Pengingat :
[
] = Alisa ngomong pakai bahasa Rusia
(
) = Monolog Masachika/Alisa/ Yang lain tergantung warna
“( )” = bisik-bisik
===========================================
“Baiklah,
hari ini cukup sampai segini saja dulu. Buat yang anak kelas 1, kalian boleh
pulang duluan.”
“Eh, apa itu tidak apa-apa?”
“Iya,
karena kita yang kelas dua mau membicarakan sesuatu dulu dengan Sensei. Karena
ada kemungkinan bakalan lama, jadi kalian boleh pulang duluan. Terima kasih
atas kerja kerasnya!”
“Kalau
begitu…..terima kasih atas kerja kerasnya.”
Setelah
mendapat ijin dari Touya, Masachika dan Alisa meninggalkan ruangan OSIS.
Sepertinya Yuki akan menunggu di ruang OSIS sampai mobil yang menjemputnya
datang, jadi cuma ada mereka berdua saja yang berjalan pulang.
(Sekarang….gimana nih)
Saat
Ia dan Alisa berjalan berdampingan, Masachika memikirkan bagaimana cara untuk
memulai percakapan. Bukannya karena ada sesuatu yang khusus. Ia cuma berpikir
kalau sekarang ialah waktu yang tepat untuk membahas rencana bagaimana
menghadapi pemilihan ketua OSIS di tahun depan.
Namun, suasana di antara mereka masih sedikit canggung setelah kejadian
yang terjadi di pagi hari tadi. Selain itu, Alisa bertingkah sedikit aneh
setelah menghadiri rapat klub seni bersama Yuki. Meski Masachika sedikit
kesulitan jika ditanya apanya yang aneh….
(Dasar si Yuki….dia pasti berbuat
sesuatu, iya ‘kan)
Berdasarkan
kejadian liburan tempo hari, tampaknya Alisa merasa penasaran dengan Yuki dalam
artian yang tidak terlalu baik. Alisa yang mempunyai sifat serius dan tidak mau
kalah, mungkin diakui oleh Yuki sebagai teman yang gampang untuk dijahili dan
digoda.
Mudah
sekali untuk membayangkan bagaimana dia menjahili Alisa sembari menyembunyikan
senyum iblisnya di balik senyum anggun.
(Haa….yah, percuma saja kalau aku terus memikirkannya)
Ia
menghela nafas dalam hati pada Alisa yang berjalan di sebelahnya dengan
ekspresi yang sulit, Masachika lalu membuat keputusan saat melihat restoran
keluarga yang familier.
“Ahh~
Alya?”
“Apa?”
“Jika
kamu tidak keberatan, gimana kalau kita mampir ke sana sebentar?”
“Eh….?”
Mata
Alisa membelalak saat Masachika menunjuk ke arah restoran keluarga.
“Ah
ini, aku cuma ingin membicarakan mengenai banyak hal karena kita berniat untuk
mengikuti pemilihan ketua OSIS tahun depan.”
“…Ah.”
Namun,
Alisa menyipitkan matanya terhadap alasan yang dibuat Masachika dan dia
mengangguk dengan santai.
“Yah,
aku tidak keberatan, kok”
“Begitu
ya, Kalau begitu ayo mampir ke sana.”
Merasa
lega karena ajakannya diterima, Masachika dengan cepat menuju ke restoran
keluarga dan meletakkan tangannya pada pegangan pintu masuk. Lalu…..
【Jadi ini bukan kencan, ya】
Serangan
mendadak muncul dari belakangnya!
(Guhaa! Dasar pengecut, beraninya main
belakang!)
Ia
berteriak dalam hati layaknya Samurai yang ditikam oleh pembunuh, Masachika
berpegangan pada daun pintu toko saat dirinya hampir romboh dan memasuki dalam
toko. Pelayan toko lalu memandu mereka ke meja kosong dan duduk saling
berhadapan, untuk sementara, mereka memesan minuman dulu.
“Etto…aku
pesan café au lait”
“Kalau
aku, pesan melon soda dan chocolate parfait.”
“Huh!?”
“……Apa?”
“Tidak,
bukan apa-apa….”
Masachika
tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar pesanan terkutuk
semacam itu, yang menggabungkan parfait cokelat yang sudah manis legit dengan
minuman manis soda melon. Alisa langsung membuat alasan dengan ekspresi yang
sedikit canggung, mungkin dia menyadari kalau pesanannya sedikit aneh.
“Kepalaku
cuma sedikit lelah…..cuma itu saja kok. Kamu perlu memakan sesuatu yang manis
untuk bisa membuat otakmu berputar, bukan?”
“Begitu
ya….ah, cuma itu saja pesanan kami”
Ini
bukan masalah manisnya, tapi lebih cenderung pada keserasian dalam
makanannya. Masachika tidak mengungkit
lebih jauh dan menatap pelayan yang berjalan menjauh, Ia lalu membuka mulutnya untuk
menghilangkan keraguannya sambil menunggu pesanannya tiba.
“Etto….apa
terjadi sesuatu dengan Yuki?”
“….Tidak
ada apa-apa.”
Meski
balasannya terdengar acuh, tapi jelas-jelas ada sesuatu yang terjadi karena
Alisa menjawabnya sambil memalingkan tatapannya.
(Yukiiiiiiii!! Dasar kampret, apa yang
sudah kamu lakukannnnnnnn!?)
Saat
Ia berteriak dalam hati sampai membuat pipinya berkedut, Alisa yang melirik ke
arah Masachika, terus melanjutkan ucapannya sambil tetap membuang muka lagi.
“Tidak
ada apa-apa…..Aku cuma memberitahunya kalau aku ikut pemilihan ketua OSIS
bersamamu.”
“Ah,
begitu ya…”
Masachika
yang berpikir kalau mereka tidak hanya membicarakan itu saja, dan bimbang apa
harus bertanya lebih jauh. Tapi kemudian, Alisa yang sedari tadi terus-menerus
melirik ke Masachika, bertanya dengan ekspresi tegas.
“Nee”
“Hmm?”
“Apa
kamu…..berpacaran dengan Yuki-san?”
“Pacaran
dengkulmu. Mana mungkin lah.”
Masachika langsung membalas pertanyaan Alisa yang tidak relevan. Tentu
saja. Itu merupakan pertanyaan normal bagi Alisa yang tidak mengetahui kalau
Masachika dan Yuki sebenarnya saudara kandung. Tapi bagi Masachika, pertanyaan
semacam itu sedikit keterlaluan sampai-sampai membuatnya ingin berteriak “Memangnya itu dari galge[1] mana!!”.
“…..salah
ya?”
“Ya
iyalah. Sangat salah”
Alisa
memandang dengan kebingungan terhadap jawaban tegas Masachika. Melihat
ekspresinya yang begitu, Masachika melanjutkan seraya menghela nafas.
“Aku
tidak tahu apa yang Yuki katakan padamu… tapi kami berdua itu sudah mirip seperti
keluarga. Jadi, kami tidak memendam perasaan romantis satu sama lain.”
“Tapi,
Yuki-san justru…..”
“Haa….mumpung
sedang membahas ini biar kuberitahu dengan jelas, jangan terlalu mempercayai
semua perkataan Yuki, oke? Dia bukan
wanita elegan seperti penampilannya. Dia cuma suka menjahilimu dan membuatmu
kesal saja.”
“………”
Alisa
menatapnya dengan ekspresi tidak yakin dan merasa tidak puas terhadap perkataan
Masachika. Tapi, pada saat itulah pesanan minuman dan parfait tiba, jadi
Masachika menghentikan pembicaraan mengenai Yuki dan mulai membahas topik
utama.
“Baiklah…..kalau
begitu, mari membahas tentang pemilihan ketua OSIS.”
Sembari
menyesap café au lait, Masachika menatap lurus ke arah Alisa yang sedang
meminum soda melon di depannya.
“Pertama-tama,
biar kuberitahu sesuatu dulu. Jika begini terus, kita takkan mungkin bisa
menang melawan Yuki.”
“!!!”
Alis
Alisa berkedut usai mendengar penyataan tak terduga itu. Dia kemudian
meletakkan soda melonnya dan menatap tajam wajah Masachika.
“…..tak
disangka kamu mengatakannya dengan sangat yakin.”
“Karena
memang itulah faktanya. Hal itu membuktikan sudah seberapa jauh Yuki
memantapkan dirinya sebagai Ketua OSIS berikutnya.”
Masachika
mengangkat bahunya tanpa takut, bahkan di bawah tatapan tajam Alisa.
“Lagian,
dari awal saja sudah kelihatan aneh karena kurangnya anggota dari anak kelas
satu di OSIS. Setiap tahun, setidaknya pasti ada tiga pasangan calon kandidat
Ketua dan Wakil Ketua. Kenyataannya, pada semester pertama kelas satu SMP, kira-kira
ada enam pasangan, termasuk aku dan Yuki. Jadi totalnya ada 12 anggota buat
anak kelas satu.”
“12
orang!? Ternyata cukup banyak juga….”
“Yah,
tapi karena setengah dari mereka langsung tersingkir dalam debat pra-pemilihan,
jadi cuma ada tiga pasangan yang benar-benar mengikuti pemilihan Ketua OSIS.”
“Debat?”
“Iya,
sesuatu yang berhungan dengan Rapat Umum Siswa. Begitu ya, masih baru satu
tahun sejak kamu pindah ke sini ya….Aku akan menjelaskan bagian itu juga.”
Rapat
Umum Siswa.
Bila
ada suatu masalah muncul di antara siswa dan tidak dapat diselesaikan melalui
diskusi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Atau jika ada siswa mempunyai
agenda yang ingin mereka sampaikan kepada OSIS, bisa dibilang ini mirip seperti
kompetisi debat yang diadakan di auditorium.
Dan
di sana, setiap perwakilan mengemukakan pendapat mereka, dan kemudian para
penonton akan memberikan voting untuk
menentukan keputusan tersebut.
Keputusan
yang dibuat dalam Rapat Umum Siswa mempunyai legalitas yang kuat dan sah, karena
semua murid yang menghadiri rapat tersebut menjadi saksinya.
“Misalnya
saja, masalah kemarin antara klub sepak bola dan klub bisbol akan diselesaikan
melalui Rapat Umum Siswa jika mereka tidak mencapai kesepakatan. Yah, kalau
dibesar-besarkan sampai segitunya, pasti gampang meninggalkan perasaan dendam… Pada
dasarnya, semua pihak perlu berdiskusi baik-baik sampai menemukan titik terang.
Mengadakan Rapat Umum Siswa merupakan pilihan terakhir.”
“Begitu
rupanya….meski kadang-kadang aku tahu kalau ada siswa melakukan sesuatu di
auditorium, jadi itulah yang terjadi sebenarnya, ya.”
“Rapat
Umum Siswa biasanya diselenggarakan oleh OSIS, tau? Satu-satunya pihak yang
berkaitan langsung cuma ketua dan wakil ketua, jadi anggota biasa tidak punya
banyak urusan dengan itu. Kami hanya memproses formulir ketika ada pengajuan
untuk mengadakan rapat umum.”
“Begitu…..lantas,
apa hubungannya hal itu dengan pemilihan ketua OSIS?”
“Hmm?
Ah….situasinya sedikit berbeda ketika para calon kandidat mengadakan rapat umum
siswa.”
Rapat
umum siswa sering diadakan karena perbedaan pendapat antar calon kandidat
mengenai tugas OSIS.
Yang
mana pada dasarnya, acara tersebut sering disebut debat.
Ini
karena, selama para calon kandidat berdebat dan menentukan siapa yang menang
atau kalahnnya, banyak siswa akan menganggap ini sebagai peringkat favorit di
antara calon kandidat.
“Begitu
peringkat popularitas telah ditetapkan dalam debat, hampir mustahil untuk bisa
membalikkan keadaan. Akibatnya, kamu sudah kalah duluan sebelum kampanye pemilihan.
Yah, meski secara mental pasti sulit rasanya untuk terus bekerja dengan orang
yang mengalahkanmu, dan dalam banyak kasus, orang yang kalah akan keluar dari OSIS.”
“Jadi
begitu ya….”
“Hmm,
biasanya memang begitu. Lalu jumlah calon kandidat akan mengerucut sampai tiga
atau empat pasangan saja. Yah, tidak semua siswa yang ikut pemilihat ketua OSIS
akan bergabung dengan OSIS juga sih…..tapi yang pasti, tahun ini jelas-jelas
sangat aneh.”
Sebelum
Masachika ikut bergabung, anggota OSIS kelas satu cuma terdiri dari Yuki dan
Alisa. Meski ada anggota lain yang bergabung, tapi mereka tak bisa bertahan
lama dan segera berhenti. Itu berarti……
“Mereka
semua langsung menyerah. Mereka pasti berpikir kalau mereka tidak bisa menang
melawan Yuki dalam pemilihan Ketua OSIS. Itulah sebabnya Yuki dianggap sebagai
Ketua OSIS berikutnya.”
“……..”
“Kurasa
aku tidak perlu menjelaskan lagi keuntungan menjadi Ketua OSIS di sekolah ini,
‘kan? Kenyataannya, karena gelar Ketua OSIS terlalu berharga, sampai-sampai
pada beberapa tahun lalu, ada banyak trik licik yang terjadi di balik layar
dalam acara pemilihan Ketua OSIS ── ”
Masachika
tumben-tumbennya berbicara tentang pemilihan Ketua OSIS dengan sangat serius.
Dan Alisa menatap sosoknya itu dengan perasaan yang rumit.
Alisa
biasanya menyalahkan sikap Masachika yang selalu tidak serius dan
malas-malasan, tapi ketika Masachika menjalankan tugas OSISnya dengan serius
seperti ini, rasanya hal itu bukan seperti sifatnya atau semacamnya.
Selain itu, dia juga tidak menyukai fakta bahwa Masachika tampaknya
tidak terlalu peduli mengenai mereka yang berduaan di restoran keluarga.
(Apa-apaan….dengan wajah tenangnya itu)
Alisa
yang sedari awal tidak punya banyak teman…..sebenarnya, ini merupakan
pengalaman pertamanya berduaan dengan lawan jenis di sebuah restoran.
Dia
menyadari kalau kata-kata bahasa Rusia yang dia ceploskan sebelum memasuki
restoran itu berasal dari hatinya. Semuanya itu karena pengetahuan salah kaprah
manga shoujo yang telah ditanamkan Maria dalam dirinya, jadi di dalam kepala
Alisa, “diajak cowok ke restoran keluarga
sepulang sekolah” = “Ajakan kencan.”
Alhasil,
dia merasa khawatir apa dia harus duduk di depan atau di samping Masachika, atau
bagaimana kalau ada siswa lain melihat mereka berdua, atau apa dia akan
terlihat dari luar jika duduk di dekat jendela. Tapi saat melihat wajah santai
Masachika, Alisa menyadari kalau cuma dia saja satu-satunya yang merasa khawatir.
(Apa-apaan sih? Apa kamu ingin bilang kalau kamu sudah terbiasa
berduaan dengan gadis di restoran keluarga? Ya ampun. Tidak hanya Yuki-san, tapi
sepertinya ada gadis lain yang dekat denganmu, ya?)
Ketika
Alisa mengingat perkataan Masachika saat dia menjabat tangannya dalam
perjalanan pulang kemarin, kemarahan pada saat itu juga kembali muncul dalam
dirinya.
Dia
meminum soda melonnya demi mengalihkan perhatian, tapi perasaan gundah di
hatinya masih belum menghilang. Alisa merasakan sentuhan kasar di lidahnya dan
dengan cepat menarik mulutnya, dia lalu menemukan sedotan yang sudah digigit
rata tanpa dia sadari.
Dalam
benaknya, “pantas saja sulit sekali buat diminum”
dan merasa malu karena dia secara tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
kekanak-kanakan.
“…
Tapi yah, berkat itu, sepertinya sekarang kita bisa mengadakan pemilihan Ketua
OSIS yang adil dan bersih.”
Di
hadapannya, Masachika masih berbicara serius seperti biasa, tapi isi
pembicaraannya tidak masuk ke dalam pikiran Alisa. Meski dia pikir kalau dia
harus berkonsetrasi karena Masachika sudah susah payah menjelaskan hal itu,
tapi tetap saja, tidak ada isi pembicaraan yang bisa masuk ke dalam kepalanya.
“Hmmm,
jadi begitu”
“Iya,
jadi, sebagai gantinya, ada banyak pertarungan debat di antara para kandidat──”
Alisa
membawa parfait ke dalam mulutnya sembari memberi respon yang samar-samar. Manisnya
es krim cokelat dan vanilla menyebar di mulutnya, dan kemudian dia merasakan
giginya bergemeretak…..Kali ini dia tak sengaja menggigit sendok dan buru-buru
mengeluarkannya dari mulutnya.
“Alya?
Apa kamu mendengarkanku?”
“uh!”
Pipi
Alisa memanas saat Masachika menatapnya dengan pandangan curiga. Alisa merasa
malu dan terhina saat dia yang biasanya memperhatikan justru ditegur oleh
Masachika.
“Aku
dengar kok. Perhatianku cuma sedikit teralihkan karena parfait ini.”
“…haa,
yah emang kelihatan enak sih….”
Masachika
memberinya anggukan setengah hati dan menatapnya seolah-olah berkata, “Memangnya hal itu sampai membuat perhatianmu
teralihkan?” Pipi Alisa semakin dibuat memerah.
(Apaan sih! Apaan sih! Ini semua gara-gara sikapmu aku jadi
bertingkah aneh begini!)
Alisa menghindari tatapan curiga Masachika
sembari meluapkan amarah yang tak masuk akal di dalam kepalanya….. Namun tiba-tiba, ide aneh (?) terlintas di benaknya saat melihat parfait
yang ada di hadapannya.
(Fufufu, benar juga…..kalau Ia tidak peka, maka aku tinggal buat Ia
peka saja!)
Dengan
rasa persaingan yang misterius, Alisa berkata dengan ekspresi jahil dan senyum
tak kenal takut menghiasi wajahnya.
“…..Mau
coba, mencicipinya?”
“Eh,
tidak usah…..”
“Bukannya
tadi kamu bilang ini kelihatan enak. Kamu tidak perlu sungkan-sungkan segala.”
Alisa
dengan santai menyendok krim parfait dengan saus cokelat di atasnya dan menyodorkannya
ke arah Masachika. Tindakannya tersebut membuat Masachika tertegun sejenak.
“Ini,
silahkan”
Ujung sendok yang jelas disodorkan ke arahnya. Posisinya jelas bukan
posisi orang yang menyerahkan sendok, dan meski tidak ada kata pasti “aaan”,
niat Alisa bisa terlihat dengan jelas.
(Eh? Apa-Apaan ini? Event
disuapi? Tidak, tidak, suasana kita tidak sedang seperti itu, ‘kan? Sejak kapan
pertandanya berkibar[2]??)
Seperti
yang Alisa harapkan, Masachika tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. ……
Meski cara tersipunya lebih mengecewakan dari yang diharapkan Alisa.
“Etto,
bukankah biasanya pakai sendok baru?”
“Tidak
perlu repot-repot memanggil pelayan restoran segala, ‘kan. Nanti yang dicuci
bakalan bertambah banyak.”
“Tapi…..”
Permainan memalukan macam apa ini? Saat
Masachika tetap merasa enggan, Alisa menyodorkan sendoknya lebih maju.
“Ayo
cepat…..hal yang begini sudah biasa di Rusia”
“Eh,
serius?”
Pengetahuan
Masachika mengenai Rusia sebagian besar berasal dari film atau buku, dan bukan
dari pengalaman langsung. Oleh karena itu, pemikiran kalau Rusia mungkin negara
yang tidak terlalu peduli tentang ciuman tidak langsung dan sejenisnya
terlintas di benak Masachika…….
(Ah, itu pasti bohong)
Ia
mengalihkan pandangannya dari sendok ke Alisa dan langsung menyimpulkan hal itu.
Karena, meski Alisa menunjukkan ekspresi jahil……tapi kalau dilihat baik-baik,
ujung telinga dan ujung jari Alisa perlahan-lahan berubah memerah. Karena kulitnya
yang putih, hal itu jadi sangat menonjol.
(Seriusan, kamu lagi kerasukan apa sih….?
Jangan memaksakan diri, jika kamu sendiri merasa malu)
Jika
begini, yang ada justru Masachika merasa tenang dan rasa malunya berubah jadi
kekhawatiran. Ekspresi Masachika dengan jelas menyampaikan hal ini, dan Alisa
tiba-tiba menjadi tenang.
(Apa sih….yang sedang kulakukan)
Begitu
dia kembali tenang, Alisa dilanda rasa malu atas tindakannya sendiri. Seluruh
tubuhnya terasa panas, dan dia merasa seolah-olah semua orang yang berada di
restoran menatap ke arahnya, dan dia tidak tahan tetap berada di sana.
Tetapi
dia tahu kalau dia menarik kembali sendoknya pada titik ini, rasa malu yang
dideritanya akan menjadi semakin tak tertahankan, jadi entah bagaimana dia
berhasil mempertahankan ekspresinya dan tetap menyodorkan sendok ke arah
Masachika.
“Lihat…..krimnya
akan meleleh, tau?”
“Ah,
iya…..”
Masachika
sendiri sudah angkat tangan untuk mencoba membujuk Alisa, karena Ia menyadari
kalau Alisa juga kesulitan menarik kembali sendoknya.
(Jangan bilang, kalau event ciuman tidak
langsung bakal terjadi di sini….tapi, itu tidak masalah. Berkat kejadian saat
bersama Masha-san tempo, aku sudah mensimulasikannya dan mempersiapkan hatiku!)
Pada
saat itu, Ia terlalu buru-buru menyimpulkannya, tapi situasi sekarang tidak
jauh berbeda. Dalam kejadian semacam ini, orang merasa malulah yang kalah. Ini
semua tentang bersikap normal dan menanggapinya dengan gaya!
(Ya, bedanya cangkir kertasnya cuma
berubah jadi sendok…..ya, cuma diganti sendok doang…..diganti kepalamu peang!!
Itu sendok, loh? Itu sendok yang masuk ke mulut Alya dan menyentuh lidahnya,
loh? Kalau itu masuk ke dalam mulutku, sebutannya bukan lagi ciuman tidak langsung,
tapi justru ciuman mesra tidak langsung!!?)
Akibat
dari menganalisis situasi dengan tenang, Masachika jadi tidak bisa
mempertahankan ketenangannya. Tanpa sadar, tatapannya tertuju pada bibir Alisa,
dan pada saat itu juga Alisa membuka mulutnya.
“Hora,
aa~n”
Akhirnya,
Alisa mengucapkan kata “aa~n”. Gigi
putih dan lidah merah Alisa yang indah secara alami terlihat jelas di mata
Masachika.
(Uwooooooooooo!!? Jangan segampang itu
menunjukkan lidahmu! Bukannya itu tidak bermoral! Itu tidak bermoral! Tapi mulut gadis cantik ternyata indah juga
ya, terima kasih banyak atas sajian cuci matanya!!)
Di
dalam hatinya, Masachika memegangi kepalanya dan berguling bolak-balik sampai
tujuh kali. Akan tetapi, entah itu karena naluri cowo atau sebab lainnya,
Masachika mendapati dirinya membuka mulut seperti anak burung yang disuapi oleh
induknya.
“A,
Aaaan…..”
Sendok
yang disodorkan langsung dimasukkan ke dalam mulutnya.
Masachika
secara refleks menutup mulutnya dan melahap krim dengan bibir atasnya. Padahal
beberapa saat yang lalu, Ia berpikir untuk menggunakan gigi depannya supaya
tidak terlalu banyak menyentuh sendok, tapi pemikiran itu benar-benar lenyap
dari dalam kepalanya.
(Ugyooooooooo—–—– !? Ciuman mesra tidak langsung! Aku melakukan
ciuman mesra tidak langsung—–—–!!? Bukannya kamu membuat kesalahan dalam melakukan
tahapannya? Bukannya kamu melewatkan
banyak tahapan!! Dasar bego, tahapan apa sih yang kubicarakan—–—–!?)
Dalam
hatinya, Masachika membenturkan kepalanya di atas meja dan jatuh pingsan karean
kesakitan. Lalu dalam bayangan itu, muncul wajah Yuki dengan ekspresi
cengengesan sembari berkata “Hehehe,
gimana Onii-chan? Bagaimana kesanmu mengenai rasa Alya-san?” dengan suara bisik-bisik dan menepuk pundak
Masachika. Untuk saat ini, Ia bangun dan menjitak wajah menyebalkan adiknya
itu.
Bahkan
dalam imajinasinya, adiknya masih saja berisik seperti biasa.
“…..Manis
ya”
“….Memang”
Masachika
sedikit panik saat berusaha menelan krim parfait dan memberi kesan yang terlalu
sederhana. Namun, Alisa juga tidak terlalu memberi banyak komentar, dan
diam-diam menarik kembali sendoknya.
(Tidak, maksudku suasana ini yang
manis!!…..seriusan dah, mau diapakan suasana manis ini)
Padahal beberapa saat yang lalu kita
membicarakan hal yang serius, kenapa malah jadi begini? Dan semoga saja situasi
ini takkan dilihat siapapun.
Meski
sudah terlalu telat, Masachika baru melihat area sekelilingnya…… lalu saat melihat
ke luar jendela, Ia menatap punggung sosok yang dikenalnya.
(Bukannya itu…… Taniyama[3]?)
Masachika
memiringkan kepalanya sembari menatap ke luar jendela, lalu Ia kembali dibuat
tersadar oleh suara batuk Alisa.
Ketika
Masachika berbalik menghadapnya, Alisa mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke
arah Masachika dengan ekspresi bermartabat.
“Jadi,
berdasarkan itu… menurutmu, bagaimana caranya supaya kita bisa menang melawan
Yuki-san?”
Dia
masih memiliki tatapan mata yang kuat meski menyadari kalau situasi sekarang
cukup sulit dan tetap mencoba untuk melihat ke depan. Masachika tanpa sadar
menatap kecemerlangan jiwanya yang bersinar di tengah-tengah kesulitan …
(Tidaaaakkkkkkkk—–—– mustahil, mustahil!!
Jangan tiba-tiba bertanya “jadi menurutmu, bagaimana cara kita supaya bisa
menang? *Cling*”!!! Kamu jangan memaksa masuk ke mode serius dalam suasana begini, Alya-san!!?)
Masachika
melakukan rentetan tsukkomi di dalam hatinya. Namun, Masachika juga ingin
melakukan sesuatu terhapap suasana aneh ini, jadi Ia memutuskan untuk membalas
pertanyaannya dengan normal.
“Hmmm
…… kalau itu sih, tentu saja, kita harus menempuh rute yang berbeda.”
“Rute
yang berbeda?”
“Yeah,
kita tidak punya peluang menang jika melawannya secara langsung. Kalau begitu,
kita tinggal ubah arah serangan dan menarik perhatian para siswa dengan cara
yang berbeda dari Yuki.”
“….Secara
khususnya gimana?”
Saat
ditanya Alisa, Masachika membalas “Hmm…” seraya melihat sekitarnya dan
menyimpulkan idenya.
“Ini
sama seperti kontes popularitas idol. …… Satu-satunya cara untuk
mengalahkan lawan yang kuat ialah kita perlu mengincar jadi sosok yang didukung
oleh semua orang.”
“…..Maksudnya?
Mendapat dukungan atau semacamnya. …… Bukannya kita memilih calon kandidat
Ketua OSIS karena ingin mendukung mereka sejak awal, bukan?”
“Tidak
juga, kok? Kebanyakan tidak selalu begitu. Pemilihan Ketua OSIS pada dasarnya
sama seperti kontes popularitas. Berbeda seperti idol di mana para penggemarnya
yang memilih, tapi yang ini seluruh murid di sekolah dipaksa untuk memilih…..Dalam
hal ini, murid yang tidak tertarik dengan pemilihan Ketua OSIS biasanya memilih
opsi “aman”. Dengan kata lain, pasti banyak murid yang memilih mantan Ketua
OSIS SMP yang sudah tepercaya, dan terbukti rekam jejaknya. Kenyataannya, aku juga
memilih mantan ketua OSIS pada pemilihan tahun lalu……. Meski aku masih terkejut
saat mengetahui kalau orang lainlah yang terpilih jadi Ketua OSIS.”
“Benar
juga….saat dipikir-pikir lagi, Ketua Kenzaki bukan anggota OSIS saat di SMP.”
“Ya,
jika mantan ketua dan wakil ketua OSIS SMP mencalonkan diri sebagai pasangan
yang sama ketika pemilihan Ketua OSIS SMA, peluang mereka untuk menang sekitar
70%. Dan Ketua Kenzaki memenangkan pemilihan itu, Ia memang orang yang luar
biasa. …… Dan yah, apa yang Ketua Kenzaki lakukan saat itu ialah membuat
cerita yang mana membuatnya didukung banyak orang.”
Sembari
dengan jujur memuji Touya, Masachika lalu mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam
tasnya.
Itu
adalah salinan koran sekolah edisi tahun lalu yang diterbitkan oleh klub koran
sekolah. Setelah mengeluarkannya, Masachika kemudian menunjuk ke suatu titik.
“Kamu
bisa melihat kolom kecil ini, ‘kan?”
“…..Apa
ini? 『Kenzaki
Touya, Jalan Menuju Kursi Ketua OSIS,
Chapter 5』?”
“Salah
satu anggota klub koran saat itu sedikit tertarik pada Ketua Kenzaki, yang
merupakan siswa rendahan, mencoba ikut serta dalam pemilihan Ketua OSIS, dan
mewawancarainya. Ketua sendiri tampaknya setuju untuk membuat fitur khusus di
bawah nama aslinya untuk membuat dirinya tetap termotivasi.”
“Hmmm,
…… yah, kamu tidak bisa berleha-leha saat berpikir kalau ada orang-orang
yang memperhatikanmu.”
“Iya.
Mungkin pada awalnya, anggota klub koran yang mewawancarainya juga cuma bersikap
setengah bercanda. Tapi kemudian, seiring berjalannya waktu, penampilannya
perlahan-lahan berubah dan nilai ujiannya semakin meningkat, jadi rasanya hal
itu berubah menjadi seperti kisah sukses yang nyata. Lalu makin lama makib
banyak pembaca yang berpihak padanya dan Ia akhirnya memenangkan pemilihan
ketua OSIS.”
“Jadi
begitu caranya membuat cerita yang didukung orang-orang….?Dengan kata lain, kita
harus menunjukkan kepada siswa lain seberapa keras kita berjuang dan berusaha?”
“Alya
memang luar biasa, kamu cepat memahaminya. Ya, itulah yang kumaksud.”
Masachika
menyesap café au laitnya, dan tersenyum puas pada pemahaman cepat Alisa, tapi……
kesadarannya sedari tadi sudah tertuju ke tempat lain.
(Jadi, mau diapakan sendok itu?)
Ia
terus kepikiran dengan sendok yang digunakan untuk menyuapinya.
Sekarang
sendok itu berada di tangan Alisa, lebih tepatnya di atas tisu, tapi karena masih
ada lebih dari setengah parfait cokelat yang tersisa, dan es krimnya akan
meleleh dan hancur jika dia tidak segera memakannya.
Apakah
Alisa benar-benar tidak menyadarinya atau dia berpura-pura tidak menyadari ini?
Di
sisi lain, Alisa dengan antusias membaca salinan koran sekolah yang disiapkan
Masachika…..sambil berpura-pura, tapi kesadarannya justru memikirkan hal yang
lain.
(Sendoknya, bagaimana ini?)
…..mereka
berdua memikirkan hal yang sama.
Alisa
yang sudah melakukan adegan “aaa~n”
dengan semangat persaingan yang tidak terlalu dia pahami, tapi sekarang setelah
menenangkan diri, dia merasa sangat malu sampai-sampai ingin mati.
Kalau
dipikir-pikir lagi, dia seharusnya tinggal memakan parfait lagi saja setelah
menyuapi Masachika. Yang harus dia lakukan hanyalah menggunakan sendok itu dengan
santai dan menggoda Masachika yang tersipu, seharusnya itu saja sudah cukup.
Tapi
karena Alisa sudah meletakkan sendok di atas tisu, rasanya semakin sulit untuk
menyentuhnya.
(Habisnya … Kuze-kun memakannya dengan sangat lahap … Tolong ada
rasa sungkan sedikit coba! Dasar mesum!)
Sambil mengalihkan tanggung jawab dan menyalahkan
orang lain, Alisa melirik sendok … dan tiba-tiba pandangannya tertuju pada
bekas krim yang masih menempel di sendok.
(Be-Bekas bibir Kuze-kun setelah disuapi, be-be-bekas bibirnyaaaaaa
~~~ ???)
Alisa
merasa tersipu sambil diam-diam merasa panik dalam hatinya. Kemudian Masachika
dengan ragu-ragu memanggilnya.
“Aah…
maaf. Apa aku boleh memesan sesuatu?”
“Eh?”
Saat
Alisa mengedipkan matanya, Masachika melihat sekelilingnya, lalu kemudian
tersenyum setengah malu dan setengah merasa getir.
“Jika
mencium aroma makanan, entah kenapa hal itu membuat perutku lapar … kurasa
melewatkan sarapan memang tidak baik.”
“Oh…
aku tidak keberatan”
Masachika
membuka buku menu setelah mendapat persetujuan Alisa. Usai membolak-balik
halaman menu dan menemukan apa yang mau dipesan, Masachika kemudian menekan
tombol panggil pelayan. Tak berselang lama, pelayan wanita segera mendatanginya.
“Maaf
sudah membuat anda menunggu~”
“Ah,
apa aku boleh memesan sesuatu?”
“Iya
silahkan. Apa yang ingin anda pesan?”
“Um
… tumis bayam dan daging babi asap, Mapo tofu Sichuan, nasi dan ….dua gelas
air dingin.”
“Saya
ulangi pesanan anda. Tumis bayam dan
daging babi asap, Mapo tofu Sichuan, nasi dan 2 gelas air dingin, ‘kan?”
“Oh,
omong-omong… apa tingkat kepedasan pada Mapo tofu ini bisa ditambahkan?”
“Boleh
ditambahkan kok?”
“Eh,
boleh?”
Pelayan
restoran itu tersenyum dan melihat kembali ke Masachika saat Alisa tak sengaja
keceplosan membalas.
“Ada
yang tingkat 2, tingkat 3, tingkat 5, dan sampai tingkat 10, anda mau memilih
tingkat berapa?”
“Seberapa
pedas buat yang tingkat 10?”
“Hmmmm……”
Lalu
pelayan itu melirik area sekeliling dan membalas dengan suara pelan.
“Sejujurnya,
rasanya itu super duper pedas. Saya sendiri pernah mencicipinya, tapi saya hanya
sanggup sesendok saja. Saya cukup yakin kalau tingkat kepedasan itu akan
menghancurkan perut orang.”
“Sampai
menghancurkan perut …… kelihatannya enak”
“Apanya?”
Alisa
yang melakukan tsukkomi dengan wajah datar, tapi Masachika mengabaikannya
dengan santai.
“Kalau
begitu, tolong buat sampai tingkat 10”
“Dimengerti~
tingkat 10, ya. Apa itu saja pesanan anda?”
“Iya,
dan… kalau boleh, aku minta sendok baru.”
Masachika
mengatakan itu sambil melihat sendok yang ada di tangan Alisa, dan pelayan itu mengangguk
tanpa bertanya lebih jauh.
“Baiklah.
Kalau begitu, mohon tunggu sebentar.”
Seraya
melihat pelayan restoran kembali ke
dapur, Alisa menggerutu pada Masachika yang sedang memegang buku menu.
“Padahal
tidak usah diganti segala.”
“Maksudmu
tentang sendok? Akulah yang merasa malu. Mungkin hal itu normal di Rusia, tapi
hal begitu terlalu merangsang bagi cowok SMA di Jepang.”
“Hm,
gitu ya……”
Setelah
mengangguk dengan enggan, Alisa tiba-tiba tersenyum nakal.
“Tak
disangka Kuze-kun masih naïf sampai-sampai tersipu cuma karena ini. Kupikir
kamu sudah terbiasa dengan gadis.”
Alis
Masachika berkedut usai mendengar ucapan Alisa, lalu membalas seolah-olah
mengkhawatirkannya
“Justru
menurutku, aku tidak bisa mempercayai kalau ada banyak orang yang bisa
melakukan hal seperti ini dengan santai. Memangnya ciuman tidak langsung sudah
menjadi hal wajar di Rusia?”
Saat
Masachika mengatakan itu dengan senyum kaku, Alisa mengerutkan alisnya dan
terdiam. Setelah terdiam beberapa saat, dia bergumam dengan wajah tidak puas.
【Aku takkan melakukannya dengan siapapun selain kamu. Baka】
Selamat Masachika-kun. Kamu jadi orang
pertama yang mendapat ciuman tidak langsung Alya-san!!
(Terima kasih… Apa mungkin, aku bakalan
mati hari ini?)
Masachika
memandang ke arah luar jendela dengan tatapan jauh pada pengumuman ucapan selamat
yang terngiang-ngiang di otaknya. Lalu, pelayan restoran yang menerima pesanan
Masachika datang sembari membawa sendok baru.
“Maaf
membuat anda menunggu~ saya akan menaruh sendok barunya di sini.”
“Ah,
ya… Terima kasih banyak.”
Saat
Alisa menerima sendok baru, Masachika segera mendesak Alisa untuk memakan
parfait dengan tatapan jauh di matanya.
“Hora
… cepetan dimakan. Nanti meleleh loh?”
“…
benar juga”
Sembari
mengangguk patuh, Alya mendorong parfait yang sedikit miring dalam satu
gerakan, menyendok krim di atas dan cornflake di bagian bawah, dan membawanya
ke mulutnya. Setelah memakannya dengan tenang dan menghabiskannya dalam
beberapa menit, lalu bertepuk tangan dan menyeka mulutnya dengan tisu seraya
mengucapkan, “Terima kasih atas
makananya”.
“Meski
begitu … porsi makanmu banyak juga, ya.”
“Hm?…
ahh.”
Masachika
memiringkan kepalanya sejenak dan menyadari kalau makanan yang dipesannya
dianggap camilan, lalu mengoreksi kesalahpahaman Alisa.
“Aku
cuma berpikir untuk sekalian makan malam di sini.”
“…
Sedari tadi aku sudah kepikiran, tapi apa kamu tidak menghubungi rumahmu dulu?
Bukannya orang tuamu sudah menyiapkan makanan untukmu?”
“Tidak,
orang tuaku sedang tidak ada di rumah sekarang.”
“Begitu
ya ……”
Pada
dasarnya, Masachika lah yang menyiapkan makanan untuk keluarga Kuze yang cuma
terdiri Ayah dan seorang anak. Bahkan Ketika ayahnya jauh dari rumah untuk
bekerja, Ia biasanya memasak untuk dirinya sendiri..
“Lagipula
aku sendirian, dan rasanya terlalu merepotkan kalau harus masak dulu setelah
sampai di rumah.”
Sebenarnya,
ada adik perempuan yang selalu menerobos masuk ke apartemennya tanpa
pemberitahuan dan membuatkannya makanan. Tapi hari ini mungkin dia takkan
datang menerobos lagi … jadi Masachika tidak terlalu memusingkannya.
“Memasak…….
Eh, kamu bisa memasak, Kuze-kun?”
Masachika
mengangkat bahunya dengan santai kepada Alisa yang tampak terkejut.
“Kalau
yang gampang-gampang saja. Aku tidak bisa membuat sesuatu yang besar karena
yang bisa kulakukan cuma memasak yang sederhana atau makanan cepat saji.”
“Tapi
tetap saja itu masih mengejutkan. Karena kamu terlihat seperti tipe orang yang
tidak mau repot-repot untuk memasak.”
“Yah,
aku sendiri tidak menyangkalnya.”
Nyatanya,
bukannya Masachika suka memasak atau semacamnya. Ia cuma melakukannya karena
hal itu lebih mudah untuknya.
Pada
masa-masa awal SMP, Masachika sarapan dengan roti yang dibeli kemarin, lalu makan
siang di kantin sekolah, dan untuk makan malamnya, Ia membeli bento dari
minimarket, tapi setelah menjalani gaya hidup begitu selama sebulan, Ia pun
merasa bosan. Sejujurnya, berbelanja setiap hari terlalu merepotkan baginya.
Lalu pada suatu hari, Masachika iseng-iseng mencoba memasak makanan cepat saji
yang pernah dilihatnya di TV dan menyadari kalau waktu yang dibutuhkan untuk
berbelanja dan waktu yang dibutuhkan untuk memasak serta mencuci piring ternyata
tidak jauh berbeda.
Selain itu, Masachika diberikan 2.000 yen[4] sehari sebagai uang makan saat ayahnya tidak pulang
untuk perjalanan bisnis. Dengan kata lain, Ia bisa lebih berhemat dengan
memasak makanan sendiri, karena uang yang tersisa itu akan masuk ke kantongnya
sendiri. Jadi berdasarkan pertimbangan kelebihan dan kekurangan tersebut,
Masachika memilih untuk memasak sendiri.
“Alya
sendiri bagaimana? Apa kamu bisa memasak?”
Masachika
dengan santai bertanya, karena Ia pikir kalau gadis super sempurna ini bisa
memasak sampai batas tertentu, tapi…..
“……”
Alisa
diam-diam memalingkan pandangannya. Masachika bisa langsung menebak kenapa dia
tidak mau menjawab.
“Yah,
cuma ada sebagian kecil orang yang bisa memasak pas kelas satu SMA.”
“Bukannya
aku tidak bisa melakukannya …… itu karena membutuhkan banyak waktu saja.”
“Oh…
Apa jangan-jangan, kamu ini tipe orang yang dengan hati-hati dan teliti
memotong sayuran agar ukuran dan ketipisannya sama?”
“Yah,
begitulah. Terus, aku penasaran apa bahan-bahannya sudah dimasak secara merata
dan apa bumbunya sudah ditebar dalam jumlah yang benar atau tidak….”
“Bukannya
itu, bakalan gosong”
“…..”
Alisa
menyedot minuman soda melon dengan wajah canggung, karena mungkin tebakan
Masachika tepat sasaran.
Masachika
berusaha menahan tawa dan merasa yakin kalau itu sangat menggambarkan sifat
Alisa, seorang gadis yang perfeksionis. Dalam memasak, ketepatan memang
penting, tapi yang lebih penting lagi ialah ketangkasan. Berdasarkan pengalaman
Masachika, triknya adalah tetap menjaga bagian-bagian penting tetap terkendali
dan membumbui masakan secara kasar sesuai perkiraan, tapi Alisa yang merupakan
tipe perfeksionis, mana mungkin bisa melakukan hal semacam itu.
“…
Apa boleh buat, karena aku penasaran, sih. Ketika aku melihat Masha
melakukannya dengan sembarangan, tanganku terasa gatal….”
“Ah~
entah kenapa aku bisa membayangkannya.”
Bayangan
Maria dengan senyum lembutnya yang biasa melemparkan bahan dan bumbu ke dalam
penggorengan muncul di benak Masachika, dan Ia tertawa sembari berpikir bahwa
dia melakukan pekerjaan dengan baik. Berkebalikan dari adiknya, Masachika pikir
kalau dia tak bisa memasak, tapi sepertinya tidak begitu.
“Tapi
entah kenapa, makanan yang dimasaknya terasa enak …”
“Bukannya
itu berarti dia pandai memasak!”
Tampaknya
Maria-san pandai memasak juga.
(Seriusan. Orang itu benar-benar
sempurna.)
Masachika
menepak dahinya saat teori kalau “ Apa Masha-san sebenarnya lebih berbakat
ketimbang adiknya” muncul. Mungkin merasa canggung dengan sikap Masachika,
Alisa melambaikan tangannya dan kembali membahas topik pemilihan ketua OSIS.
“Mari
kesampingkan hal itu. Jadi secara rincinya, cerita macam apa yang sudah kamu
pikirkan?”
“Eh,
aah … benar juga. Sampai mana pembicaraan kita tadi?”
“Sampai
mencoba membuat cerita yang akan didukung oleh para siswa, seperti yang pernah
dilakukan Ketua Kenzaki.”
“Ahh
sampai situ ya …”
Saat
Alisa mendapatkan kembali ketenangannya, Masachika juga mengubah ekspresinya
dan berkosentrasi pada pemikirannya.
“Yah,
seperti kata Alya, kita perlu menunjukkan kerja keras kita dulu. Khususnya …
pada upacara penutupan semester pertama.”
“Upacara
penutupan semester pertama? Apa kamu merujuk pada sambutan dari para anggota
OSIS?”
Ia
mengangguk pada Alisa yang sepertinya sudah memahami maksudnya.
“Benar.
Bisa dibilang kalau itu panggung anggota OSIS untuk ajang pamer, ‘Aku akan melakukan terbaik di angkatan ini
dengan anggota ini.’”
“Kalau
tidak salah setelah itu, tidak ada anggota OSIS baru, ‘kan?”
“Iya.
Setiap tahun selama semester pertama, memang selalu ada anggota OSIS baru yang
masuk dan keluar, tapi setelah acara sambutan ini, bahkan jika mereka keluar,
mereka tidak bisa masuk jadi anggota lagi. Lalu … Acara sambutan ini juga
merupakan kesempatan bagi anggota OSIS kelas satu untuk mengumumkan kalau
mereka akan mencalonkan diri dalam pemilihan ketua OSIS.”
“Setelah
dipikir-pikir lagi, tahun lalu juga seperti itu …”
Alisa
mengangguk sembari mengingat kembali acara sambutan saat mereka masih kelas 3 SMP,
dan Masachika memberitahunya dengan ekspresi serius.
“Ini
merupakan sambutan pertama di hadapan seluruh siswa. Aku tidak perlu
menjelaskannya mengenai betapa pentingnya itu, ‘kan?”
“Benar
juga …”
Alisa
memasang ekspresi serius dan memikirkannya baik-baik. Dia melihat ke bawah
sebentar dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu, tapi tiba-tiba dia memandang
Masachika dengan tatapan sedikit cemas.
“…Sambutan
macam apa yang harus kuberikan?”
Masachika
membalas santai kepada Alisa yang sedang mencoba mengandalkan pasangannya
dengan suara kecil.
“Kamu
bisa berbicara sesukamu. Dengan perasaan yang tulus, lebih baik berbicara
menggunakan kata-katamu sendiri sehingga para pendengar dapat memahaminya.”
“Apa-apaan
itu. Memangnya tidak ada satupun saran yang khusus?”
Alisa
mengerutkan kening dengan ekspresi tidak puas padahal dia sudah
mengandalkannya, dan malah mendapat balasan yang asal-asalan. Di sisi lain,
Masachika menjawab sembari mengangkat bahunya.
“Bahkan
jika kamu melakukannya dengan tidak terlalu buruk, kamu cukup menjadi dirimu
sendiri saja sudah banyak yang ingin mendukungmu. Aku akan membantumu pada
bagian di mana kata-katamu yang kurang, dan kamu bisa berbicara sesuai
keinginanmu.”
Kata
yang diucapkan dengan santai. Dan kata itu…..
“Gitu
ya …”
Alisa
merasa tersipu. Ekspresi wajahnya yang tadinya tidak puas berubah menjadi malu-malu,
dan tatapannya melirik ke sana-kemari tidak karuan dengan gelisah. Kemudian, dia
membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu sambil memainkan ujung rambutnya
dengan jarinya, dan setelah berpikir sejenak, dia menggumamkan sesuatu dalam
bahasa Rusia.
【… Sebelah mananya? 】
Masachika
memandang ke arah Alisa, yang tampak gelisah dan curi-curi pandang ke arahnya
seraya memohon dalam bahasa Rusia, “Puji
aku, puji aku”.
(Bagian tsundere-mu itu, tau. Bukannya
itu sangat imuuutttt)
Saat
Masachika meluapkan uneg-uneg dalam hatinya, makanan yang Ia pesan akhirnya
tiba.
“Apa
pesanan anda hanya ini saja?”
“Ya”
“Baiklah,
kalau begitu silahkan dinikmati~”
Setelah
menatap pelayan yang pergi menjauh dan dan melirik Alisa, yang menangkap
maksudnya, lalu mendesaknya “Silahkan saja”.
“Kalau
begitu, maaf … selamat makan.”
Masachika
menangkupkan kedua tangannya dengan sungkan dan mulai mengarahkan sendoknya ke
piring putih berisi tumis bayam dan daging babi asap. Setelah menghabiskan
hidangan itu sebagai hidangan pembuka, Ia lalu menyantap hidangan utama,
Shicuan Mapo tofu, yang direbus dalam panci besi tipis.
Tahu
putih yang dipotong kotak-kotak dibalut kuah
merah kehitam-hitaman yang tampak seperti magma, dan Masachika langsung memasukkannya
ke dalam mulutnya bahkan tanpa membiarkannya dingin.
“Heee
… buat sekelas restoran keluarga, rasa pedasnya cukup lumayan.”
Masachika
mengangguk puas dengan rasa pedas yang menempel di gusinya. Alisa melihat
pemandangan itu dengan alis yang terangkat.
“…Memangnya
itu enak?”
“Hmm?
Lumayan lah. Mau mencobanya?”
Usai
mengatakan itu, Masachika berpikir, “sial,
aku keceplosan.”
Perasaan
tidak nyaman karena cuma Ia sendiri yang, dan adegan disuapi “aa~n” beberapa saat lalu membuatnya
mengatakan sesuatu tiba-tiba, tapi saat dipikir-pikir lagi, tingkat kepedasan
makanan ini bukanlah sesuatu yang bisa Alisa makan.
Namun,
di hadapan Masachika yang tidak yakin apa akan menarik kembali pernyataannya
itu atau tidak setelah diucapkan……Alisa pun sama-sama merasa ragu.
Sejujurnya,
dia tidak ingin memakan hidangan yang jelas-jelas terlihat berbahaya seperti
itu. Tapi, jika dia menolaknya sekarang, fakta kalau dia bukan pecinta makanan
pedas akan terbongkar.
(Masih ada air. Minuman melon soda juga masih ada sedikit. Tidak
apa-apa, aku yakin kalau sesendok saja pasti baik-baik saja)
Setelah
memeriksa jumlah sisa item pemulihan minuman yang tersedia, Alisa pun mengambil
keputusan.
“Kalau
begitu, sedikit saja”
“Aah
… ya … oke”
Sambil
menebak pikiran Alisa dengan sangat akurat, Masachika pura-pura tidak menyadari
dan meraih piring kecil.
Ia
berpikir setidaknya akan menyajikan lebih banyak tahu, tapi saat Masachika
menyendok ke dalam hidangan Mapo tofu ……yang Ia dapatkan justru bom
berwarna merah.
“Eh,
hebat juga. Isinya malah cabai semua, nih.”
“!?”
Masachika
meletakkan senjata pembunuh berwarna merah terang itu ke atas sendok dan
melirik ke arah Alisa, …… sedangkan Alisa memandangnya dengan tatapan memelas
seperti anak anjing. Mata birunya yang sedikit sembab seolah-olah menyiratkan,
“Aku tidak butuh, Aku tidak
membutuhkannya”. Ketika melihat tatapan matanya itu … Malaikat kecil dan
iblis kecil muncul di dalam batin Masachika.
Untuk
beberapa alasan, seorang malaikat dalam bentuk Maria kecil berbicara dengan
lembut dan menegurnya.
『Jangan,
jangan lakukan itu pada Alya-chan. Pokoknya jangan』
Di
sisi lain, untuk beberapa alasan, iblis dalam bentuk Yuki kecil berbicara dengan
suara vulgar seakan-akan berusaha menghasutnya.
『Gehehehe,
lakukan saja, Aniki. Aku paham kok? Pandangan berkaca-kaca Alya bikin membuatmu
ingin menjahilinya, bukan? 』
Bujukan malaikat kecil dan godaan iblis kecil. Dua emosi yang saling
bertentangan membuat Masachika bimbang dan kemudian Ia menggertakkan giginya.
(Sialan, aku… aku…!?)
Tangan
Masachika gemetaran saat Ia dilanda kebimbangan apakah akan mengangkat atau
menurunkan senjata biologis di tangannya. …… Jika cuma melihat bagian ini
saja, Ia sepertinya sedang berjuang di medan perang untuk menembakkan
senjatanya atau tidak, tapi pada kenyataannya, benda yang ada di tangannya cuma
sendok berisi cabai. Rasanya seperti ‘Apa
sih yang sedang kulakukan di restoran keluarga ini’.
『Aku
pikir kamu bukan tipe orang yang tega menyakiti seorang gadis. Karena Kuze-kun…
』
『Minggir!!』
『Kyaaa!
』
Dalam
pikirannya, tubuh Yuki kecil meledak, dan Maria kecil terpental jauh seraya
berteriak “Aaa~reeee~”. Semua perdebatan
itu diselesaikan dalam hitungan detik. Ada terlalu banyak perbedaan dalam
kekuatan bertarung antara malaikat dan iblis.
(Maafkan aku, Alya)
Sambil
meminta maaf di dalam hatinya, Masachika menjual jiwanya kepada iblis kecil
yang ada di dalam dirinya.
“Ya,
kalau begitu aku akan memberimu bagian yang paling enak”
“……Terima
kasih”
(Aku sedang melakukan sesuatu yang sangat
jahat sekarang)
Masachika
menyerahkan piring kecil kepada Alisa sembari memasang senyum manis dan
berpikir hal demikian seakan-akan itu urusan orang lain. Alisa mengambil sepasang
sumpit dari kotak sumpit di tepi meja dan membawa hidangan mapo tofu itu ke
mulutnya … lalu meletakkan piring di atas meja dan memejamkan mata.
“…
Bagaimana rasanya?”
“…
Rasanya lumayan”
Alisa berbicara tanpa mengubah ekspresinya. Akan tetapi, Masachika
menyadarinya. Tangan Alisa yang terkepal di atas meja bergetar. Alisa
mati-matian menahan tangan kirinya untuk tidak meraih minuman dan tangan
kanannya berusaha keras untuk menahannya. Masachika menyadari semua itu, tapi…..
(Maaf, Alya)
Masachika
tersenyum jelas seraya dalam hatinya melontarkan kalimat seperti karakter yang
telah mengkhianati seorang teman karena keadaan yang tidak dapat dihindari.
“Alya…
hidangan utamanya masih tertinggal.”
“……”
Untuk
sesaat, Alisa memberinya tatapan kalau itu adalah makanan yang tidak boleh
diberikan gadis mana pun, tapi Masachika pura-pura tidak menyadarinya.
Didesak
oleh senyum Masachika, Alisa melemparkan sisa cabai di piring kecil ke dalam
mulutnya. Dia lalu menutup mulutnya dengan tangan kanannya dan menunduk
dalam-dalam.
“… Alya?”
【Bakaa】
Menanggapi
panggilan Masachika, Alisa membalasnya dengan gumaman lemah dalam bahasa Rusia.
【Bakaa, bakaa】
Tanpa
menunjukkan ekspresinya, dia mengulangi kata “Baka” dengan suara gemetaran seakan menahan air mata. Apakah kata
tersebut ditunjukkan pada Masachika, atau ditunjukkan dirinya sendiri karena
begitu keras kepala…
“Mendingan minum air saja dulu? Gimana?”
【Bakaa … 】
Dia
menyadari perilaku buruknya dan menyesalinya, tapi Alisa tetap terus-terusan
mengucapkan kata “baka”. Pada akhirnya,
setelah itu tidak ada percakapan di antara mereka berdua, Masachika dengan
cepat menyelesaikan makannya seraya menunggu Alisa pulih, dan kemudian
meninggalkan restoran keluarga.
“…
Sepertinya kita menghabiskan banyak waktu untuk berbicara.”
“…
Benar juga.”
Saat
Alisa mengatakan itu sembari berjalan di bawah langit yang sudah gelap,
Masachika segera membuang muka dengan rasa bersalah, dan berpikir, “Itu karena kamu butuh waktu lama untuk pulih”.
Namun, Masachika tidak menyesalinya, Sejujurnya, Ia merasa tersentuh saat
melihat Alisa yang selalu sok kuat tampak ingin menangis. Ia tak keberatan
kalau dipanggil cowok kampret yang tak punya perasaan.
“Ngomong-ngomong…..
apa yang akan Yuki-san lakukan?”
“Eh?”
Ketika
Ia mengangkat wajahnya usai mendengar nama tak terduga yang tiba-tiba muncul,
Alisa melirik Masachika dengan ekspresi yang sedikit canggung..
“Soalnya…
Karena kamu sudah memutuskan untuk mencalonkan diri bersamaku, jadi Yuki-san
juga membutuhkan … calon wakil ketua, ‘kan?”
“……iya”
Masachika
menganggukkan kepalanya, mencoba mencari tahu apa yang dia ulangi, tetapi Ia
tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Setelah menatap Masachika, Alisa terus
melanjutkan dengan ekspresi sedikit tidak puas.
“Seperti
yang sudah kita bicarakan tadi, anggota OSIS akan ditetapkan pada upacara
penutupan semester pertama, ‘kan? Aku ingin tahu apa dia bisa mencari calon
wakil ketua sebelum waktu itu tiba.”
“Yah,
dalam kasusnya, popularitasnya sendiri begitu besar sehingga tidak peduli siapa
pasangannya….”
“Lagipula, Aku yang tidak mencolok buat
menjadi pasangannya masih bisa memenangkan pemilihan ketua OSIS SMP,” imbuh
Masachika sambil mengangkat bahunya. Namun, Ia langsung menggaruk kepalanya
dengan canggung saat mendapat tatapan meragukan dari sebelahnya.
“Yah,
karena dia punya banyak teman, jadi mungkin dia bisa menemukan seseorang yang
cocok?”
Setelah
mengatakan itu, Masachika lalu memikirkan kemungkinan siapa yang bakal menjadi
pasangan Yuki nantinya.
“Kalau
dipikir secara normal, dia pasti akan memilih sesorang yang pernah menjadi
anggota OSIS … hmm …”
Kemudian,
Masachika jadi teringat dengan punggung seorang gadis yang dilihatnya saat di
restoran keluarga tadi.
“Benar
juga….. kalau dia sampai memilih Taniyama, ini bakalan sulit…”
“Taniyama?
Siapa?”
“Taniyama
Sayaka. Dia adalah lawan berat Yuki dalam pertarungan memperebutkan posisi
ketua OSIS saat masih SMP dulu…… Eh? Kamu tidak tahu?”
“Aku
tidah tahu.”
Saat
Alisa menggelengkan kepalanya, Masachika mengangkat alisnya dan memiringkan
kepalanya.
Masachika
mengira bahwa dia adalah salah satu dari sedikit gadis yang pernah bergabung
dengan OSIS dan segera berhenti setelahnya.
(Apa dia sudah menyerah untuk menjadi
ketua OSIS…?)
Di
masa lalu, mereka bekerja bersama di OSIS …… dan memikirkan gadis yang dikalahkan mereka dalam pemilihan ketua OSIS
memunculkan kembali perasaan getir di hati Masachika.
“Kuze-kun?”
“Oh
tidak … yah, cepat atau lambat kita pasti bakalan tahu? Kita baru
memikirkannya setelah tahu siapa pasangannya.”
“Benar,
juga …”
Alisa
mengangguk dengan ekspresi sedikit curiga. Masachika juga berhenti
memikirkannya dan mengingat-ingat kembali mantan anggota OSIS masa SMP, merasa
penasaran siapa yang akan dipilih Yuki sebagai pasangannya.
Akan
tetapi, jawaban yang benar untuk pertanyaan tersebut ternyata sudah terjawab
lebih cepat dari yang diharapkan Masachika. Pada waktu sepulang sekolah
keesokan harinya. Murid yang dibawa Yuki justru … bukan mantan anggota OSIS
semasa SMP.
“Ayano”
“Ya,
Yuki-sama.”
Menanggapi
panggilan Yuki yang berdiri di depan pintu ruang OSIS, siswi yang menunggu
secara diagonal di belakangnya melangkah maju tanpa suara.
Kemudian,
setelah membungkuk dengan kedua tangan sejajar di depannya, dia melihat satu
per satu kelima anggota OSIS yang duduk di kursinya masing-masing, dan mulai memperkenalkan
dirinya dengan suara tanpa intonasi..
“Senang
bertemu dengan Anda semua. Nama saya Kimishima Ayano dari kelas 1-C . Dalam
kesempatan kali ini, saya mendapat kehormatan untuk ikut bergabung dalam
anggota OSIS di bidang urusan umum. Saya mohon bantuannya mulai dari sekarang.”
Usai
memperkenalkan diri tanpa menggerakkan ekspresi di wajahnya, dia sekali lagi
membungkuk dengan indah.
Masing-masing
anggota OSIS balasa menyapanya dengan sedikit kebingungan karena perilakunya
yang mirip seperti robot.
“Kuze-kun?”
“…..”
Di
antara mereka, Masachika memasang ekspresi muram di wajahnya pada kemunculan
sosok yang benar-benar tak terduga …… tapi Ia menyadari kalau Yuki
benar-benar serius. Ia tidak sempat menanggapi suara Alisa, dan menatap Ayano
dengan alis terangkat.
Pada
saat yang sama, kepala Ayano berbalik dan dia menatap lurus ke mata Masachika.
Kemudian,
untuk pertama kalinya, terdapat sedikit emosi muncul di matanya, dan dia
diam-diam membuka mulutnya.
“Sebagai
sesama anggota di bidang urusan umum, saya mohon kerja samanya mulai dari
sekarang … Masachika-sama.”
Kimishima Ayano. Dia merupakan pelayan pribadi Yuki …… yang mana,
dia juga dulunya pelayan pribadi Masachika.