(TN : Perubahan sudut pandang, ini dari sudut pandang Masachika)
Ada taman kecil di dekat rumah
kakekku. Setiap kali pulang dari sekolah SD, aku selalu mengunjungi taman
tersebut.
Saat aku melihat sekeliling
dari pintu masuk taman, aku melihatnya sedang duduk dengan tenang di atas
fasilitas permainan yang berbentuk kubah dengan lubang di atasnya.
【Heeyy, ——— !!】
Ketika aku memanggil namanya
sambil berlari ke arahnya, dia tiba-tiba berbalik dan melambaikan tangannya di
udara dengan senyum lebar yang tampak bahagia.
【Masaaachika!】
【Sudah kubilang, namaku Masachika】
Aku mengoreksinya dengan senyum
masam seperti biasa, tapi dia tampaknya tidak peduli dan tertawa bahagia.
Ketika aku melihat senyumannya itu, aku tidak bisa menahan perasaan “Oh
baiklah, terserah dia saja”.
【Masaaachika,
ayo naik ke atas sini juga!】
【Eeh ~?】
【Ayo cepat,
cepat!】
【Apa boleh buat, deh】
Fasilitas permainan yang
berbentuk kubah memiliki tangga yang terpasang di pinggirnya. Aku meletakkan
tas sekolahku di sana dan memanjat dengan tangan dan kaki mungilku secepat
mungkin.
【Tuhh ~ Aku sudah di sini ~】
Saat aku mencapai puncak kubah,
dia menyambutku dengan tawa riangnya. Rambut emas panjangnya bersinar di bawah pancaran
sinar matahari terbenam. Bahkan sekarang, aku masih bisa mengingat mata birunya
yang menyipit ke arahku.
【Lihat,
lihat! Pemandangan matahari terbenamnya indah sekali ‘kannn!】
【Oh, kamu benar. Sangat cantik】
Sambil menikmati pemandangan
matahari terbenam secara berdampingan, kami melanjutkan obrolan santai kami.
Yah meski dibilang obrolan santai, aku merasa kalau cuma aku saja yang terus
berbicara.
【Jadi, Akademi Seirei adalah tempat ayah dan ibuku bersekolah dulu. Sekolah
yang sangat sulit tapi nilaiku bagus-bagus semua jadi tidak ada masalah~ itulah
yang mereka katakan padaku】
【Wow.
Masaaachika benar-benar bisa melakukan apa saja!】
【Hehe, tidak juga, kok】
Dia bahkan menerima bualan
kekanak-kanakanku dengan ekspresi kagum dan mengucapkan pujian yang tulus.
Aku merasa sangat bahagia dan
bangga ketika dia memujiku.
Nilai akademis; Olahraga; Musik;
Aku bisa melakukan yang terbaik pada bidang apa saja yang dilemparkan kepadaku berkat
keberadaan dirinya.
【Ah, Aku
harus segera pulang…】
Saat matahari terbenam, saat
itulah kita mengucapkan selamat tinggal. Itulah aturan kami.
【Oke,
sampai jumpa besok. Masaaachika】
【Ya, sampai jumpa besok. ——-】
Saat kami mengucapkan selamat
tinggal, dia memelukku erat-erat dan mencium pipiku dengan ringan.
Aku terlalu malu untuk
melakukan hal yang sama padanya, tapi kenyataannya, aku sangat bahagia. Dia
melepas pelukannya, dan tertawa bahagia sambil—–
Gedebuukkkk!
“Guhooah !?”
Tiba-tiba, ada hantaman dahsyat
yang menerjang area dada serta perutku, dan memaksaku untuk bangun.
“Guha! Ga, gaha ”
“Selamat pagi ~ kakak tercintaku.”
“Uugh… Barusan, karena salahmu
jadi tidak bagus lagi!”
Aku berhasil mengatur napas,
dan memelototi Yuki yang menyeringai padaku dari atas. Kemudian Yuki mengangkat
salah satu alisnya dan tampak bingung.
“Oh ayolah, apa yang membuatmu
marah, sih? Bukannya dibangunkan oleh adik perempuan dengan cara ditindih
begini merupakan impian dari semua anak cowok di seluruh dunia. Berbahagialah.”
“Kamu berbicara seolah-olah itu
semacam prank saat bangun tidur.
Bukannya ini cuma DV.”
“Cuma Dear Venus? Ya ampun ~ dasar Onii-chan yang, Si. S. Con♡”
(TN : Dear Venus
= Bidadari Cantik)
“DOMESTIC VIOLENCE (Kekerasan
dalam rumah tangga)! Jangan seenaknya mengartikannya dengan nyeleneh.”
“Muu……. Bagian mananya yang
paling tidak kamu sukai?”
“Semua dari itu. Semuanya.”
Saat aku mengatakan itu, Yuki
mengerutkan alisnya, dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba,
ekspresinya segera berubah seolah-olah mendapat pencerahan dan menjentikkan
jarinya.
“Apa kamu tipe cowok kayak
gitu? Alih-alih membangunkanmu dengan tubuhku, kamu lebih suka dibangunkan
dengan adik perempuanmu yang sudah berada di balik selimut di sampingmu.”
“Jika ……. itu terjadi dalam
kehidupan nyata, bukannya itu akan lebih menakutkan?”
“Eh? Kalau begitu, jangan
bilang kalau kamu tipe orang yang ingin adik perempuanmu merangkak di bawah
tempat tidur? Dasar maniak ~ ”
“Membayangkannya saja sudah
bikin bulu kuduk merinding!”
“Kurasa aku tidak punya pilihan
~ Jadi, lain kali aku akan merangkak ke bawah tempat tidur dan saat kamu turun
dari kasur, aku akan memegang kakimu, oke?”
“Sebenarnya, apa tujuanmu
melakukan itu….”
“Sesuatu seperti, dibangunkan
oleh skenario horor adik perempuan. Benar-benar baru, bukan? ”
“Terlalu baru bagiku untuk
mengikutinya…. Sebaliknya, cepat minggir.”
Saat aku mengatakan ini pada
Yuki yang masih di atasku mengepakkan kakinya, dia menyeringai dan memiringkan
kepalanya.
“Mengapa? Apa karena ada reaksi
di selangkanganmu ?”
“Mati saja sana.”
Aku memelototi adik perempuan
yang mengucapkan lelucon jorok dan konyol saat pagi-pagi begini. Yuki kemudian
tertawa sambil menyingkir dari atasku dan meninggalkan ruangan.
“Haah, astaga….”
Aku bangun dan duduk di tempat
tidur.
“….”
Aku melihat… mimpi yang nostalgia.
Kenangan cinta pertamaku. Masa-masa terindah yang pernah aku alami sepanjang
hidupku. Aku biasa bertemu dengannya di taman dan bermain dengannya. Karena aku
ingin berbicara dengannya, jadi aku dengan serius belajar bahasa Rusia.
Meski orang tuaku tidak akur
dan aku ditinggal sendirian di rumah kakek, aku tidak merasa kesepian karena
dia ada di sana.
Itu benar, aku pasti telah jatuh
cinta dengan gadis itu. Namun… aku bahkan tidak bisa mengingat wajahnya maupun
namanya.
“… .Cih.”
Tentu
saja, lagipula, aku adalah putra dari ibu itu. Dia
adalah manusia tak berperasaan yang bisa dengan mudah melupakan orang yang dulu
sangat dicintainya.
Di dalam dadaku, sesuatu yang
dingin perlahan menumpuk. Perasaan cinta dan motivasi yang telah membara di
masa lalu kini terkubur dalam-dalam di bawah dan tidak terlihat lagi.
Selalu ada alasan untuk
kehilangan motivasiku. Aku selalu bisa menyalahkan orang lain. Tapi, tidak
peduli alasan apa yang aku buat atau siapa pun yang aku salahkan, pada
akhirnya, aku akan sampai pada kesimpulan bahwa aku hanyalah manusia sampah
yang menganggap semua hal itu terlalu merepotkan.
Cowok keparat yang mengagumi orang
yang bekerja keras, dan benci yang namanya bekerja keras, Si pecundang yang
mengira kalau dirinya lebih baik dari pecundang lainnya karena Ia sadar akan
hal itu, Cowok suram yang menghibur dirinya dengan kepuasan diri tingkat
rendah. Itulah diriku.
“Mana mungkin… orang seperti
itu cocok untuk menjadi anggota OSIS, ‘kan?”
Terlebih lagi, bahkan menjadi
wakil ketua OSIS. Aku tahu ini tepatnya karena aku tidak bisa menolak
permintaan Yuki, menjadi rekannya dan wakil ketua OSIS sekolah menengah tanpa
berpikir. Jabatan tersebut bukanlah posisi yang bisa kamu dapatkan tanpa hasrat
maupun tekad yang kuat.
Pada saat pemilihan dimana Yuki
terpilih menjadi Ketua OSIS, aku melihat sosok kandidat lainnya menangis di
belakang auditorium.
‘Aku
mengkhianati harapan orang tuaku’; ‘Aku tidak yakin ekspresi macam apa yang
harus aku tunjukkan saat pulang nanti’;
Gadis yang menangis
tersedu-sedu di depan teman-temannya merupakan…… sesama rekan yang aktif
dalam berbagai kegiatan OSIS selama satu tahun terakhir.
Sosoknya yang berpura-pura
tegar di hadapan Yuki dan saling memuji atas persaingan bagus satu sama lain,
membuatku merasa shock sekaligus bersalah.
Yuki juga sama, dia mengemban
harapan dari keluarga besarnya. Tapi bagaimana denganku? Aku, yang menjadi
wakil ketua OSIS hanya karena kasih sayang keluarga dan rasa bersalah terhadap
Yuki? Apa aku benar-benar memiliki hak untuk mengalahkannya?
Dan kemudian selama satu tahun
berikutnya, aku melakukan semua yang aku bisa di tugas OSIS untuk menghilangkan
perasaan itu.
Meski begitu, itu sama sekali
tidak menghilangkan rasa bersalah dalam diriku.
Aku
tidak pernah ingin… merasakan hal itu lagi—-
“Gubraaak! Hei, jangan berani-berani untuk tid…. Hah? Kamu sudah
bangun? ”
“Dengarkan aku baik-baik…….
berhentilah membuka pintu dengan cara menendangnya, oke. Kamu terus menendang
tempat yang sama dan pintunya jadi penyok, tahu? ”
Aku tahu ini sia-sia, tapi aku
tetap memperingatkannya dengan jengkel pada Yuki yang masuk ke ruangan itu
memecah suasana serius.
Faktanya, pintu kamarku sedikit
penyok di bawah kenop pintu dan cuma bagian itu yang teksturnya lebih halus
dari yang lain. Melihat sekilas ke sana, Yuki entah kenapa tersenyum puas.
“Aku pikir dalam beberapa tahun
kita akan melihatnya dengan indah.”
“Tolong hentikan prinsip “bagai air yang mampu menghancurkan batu”.
Memangnya kamu ini seniman bela diri macam apa.”
“Ada banyak heroine yang sudah mendobrak pintu dalam
sejarah, tapi aku mungkin akan menjadi heroine
pertama yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjebol pintu.”
“Lagian dari awal, bagaimana mungkin
bisa ada begitu banyak wanita yang mendobrak pintu dalam kehidupan nyata?”
Faktanya, bahkan Yuki tidak
benar-benar mendobrak pintu.
Dia memutar kenop pintu di
bagian atas dengan tangannya dan kemudian dengan sengaja menendangnya hingga
terbuka dengan kakinya. Tapi kenapa dia terus melakukan itu masih menjadi
misteri bagiku.
“Oke ayo, cepat bangun ~ Adik
perempuanmu yang imut sudah membuatkan sarapan, tahu ~?”
“Baiklah.”
Ketika didesak, aku pergi ke
ruang tamu, dan tentu saja, sarapan disajikan di sana. Tapi….
“….”
“…? Apa ada yang salah, kak?”
“….Ini apa?”
Ketika aku menunjuk telur semi
padat yang berserakan di tengah-tengah piring dan bertanya padanya, Yuki
mengedipkan matanya dan menjawab dengan ekspresi polos.
“Eh? Ini telur orak-arik. ”
“Kamu harusnya menyebut ini
sebagai bayangan kejayaan telur gulung di masa lalu”
“… .Aku tidak tahu apa yang sedang
Onii-chan bicarakan.”
Aku memelototi bagian belakang
kepala Yuki yang sedang memalingkan wajahnya.
Ngomong-ngomong, rasanya
sendiri lumayan enak. Ketika aku menambahkan saus tomat di atasnya, rasanya
menjadi rasa yang tak terlukiskan dari campuran rasa makanan Jepang dan Eropa.
◇◇◇◇
(TN : Perubahan sudut pandang, ini dari sudut pandang Orang Ketiga)
Setelah menonton film seperti
yang sudah mereka rencanakan sebelumnya, Masachika dan Yuki meninggalkan area
bioskop mengikuti arus gerombolan orang yang menuju pintu keluar. Setelah
keluar dari bioskop yang berada di lantas atas mall, mereka naik eskalator yang
mengarah langsung ke bawah.
“Hnnnn ~~ ……”
Yuki kemudian meregangkan
tubuhnya, dan beropini sambil merilekskan ketegangan yang ada di dirinya.
“Yaaah … Itu meledak
dengan megah!”
“Kamu benar-benar jujur di
sana, eh”
“Ranjau daratnya lebih besar
dari yang aku harapkan ~ Seperti yang sudah kuduga, mana mungkin idol gemerlap
bisa berakting dalam film bergenre
fantasi dengan settingan dunia yang gelap ~ Itu memberikan perasaan
seperti cosplay sampai akhir. Kontennya sendiri juga menghabiskan banyak waktu
dengan adegan pertempuran yang spektakuler dan bagian-bagian yang mengarah ke
sana sangat berantakan. Sepertinya mereka meninggalkan penonton yang belum
membaca karya aslinya ~”
“Sepertinya begitu. Tapi adegan
aksinya sendiri cukup rumit, dan bagian itu bagus untuk dilihat,”
Masachika menimpali ocehan Yuki
dengan senyum masam, yang mengulas film dengan evaluasi kasar sambil tersenyum
cerah. Sekarang masih terlalu dini untuk makan siang, jadi mereka dengan malas
berkeliaran di dalam area mall sambil mendiskusikan kesan mereka terhadap film
tersebut.
“Ah, baju ini imut banget. Aku
sudah lama menginginkan gaun one-piece baru untuk musim panas, tau~. Tapi aku
berencana untuk berbelanja secara royal pada Animate nanti…. ”
“Uwah, harganya 15.000 yen….
Mahal!”
“Onii-chan juga harus lebih
memperhatikan penampilanmu~ kamu punya uang, ‘kan?”
“Aku tidak punya uang jajan banyak
kayak kamu, oke.”
“Lagipula, kamu tidak terlalu
sering menggunakannya, ‘kan. Tidak seperti aku, kamu tidak menghabiskan uangmu
untuk aktivitas otaku.”
Seperti yang dikatakan Yuki.
Faktanya, berbeda dengan Yuki, Masachika tidak mengoleksi barang apapun. Ia
juga jarang membeli manga atau LN.
Itu semua karena Yuki, yang
menyembunyikan fakta kalau dia adalah otaku akut dari keluarga Suou, membawa
semua barang-barang otaku yang dia beli ke tempat tinggal Masachika.
Masachika hanya meminjam dan
membaca manga serta LN yang menarik minatnya saja dari sana, jadi Ia tidak
perlu membelinya sendiri.
Pertama-tama, Masachika berubah
menjadi otaku karena usaha gigih Yuki menebar virus otaku kepada Masachika.
“Bukannya kamu sudah memakai
baju itu dari tahun lalu. Kamu perlu membeli yang baru.”
“Uhuh, kalau kamu berbicara
seperti itu, bukannya baju yang kamu pakai sekarang adalah baju pemberian
dariku.”
Hari ini Yuki mengenakan kaos
gombrang dengan bagian dalam berlengan panjang dan celana jeans. Tampilan yang
seperti cewek tomboy.
Dan nyatanya, kaos dan jeans
itu baju pemberian Masachika.
“Ini bagus karena terlihat
stylish. Semakin banyak kamu mengenakan jeans, semakin baik tampilannya.”
“Terserah kamu, deh… ngomong-ngomong,
Imouto yo.”
“Ada apa, onii-chan-sama?”
“… .Sejak tadi, aku melihat
sesuatu yang berwarna perak berkelebat di sudut pandangku, apa itu cuma
imajinasiku saja?”
“Kupikir itu bukan imajinasimu
saja.”
“Kupikir juga begitu. Karena
entah sejak kapan rambutmu tidak lagi dikuncir. Kamu juga sudah berubah menjadi
mode perilaku ala Ojou-sama.”
Seperti yang Masachika katakan,
Yuki yang tadinya dikuncir ala ponytail
dan sekarang rambutnya dibiarkan tergerai lurus. Cara bicaranya tidak berubah, tapi
perilakunya berubah menjadi elegan, persis seperti yang dia perlihatkan di
sekolah.
“Fuh…. Aku sudah menyadarinya
jauh sebelum kakak menyadarinya, tau? ”
“Kamu serius? Sejak kapan?”
“Sejak kita turun ke lantai ini.”
“Bukannya itu sudah cukup lama….
Kamu menyadarinya cukup cepat juga, ya? ”
“Fuh…. Aku punya indra keenam yang membuatku bisa
merasakan tatapan orang yang aku kenal dengan segera…. ”
“Apa kamu serius…. kamu tidak
malu dengan apa yang baru saja kamu katakan sendiri? ”
“Bodoh…. Tentu saja aku merasa sangat
malu. ”
“Jangan katakan itu dengan
wajah kaku.”
Saat melakukan sandiwara receh
seperti ini, Masachika bisa merasakan tatapan mata dari belakang punggungnya. Ia
melihat dari dekat pantulan kaca di etalase toko, dan di sana Ia melihat
seorang gadis berambut perak yang sangat dikenalnya dengan separuh tubuhnya
tersembunyi di balik pilar.
Selain itu, dan mungkin ini
hanya imajinasinya saja, ada aura suram dengan efek ‘gogogogogo’…. di belakang punggungnya.
(Sekarang,
apa yang harus kulakukan)
Apa
kita perlu memanggilnya dari sini, atau menunggu dia memanggil kita duluan.
Atau apa kita perlu bertemunya secara kebetulan di suatu tempat.
Kemudian, dari sisi Masachika yang sedang memikirkan hal yang benar untuk
dilakukan.
“Oh, Alya-san?”
Yuki tiba-tiba menoleh, dan
berbicara seolah-olah baru saja menyadari keberadaanya.
(Imouto
yoooooo—– !!)
Masachika berteriak di dalam
hatinya terhadap serangan frontal Yuki yang tiba-tiba. Tapi, nasi sudah menjadi
bubur. Ia berbalik pasrah dan memasang ekspresi terkejut juga.
“Hah? Bukannya itu Alya.
Kebetulan sekali.”
Masachika sendiri merasa ragu
apa Ia mampu melakukan aktingnya dengan terampil namun Alisa tidak menaruh
perhatian sejauh itu.
Dia mengutak-atik smartphone di
tangannya tanpa alasan apapun, matanya jelalatan ke mana-mana sambil mendekati
mereka. Lalu dia membuka mulutnya, masih terlihat gelisah.
“Ya, kebetulan sekali. Umm….
sejak beberapa saat sebelumnya aku sudah menyadari kalian, tapi aku tidak bisa
menemukan waktu yang pas untuk memanggil…. ”
Hati kedua bersaudara itu
selaras dengan, “mana mungkin itu
hanya ‘baru saja’ …”, pemikiran semacam itu, tapi mereka tidak
menunjukkannya di raut muka mereka.
Meski begitu, Masachika tidak
bisa menghentikan tatapan matanya yang menjadi sedikit antusias. Sedangkan
Yuki, yang benar-benar dalam mode Ojou-sama mengangguk dengan wajah tidak
curiga dan, mambalas dengan nada ketus, “Begitu ya”
“Apa Alya-san punya urusan di
sini?”
“Iya…. Aku berniat untuk
membeli beberapa pakaian.”
“Hmmm. Apa kamu sudah makan
siang? ”
“Tidak, aku masih belum makan
siang.”
“Kalau begitu, karena mumpung
ada di sini, apa kamu ingin bergabung dengan kami? Kami juga—”
“Tunggu sebentar.”
Karena tidak mau membiarkan dia
bertingkah seenaknya, Masachika menyela perkataan Yuki. Ia kemudian mengerutkan
kening dan bertanya ke arah Yuki, yang memasang wajah tenang.
“Kamu, kamu takkan membawa Alya
ke tempat itu, ‘kan?”
“Apa itu .. Tidak bagus?
Bukannya Masachika-kun juga sangat menantikannya? ”
“Tentu saja tidak bisa. Jika
Alya akan ikut, kita harus pergi ke tempat lain.”
“Apa? Apa masalahnya?”
Alisa menyela keduanya, yang
mengabaikannya dan melakukan percakapan yang tidak bisa dia mengerti.
“Alya-san, apa kamu suka
makanan pedas?”
“Makanan pedas? Dibilang suka
atau tidak sih, aku…. ”
“Tempat yang akan kita kunjungi
nanti adalah warung yang menyajikan ramen pedas. Jika Alya-san suka makanan
pedas maka—- ”
“Jangan anggap enteng seperti
itu. Alya, biar kuberitahu. Tidak hanya pedas, warung itu adalah tempat yang
menyajikan ramen super duper pedas. Aku juga belum pernah ke sana, tapi mungkin
ini adalah tempat yang tidak bisa kamu nikmati jika kamu bukan penggemar
makanan yang sangat pedas. Itu sebabnya—- ”
“Aku akan pergi.”
Alisa dengan jelas mengatakan
itu, menyela ucapan Masachika yang mencoba membujuknya.
Usai melihat ekspresi tak
gentarnya itu, Masachika berpikir dalam hati, “Kurasa tidak ada gunanya lagi”, sementara terus membujuk Alisa.
“Sejujurnya, aku pikir lebih
baik kalau kamu tidak perlu pergi ke sana, oke? Ada tempat lain yang bisa kita
kunjungi sebagai gantinya…. ”
“Kamu sangat menantikannya, ‘kan?
Kalau begitu aku juga ikut. Aku merasa tidak enakan bila sampai membuatmu
mengubah rencana hanya karena aku.”
“Tidak, kamu tidak perlu
memaksakan diri untuk datang….”
“Oh? Apa itu karena aku
menghalangimu? ”
“Aku tidak bermaksud begitu …
apa kamu penggemar makanan pedas juga?”
“Bukannya aku tidak suka
makanan pedas.”
Ia berpikir dalam hati, “Benarkaaah ~~?”, Tetapi
Masachika tidak bisa mengatakan apakah dia berbohong atau tidak.
Menurut apa yang dilihat Masachika,
Alisa sangat menyukai makanan manis. Ia tidak pernah mendengarnya langsung dari
orang yang bersangkutan, tapi Ia melihatnya sekilas dari setiap kata dan
tindakan yang telah Alisa lakukan sampai sekarang.
Jadi, jika seseorang bertanya
padanya apakah Alisa tidak suka dengan makanan pedas, Masachika tidak tahu.
Apalagi, Ia sama sekali tidak pernah ingat melihat Alisa memakan makanan pedas.
(Yah,
orangnya sendiri sudah mengatakan kalau dia baik-baik saja dengan itu, dan
mungkin juga ada sesuatu yang kurang pedas di menu….)
Setelah mengingatkan dirinya
akan hal ini, Masachika menuju ke tempat warung ramen dengan sedikit cemas.
◇◇◇◇
“….Tempatnya di sini?”
“Iya.”
Wajah Alisa berkedut saat
melihat ke tempat warung ramen di sepanjang jalan sempit, tidak jauh dari
gedung mall.
Masachika berpikir, “Aku bisa memahaminya” dan menganggukkan
kepalanya. Di sisi lain, Yuki memiliki senyum yang sangat bagus.
“Nama tempat ini adalah ‘The Cauldron of Hell’…. Ini ..
benar-benar warung ramen, ‘kan?” Tanya Alisa dengan ragu-ragu
“Ya, memangnya kenapa?”
“Tapi ada kata ‘Hell’ dalam nama warungnya….?”
“Tenang saja. Bahkan ada kata Hell di menunya.”
“…..Begitu ya.”
Mungkin karena terlalu kaget
atau sedikit kewalahan, bibir Alisa berkedut saat menganggukkan kepalanya.
“… .Mungkin kamu ingin berhenti
masuk?”
Namun, ketika Masachika
menunjukkan keprihatinannya, ekspresi Alisa langsung berubah menjadi tegas dan
menatap tajam ke arah Masachika.
“Mana mungkin aku berhenti
sekarang. Aku cuma terkejut dengan penamaannya yang unik.”
“Begitu ya….”
Alisa benar-benar menunjukkan
sifarnya yang tidak mau kalah, Masachika hanya bisa pasrah dan berpikir dalam
hati, “Tidak peduli apa yang kukatakan
dia tetap tidak mau mendengarkan” dan mengikuti Yuki ke dalam warung ramen.
“Selamat datang ~!”
Tiba-tiba, aroma menyengat
menghantam hidung dan matanya bersamaan dengan suara semangat karyawan di sana.
Di belakang Masachika, terdengar samar, “Uuh
!?”, yang keceplosan.
“Untuk berapa orang ~?”
“Tiga orang.”
“Baiklah ~ Silakan duduk di
sebelah sini ~”
Karyawan tersebut membimbing
mereka. Lalu kemudian mereka bertiga duduk dalam urutan yang sama saat mereka
datang.
Masachika menoleh ke Alisa yang
ada di sebelah kanannya dan melihat dirinya sedang memegangi hidung dengan mata
berkaca-kaca.
Masachika dan Yuki suka
mengunjungi toko-toko yang menyajikan makanan sangat pedas dan sudah terbiasa
dengan aroma menyengat ini. Tapi bagi Alisa yang kemungkinan besar adalah
pendatang baru, aroma yang menjengkelkan ini mungkin sulit untuk diterima.
“….Apa kamu baik-baik saja?”
“Apanya?”
Alisa menanggapi dengan suara
seolah-olah akan hancur sampai mati, dia jelas-jelas sok kuat. Dia segera
menutup matanya dan berusaha menghilagkan air matanya. Dia kemudian meraih menu
dengan tangannya, berpura-pura tenang…. dan tercengang saat membukanya.
“….Hei.”
“Hmm?”
“Bahkan ketika aku melihat
menunya, aku tidak tahu apa itu sebenarnya?”
“…..Memang.”
Masachika mengangguk lembut ke
arah Alisa yang membeku. Tapi itu bisa dimengerti.
Itu karena, “Blood Pond of Hell”, atau “Pincushion of Hell”, dan nama-nama
berbahaya yang tidak dapat dipikirkan secara umum terdaftar sebagai nama
hidangan.
Yuki, yang rambutnya diikat di
bagian bawah leher dengan karet gelang, membuat penjelasan dengan sikap sok tahu.
“Blood Pond of Hell, sama seperti namanya, itu adalah ramen yang
bercirikan supnya yang semerah darah, dan kepedasannya sudah di tingkat yang
paling pedas. Dan kemudian ada ‘Pincushion
of Hell’. Seperti namanya juga, rasa pedasnya akan membuat lidahmu serasa
ditusuk jarum yang tak terhitung jumlahnya ”
“Be-Begitu ya… lalu”
Sambil mengernyitkan wajahnya
setelah mendengar penjelasan Yuki, Alisa melihat ke arah nama hidangan di
bagian bawah menu yang tertulis dengan tulisan tangan yang menakutkan.
“Bagaimana dengan .. ‘Avici of Hell’ ini?”
Alisa bertanya dengan gugup dan
Yuki memberikan senyuman seakan menyatakan aku-senang-kamu-bertanya.
“Katanya ada ramen yang kepedasannya
sampai-sampai membuat lidahmu tidak bisa merasakan apa-apa!”
“Bukannya sarafmu akan …
mati?”
Di sebelah Alisa yang
menunjukkan ketidaksabaran di wajahnya akhirnya memahami bahwa toko ini sangat
buruk, Masachika memeriksa menunya sekali lagi dan memejamkan matanya,
menyadari tidak ada yang namanya hidangan yang aman dan kurang pedas di menu.
“…. Kalau begitu, kurasa aku
akan memesan ‘Blood Pond of Hell’.
Ketika kamu baru pertama kali mengunjungi tempat makan, itu merupakan hal
standar untuk memesan sesuatu yang standar.”
“Aku rasa begitu….. Yang
standar juga penting, ‘kan.”
“Oh? Apa kalian berdua akan
memesan hal yang sama? Kalau begitu, kurasa aku perlu memesan yang sama juga.”
Paling tidak, Masachika sudah
mengulurkan bantuan dan tanpa jeda, Alisa menimpalinya. Yuki juga memanfaatkan
ini, dan mereka bertiga akhirnya memesan hal yang sama dari menu.
“Ngomong-ngomong, baju Yuki-san
hari ini terlihat sangat tomboy. Hal itu sedikit mengejutkanku.”
“Fufufu, lagipula sekarang ‘kan
hari libur. Aku hanya ingin sedikit mengubah suasana hati saja.”
“Begitu rupanya. Ini pasti
sangat mengubah suasana di sekitarmu, tapi aku pikir baju itu sangat cocok
untukmu.”
“Terima kasih banyak. Pakaian
kasual Alya-san juga kelihatan manis kok. Aku pikir kamu adalah model
professional.”
“Benarkah? Makasih.”
Sambil merasa nyaman dan tidak
nyaman pada saat yang sama terhadap obrolan gadis yang terjadi di kedua sisi,
Masachika berkeringat dingin pada tatapan cowok-cowok yang ada di sekitarnya.
Terutama tatapan tajam seorang
karyawan cowok yang seumuran dengannya yang tampaknya pekerja sambilan di sini.
Tatapannya menyiratkan
seolah-olah Masachika adalah musuh bebuyutannya. Namun, mengesampingkan keadaan
sebenarnya, bila dilihat dari sudut pandang orang luar, Ia pasti terlihat
seperti sedang menggandeng dua kembang cantik jadi Masachika tidak bisa
mengatakan apa-apa mengenai itu.
Apalagi itu bukan sembarang
kembang. Keduanya adalah gadis cantik di tingkat di mana Ia akan mengangguk
jika mereka menyandang gelar sebagai “tak
tertandingi”.
Jika seorang cowok berpenampilan
biasa menemani dua gadis seperti mereka, bahkan Masachika juga akan ikut
menaruh perhatian. Dan, “Eh? Protagonis romcom? Memangnya kamu ini protagonis
dari harem romcom ya !? ”, Ia akan bersemangat mengoceh seperti itu. Begitulah
sifat seorang otaku.
(Sebenarnya,
mereka berdua tidak memperebutkanku, dan aku yakin mereka akan menebak dari
adegan ini kalau mereka berdua adalah teman dekat dan pembawa belanja mereka)
Seperti yang dibayangkan
Masachika, melihat dua gadis cantik bercakap-cakap tanpa melibatkan cowok yang
di tengah, “Cowok itu cuma tambahan,
ya”, mereka sepertinya setuju seperti itu, dan tatapan penuh penasaran
dari dalam toko mulai memudar.
Bahkan pekerja sambilan yang
memelototi Masachika dengan mata penuh iri dan kebencian, mulai melembut dan
kembali bekerja…. Tapi pada saat itu, Yuki melempar bom yang tak terduga.
“Sebenarnya, kaos dan celana
jeans ini pemberian dari Masachika-kun.”
Senyum Alisa langsung berubah
kaku, dan suasana di dalam toko ikut membeku juga.
(Imouto
yooooooooo—— !!)
Tatapan penasaran di dalam
toko, sekali lagi, terfokus kembali. Pekerja sambilan-kun itu memandang secara
bergantian antara Masachika dan Yuki dengan tatapan seolah-olah baru saja
melihat sesuatu yang tidak bisa dipercaya.
“… .Pemberian?”
“Ya, kalau di rumah, aku selalu
diberitahu untuk berpakaian dengan cara yang pantas untuk seorang wanita….
Tapi, aku ingin mencoba baju model begini, jadi aku meminta Masachika-kun untuk
itu.”
“Hee…. Jadi begitu rupanya.”
Senyuman di bibir Alisa berubah
menjadi senyuman sinis yang tidak menyenangkan saat tatapan tajamnya menembus
Masachika.
“Yang namanya teman masa kecil pasti
sangat dekat satu sama lain, ya~. Aku tidak pernah menyangka kalau Kuze-kun
memiliki hobi membuat seorang gadis memakai pakaiannya ”
“Tidak, itu bukan hobiku.”
“Itu benar. Ini bukan hobi tapi
fetish.”
“Kamu…tutup mulutmu sebentar!”
Ketika Masachika menyiratkan, jangan bilang apa-apa lagi lebih dari ini,
dengan matanya, Yuki membuat wajah penasaran.
“Oh? Namun, saat aku memakai kaos pacar1 tempo hari….. Aku
ingat kalau kamu terlihat sangat senang…. ” (TN : Nanti ada penjelasannya di bawah)
“Itu tidak benar!”
Yuki melemparkan bom tambahan
dengan wajah polos.
Seisi warung ramen menjadi
ribut. Ngomong-ngomong, “kebenaran”
yang dimaksud Masachika adalah kebenaran tentang Masachika yang terlihat
bahagia, dan Yuki yang mengenakan kaos
pacar.
Yuki kadang-kadang datang ke
rumah Kuze tanpa membawa baju ganti sendiri dan karena itu, dia akan menggunakan
kaos lama Masachika sebagai piyamanya.
Pertama kali dia melakukan itu,
Yuki yang bersemangat mengatakan “Ini kaos pacar, ini kaos pacar”. Masachika
memandang Yuki seperti itu dengan tatapan jengkel, tapi keadaan semacam itu
tidak diketahui orang lain.
“… .Kaos kering2?”
Tapi untungnya, Alisa yang
kurang paham dengan subkultur Jepang sepertinya tidak memahami maksuda dibalik
“Kaos pacar” itu.
“Jika kamu tidak tahu, biar
kuberitahu tentang itu”, ujar Yuki, yang mencoba melakukan bisikan iblis dengan
diselubungi senyum malaikat. Masachika segera mencoba untuk menghentikannya,
dan sebelum Ia bisa melakukan itu, pekerja sambilan-kun datang membawa ramen
pesanan mereka sambil memelototi Masachika dengan tatapan seolah-olah sedang
melihat musuh bebuyutannya.
“Terima kasih sudah menunggu ~
Ini adalah Tiga Ramen Blood Pond of Hell’~”
Alisa menatap ramen yang baru
saja tiba lalu keceplosan, “Uuh!”,
Dan menjauhkan tubuhnya ke belakang.
Selain dampak visual yang
mengesankan dari sup merah padam yang tidak mengkhianati namanya, uap yang
mengepul tampaknya juga menstimulasi selaput lendirnya.
Dua saudara kandung, yang
menyukai makanan yang sangat pedas, mengambil sumpit mereka dengan senyuman di
wajah mereka sementara Alisa tersedak ringan pada saat ini.
“Kalau begitu, ayo makan
sebelum mie-nya meregang.”
“Ya.”
“Ka-Kamu benar.”
Mereka bertiga berkata “Ittadakimasu” berbarengan.
Masachika dan Yuki menyantap ramen tanpa ragu, sementara Alisa menyendok mie
dengan gugup.
“Nnn! Enaknya~!”
“Ya, benar-benar sesuai dengan
namanya.”
Kakak beradik itu menyeruput
kuah dan tersenyum puas. Kini, Masachika menoleh sebelah kanannya dan mengintip
kabar Alisa ….
“….”
Di sana, dengan seluruh
tubuhnya yang menjadi kaku dan mata yang terbuka lebar, Alisa terus mengunyah
tanpa berkedip. Tangan kirinya di atas meja terkepal dengan kekuatan yang tidak
biasa, dan tinjunya gemetar.
“… .Alya, kamu baik-baik saja?”
“… .Mmm, ya, ini… enak.”
Dia menelan apa yang ada di
dalam mulutnya, dan kemudian Alisa akhirnya berkedip lagi dan menunjukkan ekspresi
meringis.
Masachika mengulurkan serbet
kertas , sambil tercengang dan terkesan padanya yang berpura-pura menjadi
tangguh pada saat ini.
“Lebih baik kamu menyeka
bibirmu dengan tisu setelah setiap menyeruputnya, oke? Bibirmu bisa membengkak
karena pedasnya.”
“….Terima kasih.”
Setelah melihat Alisa dengan
patuh mengusap bibirnya, Masachika mulai memakan ramennya lagi.
Setiap
aku menyeruput mie-nya, rasa pedas pedas dari cabai memenuhi bagian dalam mulutku.
Kepedasannya
membuatku berkeringat. Namun, rasa pedas ini memunculkan rasa bahan yang enak
dan membuatku menginginkan lebih dan lebih.
Terlebih
lagi, itu membuatku ingin mengintip ke dalam jurang laut merah tua ini (※ Ini cuma pendapat pribadi Masachika)
“Ya, ini memang lezat.”
Masachika menghembuskan nafas
puas. Dan ada suara yang ke telinga Masachika….
【Perih
sekali】
… .Dari sisi kanannya, muncul
keluhan yang sangat menyedihkan. Masachika melirik sekilas dan di sana, Ia melihat Alisa
memegangi sumpitnya yang benar-benar berhenti.
Dia entah bagaimana berhasil
mempertahankan ekspresinya yang tenang, tapi dia sepertinya tidak bisa lagi menggerakkan
sumpitnya.
Kemudian, Alisa menyadari
tatapan Masachika dan seolah didorong olehnya, dia menggerakan sumpitnya ke
dalam mangkuk lagi.
“Baiklah, Alya. Kamu tidak
perlu memaksakan dirimu, oke?”
“Apaan sih? Aku sudah bilang
kalau rasanya enak, ‘kan?”
Kamu
mengatakan itu perih dalam bahasa Rusia, ‘kan.
“Tidak… maksudku, ya. Aku
mengerti.”
Masachika penasaran apa dia
akan baik-baik saja, tapi Ia sendiri tahu tidak ada gunanya menyuruh Alisa
berhenti sekarang, jadi Masachika memutuskan untuk tidak mengkhawatirkannya
lagi.
Setelah istirahat sejenak untuk
minum air, Ia siap menghadapi jurang lautan merah lagi. Dengan sumpit—-
【Aku
sudah tidak sanggup….】
Aku
tidak bisa berkonsentrasi !!
Suara yang datang dari samping
terlalu lemah dan terdengar menyedihkan.
Tetap saja, Ia berusaha untuk
tidak mempedulikan tentang itu dan melanjutkan makannya. Tapi….
【Mamah….】
Ketika dia akhirnya mulai
bergantung pada bayangan ibunya, karena sudah
tidak tahan lagi, Masachika menengok keadaan Alisa.
(Ah,
gawat. Pupil matanya terlihat membesar)
Yang mengejutkan, ekspresi
wajah Alisa tetap tidak berubah sampai titik ini. Tapi…. ada .. bayangan samar kematian muncul.
Ini
tidak ada gunanaya. Aku berpikir untuk membiarkan dia melakukan apa pun yang
dia inginkan sampai dia menyerah, tapi sekarang tidak ada pilihan selain menghentikannya.
“Al—”
Tepat pada saat Masachika
hendak menghentikannya. Yuki tiba-tiba memanggil dari sisi lain.
“Bagaimana rasanya, Alya-san?”
Mata Alisa, yang benar-benar
terpesona oleh suara saingannya yang akan bersaing memperebutkan kursi ketua
OSIS berikutnya, menjadi fokus.
Perasaan persaingan terhadap
Yuki membuatnya bersemangat, dan Alisa mendapatkan kembali hidupnya dan bahkan
ada senyuman di wajahnya.
“Ya, ini enak.”
“Aku senang mendengarnya. Aku
baru tahu kalau Alya-san menyukai makanan yang sangat pedas juga.”
Alisa menunjukkan senyuman yang
agak mengerikan dan ganas, sedangkan Yuki menunjukkan senyuman polos. Dan
kemudian, dengan senyum polosnya, dia mengulurkan botol kecil untuk Alisa.
“Di toko ini, sepertinya kamu
bisa menambah kepedasannya dengan ‘Demon
Tears’ ini. Jika Alya-san tidak keberatan, maukah kamu mencobanya?”
Yuki, memulai serangan tak
terduga pada musuh yang sudah babak belur. Tepi bibir Alisa berkedut-kedut.
Ngomong-ngomong, bumbu ini
disebut “Demon Tears”. Nama
resminya adalah “Bahkan Setan pun
Akan Menumpahkan Air Mata”, dan seperti yang tersirat dari namanya,
rasanya begitu pedas sampai membuat setan akan menangis. Itu bumbu orisinil
toko ini.
(Tolong
hentikan! Hidup Alya-san sudah di ujung tanduk!)
Sambil berteriak di dalam
hatinya, Masachika baru menyadarinya.
(Begitu
ya. Karena dia bilang dalam bahasa Rusia, Yuki tidak menyadari kalau Alya
membocorkan keluhannya, ya)
Jika
itu masalahnya, mari kita bisikkan padanya secara diam-diam…. Dan
saat Masachika berbalik ke arah Yuki, Ia baru menyadarinya.
Dengan senyuman polos, kedalaman
mata Yuki menyimpan tatapan sadis.
(Gadis
ini, dia tahu apa yang dia lakukan….!?)
Masachika gemetar ketakutan.
Dari sampingnya, sebuah tangan putih mengulurkan dan mengambil toples kecil
yang disodorkan Yuki.
“Bahkan hanya dengan beberapa
tetes saja akan membuatnya terasa lebih enak, lho?”
“Tunggu, Alya !? Menurutku
lebih baik kalau kamu berhenti sekarang, oke !? ”
Terlepas dari peringatan
Masachika, Alya membuka tutup toples dan dengan sendok kecil, dia mengambil
cairan merah cerah dari dalam. Dia kemudian menebarkannya di atas ramennya.
Dan….
“~~~~~ !?”
Beberapa detik kemudian,
jeritan hening Alisa bergema memenuhi seisi warung ramen.
1. Awalnya “彼 シ ャ ツ” dibaca sebagai “Kare Shatsu” bisa
disalahartikan sebagai “Kaos Pacar” atau “Kaosnya”. Namun
pada kenyataannya memiliki arti lain:“Istilah
(kare syatsu) digunakan untuk menggambarkan cara cewek yang berpacaran dan
cewek dalam suatu hubungan mengenakan kaos cowok. Kata tersebut sering
digunakan untuk menggambarkan cara seorang wanita mengenakan kaos besar dengan
sedikit ekstra panjang dan lebar, yang dianggap menggemaskan. Kata itu juga
digunakan untuk menggambarkan seorang pria yang memakai sweter. ”
Dan arti sebenarnya yang dimaksud Yuki sebagai “Kaos
Pacar / Kare Shatsu” adalah bagian “wanita yang memakai kaos kebesaran”.
Bagaimana orang-orang di sekitar mereka memahami kata “Kare shatsu” masih diperdebatkan, tapi, ya … Perkataan
Yuki emang bikin orang terkejut.
2. JP asli “枯 れ シ ャ ツ” Juga
dibaca sebagai “kare shatsu”. Sama seperti “Kaos Pacar” dibaca sebagai “kare
shatsu”. tapi berbeda Kanji dan ekstra hiragana. dalam hal ini yang dimaksud
dengan Baju Dewasa/Baju Kering. Kanji “枯”
sendiri artinya layu, mati, kering, dibumbui. Sekali lagi, cuma kesalahpahaman
dari sisi Alisa.