“Aku pulang.”
Saat Alisa membuka pintu dan
mengucapkan salam, kakak perempuannya, Maria, muncul dari ruang tamu. Berbeda
dengan Alisa yang pada dasarnya tanpa ekspresi,
Maria hampir selalu tersenyum sepanjang waktu.
Bahkan sekarang dia masih
tersenyum, seolah-olah sedang menaburkan bunga yang tampak lembut dan dengan
senang hati menyambut adik perempuannya yang baru pulang sekolah.
“Selamat datang kembali ~,
Alya-chan.”
Dengan senyuman menghiasi
wajahnya, dia merentangkan kedua tangannya dan mendekati Alisa dan– kanan,
kiri, kanan, dia menciumi pipi secara berurutan dan sebagai pamungkas, dia
memeluk Alisa dengan erat.
Jika boleh dibilang, ini
merupakan pemandangan para pecinta yuri/shoujo
ai (para babi) di dunia akan senang melihatnya.
“Aku pulang, Masha.”
Untuk memisahkan dari pelukan
kakak perempuannya yang penuh gairah, Alisa menepuk lengan kakak perempuannya.
Kemudian, Maria yang selama ini tersenyum hangat, menggembungkan pipinya saat
terpisah dari Alisa.
“Ya ampun, padahal sudah
kubilang untuk memanggilku ‘Onee-chan’
saat berada di Jepang, ‘kan?”
“Tidak mau. Sudah terlambat
untuk itu.”
Pipi Maria semakin menggembung
besar saat menghadapi tatapan dingin Alisa.
Sejak awal, dalam bahasa Rusia,
tidak ada panggilan khusus untuk kakak laki-laki atau perempuan seperti “Onee-chan” atau “Nii-san” seperti dalam bahasa
Jepang.
Entah itu kakak perempuan atau
laki-laki, pada dasarnya mereka akan dipanggil dengan nama mereka. Alisa yang
terlahir di Rusia, juga mengikuti kebiasaan itu dan memanggil kakak
perempuannya dengan nama panggilan tapi Maria sepertinya suka dipanggil
“Onee-chan”, dan terus-terusan meminta Alisa untuk memanggilnya seperti itu.
“Uuu…. Alya-chan terlalu judes….
”
Begitu menyadari kalau ekspresi
cemberutnya tidak berhasil, Maria langsung memasang tampang menyedihkan dan
Alisa menatapnya dengan tatapan heran. Ini bukan pertama kalinya hal ini
terjadi, tapi setiap kali kakak perempuannya menatapnya seperti ini, dia merasa
seperti telah melakukan sesuatu yang buruk.
Namun, apapun yang dikatakan,
dia merasa enggan dengan cara memanggil “Onee-chan”. Secara alami, mereka
berdua merupakan bersaudara dengan adik perempuan yang punya sifat tegas dan
seorang kakak perempuan dengan sifat santai.
Alisa lebih tinggi dari kakaknya
dan usia mereka hanya berjarak satu tahun. Sejak dulu, Alisa lah yang harus
menjaga Maria.
Oleh karena itu, kesan Alisa
terhadap Maria sebagai “kakak
perempuan”-nya sudah lemah.
(Lagipula,
cara memanggil “Onee-chan” itu sendiri terdengar seperti berperilaku
mirip anak manja)
Setidaknya, jika memanggil “Nee-san”, Alisa mungkin masih mempertimbangkannya
tapi, karena Maria berkata “Aku tidak mau cara memanggil yang begitu”,
jadi mau tidak mau Alisa tetap menolak memanggilnya “Onee-chan”.
Memutuskan untuk tidak
mengkhawatirkannya lagi, dia melepas sepatunya dan mengganti sandalnya, dan
Maria mengedipkan matanya dan memiringkan kepalanya.
“… .Alya-chan, apa kamu sedang bad mood?”
“….Tidak juga?”
Alisa segera menunjukkan
ekspresi ragu untuk menyembunyikan kekacauan batinnya. Namun, tampaknya tipuan
seperti itu tidak berhasil pada Maria.
“Reaksi itu… seperti yang
diharapkan, apa karena cowok itu lagi? Apa terjadi sesuatu dengan Kuze-kun? ”
Begitu Maria menunjukkan mata
berbinar karena penasaran, Alisa menuju kamar mandi sambil dengan perasaan
muak.
“Beneran, tidak terjadi
apa-apa.”
“Itu bohong, kamu tidak bisa
menipu Onee-chan. Hei hei, apa ada sesuatu yang terjadi?”
Bahkan setelah itu, Maria terus
mengikuti Alisa seperti anak itik dan terus-menerus menanyakannya.
Alisa menyerah saat mereka
akhirnya masuk ke kamarnya. Masih dalam seragamnya dia duduk di kursi dan Maria,
yang terus ngotot meminta Alisa untuk
berbicara, menjatuhkan diri di atas bantal yang ada di lantai. Seolah-olah ini
hal yang merepotkan, Alisa membuka mulutnya.
“Sungguh, itu bukan masalah besar….
Kami baru saja bertengkar.”
“Hee ~~~ bertengkar!”
Kalau dipikir secara normal,
kata tersebut bukanlah kata yang dibalas dengan nada riang, tapi entah kenapa
Maria tampak gembira karena suatu alasan.
“….Apa?”
“Maksudku… fufuu, tak disangka
Alya-chan bisa bertengkar juga, itu benar-benar tidak biasa, ‘kan. Apalagi
dengan cowok.”
“Yah, memang sih.”
“Begitu rupanya ~ cowok yang
bisa menggerakkan hati Alya-chan akhirnya muncul, ya~”
“Apa yang sedang kamu
bicarakan?”
Alisa mengerutkan kening ke
arah Maria yang mengatakan sesuatu dengan makna lain. Kemudian Maria membalas
dengan sikap sok tahu.
“Kamu menyukainya, ‘kan? Si
Kuze-kun.”
“… .Haa?”
Ketika Alisa mengarahkan
tatapannya ke wajah Maria seolah mengatakan “Orang
ini ngomong apaan sih”, Maria menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berkata, “Ya ampun”.
“Aku tidak tahu apa kamu salah
paham sesuatu, tapi… hubungan kami bukan seperti itu. Benar, kami … ”
Adegan dari istirahat makan
siang kemarin terlintas kembali ke dalam benak Alisa. Ekspresi terheran-heran,
wajah Masachika yang mengatakan “teman”.
“Itu benar … Kami berdua
hanyalah teman.”
Alisa tersenyum sambil
mengenang kenangan itu dan menyatakannya dengan agak bangga. Ekspresi Alisa sepertinya
mengatakan “Bagaimana dengan itu?”,
Maria hanya menanggapi dengan tatapannya yang menjadi lembut.
“Hmmmm~ , begitu ya…. Tapi,
bagaimana kalian bisa berteman? Alya-chan, bukannya kamu membenci orang yang
pemalas atau tidak serius? ”
“Itu sih….…”
Apa yang dikatakan Maria memang
benar. Dan Masachika biasanya tidak termotivasi dan pemalas…. Orang seperti
itulah yang dibenci Alisa.
Dan mengapa dia menerima
Masachika yang seperti itu sebagai temannya. Alisa teringat kembali pada
kenangan masa lalu, yang merupakan titik awal dari semua ini.
◇◇◇◇
【Penghargaan
terbaik dalam presentasi kelompok diberikan kepada… .tim B!】
Suara tepuk tangan memenuhi seisi
kelas. Di antara mereka hanya ada satu orang, seorang gadis muda yang menggigit
bibir dan menundukkan kepalanya.
Alisa sudah menjadi anak kelas
4 SD saat itu. Dia bersekolah di sekolah SD tertentu di Vladivostok, Rusia.
Pada saat itulah, Alisa baru
menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.
Pemicunya ialah… tugas
presentasi kelompok yang dilakukan di kelas.
Murid-murid dibagi menjadi
beberapa kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang. Mereka akan
menghabiskan dua minggu untuk meneliti tentang suatu topik, dan mengumpulkan
konten yang mereka teliti pada sebuah kertas besar lalu mempresentasikannya.
Topik yang disajikan kelompok
Alisa adalah, 『Pekerjaan di Area Sekitar』. Mereka mewawancarai toko-toko
di lingkungan sekitar sekolah dan anggota keluarga tentang pekerjaan mereka
untuk mengetahui apa yang mereka lakukan dalam pekerjaan mereka. Itu adalah
topik sepele yang bisa dikerjakan anak SD.
Namun, apapun isinya, Alisa
tidak mengambil jalan pintas.
Semangat kompetitif Alisa sudah
mengakar kuat sejak kecil. Bagi Alisa, yang selalu ingin menjadi yang terbaik
dalam segala hal yang dilakukannya, tentu saja menjadi yang terbaik dalam
presentasi — untuk memenangkan penghargaan terbaik.
Dan kemudian, Alisa melakukan
yang terbaik untuk memenangkan penghargaan tersebut.
Setiap sepulang sekolah, dia
melakukan serangkaian wawancara di toko-toko di daerah yang ditugaskan
kepadanya sampai tiba waktu makan malam. Apa yang dia teliti dalam satu minggu
sudah cukup untuk mengisi seluruh buku catatan.
Namun, dia mengharapkan
kesempurnaan pada hari pertemuan dengan grup.
Alisa tercengang mendengar
pengakuan anggota lainnya di grup.
【Ah.
Maaf. Aku belum melakukannya】
【Di sini
ada toko roti, dan ini toko pakaian. Eh? Isi pekerjaan mereka? Tentu saja, jika
itu toko roti mereka menjual roti, dan jika itu toko pakaian, mereka menjual
baju, ‘kan】
【Maaf, aku
baru setengah jalan ~. Tapi, masih ada satu minggu lagi. Aku yakin ini akan
baik-baik saja】
Terlalu banyak alasan…. Dari
sudut pandang Alisa, apa yang mereka lakukan terlalu malas.
Bahkan jika semua informasi
yang didapat dari tiga lainnya digabungkan, informasinya bahkan tidak sepadan
dengan setengah dari informasi yang telah diteliti Alisa.
Itulah kenyataannya. Tapi yang
terpenting, terlepas dari semua ini, bagi mereka bertiga yang tidak menunjukkan
tanda-tanda terburu-buru atau meminta maaf, Alisa terkejut dan sangat marah.
Saat mereka bertiga melihat
buku catatan yang telah dikumpulkan Alisa, amarahnya meledak.
【Whoah,
apa-apaan ini. Kamu terlalu serius mengenai tugas ini】
【Rinci
sekali. Pasti kita tak akan menggunakan semuanya, iya ‘kan】
【Alya… apa
boleh tidak membaca, semua ini?】
Mereka bertiga saling memandang
satu sama lain, dengan mata yang tampak terkejut. Mereka tersenyum kaku seolah-olah
mengatakan “Aa ~ aah, dia sudah kelewatan”.
(Eh?
Apa ini, salahku?)
Tepat setelah keraguan seperti
itu melintas di benaknya, amarah pun mencuat dari dasar perut Alisa.
(Tidak,
itu bukan salahku. Aku hanya…… bekerja serius dengan kemampuan terbaikku pada
tugas yang sudah diberikan. Aku tidak salah. Merekalah yang salah.)
Kemarahan dan rasa jijiknya
meledak secara instan. Alisa masih terlalu muda untuk menekan hal itu.
【Hei,
kenapa kalian tidak melakukan ini dengan serius?】
Matanya melotot. Siswa SD yang
emosional bereaksi secara sensitif terhadap kata-kata tajam yang diucapkan
dengan nada mencela.
Dari sana, tidak butuh waktu
lama untuk memicu perdebatan sengit.
Guru langsung turun tangan
karena mereka berada di kelas, tapi dalam waktu singkat itu kerenggangan muncul
antara Alisa dan ketiga anggota lainnya, sehingga tidak mungkin bagi mereka
untuk bekerja sama.
【Jika kamu
tidak terlalu menyukainya, lakukan saja sendiri !!】
Kata-kata yang dilontarkan oleh
salah satu anggota dalam kelompok tersebut membuat Alisa semakin keras kepala.
Kemudian, dengan waktu yang
tersisa, Alisa mencoba membawa isi presentasinya ke level yang paling dia
sukai.
Namun, ada batasan untuk apa
yang bisa dilakukan satu orang dan presentasi yang dihasilkan tidak mendekati
level yang Alisa inginkan. Alhasil, penghargaan yang diincar Alisa jatuh ke grup lain.
Alisa tidak bisa memahaminya.
Teman sekelas yang tidak
menganggap serius tugas yang diberikan. Mereka yang tidak merasa kalah dan
justru tertawa dengan bodoh.
(Seandainya
semua orang menganggapnya seserius diriku, kita tidak akan pernah kalah. Tidak,
jika aku melakukanyya sendiri dari awal, aku pasti akan menang!)
(Aku
berbeda dari yang lain. Aku satu-satunya yang serius, dan hanya aku yang
menganggap ini serius. Aku benar-benar berpikir untuk menang.)
Ketika dia menyadari hal ini,
Alisa berhenti mengharapkan orang lain melakukan hal yang sama.
(Tidak
ada yang bisa mengimbangi levelku. Mereka tidak menganggapnya seserius diriku,
dengan tingkat keseriusan yang sama.
(Mereka
dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Aku tidak akan pernah dikalahkan oleh
mereka yang tidak pernah berusaha dan termotivasi. Saat kalian bermain-main,
aku akan berada di atas semua orang.)
(Aku
tidak butuh kerja sama dengan orang lain. Aku akan melakukan semuanya sendiri.
Sebaliknya, terlalu merepotkan berurusan dengan yang namanya niat
setengah-setengah atau rasa tanggung jawab.)
Bahkan saat dia tumbuh dewasa,
dan memperoleh keterampilan sosial sampai batas tertentu, prinsip hidup Alisa
tetap tidak berubah. Tidak, justru itu menjadi semakin kuat setiap tahunnya.
Kurangnya motivasi dari
teman-teman sekelasnya, kekecewaan pada orang lain yang terbangun setiap kali
dia menyadari betapa rendahnya level mereka, tanpa dia sadari, berubah menjadi
sikap merendahkan yang tidak disadari terhadap orang-orang di sekitarnya.
Setelah dia menyadari hal ini,
demi menghindari konflik dengan orang-orang di sekitarnya, Alisa mulai
membatasi dirinya dalam berurusan dengan orang lain.
Benar-benar menyendiri. Dia
memiliki bakat dan semangat kompetitif yang membedakannya dari orang lain.
Itulas alasan dibalik sikap acuhnya.
Saat naik kelas 3 SMP, Alisa
kembali ke Jepang karena pekerjaan ayahnya.
Atas rekomendasi orang tuanya,
dia dipindahkan ke Akademi Seirei. Sekolah bergengsi yang dianggap salah satu
sekolah terbaik di Jepang. Jika di sini, mungkin ada seseorang yang bisa
bersaing bahu-membahu dengannya dan pada saat yang sama, seseorang yang bisa
menemaninya dalam pengabdiannya di studinya. Alisa memiliki harapan samar
seperti itu.
Namun, harapan samar Alisa dikhianati
dengan kejam ketika dia mengikuti ujian pindahan.
Menempati peringkat pertama di
seluruh angkatannya. Di Jepang setelah pergi selama 5 tahun. Seorang siswa
pindahan yang tidak tahu apa yang akan diujikan. Bahkan dengan kekurangan ini,
dia menduduki peringkat pertama di angkatannya.
(Kurasa
level tempat ini juga hanya segini saja. Bahkan di sini, pada akhirnya aku
tetap sendirian)
Namun, saat hatinya hampir
menyerah, Alisa mengenal cowok itu. Pertemuan pertama mereka terjadi pada hari
pertama dia dipindahkan. Pagi tanggal 1 April.
“Kujou-san, bahasa Jepangmu
sangat bagus. Apa kamu pernah tinggal di Jepang sebelumnya? ”
“Wow, ini sangat cantik. Ini
pertama kalinya aku melihat rambut perak.”
“Kujou-san, apa kamu benar-benar
lulus ujian pindahan yang sangat sulit itu?”
Teman-teman sekelasnya
membanjirinya pertanyaan dengan rasa ingin tahu yang terbuka. Alisa sedikit
muak tapi, dia mencoba untuk tidak terlalu kasar dan memperlakukan mereka
sesopan mungkin.
Sebagai seseorang yang
meremehkan orang-orang di sekitarnya, menjadi dekat dengan orang lain akan
sama-sama tidak baik bagi kedua pihak.
Sikap merendahkannya akan
menyinggung pihak lain, dan bahkan Alisa sendiri akan merasakan hal yang sama
jika berada dalam situasi yang sama.
Itu sebabnya, dia berniat tak
akan dekat dengan siapa pun di sini.
“Aah, belnya.”
“Hah, sudah bunyi bel? Apa
boleh buat. Sampai jumpa nanti, Kujou-san ”
“Aku juga ingin mendengar
ceritamu di istirahat berikutnya, oke”
“Iya.”
Setelah melihat teman-teman
sekelasnya dengan menyesal kembali ke tempat duduk mereka, Alisa melihat ke
bangku yang ada di sebelahnya.
“…..…….”
Di sana, terlepas dari semua
keributan yang terjadi, dia melihat sosok seorang murid laki-laki, terbaring di
mejanya, tidak terganggu sedikit pun.
Rasa penasaran Alisa terpancing
oleh sikap murid cowok yang terlalu bebas ini. Tanpa dia sadari, dia mendapati
dirinya menggelengkan bahu si murid cowok dengan ringan, dan berbicara dengan
teman sekelas itu untuk pertama kalinya.
“Ermm… bel sudah berbunyi,
tahu?”
“Mmm… ya?”
Si cowok mengangkat kepalanya
saat mendengar suara Alisa. Murid cowok dengan penampilan biasa dan sembrono.
“Aaah ~~ kamu murid pindahan
yang berpidato pada upacara pembukaan?”
“Ya, Alisa Mikhailovna Kujou.
Senang bertemu denganmu.”
“Ya… aku Kuze Masachika. Senang
bertemu denganmu juga.”
Setelah mengatakan itu,
Masachika kembali menghadap ke depan dan mengulurkan satu pukulan. Dan
kemudian, dengan ekspresi kesadaran di wajahnya, Ia menyolek bagian belakang
cowok yang duduk di kursi di depannya.
“Heey ~ Hikaru, kamu juga ada di
sini, ya.”
“Ya…. Ngomong-ngomong, Takeshi
juga ada di sini, tau? ”
“Oh, kamu benar. Aku barusan
tidur jadi tidak menyadarinya.”
Setelah itu, Alisa sedikit
tercengang melihat Masachika mulai mengobrol dengan asyik tanpa
mempedulikannya.
Alisa sadar dirinya memiliki
penampilan yang lebih baik dari kebanyakan orang lain.
Alisa memahami bahwa kecantikan
adalah salah satu senjata dalam hubungan interpersonal dan tentunya dia juga
berusaha untuk mempercantik diri dalam hal itu. Dia tidak menggunakan riasan
karena melanggar peraturan sekolah tapi tetap saja, dia bangga dengan
kecantikannya, yang sama sekali tidak kalah dengan selebriti manapun di luar
sana.
Alisa tidak tertarik untuk
menarik perhatian lawan jenis secara khusus, tapi dia tahu bahwa penampilannya,
terutama rambut peraknya, akan menarik perhatian orang.
Karena alasan ini, Masachika,
yang hampir satu-satunya tidak menunjukkan minat padanya, meninggalkan kesan
kuat pada Alisa.
Namun, ketika sudah mencapai
titik di mana dia mulai memperhatikan Masachika, Alisa langsung menyadarinya.
Masachika bukannya tidak
tertarik pada gadis maupun orang lain. Ia hanya seorang pria tanpa motivasi
untuk segalanya.
Melupakan buku pelajarannya.
Tertidur di kelas. Buru-buru menyelesaikan PR-nya di menit-menit terakhir di
jam istirahat. Tidak menonjol dan tidak jago dalam berolahraga. Satu ons
motivasi tidak bisa dirasakan dari sikapnya yang sembrono.
(Bahkan
di sekolah paling bergengsi, ada murid seperti ini di mana-mana, ya)
Oleh karena itu, Alisa kehilangan
minat pada tetangga sebelahnya ini. Namun, semua kesannya berubah selama
festival sekolah di bulan September.
Festival sekolah terakhir bagi
anak kelas 3 SMP. Masa-masa di mana banyak murid disibukkan dengan ujian.
Hampir semua siswa di sekolah ini hanya tinggal melanjutkan ke divisi SMA dan
oleh karena itu, mereka tidak perlu mati-matian belajar untuk ujian.
Mereka kemudian memutuskan
untuk melakukan sesuatu yang besar untuk terakhir kalinya dan atas saran
Takeshi yang menjadi anggota panitia penyelenggara festival sekolah, kelas
mereka akan membuat rumah hantu untuk acara mereka.
Tapi, mereka hanya bersemangat
di awalnya saja. Meski semuanya terlihat bersemangat pada tahap pertemuan
perencanaan, begitu tugas untuk menyiapkan acaranya dimulai, kegiatan yang
monoton dan kesulitannya membuat motivasi semua orang semakin menurun.
Melihat situasi yang terlihat
semakin memburuk, Alisa dengan cepat mempersiapkan diri untuk melakukan
sebagian besar pekerjaan.
“Aww!”
Sepulang sekolah. Alisa tetap
sendirian di kelas untuk membuat kostum. Dia secara tidak sengaja menusukkan
jarinya dengan jarum, lalu secara refleks menarik tangannya.
Dia menyedot dan mensterilkan
tetesan darah yang muncul dengan mulutnya, memberikan tekanan kuat untuk
menghentikan pendarahan. Supaya darah tidak mengenai kostum yang sedang dia
kerjakan, dia memakai plester pada lukanya.
Ini bukan pertama kalinya Alisa
melukai jari-jarinya saat menjahit. Plester di sekitar jari Alisa sudah
mencapai yang kelima.
Namun, dia tetap melanjutkan
pekerjaannya meski jari-jarinya sering ketusuk jarum.
Dia tidak bisa berkecil hati
oleh sesuatu yang sepele. Selama dia berpartisipasi, mana mungkin dia akan
mengadakan acara dengan niat setengah-setengah. Dengan pemikiran itu, dia
sekali lagi mengerjakan kostum itu.
“Ah, seperti yang kuduga, kamu
masih di sini, ya.”
Kemudian, pada saat itu, pintu
kelas terbuka dengan suara gemerincing, dan Masachika, yang telah menghilang di
suatu tempat begitu pelajaran telah usai, memasuki ruangan kelas.
“Kuze-kun…. Apa ada yang
salah?”
“Terima kasih atas kerja
kerasmu. Nah, aku punya sedikit urusan yang harus dilakukan, lihat.”
Sambil mengatakannya dengan
santai, Masachika menatap beberapa dokumen yang ada di tangannya. Alisa
tertarik dengan dokumen itu dan melihatnya juga, tapi dia tidak tahu jenis
dokumen apa itu.
“Yah, kamu juga harus pulang
hari ini juga, Kujou-san. Kita bisa mengerjakan bagian itu lagi dengan semua
orang besok.”
Alisa menjadi sedikit kesal kepada
Masachika yang mengatakan itu sambil mengangkat bahunya.
(Kamu
tak akan pernah selesai jika terus-terusan mengharapkan orang lain …
Lagipula, aku melakukan ini karena tidak ada yang mau melakukannya)
Dia mengubah rasa jengkelnya
menjadi bantahan. Dengan memperkuat nadanya, dia menolak sarannya.
“Kamu tidak perlu mencemaskan
aku. Setelah sedikit lagi, aku juga akan pulang. Jadi tolong jangan ganggu aku.”
“…. Aaa~ baiklah, oke. ”
Tatapan Masachika mengembara
saat duduk di kursinya sendiri. Ia menggaruk kepalanya dan berkata dengan jelas.
“Untuk bagian membuat kostum, aku
sudah berbicara dengan klub kerajinan tangan tentang membuat mereka bekerja
sama, jadi serahkan saja kepada mereka.”
“Eh….?“
“Dan juga, di sini.”
Alisa terpana saat mendengar
kata-kata yang tidak terduga, dan Masachika mengulurkan dokumen yang
dipegangnya.
“Ini izin untuk menggunakan
gedung asrama. Jika ada acara menginap, hal itu bisa memotivasi orang-orang
yang kehilangan motivasi.”
“Wah…, bagaimana…”
“Nnn ~ yah, semuanya berkat
OSIS. Mantan wakil ketua OSIS…. Tidak, aku bertanya kepada mantan ketua OSIS.
Aku punya sedikit koneksi dengan orang itu.”
Alisa memandang penuh curiga
pada Masachika yang tiba-tiba mengatakan itu, tetapi Masachika terus berbicara
seolah-olah sedang berusaha menghindari pertanyaan Alisa.
“Ya…. Nah, itulah sebabnya.
Anggota cowok dari klub kerajinan tangan setuju untuk membantu. Jika kamu
memberi tahu mereka bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepada gadis
mengenai mereka yang bisa diandalkan, beberapa cowok akan dengan senang hati
menerimanya. Mengenai persiapan kegiatan lain… yah, kurasa itu sudah menjadi
bagian dari Takeshi. ”
“Eh?”
“Pokoknya, kamu bisa pulang
sekarang. Tidak ada gunanya jika Kujou-san melakukan semua pekerjaan sendirian,
‘kan? ”
Ucapan santai Masachika membuat
emosi terpendam Alisa membludak keluar.
“Apa maksudmu…… tidak ada
gunanya?”
Dia berkutat dengan sulaman
yang tidak biasa dan merasa stres, dan orang yang biasanya tidak termotivasi di
dalam hatinya menawarkan solusi kepadanya, dan kemudian menolak usahanya.
Fakta tersebut menekan benteng terakhir
di dalam hatinya.
Tanpa dia sadari, Alisa
membanting kostum yang sedang dia kerjakan ke atas meja dengan keras.
Dia berdiri dan menatap tajam
ke arah Masachika.
“AKU….! Selama aku berpartisipasi,
aku akan memastikan acara ini berjalan dengan lancar dan bagus! Aku tidak mau
menyajikan acara yang setengah-setengah di acara festival nanti! Aku benar-benar
tidak ingin berkompromi !!”
Alisa sendiri sadar bahwa dia
hanya melampiaskan amarah dan kekesalannya pada Masachika, tapi mulutnya tidak bisa
berhenti.
“Tapi…. Aku tahu, aku tahu
kalau aku ini egois! Semua orang tidak seserius seperti aku, aku tahu itu!
Itulah sebabnya, aku mencoba menebusnya! Apa kamu ingin mengatakan kalau apa
yang aku lakukan ini salah !? ”
Dia membiarkan emosi menguasai
dirinya, dan melampiaskannya pada seseorang. Ini sudah kedua kalinya sejak
kejadian SD dulu.
Alisa yang biasanya tidak
menunjukkan perasaannya, dalam artian baik atau buruk, menunjukkan emosinya
secara terang-terangan.
Masachika membuka lebar matanya
dan menaggapi dengan jelas.
“Kamu menempatkan upayamu ke
arah yang salah.”
“Eh–?”
Alisa terkejut dengan bantahan
yang tidak terduga itu. Masachika melanjutkan dengan tenang, sembari menatap
langsung ke arah Alisa.
“Acara festival sekolah
bukanlah sesuatu yang kamu buat sendiri. Kita semua harus bekerja sama untuk
mewujudkannya, ‘kan? Jika kamu ingin mengadakan acara yang bagus, ketimbang
menyerah bahwa semua orang tidak akan melakukannya, bukankah sebaiknya kita
memikirkan tentang cara memotivasi semua orang untuk melakukannya?”
“….”
Tatapan yang langsung ke matanya
dan argumen yang tidak terbantahkan. Alisa jadi ingin memalingkan muka.
Namun, harga diri Alisa tidak
mengizinkannya melakukan itu. Dia balas menatap Masachika setajam yang dia
bisa, bertekad untuk tidak dikalahkan dalam diam. Tapi sebelum Alisa bisa
mengatakan apa-apa lagi, Masachika membuang muka.
“… .Tapi yah, aku juga akan
kesal jika dibilang begitu. Tadi itu memang salahku. Aku tahu kalau Kujou-san sudah
melakukan yang terbaik dengan caramu sendiri, dan aku tidak akan menyangkal hal
itu.”
“Ah—”
Masachika menundukkan kepalanya
sedikit, dan Alisa tidak yakin harus berbuat apa.
Kemarahannya yang dilampiaskan
pada Masachika, justru dibalas dengan permintaan maaf. Tangannya yang sudah
mengepal erat-erat mulai melemas.
Di tambah lagi dengan ucapan
Masachika, “Aku tahu bahwa Kujou-san
sudah melakukan yang terbaik dengan caramu sendiri”. Kata-kata tersebut
anehnya menembus hatinya sampai-sampai
membuatnya tidak bisa bernapas.
“….Aku mau pulang dulu.”
Pada akhirnya, hanya itu yang
bisa dilakukan Alisa. Dia mengambil tasnya dan keluar dari kelas dengan cepat.
(Apa-apaan
dengan dirinya…? Apa yang salah sih dari cowok itu, ya ampun!)
Dia berjalan menyusuri halaman sekolah
sambil mati-matian mencoba menenangkan emosi yang bercampur aduk di dadanya.
Berpura-pura tidak menyadarinya, kegembiraan terletak di balik ketidakpuasan
dan penyesalannya.
◇◇◇◇
—Keesokan harinya.
“Kalian semua! Kita diizinkan untuk
menginaaaaaaaapppp !!!! ”
Pertemuan untuk festival
sekolah dimulai dengan teriakan dari Takeshi yang sangat bersemangat.
Teman sekelas yang lainnya kebingungan
dan tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan nada bersemangat, Takeshi
menjelaskan bahwa Masachika telah mendapat izin menggunakan gedung asrama untuk
tempat menginap.
“Sambil melanjutkan persiapan
festival sekolah, pada malam hari, kita akan bermain petak umpet di gedung
sekolah dan uji nyali! Kita punya semua kegiatan serunya di sini, ini adalah acara
pra-pra–festival kita sendiri !! Uuuoooo !! ”
Melihat Takeshi yang heboh
sendiri, teman-teman sekelasnya tersenyum pahit sambil berkata “Jauh dari
pra-pra-pra, waktunya tinggal seminggu lagi, lho”, “Jadi yang dipentingin mainnya dulu, bukan masalah
persiapan festivalnya?”. Seolah ditarik oleh ketegangan, mereka menunjukkan
kesediaan untuk ikut serta.
Tapi tanpa mereka sadari,
jadwal untuk hari itu sudah diatur. Ketika pertemuan selesai, semua orang
dengan senang hati mendiskusikan kegiatan menginap nanti.
Mereka bahkan lebih bersemangat
daripada saat mereka merencanakan acara festival sekolah.
Kemudian hari untuk persiapan
menginap tiba. Selain kegiatan di malam hari, para cowok yang terpikat oleh
umpan dari masakan rumahan para gadis, bekerja sangat keras dan pekerjaan
berjalan dengan sangat cepat.
Semangat tinggi terus berlanjut
bahkan setelah menginap, dan pada hari festival sekolah, target Alisa
tercapai…. Tidak, acara rumah hantu itu bahkan memiliki kualitas yang lebih
tinggi.
Pada akhirnya, jumlah penjualan
tiket mereka menjadi yang tertinggi di antara semua acara yang lain dan bahkan
menerima penghargaan sebagai acara terbaik.
“Ah….”
“Aah, terima kasih atas kerja
kerasmu. Kujou-san ”
Ada pesta penutupan setelah
semua acara festival selesai. Saat siswa-siswi menari melingkar di halaman
sekolah, Alisa sedang berjalan menuju gedung sekolah ketika dia menemukan
Masachika yang sedang duduk di tangga depan pintu masuk.
Masachika sedang duduk dengan
mengistirahatkan dagunya di lutut, sambil melihat ke halaman sekolah dengan
senyum masam.
Alisa mengikuti tatapannya. Di
sana dia menemukan Takeshi, yang sepertinya mencoba mengajak setiap gadis yang
bisa Ia temukan, dan Hikaru yang sepertinya diundang untuk menari oleh gadis
satu demi satu.
“Haha, mereka benar-benar
mendapatkannya.”
“…. Kamu tidak ikut bergabung
dengan mereka?”
Dia bertanya pada Masachika,
yang tertawa seolah-olah itu urusan orang lain. Masachika mengangkat salah satu
alisnya dan mengangkat bahu.
“Hmm? Aku bahkan tidak punya
pasangan untuk menari… Tapi, sekolah ini sangat kuno dalam hal ini. Masih
mengadakan folk dance di pesta
penutupan … Yah, meski tidak ada api unggunnya sih,”
“…. Boleh aku… duduk di
sebelahmu? ”
“Hmm? Aah, silahkan saja, tapi
apa kamu tidak menari? Jika itu Kujou-san, aku yakin pasti banyak yang mau jadi
pasanganmu, ‘kan? Ah, atau mungkin, kamu tidak tahu cara menarinya?”
“Enak saja. Aku pernah
melakukan balet saat masih kecil dulu, tahu? Aku bisa menari seperti itu dalam
waktu singkat. Tapi yah, itu merepotkan jadi aku berpura-pura tidak bisa menari
dan menolak ajakan mereka.”
Alisa duduk di samping
Masachika sambil mendengus dan menyisir rambut ke punggungnya.
“Terima kasih atas kerja
kerasmu lagi…. untuk yang tempo hari. ”
“Tapi aku tidak terlalu peduli?
Aku sudah terbiasa jadi ini bukan masalah besar.”
“Begitu ya. Putri Penyendiri
memang beda.”
“Apa-apaan dengan nama itu?”
Alisa mengerutkan alisnya
dengan curiga, Masachika menatapanya dengan terheran-heran.
“Hah? Kamu tidak tahu? Itu
sebutan lain Kujou-san baru-baru ini,”
“… .Hmmph~”
“Kamu sepertinya… tidak senang
dengan itu ya?”
“Kurasa begitu, aku rasa aku
tidak terlalu senang dengan itu.”
“Kenapa? Apakah karena mereka menggodamu
sebagai penyendiri?”
“Bukan seperti itu. Juga,
bisakah kamu berhenti memandangku seperti orang idiot? ”
“Maaf.”
Masachika menunduk saat
menatapnya. “Dia marah”,
kata Masachika sambil mengacungkan bibir bawahnya sambil bercana. Alisa
menghela nafas ke arah Masachika tersebut, lalu berkata.
“Yang tidak aku sukai adalah
bagian kata ‘Putri””
“Kenapa? Bukannya itu cuma kata
pujian biasa.”
“Kamu pikir begitu? Menurutku,
kata itu terdengar seperti seseorang yang hidup dalam mimpi, tidak mengetahui
yang namanya kerja keras dan kesulitan.”
“Aaah ~ Begitu rupanya, jadi ada
juga sudut pandang yang seperti itu?”
“Memang benar kalau aku
dilahirkan dengan penampilan dan bakat lebih dari yang dimiliki kebanyakan
orang. Tapi, aku tidak pernah sekalipun bermalas-masalan. Aku tidak suka jika
orang lain mengabaikan upayaku selama ini dan hanya melihatku sebagai orang
yang lahir beruntung.”
“Begitu ya.”
Masachika menunjukkan
pemahamannya bahwa dia tidak senang dengan gagasan itu.
“Baiklah, aku akan mencoba
untuk tidak memanggilmu seperti itu.”
“Begitu, ya.”
Setelah mengatakan itu seolah-olah
itu sesuatu yang sangat sepele, Alisa berkata pelan sambil tetap melihat ke
depan.
“… .Terima kasih, Kuze-kun.”
“Hmm? Untuk apa?”
“Menurutku… ini pertama kalinya
aku mengadakan acara festival sekolah dengan perasaan yang begitu bahagia.”
Membuat acara kelas biasanya selalu
merepotkan Alisa
Dia selalu menutupi kekurangan
anggota lainnya, dan ketika semuanya selesai, dia merasa lelah ketimbang adanya
rasa pencapaian.
Tapi kali ini berbeda. Rasanya
sangat menyenangkan bisa bekerja sama dengan teman sekelasnya untuk melakukan
persiapan.
Rasa pencapaian dari bekerja
bersama teman sekelas lebih besar ketimbang rasa pencapaian yang dia lakukan
sendirian. Sekarang, ada kegembiraan tertentu di tengah kelelahan itu.
“Seperti yang kamu katakan, aku
memang salah. Jika aku mencoba melakukannya sendiri, aku rasa tak akan bisa
menikmati festival sekolah dengan perasaan seperti ini…. Dan aku minta maaf. Aku
melampiaskan amarahku padamu.”
Ketika Alisa meminta maaf
dengan jelas sambil membuang muka, Masachika melambaikan tangannya dengan sikap
tidak nyaman.
“Jangan terlalu dipikirkan.
Selain itu, aku hanya melakukan beberapa formalitas ringan, dan aku tidak
bekerja sekeras Takeshi dan Kujou-san. ”
Memang. Sebenarnya Takeshi yang
memimpin dan memotivasi teman sekelas mereka. Tapi, orang yang menggerakkan
Takeshi, dan mengatur semuanya adalah Masachika.
Selain itu, meski Ia terlihat
tidak termotivasi dan pemalas, pada kenyataannya, Ia mempersiapkan lingkungan
terbaik bagi teman sekelasnya untuk melakukan pekerjaan dan terus menerus
melakukan dukungan untuk mereka.
Orangnya sendiri mungkin
mengatakan kalau Ia tidak melakukan sesuatu yang besar, tetapi Alisa tahu bahwa
Masachika-lah yang paling banyak berkontribusi.
“Tapi aku keberatan. Aku ingin
melakukan sesuatu untuk meminta maaf karena telah melampiaskan amarahku dan
untuk menunjukkan rasa terima kasihku padamu untuk… kali ini. Apa ada sesuatu yang
ada dalam pikiranmu? ”
“Terima kasih…. Rasa terima
kasih, ya? ”
“Jangan menjawab dengan tidak
ada, oke”
“Hmmm ~…”
Alisa telah memblokir semua
jalan kabur di depannya. Masachika memutar kepalanya beberapa saat, lalu
tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan topik mereka.
“Ngomong-ngomong, kalau tidak
salah di Rusia ada kebiasaan saling memanggil dengan nama panggilan khusus, ‘kan?
Dan apa nama julukan untuk Alisa di Rusia? ”
“Apa? Ini sangat mendadak.”
“Alisha? Tidak, apa itu
Alishika, Alichika? Sesuatu seperti itu adalah julukan di Rusia, bukan? ”
“…. Alya. Semua anggota keluargaku
memanggilku Alya ”
“Begitu ya … Kalau begitu,
sebagai balasan atas permintaan maaf dan terima kasih, aku akan memintamu
memberiku hak untuk memanggilmu Alya.”
“Apa-apaan itu. Bagaimana hal
itu bisa menjadi rasa berterima kasih padamu?”
Saat Alisa mengerutkan kening
kebingungan, Masachika menunjukkan senyuman masam.
“Aku akan menjadi satu-satunya
cowok yang memanggil idola di kelas yang dikagumi semua orang dengan nama
panggilannya. Yeaaahh!”
“Apa kamu ini idiot?”
“Terima kasih banyak!!”
“Menjijikan.”
Alisa melontarkan kalimat itu
dengan pandangan jijik ke Masachika, yang tiba-tiba mulai mengatakan sesuatu
yang bodoh. Dan di sana, salah satu dari anak cowok yang selalu berkeliaran di
sekitar mereka memanggil Alisa.
“Anu, umm, Kujou-san. Apa kamu
mau berdansa denganku? ”
“Aah, kamu tidak bisa begitu
saja mencuri start! Alisa-san,
sejujurnya, aku selalu memikirkanmu sepanjang waktu. Kumohon berdansalah
denganku!”
“Bukannya kamu baru saja
menembaknya! Kalau begitu, aku juga akan—”
Berawal dari satu cowok
memanggilnya, tapi kemudian segerombolan lima atau enam cowok langsung
mengerumuni Alisa.
Rupanya, waktunya sudah
mendekati jam-jam terakhir untuk dansa jadi para cowok mengumpulkan keberanian
mereka untuk mengajak Alisa.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa
menari.”
“Tidak apa-apa. Aku pandai menari
jadi aku akan mengajarimu.”
“Haah? Aku lebih jago menari
ketimbang kamu. Hei, bagaimana kalau berdansa denganku?”
“Tidak apa-apa kok, yang harus
kamu lakukan adalah menggoyangkan tubuhmu mengikuti alunan musik!”
Meskipun Alisa meminta maaf dan
dengan jelas menolak ajakan mereka, para cowok bertekad untuk berdansa
dengannya dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur.
Perlahan-lahan, mereka semakin
mendekat. Alisa tiba-tiba menyipitkan matanya dan berdiri.
“Kalian—”
Saat Alisa hendak memarahi
mereka dengan kata-kata tajam. Tiba-tiba tangan kanan Alisa ditarik seseorang.
“Maaf, tapi kami sudah punya
janji sebelumnya. Ayo pergi, Alya ”
Masachika mengatakan ini agar
orang-orang akan mendengarnya dan Ia berjalan ke halaman sekolah sambil masih memegangi
tangan Alisa.
“Tu-Tunggu…!”
Alisa buru-buru mengikutinya
sambil berusaha memprotes Masachika.
Biasanya, dia akan memaksa
Masachika untuk melepaskan tangannya dan memberinya tamparan, tapi pada saat
itu, Alisa mengikuti Masachika dengan patuh.
Jantungnya berdebar kencang.
Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari punggung besar Masachika yang ada di
depannya.
Ketika dia memikirkan hal
tersebut, itu adalah pertama kalinya ada cowok secara paksa memegang tangannya
dan menariknya.
(Benar,
aku baru pertama kali mengalami hal ini, jadi aku hanya sedikit bingung. Tidak
lebih, cuma itu saja!)
Saat Alisa mengatakan ini pada
dirinya sendiri, Masachika berhenti di tengah lingkaran siswa. Bersamaan dengan
itu, lagu terakhir mulai dimainkan.
“Aah benar, kamu sudah mengatakannya
tadi, ‘kan? Kalau kamu dulu pernah menari balet, jadi kamu bisa menari folk dance hanya dengan menonton yang
lain.”
“Ya-ya, bagaimana dengan itu?”
Alisa bertanya balik, berusaha
mati-matian untuk mendapatkan kembali ketenangannya. Masachika lalu tersenyum
provokatif.
“Lalu, bagaimana kalau kamu
tunjukkan padaku caranya? Tuan. Pu. Tri? ”
Cara berbicara yang menggoda.
Berdasarkan apa yang dikatakan sebelumnya, niatnya jelas.
“… .Kamu punya nyali juga.
Lakukan yang terbaik untuk mengikutiku sehingga kamu tidak terlihat seperti
orang bodoh, oke,”
“Jangan menginjak kakiku karena
terlalu bersemangat, ya? Alya-chan? ”
“Siapa takut!!”
Alisa mengangkat alisnya dan
pipinya berkedut saat menatap ke arah Masachika yang tersenyum seolah-olah mencoba
memprovokasinya.
Dalam tarian terakhir, yang
biasanya merupakan saat di mana dua orang yang saling mencintai menari, mereka
berdua saling menantang dengan suasana yang sama sekali tidak memiliki rasa
manis apa pun. Awalnya, dia menari seperti yang lain, tapi lambat laun
langkahnya menyimpang dari yang lain.
Dengan lengan dan kakinya yang
panjang terbentang dengan anggun, Alisa menari dengan tidak serius di halaman
sekolah pada malam hari. Meski tariannya sesuai dengan lagunya, itu bukan lagi
sesuatu yang bisa disebut folk dance.
Namun, Masachika bergerak
menyesuaikan rekannya yang lepas kendali. Gerakannya tidak setara dengan Alisa.
Tapi juga tidak terlihat kaku atau aneh.
Ia mencoba mengatakan keluar
dari cara partnernya. Terlepas dari semua itu, Masachika juga melakukan tugas
yang baik untuk tidak membiarkannya lepas kendali. Pertandingan mereka secara
ajaib dibentuk sebagai tarian dengan perbedaan yang jelas antara peran utama
dan peran pendukung.
(Ah,
itu benar. Kamu …..memang orang yang seperti itu, ‘kan)
Saat mereka menari, ada sesuatu
yang menggelitik di dalam Alisa. Tarian ini, kedudukan ini merupakan ciri khas
dari Masachika.
Menjauhkan diri dari pusat
perhatian dan mendukung orang lain. Tetap dalam bayang-bayang dan membuat orang
lain bersinar. Orang seperti itulah cowok yang bernama Masachika.
“Fufu…. Ahahahaha!”
Tanpa dia sadari, Alisa mulai
tertawa. Tarian itu dimulai sebagai sebuah kompetisi, tapi tak lama kemudian
dia benar-benar menikmatinya.
Namun, waktu tersebut tidak
berlangsung lama. Tidak lama setelah itu, lagu berakhir dan dansa pun usai.
Dengan enggan, dia melepaskan tangan Masachika dan membungkuk.
“Ya, seperti yang diharapkan, Kamu
memang bagus dalam menari, ya. Aku hampir tidak bisa mengikuti.”
“Kurasa, itu menyenangkan.”
Balasan jujur Alisa
membuat Masachika berkedip karena terkejut.
“…. Kalau begitu, aku akan
kembali dulu.”
“Ara~? Kamu tidak mau terus
menemaniku?”
“Yang benar saja. Jika aku
melakukan itu, semua cowok yang cemburuan itu akan datang dan membunuhku,”
“Hmmm. Begitu ya, senang bisa
mendengarnya.”
Alisa tersenyum pada Masachika
yang menundukkan kepalanya dan dengan lembut melingkarkan tangannya ke lengan
Masachika.
“Tungg—, apa yang kamu–”
“Jadi, bisakah kamu
mengantarku?”
“…. Dengan kata lain, kamu
ingin aku mati?”
“Ini hukuman untukmu karena sudah
memanggilku seorang putri.”
“Uugh….”
Dengan ekspresi menyedihkan, Masachika
mulai berjalan tanpa melepaskan lengannya, Alisa tersenyum lucu saat dia
akhirnya berhasil membalas balik kejailannya.
Setelah sekian lama, dia merasa
malu dengan tindakannya sendiri tetapi lebih dari itu, dia merasa senang. Dia
berjalan bahu-membahu dengan seseorang. Dia sangat senang tentang hal itu.
Tidak jauh dari gedung sekolah.
Alisa merasakan bahwa rasa kesepian dan keterasingan yang dia rasakan sejak
masa SD mulai mencair dan menghilang, sedikit demi sedikit….
…. Namun, dia memang
merasakannya.
◇◇◇◇
Keesokan harinya.
“Pagi. Alya, maaf banget. Apa
aku boleh ikut melihat buku pelajaran untuk bahasa Jepang modern? ”
Masachika… kembali ke Masachika
yang pemalas.
“….”
“He-hei, ada apa? Alya. Kenapa
kamu menatapku seolah-olah aku ini seperti sampah?”
“Dasar sampah tidak berguna.”
“Bukannya omonganmu itu terlalu
kejam!?”
“… .Haaah”
Saat Masachika berteriak dengan
senyuman kaku, Alisa menghela nafas dengan mencolok dan memalingkan wajahnya
seolah-olah sedang dalam mood yang buruk.
Kemudian sambil tetap membuang
muka, dia terus terang mengeluarkan buku teks bahasa Jepang modern dan
memberikan komentar singkat dalam bahasa Rusia.
【Padahal
kamu terlihat sangat keren kemarin】
Ya, dia bergumam pelan.
Bahkan setelah itu Masachika
tetap berperilaku sama.
Ia selalu tidak termotivasi dan
selalu membuatnya jengkel. Namun, ketika dibutuhkan, Ia lebih dapat diandalkan
daripada siapa pun. Ia dengan santai membantu orang lain seolah-olah itu adalah
sesuatu yang sepele.
Bagi Alisa yang selalu
memandang semua orang di sekitarnya sebagai saingannya, perilaku Masachika
terlihat aneh tapi…. Pada saat yang sama, dia merasa lega.
Dia tidak harus bersaing dengan
orang ini. Mengetahui bahwa dia tidak harus bersaing untuk mendapatkan
superioritas dengannya meringankan hati Alisa. Sejak itu, Alisa bisa
berhubungan dengan Masachika tanpa ada rasa khawatir.
Alisa terkadang akan
memarahinya bila jengkel melihat perilaku Masachika yang tidak punya motivasi. Alisa
akan menggodanya jika merasa terganggu oleh ketenangan dan rasa percaya diri
Masachika. Diperburuk oleh sikap Masachika seolah-olah sedang mengawasinya dari
atas, Alisa akan menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia dan menertawakan
ketidakpedulian konyolnya.
Saat menghabiskan hari-harinya
seperti itu, tanpa sadar kalau dia….
◇◇◇◇
“Jadi kamu sudah jatuh cinta
padanya ‘kan ~ Duh, romantic banget~!”
Alisa menghela nafas saat Maria
berteriak gemas dan bertepuk tangan.
“Sudah kubilang…. Bukan itu.
Apa kamu tidak mendengar apa yang aku ceritakan tadi?”
“Eee ~ h? Tidak peduli
bagaimana aku mendengarnya, kedengarannya seperti awal dari benih-benih cinta
yang tumbuh seiring berjalannya waktu?”
“Jangan berkata aneh seperti
itu. Bukannya tadi aku sudah memberitahumu kalau kita berdua hanya berteman?”
“Mm-hmm, pertemanan yang
berujung menjadi pacaran. Klise sekali~. Lagipula itulah yang terjadi padaku
dan Sa-kun ~. Benar ~? Sa-kun ”
Dia mengeluarkan liontin emas
dari lembah dadanya yang sangat dalam dan berbicara ke foto yang ada di dalam
dengan ekspresi lembut.
Jika ini adalah manga, dari
awal akan ada tanda hati yang tersebar di mana-mana. Alisa memandangi kakak perempuannya
yang telah sepenuhnya berubah menjadi mode gadis yang dimabuk cinta.
“Tapi yah… mari kita lihat.
Mengenai kemampuannya…. Aku sudah mengakuinya. Dan aku juga… mempercayainya ”
Sambil melihat foto kekasihnya,
Maria mengangguk kepada Alisa yang mengatakan itu dengan enggan sambil membuang
muka.
“Mm-hmm, cowok yang melakukan
apa yang harus Ia lakukan memang keren, iya ‘kan. Sa-kun juga begitu. Bagian
punggung Sa-kun saat Ia menyelamatkanku dari anjing galak pas kecil dulu! Itu
benar-benar— ”
“Jika kamu akan terus mengoceh tentang
kisah cintamu, bisakah kamu pergi keluar dari kamarku?”
“Astagaaaa, Alya-chan jutek
banget!”
Alisa menatap tajam Maria yang
menggembungkan pipinya dengan muka cemberut.
“Selain itu, aku lebih menyukai
seseorang yang biasanya pekerja keras.”
“Kamu sama sekali tidak
mengerti, Alya-chan. Ia biasanya terlihat suram, tapi pada saat dibutuhkan, Ia akan
menunjukkan sisi kejantanannya! Aku pikir itu keren~ ”
“Itu cuma perbedaan pendapat.
Aku biasanya .. Agak kesal pada Kuze-kun yang biasanya tidak termotivasi.”
Mungkin karena mengingat banyak
hal saat dia berbicara, Alisa melanjutkan dengan nada yang lebih kuat.
“Sungguh, selalu melupakan buku
pelajaran dan sering tertidur di kelas! Tidak peduli berapa kali aku
memperingatkannya, Ia bahkan tidak merasa menyesal! Selalu menghindar dengan
sembrono dan sulit dipahami… yah, itulah mengapa aku bisa mengatakan apa pun
yang aku inginkan kepadanya tanpa khawatir…. ”
“Aku mengerti, aku mengerti.
Dengan kata lain, ada hubungan saling percaya di antara kalian berdua, ‘kan?”
“Kenapa kamu menganggapnya
seperti itu.”
“Tidak peduli apa yang
dikatakan, Kuze-kun tidak akan pernah meninggalkanmu. Justru karena kamu
mengetahuinya, Alya-chan bisa bebas berbicara dengan Kuze-kun tanpa ragu, ‘kan?
Dan Kuze-kun mentolerirnya. Bukankah itu hubungan saling percaya yang bagus?”
Alisa tak bisa membantah pada
pengamatan tajam yang tak terduga. Namun, dia dengan cepat pulih dan membalas
bantahan.
“Kamu salah. Kuze-kun adalah
siswa yang pantas untuk dimarahi tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, itu
sebabnya aku akan terus memberinya peringatan, juga. Tentu saja… dalam arti
tertentu, kuakui kalau Ia adalah seseorang yang mudah bergaul. Tapi, itu tidak
langsung mengarah pada perasaan romantis, ‘kan? Maksudku, jika kamu menyukai seseorang,
pasti yang itu, ‘kan? Ingin melakukan…. hal-hal… seperti pergi berkencan, dan
berciuman… memang begitu, bukan? Aku .. tidak pernah memikirkan semua itu…. ”
Maria menepuk kedua tangannya
dan tersenyum lembut pada Alisa, yang mengatakan semua itu sambil membuang muka
dengan wajah memerah.
“Alya-chan, imut sekali.”
“Apa itu… Apa kamu
mengolok-olokku?”
“Tidak, kok? Kamu tahu,
Alya-chan. Tidak harus berkencan atau berciuman atau sesuatu yang spesial
seperti itu. Jika kamu menyukai seseorang, hanya berbicara dengannya dan
menyentuhnya saja sudah membuatmu merasakan sesuatu yang istimewa.”
Maria berbicara dengan wajah
sok tahu sementara dengan bangga membusungkan dadanya yang besar. Alis Alisa
berkedut mendengar kata-katanya.
“…. Apa ada yang lebih spesifik?”
Tidak seperti biasanya, Alisa
menggigit umpan. Maria, yang mengira itu akan diabaikan seperti biasa, berkedip
sedikit terkejut dan kemudian memiliki pandangan yang jauh di matanya.
“Hmmm ~, coba lihat… yang
paling jelas sih .. berpegangan tangan, mungkin? Bahkan jika kamu tidak
melangkah sampai sejauh itu, berpegangan tangan dengan seseorang yang kamu
sukai akan membuat jantungmu berdebar kencang. Merasa sangat malu sampai-sampai
membuatmu ingin berteriak, tetapi kamu tidak membencinya. Dan entah bagaimana
merasa sedikit bahagia, lalu— ”
“…. Merasa sangat malu, membuatmu
ingin berteriak….”
Di tengah perbincangan, Maria mulai
heboh sendiri dan membicarakan apa itu cinta, memekik dengan ekspresi seperti
gadis yang dimabuk cinta, dan menggelengkan kepala dengan riuh sambil melihat
foto kekasihnya.
Di depannya, Alisa menatap
kakinya sendiri, lalu dia menyodorkan kaki kanannya ke depan Maria.
“….? Apa? Apa ada yang salah?
Alya-chan.”
“Maaf. Apa kamu bisa …..
melepaskannya untukku? ”
“Eh? Kenapa?”
Mariya berkedip kaget pada
permintaan yang mendadak dan tak bisa dijelaskan itu, tapi setelah melihat
ekspresi Alisa, dia merasakan sesuatu. Bergerak perlahan di atas karpet, Maria
lalu meletakkan tangannya di kaki kanan Alisa.
“Nn…”
Tangan Maria melepas kaus kaki Alisa
dengan mulus. Alisa melihat ini dengan ekspresi yang agak suram di wajahnya.
“Oke, aku sudah melepasnya.
Tapi… sekalian yang sebelah kiri juga? ”
Saat Maria menunjuk kaki kiri
Alisa dengan wajah ragu-ragu, Alisa membalas sambil mengerutkan alisnya.
“… .Tidak, pakaikan lagi.”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Jangan pedulikan itu.”
“… .Baiklah~.”
Dengan tatapan yang sepertinya
tidak memahaminya, tangan Mariya memasang kembali kaus kaki yang sudah dia
lepaskan. Saat dia menatapnya, ekspresi Alisa menjadi semakin suram.
“Oke, aku sudah memakainya
kembali … hmmm?”
“……”
Mariya melirik wajah Alisa dengan
tenang seolah-olah dia sedang menebak apa yang sedang terjadi. Tidak peduli
dengan tatapannya, Alisa menatap kakinya dengan ekspresi cemberut tapi,
tiba-tiba dia menghembuskan nafas dan meninggalkan kursinya.
“….Tidak baik. Aku tahu Masha
takkan banyak membantu.”
“Apa maksudmu!? Aku tidak tahu
apa yang sedang terjadi tapi Onee-chan merasa tersakiti, tahu!”
“Ya ya, itu sudah cukup, ‘kan?
Aku mau ganti baju dulu, jadi cepat keluarlah.”
“Uuu…. Alya-chan, dalam fase
pemberontakan? Apa ini yang namanya fase pemberontakan? Apa yang harus aku
lakukan, Sa-kun. Alya-chan sudah sampai di fase pemberontakannya.”
Setelah mendepak Maria keluar
dengan ekspresi sedih di wajahnya dan bahu terkulai, Alisa melihat ke arah kaki
kanannya lagi dan dengan lembut mengusap pahanya sendiri.
Merasa agak malu, dia melihat
ke atas dan ada cermin besar. Yang terpantul di permukaan kaca tersebut adalah Alisa dengan pipi yang agak memerah.
“Muu…”
Seolah-olah menyangkal dirinya
sendiri pada hal seperti itu, Alisa membuat wajah cemberut. Dia kemudian
bergumam dengan ekspresi muram ke arah satu-satunya cowok yang muncul di
kepalanya.
【Tidak,
ini berbeda】
Kata-kata Rusia yang dia
ceploskan dalam bisikan melebur ke udara di ruangan itu, dan menghilang tanpa
menjangkau siapa pun.