sebelumnya, kan?”
“Eh? M-Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya…”
“Kita sudah pernah ketemu di ruang belakang sebelumnya,
kan? Apa kamu sudah lupa?”
“…Ah, iya juga ya.”
Sudah kuduga kami pernah bertemu? Begitulah
pikirku, tapi dia hanya orang yang dungu alami.
Meskipun begitu, aku masih merasakan sesuatu yang deja
vu…
“Nah, Hisamura-kun, dia Marino
Tobise-san, yang telah bergabung di sini seminggu yang lalu.”
“Marino Tobise… Huh!?”
Ketika aku mendengar nama itu, aku refleks tersentak.
Benar, orang ini adalah…!
Ini bukan seperti kami pernah bertemu di suatu tempat
atau semacamnya.
Tapi, aku mengenal orang ini.
Karena–
“Aku Marino Tobise, mohon bantuannya ya—”
–Dia
adalah karakter dalam manga “Ojojama.”