“Kuze-kun, Kuze-kun, ayo ke sini
sebentar.”
Setelah menyikat giginya
sebelum tidur, Masachika yang hendak kembali ke kamarnya, mendadak berhenti
ketika mendengar suara Maria memanggilnya. Saat berbalik, Masachika melihat
kalau Maria memberinya isyarat dengan wajahnya yang sedikit menyembul keluar
dari kamar tempatnya dan Chisaki seharusnya tidur.
“? Ada apa, Senpai?”
“Hmm… yah, ayo masuk ke kamar
dulu?”
“Eh, tapi…”
Memasuki
kamar tempat dua gadis tidur itu sedikit kurang sopan ….
Sebelum Ia bisa mengatakan itu, pintu kamarnya sudah terbuka duluan. Isi kamar
yang ada di depan matanya tidak jauh berbeda dengan kamar Masachika dan Touya. Terdapat
tempat tidur besar di kedua sisi dan jendela di depannya, lalu ada satu meja
kecil dan dua kursi di depan jendela itu.
“Ayo, cepetan masuk~ masuk~”
“Hah …”
Sembari memiringkan kepalanya
pada kenyataan bahwa Ia tidak bisa melihat keberadaan Chisaki, yang seharusnya
ada di sana karena suatu alasan, Masachika melangkah ke dalam ruangan saat dia
memberi isyarat. Lalu…
“Ap—!!?”
Dua pasang baju renang yang
telah dikeringkan di dalam ruangan menarik perhatian Masachika, dan Ia
buru-buru memalingkan muka. Kemudian, saat melihat sosok Maria yang berada di
depannya ketika memalingkan muka, Ia mundur dengan ringan.
(Ternyata dia memakai piyama, sialannnn!!)
Apalagi itu piyama untuk musim
panas dengan bahan kain yang tipis. Lekukan tubuh glamor Maria bisa terlihat
jelas dalam balutan piyama merah ceri yang cerah. Meski tidak terbuka, piyama
yang sangat memikat dan tak berdaya itu tampak seksi di arah yang berbeda dari
baju renang yang dikenakannya pada siang hari.
(Bukannya hal semacam ini tidak boleh
kamu tunjukkan kepada orang lain selain keluarga atau pacarmu?)
Saat Masachika memikirkan hal
itu sambil melihat area dadanya, yang sepertinya agak sesak di sana, Maria
meletakkan kedua tangan di depan dadanya dan mengguncang badannya dengan tidak
nyaman.
“Ja-Jangan dilihat-lihat
terus~”
“Ma-Maaf.”
Walaupun Ia melakukannya dengan
tidak sadar, perilakunya itu memang terlalu kasar dan tidak sopan kepada
seorang gadis. Ketika Masachika mendongak dengan malu, Maria berkata dengan
wajah yang sedikit malu-malu.
“Ak-Aku biasanya memakai bra
malam, tau? Tapi aku lupa membawanya hari ini …”
“…”
Masachika tidak bertanya
tentang hal itu. Ia juga tidak peduli. Atau lebih tepatnya, tolong jangan
sembarangan bilang kalau kamu tidak pakai bra. Ia pasti takkan menyadarinya
jika kamu tidak memberitahunya! Mengapa kamu begitu blak-balakan mengenai itu, tidak
seperti adik perempuanmu!
(Sudah kuduga, itu, sedikit …
menggantung, iya ‘kan.)
Masachika berpikir dalam-dalam
sambil membiarkan pandangannya mengarah lebih jauh ke atas. Kemudian, Ia
bertanya sambil menjaga area di sekitar bagian atas kepala Maria di tepi bidang
penglihatan.
“Lantas, apa Senpai punya
keperluan denganku?”
“Etto … aku cuma ingin
memberi kesempatan kepada Chisaki-chan dan Ketua untuk bisa berduaan.”
“? …… Ahh~”
Dan kemudian, Masachika
menebak. Sekarang, di ruangan tempat tidur Masachika dan Touya … Chisaki ada di sana.
“Jadi begitu maksudnya ya~…”
Memang, mereka sudah datang jauh-jauh
ke vila untuk berlibur. Wajar-wajar saja jika sepasang kekasih ingin memiliki
waktu berduaan. Jika itu masalahnya, Masachika tidak berniat melakukan sesuatu
yang tidak peka untuk mengganggunya.
“Baiklah, aku mengerti. Kalau
begitu aku akan tidur di sofa yang ada di lantai bawah …”
Ia tidak tahu apakah Chisaki
berniat untuk tinggal di kamar Touya atau tidur di kamarnya sendiri, dan Ia
sendiri tidak punya niatan untuk mengulik masalah tersebut. Itu akan kasar
terhadap mereka berdua.
Oleh karena itu, sebagai cowok
terhormat dan kouhai yang perhatian, Ia berniat tidur di ruang tamu di lantai
bawah dan mengambil sikap, ‘Aku tahu
kalian berdua mengobrol di malam hari, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang apa
yang terjadi setelah itu’. Atau begitulah yang Masachika pikirkan, tapi…
“Kenapa? Kenapa kamu tidak
tidur di sini saja?”
“Mana mungkin itu
diperbolehkan, bukan?”
Saat Senpai-nya mengajurkan
saran yang keterlaulan, Masachika langsung menimpali dengan wajah datar.
“Mana mungkin cowok dan cewek
yang bukan sepasang kekasih untuk tidur di kamar yang sama, ‘kan. Bisa-bisa
nama baik Masha-san akan ternodai.”
“Aku tidak terlalu peduli,
lo~?”
“Akulah yang merasa peduli.”
Ketika Ia mengatakannya tanpa
bercanda dan dengan nada yang sangat serius, Maria mengedipkan mata dan
kemudian tersenyum lembut.
“Fufufu, Jika Kuze-kun sampai
mengkhawatirkan sampai segitunya, kurasa aku akan baik-baik saja~. Tenang saja,
kok? Aku bahkan takkan mengusulkan ini pada cowok yang tidak bisa kupercayai.”
Masachika sejenak kehilangan
kata-kata pada kepercayaan murni yang diarahkan padanya dengan senyum polos.
Dan kemudian, ekspresi Maria jadi sedikit lebih serius dan mengayun-ngayunkan
jari telunjuknya.
“Di-tam-bah-lagii … Jika gadis-gadis
lain memergoki kalau Kuze-kun tidur di ruang tamu, semua orang bakal tahu
mengenai pertemuan rahasia Chisaki-chan, iya ‘kan~? Kupikir itu akan membuat malu
Chisaki-chan juga. Pasti rasanya canggung jika semua Kouhai menaruh perhatian
padanya, ‘kan?”
“Tapi …”
“Walaupun mereka tidak
mengetahuinya, tapi jika Kuze-kun masuk angin atau tidak bisa tidur nyenyak dan
tidak bisa bersenang-senang besok, mereka berdua akan merasa kalau itu salah
mereka, bukan? Oleh karena itu, jangan terlalu mengkhawatirkanku dan tidurlah
di sini, mengerti?”
“…”
Masachika tak bisa berkata-kata
berkat kefasihan dan dorongan yang kuat tidak khas dari Senpai-nya, yang selalu
tampak memiliki kepribadian lembut dan ramah. Ketika Masachika masih ragu untuk
mengangguk karena norma etikanya sendiri, Maria mencondongkan tubuhnya ke depan
dan mengintipnya dari bawah.
“Kuze-kun.”
“? Iya?
Sambil meletakkan jari-jarinya
di dada Masachika, yang mengangkat alisnya, Maria berkata dengan kesan
seakan-akan ‘Jangan sampai membuatku mengatakan
semuanya’.
“Anone, Kuze-kun sudah tidur di kamar ini. Jika dia punya alasan itu, Chisaki-chan
bisa tinggal di kamar Ketua dengan bebas, ‘kan? Apa kamu paham?”
“!!”
Masachika melebarkan matanya
karena terkejut saat mendengar kata-kata Maria. Jika kamu benar-benar peduli
dengan sepasang kekasih itu, bantu mereka dengan memotong jalan kabur mereka. Itulah
yang ingin Maria sampaikan. Masachika diyakinkan oleh gagasan yang tidak pernah
Ia pikirkan …
“… Tidak. Tidak, tidak,
tidak, tidak.”
Begitu mengingat fakta yang
serius, Ia segera menggelengkan kepalanya yang hampir saja mengangguk.
“Walaupun itu benar, tapi! …
Bukannya Masha-san sudah punya pacar? Aku tidak bisa membiarkan gadis yang
sudah punya pacar, melakukan sesuatu yang akan membuatnya dicurigai selingkuh.”
Masachika mencoba menolak
usulan itu karena keberadaan pacar Maria. Kemudian Maria perlahan bangkit dan
memberitahu Masachika, “Tunggu sebentar,
ya.” lalu berjalan ke tempat tidur di sisi kanan pintu masuk. Dia mengammbil
smartphone yang diletakkan di atas bantal, mengutak-atik smarphone-nya, dan menunjukkan sesuatu kepada
Masachika.
“Iya, ini dia.”
“…?”
Di layar smartphone yang
ditunjukkan padanya, ada foto Maria yang sedang memeluk boneka beruang raksasa
dengan erat.
“? Boneka binatang yang besar?”
Ketika Masachika memiringkan
kepalanya untuk menanyakan apa maksudnya, Maria menunjuk ke boneka binatang
yang ada di gambar dan berkata.
“Biar aku perkenalkan. Pacarku,
Samuel III!”
“……Haa?”
Masachika terkejut dengan
komentar tak terduga Maria. Butuh waktu beberapa detik untuk membuatnya menyadari
apa yang sebenarnya terjadi dan tanpa sadar menepuk dahinya.
“Ehh? Hmmmm? Dengan kata lain
… gosip kalau Masha-san punya pacar itu bohong…?”
“Hmm yah, kira-kira begitulah? Jadi
tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Kuze-kun, oke~?”
“… Hah”
Informasi mendadak yang
diterimanya sangat mengejutkan sampai-sampai Ia tidak bisa mengikuti jalan
pikirnya. Saat Masachika berdiri linglung, Maria tersenyum dan duduk di kursi
dekat jendela, memberi isyarat pada Masachika untuk datang mendekatinya.
“Etto … permisi?”
“Ya, selamat datang~”
Untuk menjawab pertanyaan yang
berputar-putar di kepalanya, Masachika duduk di kursi saat Marija mengundangnya.
Kemudian, setelah mengatur pikirannya sedikit, Ia bertanya langsung.
“Etto, dengan kata lain … Masha-san
berpura-pura punya pacar sebagai alasan untuk menolak cowok yang ….berusaha
mendekatimu?”
Tanpa menjawab tebakan
Masachika … Maria mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Bintang-bintangnya terlihat
indah, ya~”
“Eh, aah … benar juga?”
“Kira-kira apa itu karena
udaranya sangat bersih. Aku jadi bisa melihat begitu banyak bintang-bintang~”
“Haa, yah mungkin saja begitu
…”
Ketika Maria bilang begitu,
Masachika juga mengalihkan pandangannya ke langit berbintang di luar jendela.
Setelah beberapa saat keheningan, Maria mulai angkat bicara.
“Aku meyakini, kalau yang
namanya jodoh[1] itu ada.”
Dia merangkai kata-kata itu
sembari masih terus melihat ke luar jendela. Tanpa melihat Masachika, dia tetap
melanjutkan kalimatnya.
“Seseorang yang kamu cintai
dari lubuk hatimu … Seseorang yang bisa membuatmu ingin mengabdikan seluruh
hidupmu, dan membuatmu ingin menghabiskan sisa hidupmu bersama orang tersebut.
Ya, aku mempercayai akan selalu ada seseorang yang bisa membuatku berpikir
begitu.”
“…Kamu ingin bilang kalau
semua cowok yang mendekatimu bukanlah orang yang ditakdirkan bersamamu?”
“Hmm… yah, memang.”
“Kenapa kamu berpikiran
begitu?”
“Karena … jika memang
ditakdirkan, kamu bisa langsung mengetahuinya ketika melihatnya.”
Di hadapan Masachika yang di dalam hati berpikir, “Rasa-rasanya dia mulai mengatakan sesuatu yang luar biasa, lo?”,
Maria memejamkan matanya dan meletakkan tangannya di depan dadanya.
“Karena itu takdir… aku percaya,
kalau kami pasti akan bertemu.”
Ucapannya terdengar seperti
sebuah doa. Bagian tenang dari Masachika hanya mendecakkan lidah saat berpikir ‘Sungguh taman bunga yang mengagumkan…
Tidak, lebih tepatnya ini adalah otak manga shoujo, ya’. Tapi … di
hadapan ekspresi Maria yang mirip seperti orang suci yang saleh, Ia tidak
berminat untuk mengejeknya.
“Begitu , ya … aku harap
kalau Senpai bisa bertemu dengan orang yang dimaksud.”
Akibatnya, Maria memberikan
senyum lembut ke arah Masachika, yang mengomentari hal itu. Masachika tersentak
ketika melihat senyum dewasanya dan tatapan matanya yang lembut. Maria
tiba-tiba mengendurkan ekspresinya, memiringkan kepalanya seraya berkata.
“Kalau Kuze-kun sendiri
bagaimana?”
“Eh?”
“Di dalam kereta, Kuze-kun
pernah bilang, ‘kan? Ada gadis yang kamu sukai saat SD dulu, tapi sekarang kamu
tidak ingin merasakan jatuh cinta lagi.”
“Ah… ya, itu sih…”
“Kenapa bisa begitu?”
Mulut Masachika berkedut
menjadi senyum masam pada pertanyaan yang menggali relung terdalam dari hatinya.
Kemudian, saat Ia mencoba untuk menutupinya seperti biasa … tatapan mata
Maria yang seolah memaafkan segalanya … secara alami menghapus ekspresinya.
“…itu karena … orang tuaku,
mereka bercerai.”
Dan kemudian Ia mendapati
dirinya mulai berbicara. Sampai saat ini… Ia tidak pernah memberitahu siapa
pun tentang bekas luka emosionalnya.
“Mereka jatuh cinta… Saling
mencintai satu sama lain dan bahkan mempunyai anak… Tapi pada akhirnya mereka
berpisah dengan kebencian dan penghindaran … memang benar kalau mereka saling
mencintai, tapi.”
Suara bahwa Ibunya yang menyalahkan
Ayahnya kembali muncul di dalam pikirannya Masachika secara refleks mengerutkan
kening pada halusinasi tidak menyenangkan yang menggores otaknya.
“Sebenarnya, apa yang tidak dia
sukai? Ayah memang jarang sekali ada di rumah karena pekerjaannya, tapi … Ia
selalu baik, dan meski Ia merelakan mimpinya sendiri untuk mengabdikan diri
pada Ibu. ….. tapi Ibu selalu memarahinya.”
Mereka pikir kalau mereka sudah
berhati-hati untuk tidak menunjukkannya di depan anak mereka. Namun, Masachika
yang sejak kecil sudah cerdas, mau tak mau menyadari bahwa orang tuanya tidak
akur satu sama lain.
Mengapa
Ibu memukul ayah begitu keras? Apa ayah melakukan sesuatu yang salah?
Masachika sudah lama merasa penasaran, tapi Ia tidak berani menanyakan
pertanyaan itu di depan ibunya yang tenang… tapi pada suatu hari. Hari di
mana ibunya membentaknya. Ia mulai menyadari. Ibunya adalah … orang tak
berdaya yang membalas kasih sayang dengan kebencian irasional.
“Sungguh konyol sekali …”
Tanpa disadari, Masachika
mendapati dirinya meludahkannya dengan penuh kebencian. Ia buru-buru menutup
mulutnya, tapi Maria tidak tampak terkejut maupun mengerutkan kening, dia hanya
memiringkan kepalanya dengan tatapan yang masih sama.
“Konyol? Apanya?”
“… Perasaan cinta.”
Entah itu didorong oleh sorot matanya,
atau karena rasa jengkel. Masachika mengangkat ujung mulutnya dengan sinis, dan
layaknya bendungan yang bocor, Ia melontarkan kata-kata yang hampir Ia telan.
“Lagi pula, mana mungkin untuk bisa
terus mencintai satu orang. Tak peduli seberapa banyak usaha yang dilakukan, tak
peduli seberapa banyak yang upaya yang diberikan, jika perasaan yang ada sudah
mereda, semuanya akan berakhir, bukan? Setelah hati sudah tidak tertarik lagi,
mana mungkin bisa menghidupkannya kembali. Bersikap serius tentang sesuatu
seperti itu benar-benar konyol sekali.”
Setelah mengatakan semua itu
dengan blak-blakan, Masachika tiba-tiba berpikir bahwa apa yang baru saja Ia
katakan tadi adalah penyangkalan langsung terhadap pandangan cinta yang
ditunjukkan Maria kepadanya. Saat tatapan Masachika tertuju ke lantai, dan
menyesali bahwa Ia sudah membuat pernyataan yang ceroboh, Maria bangkit dari
kursinya, mendekatinya dan …… dengan lembut melingkarkan lengannya di bahu
Masachika.
Perasaan lembut rambut Maria
yang menyentuh pipinya dan sensasi lembut yang membelai kepalanya … membuat
mata Masachika melebar.
“Jangan khawatir … tidak
apa-apa.”
“…”
Maria berbicara dengan suara
tenang kepada Masachika, yang kaku karena pelukan yang begitu mendadak.
“Kamu sangat menyayanginya ya
… tentang ibumu.”
“!”
“Sekarang pun …. kamu masih
menyayangi ayahmu ya.”
“…”
Di hadapan suara yang sangat
lembut itu ….. mana mungkin Ia bisa membuat bantahan dengan emosinya yang
tersisa. Masachika diam-diam tenggelam dalam dekapan Maria.
“Jangan khawatir … kebencian
yang mendalam adalah kebalikan dari kasih sayang yang dalam. Jadi kamu jangan
mengkhawatirkannya.”
“…”
“Kuze-kun adalah tipe orang
yang bisa mencintai seseorang dengan baik.”
Kata-kata yang dituturkan
dengan begitu lembut, secara mengejutkan masuk dengan mudah ke lubuk hati
Masachika. Tangan yang membelai kepalanya terasa seperti sedang membelai …
Suou Masachika muda yang sudah Ia segel jauh di dalam alam bawah sadarnya.
“Ke … napa……”
Kenapa setiap perkataannya
begitu menyentuh relung hatinya? Mengapa tangan orang ini… sangat meluluhkan
hatinya?
Bila dipikir-pikir kembali, saat
itu juga sama. Pada waktu itu …… di lorong kala senja, orang ini
mengelus-ngelus kepalanya dan mengakui kalau dirinya sudah berjuang keras, bahwa
dirinya sudah melakukannya dengan baik. Itulah kalimat yang Masachika ingin …
ibunya katakan padanya saat masih kecil dulu. Itulah yang Ia inginkan.
Ia tidak ingat pernah mengatakan
itu. Lagi pula, Ia sendiri bahkan tidak menyadarinya sampai sekarang. Namun,
orang ini … menanggapi sebagaimana mestinya pada tangisan hati yang Masachika
sendiri tidak menyadarinya.
“Kenapa … kamu bisa sangat
memahamiku?”
“Hmm~? Fufuu, entahlah, kenapa
ya?”
Maria dengan lihainya
menghindari pertanyaan Masachika yang begitu blak-blakan. Kemudian, sambil
memeluk bahu Masachika, dia mulai menepuk punggungnya seolah-olah sedang
menenangkan anak kecil.
“U-Umm …”
“Kamu boleh bersikap lebih
manja lagi, lo~ Kuze-kun. Kamu bisa lebih dimanjakan lagi oleh seseorang.”
“…”
“Aku dulu pernah bilang, iya ‘kan?
Kalau Kuze-kun, kalau kamu harus lebih menyayangi dirimu sendiri.”
“Eh, ah… hah”
“Kalau begitu, tolong lebih mencintai
dirimu sendiri? Berbaik hatilah pada dirimu sendiri dan … kamu bisa
memanjakan dirimu sendiri. Aku akan memaafkannya.”
Begitu mendengar kata-kata itu,
entah kenapa … Ia tidak bisa menahan emosinya, dan butiran air mata berlinang
dari mata Masachika.
(Eh, hah!? Uwaahh, apa-apaan ini!?)
Terlepas dari gejolak batinnya
sendiri, butiran air mata terus mengalir satu demi satu.
(Ap——Kenapa, ini bohong ‘kan oi?)
Ia meledek dirinya sendiri
karena menangis saat dipeluk oleh senpainya, tapi begitu air matanya mulai mengalir,
air matanya tidak mau berhenti.
(Apa-apaan ini… ini sih terlalu
menjijikan, aku…!)
Saat Masachika mengatupkan
giginya dan mencoba menahan air matanya, Maria mendekap kepalanya dengan kedua
tangannya. Maria diam-diam menekan wajah Masachika ke bahunya dan menunggu Ia
berhenti menangis, tidak peduli jika piyamanya sendiri basah.
(Ahh … perasaan apa … ini …)
Dengan kepala yang sedikit
kabur karena air mata, Masachika merasakan ketenangan hati yang sudah lama
tidak Ia rasakan. Panas tubuh yang disalurkan dari tubuh Maria saat mereka
saling bersentuhan menghangatkan kedalaman dadanya. Masachika hampir memejamkan
mata dan menyerahkan dirinya pada sensasi nyaman dari kehangatan yang perlahan
menyebar ke seluruh tubuhnya,… tapi begitu Ia menyadari bahwa air matanya
sudah berhenti, Ia tiba-tiba tersadar, dan buru-buru menjauhkan tubuhnya dari
Maria.
“──Ano, um, entah kenapa, aku
minta maaf ?”
Saat Masachika meminta maaf
sambil menyeka matanya, Maria bangun dengan senyum lembut.
“Kamu tidak perlu khawatir
tentang itu, kok~? … Aku yakin Kuze-kun tidak memiliki skinship yang cukup ~”
“Haa … skinship, ya?”
Ketika Ia mendongak dari
kecanggungannya, Maria membusungkan dadanya dengan percaya diri.
“Skinship itu penting, lo~? Meski hati kalian saling terhubung, tapi
jika tubuh kalian tidak saling bersentuhan, kamu akan merasakan kesepian tanpa
kamu sadari.”
“Haa …”
“Menyampaikan kasih sayang
melalui kata-kata dan tindakan, tentu saja memang penting. Tapi, bukan hanya
itu saja …. melakukan kontak fisik yang
tepat dan memberi tahu pihak lain kalau kamu ada di sampingnya juga sama
pentingnya.”
Saat Maria meletakkan tangannya
di dada dan mengucapkan kata-kata tersebut, Masachika secara alami mengingat
keadaannya sendiri.
(Setelah diberitahu begitu, benar juga
… kapan terakhir kali aku melakukan skinship dengan seseorang seperti
sekarang ini?)
Hal yang terlintas di benaknya
adalah adik perempuannya, Yuki. Bahkan sekarang, adiknya itu masih sering memeluk
dan menunggangi badannya. Tapi entah kenapa, justru Masachika sendiri yang
merasa malu serta mendorongnya menjauh, dan Ia tidak menyerahkan tubuhnya dalam
diam seperti kejadian tadi. Dan bila bersama orang lain kecuali Yuki …
Masachika tidak bisa mengingatnya.
(Tidak juga, kalau tidak salah …)
Masih ada gadis itu. Masachika ingat kalau gadis itu sangat menyukai skinship,
mungkin karena kebangsaannya. Dia selalu dengan berani menempel di dekatnya,
dan senyum polosnya membuat Masachika kecil pun dengan malu-malu menerimanya.
(Begitu ya, sejak saat itu ya …)
Jika dipikir-pikir kembali, Ia
mungkin benar-benar merindukan adanya skinship.
Kemudian, karena merasa sangat malu lagi, Masachika mencoba memalingkan
wajahnya … tapi Maria tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arahnya.
“Itu sebabnya! Kuze-kun!”
“Uwaah, ya?”
“Kupikir Alya-chan harus
melakukan lebih banyak skinship denganku!”
“… Apa iya?”
Masachika memiringkan kepalanya
dengan ujung mulut berkedut karena ucapan ala siscon yang begitu mendadak. Kemudian, sikap baik hati Maria
sebelumnya langsung menghilang, meletakkan tangannya di pinggul dan menghembuskan
napas dengan marah.
“Dia agak enggan memberiku
ciuman pipi, dan ketika aku mencoba memeluknya, dia malah menolak. … padahal
aku ingin melakukan lebih banyak skinship
dengan Alya-chan!”
“Begitu ya … semoga
berhasil.”
“Mou~… Kalau sudah begini, aku
akan membuat Kuze-kun untuk menghiburku!”
“Kenapa malah jadi begitu!?”
Mata Masachika melebar saat
tiba-tiba dipeluk. Namun, Maria dengan cepat melepaskan diri dan tersenyum
senang ke arah Masachika. Ia tidak memahami
alasan di balik senyumannya itu, tapi …… saat melihat wajah polosnya
itu, entah bagaimana Masachika sudah tidak peduli dengan detailnya dan secara
alami ikut tersenyum.
“Haha, ya ampun …. Aku
benar-benar sudah tidak paham lagi dengan Masha-san.”
“Ehh~? Apa maksudnya itu~?”
“Tidak, habisnya kadang-kadang
obrolan kita jadi tidak nyambung karena kamu tiba-tiba sepertinya ingin
mengatakan sesuatu ke inti masalah. ….”
“Dasar jahat, ih~! Kamu
membuatnya terdengar seperti aku ini orang bodoh~.”
“Tidak, bukan itu masalahnya
… haha.”
Masachika tertawa kepada
Senpainya yang merajuk seperti anak kecil. Kemudian, Maria juga mengendurkan
ekspresinya saat melihat Masachika tertawa lepas.
“Kupikir sudah waktunya buat
pergi tidur.”
“Benar juga …. Entah kenapa,
terima kasih banyak.”
“Enggak masalah~ enggak
masalah~!”
Ketika Masachika menundukkan
kepalanya, Maria melambaikan tangannya dengan sikap tidak mempermasalahkannya.
Dia kemudian menunjuk ke tempat tidur di mana barang-barangnya diletakkan di
bawah.
“Kuze-kun tidur di kasur sini
saja ya?”
“Eh, tapi bukannya di situ
tempat Masha-san akan tidur…?”
“Itulah sebabnya. Aku sih tidak
peduli, tapi Chisaki-chan mungkin merasa keberatan kalau tempat tidurnya di
pakai laki-laki buat tidur, iya kan~?”
“Ah, itu sih benar juga …
Kalau begitu, permisi…”
Berhasil dibujuk dengan argumen
Maria, Masachika perlahan naik ke atas ranjang itu. Kemudian, Maria juga
menutup tirai jendela dan naik ke tempat tidur lainnya.
“Kalau begitu, selamat malam~”
“Iya, selamat malam juga.”
Dalam kegelapan, Masachika
merasa gelisah saat mendengar suara Maria dan sekali lagi diingatkan kalau Ia
tidur sekamar dengan lawan jenis.
(Kira-kira aku bisa beneran tidur kagak
nih…?)
Masachika mengenakan selimut
tipis dengan kekhawatiran itu, tapi entah karena masih lelah dari perjalanan
jauh dan berenang di laut? Atau mungkin Ia lelah menangis. Dalam beberapa
menit, kesadaran Masachika jatuh ke dalam tidur nyenyak.
◇◇◇◇
…… Sementara itu di sisi
lain, di kamar gadis yang ada di sebelah. Tiga gadis kelas 1 mengadakan pesta
piyama yang diselenggarakan oleh Yuki.
“Omong-omong, Alya-san. Kenapa kamu
menolak begitu keras untuk tidur sekamar dengan Masha-senpai?”
Alisa mengerutkan kening dan
menjawab pertanyaan Yuki yang diajukan selama obrolan mereka.
“… Karena nanti aku akan
dijadikan bantal.”
“Eh?”
Mata Yuki dan Ayano berkedip
berulang kali pada jawaban yang tak terduga.
“… Masha selalu tidur dengan
bantal guling yang sangat besar … atau lebih tepatnya, boneka binatang besar?
Saat bepergian dan tidak memiliki bantal guling, dia terkadang berjalan
ngelindur sambil tidur dan menggunakan apa saja yang di dekatnya sebagai bantal
guling ….. dia selalu menyelinap ke futonku setiap kali kami sedang melakukan
liburan keluarga, terutama di penginapan …”
“Ara … Kalau begitu,
Sarashina-senpai mungkin sedang digunakan sebagai bantal guling sekarang?”
Alisa tertawa kecil saat
mendengar tebakan Yuki.
“Mungkin saja. Tapi kalau itu
Sarashina-senpai, dia mungkin berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkannya.”
“Fufufu, benar juga. Mungkin
dia akan menendangnya dari tempat tidur.”
“Itu sih bagus. Aku harap dia
akan kapok dan takkan menggunakan orang lain sebagai bantal guling lagi.”
Tawa ceria gadis-gadis bergema
di kamar itu pada malam hari. Satu jam kemudian, ketika mereka menyelesaikan
pesta piyama mereka dan tidur dengan nyenyak … di kamar sebelah, pertanda yang telah mereka picu akan
segera terjadi.
◇◇◇◇
(Hmm……?)
Masachika sedikit terbangun
oleh perasaan ada sesuatu yang merayap di sekujur tubuhnya.
(Apa …?)
Sambil merasa sedikit kesal
karena terganggu oleh tidur malamnya yang nyenyak, Masachika menutup matanya
dan mengalihkan perhatiannya pada sensasi yang menyentuh tubuhnya.
Lengan panjang dan ramping yang
menggeliat di atas dada dan di belakang lehernya… lengan? Selain itu, kaki
ramping yang menjerat kakinya … kaki, ya?
Kemudian Masachika menebak
kalau ada seseorang di sisi kanannya, sedang mempermainkannya. Dan otak wibu
Masachika yang setengah sadar segera memahami situasinya.
(Apaan … apa itu Yuki?)
Seorang gadis menyelinap ke
tempat tidur saat dalam perjalanan liburan. Ini adalah salah satu peristiwa
klise paling umum dalam dunia 2D. Jika itu dalam kemah pelatihan, seorang gadis
yang mengantuk mungkin masuk ke ruangan yang salah. Dan jika itu dalam acara
jalan-jalan sekolah, guru yang berpatroli akan datang memerikasa keadaan
sementara gadis-gadis diam-diam berkumpul di kamar mereka, dan mereka akan
bergegas bersembunyi di bawah tempat tidur yang sama.
Yah, pokoknya, mana mungkin ada
orang lain selain adik wibunya itu yang akan mencoba menerapkan peristiwa
semacam itu di kehidupan nyata.. Jika Ia membuka mata, adik perempuannya itu pasti
akan mengatakan “Aku datang ♡” sembari
memasang senyum menyeringainya yang biasa.
“Uhh… hmmm..”
Masachika mengguncang tubuhnya
dengan mata tertutup. Jika dalam keadaan normal, Ia tidak keberatan meladeni
kejahilan adik perempuannya yang imut. Tapi sekarang, Masachika merasa lelah dari
perjalanan dan berenang dalam waktu yang lama. Secara fisik, Ia tidak mampu
menangani kenakalan adik perempuannya, dan juga tidak sedang berminat melakukan
hal seperti itu.
“Lepaskan … duhh, minggir…”
Masachika bergumam tak jelas,
dan menggerakkan lengan kanannya dengan gemetar, mencoba menyingkirkan orang di
sebelah kanannya. Ia mendorong lembut dengan sikunya seolah-olah mendorong sesuatu
yang mengenai lengannya, tapi untuk beberapa alasan, Ia hanya merasakan kalau sikunya
terkubur dalam sesuatu yang lembut, dan Ia tidak mendapat respons sama sekali.
Pada akhirnya, Masachika berhenti melawan karena Ia terlalu malas untuk menggerakkan
tangannya.
Dan sembari mengira kalau
dibiarkan nanti dia akan pergi sendiri … begitu Masachika memutuskan hal itu,
Ia kemudian tertidur lagi …
◇◇◇◇
Pagi-pagi keesokan harinya,
Masachika bangun dengan posisi tidur yang tidak biasa dan berat serta panas di
sisi kanan tubuhnya.
“Uuuggh, hmm…”
Ketika Ia membuka matanya, ada
langit-langit yang tidak dikenali. Beberapa saat kemudian dirinya
ingat bahwa Ia berada di kemah pelatihan dan mencoba untuk berbalik…., tetapi Ia
tidak bisa bergerak karena ada sesuatu di atas badannya. Di pagi hari ketika
suhu perlahan mulai naik, hanya bagian kanan tubuhnya, di mana ada sesuatu yang
menyentuh, mulai berkeringat deras.
“Hmm?”
Begitu Ia mengangkat kepalanya
dan mencari tahu apa yang menempel di atas badannya itu … wajah Masachika langsung
menjadi kaku.
Tepat di depan matanya,
terdapat rambut berwarna cokelat yang mengembang lembut. Dan wajah tidurnya
begitu polos sehingga sulit dipercaya bahwa dia lebih tua darinya, dan lebih
cenderung terlihat menggemaskan daripada cantik. Lebih jauh ke belakang, keberadaan
keji dari dua bukit kembarnya, memungkiri wajah tidurnya yang polos.
“… Fyuhhhh”
Setelah memastikan semua itu,
Masachika merebahkan kembali kepalanya di atas bantal dan menghembuskan napas
panjang. Ia mengerti situasinya. Ia tidak tahu mengapa hal ini bisa terjadi, tapi
dirinya benar-benar memahami situasi saat ini..
Kepala Maria bersandar di bahu
kanannya dan tangan kanan Maria tergeletak di dadanya. Oppai montok Maria yang
empuk bertengger di sekitar siku kanannya, dan kaki Maria terjalin erat dengan
kakinya. Namun, karena area di bawah dada tersembunyi di balik selimut dan
tidak dapat dilihat, Ia hanya bisa menebak mengenai kaki. Ini cuma tebakannya
saja, tapi… Masachika merasa kalau tangan kanannya, yang dihimpit erat-erat
oleh kaki Maria, menyentuh tempat yang
sangat sensitif di sekitar pangkal kaki Maria ….. Bukannya ini sudah dalam
kategori tidak aman? Tidak, Ia hampir tidak bisa merasakan apa-apa, karena
mungkin di bawah tekanan berkepanjangan.
“Dengan kata lain … ini
adegan pagi sang pemenang, ya.”
Masachika menyimpulkan dengan
tenang situasinya saat ada gadis cantik tertidur pulas di sebelahnya di pagi
hari. Khayalan di otaknya, Ia seolah-olah menjadi pria macho dengan rambut dada
seksi, mendekap gadis cantik pirang telanjang di lengannya dan menghirup
cerutu. Faktanya, di sebelahnya ada seorang gadis cantik berambut coklat dengan
piyama, dan mereka berdua bukanlah sepasang kekasih atau semacamnya, cuma
sekedar Senpai dan Kouhai.
(Lah, kalau cuma Senpai dan Kouhai, kenapa
bisa tidur di ranjang yang samaaa!?)
Setelah melontarkan banyak tsukkomi
di otaknya, Masachika berhenti melarikan diri dari kenyataan. Namun, bahkan
setelah berhenti melarikan diri dari kenyataan, dirinya masih tidak tahu
mengapa ini bisa terjadi.
(Ah~ … karena itu, ya? Apa karena aku tidur di
ranjang tempat yang seharusnya Masha-san tidur, karena kepeduliannya terhadap
Sarashina-senpai? Lalu Masha-san terbangun di tengah malam untuk pergi ke kamar
mandi atau sesuatu dan kemudian berjalan ke tempat tidur yang seharusnya
digunakannya?)
Walaupun Masachika bisa dengan
paksa menebaknya, tapi sekarang sudah tidak ada gunanya lagi untuk mencoba
menebak alasannya. Lagipula, jika Ia ingin mengetahui alasannya, Ia bisa saja
tinggal membangunkan orangnya dan bertanya langsung …
“…”
Masachika memutar kepalanya
untuk melihat ke atas, dan memeriksa ke luar jendela. Tirai yang terpasang
hanya memperlihatkan cahaya yang remang-remang, menunjukkan kalau matahari
masih belum terbit. Ia merasa ragu untuk membangunkan Senpai-nya yang sedang tertidur
nyenyak. Apalagi … bukannya situasi
ini cukup memalukan bagi Maria karena ditunjukkan Kouhai-nya?
(… Apa boleh buat, entah bagaimana
caranya aku harus meloloskan diri)
Setelah memikirkannya selama
sekitar sepuluh detik, Masachika sampai pada kesimpulan bahwa Ia harus
menyelinap keluar agar tidak membangunkan Maria, dan Masachika mempertimbangkan
prosedur apa yang harus Ia ambil. Untuk saat ini, hal pertama yang harus Ia
lakukan ialah mengurus kepala Maria yang bersandar di bahu. Tidak peduli cara
apa yang Ia tempuh, menggelengkan kepalanya ada perihal yang harus Masachika
hindari. Pertama-tama, Ia harus menarik bahunya keluar dari kepala Maria dengan
hati-hati…
“(……Permisi, maaf.)”
Dengan suara bisikan, Masachika
mengangkat lengan kirinya yang bebas dan dengan lembut memasukkan tangannya ke
bawah kepala Maria. Ia lalu perlahan mengangkat kepala Maria, merasa agak
bersalah pada rambut kecokelatannya yang terasa lembut ketika disentuh di
telapak tangannya…
“Hm~”
“!!”
…… Namun pada saat itu,
Maria
menggelengkan kepalanya seolah enggan dipindah dan melarikan diri dari tangan
Masachika. Perbedaannya hanya sekitar dua inci, tapi dampak jatuh dari telapak
tangan ke bahunya membuat Maria tersentak. Kemudian, dia perlahan-lahan
mendongak dan melihat wajah Masachika dengan tatapan mengantuk dan agak
linglung.
“… Se-Selamat pagi.”
“…… huwaa adya Kuzye-kun.”
Ketika Masachika menyapa Maria
dengan senyum gelisah, Maria memandangnya dengan tatapan kosong dan memanggil
namanya dengan nada mengigau. Kemudian, entah apa yang dia pikirkan, Maria
tersenyum lepas dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Masachika dengan keadaan
masih setengah sadar.
“Funyu …… Kenyapa~? Kenyapa,
Kuzye-kun adya di syini ……”
“Tidak, harusnya aku yang
bertanya begitu…”
Tampaknya dia tidak mendengar
tsukkomi tenang Masachika, dan Maria mengusap-usapkan kepalanya di bahu
Masachika sembari tersenyum cengengesan.
“Nfufufu, Kenyapa~♪ Kenyapa~♪ kyok bisa, ya………”
Setelah mengajukan serangkaian pertanyaan
dengan nada yang seakan-akan sedang bernyanyi, Maria perlahan-lahan berhenti
bergerak, seolah-olah dia telah menemukan posisi yang nyaman … dan tak
disangka-sangka, dia mulai tertidur lagi begitu saja.
“(Dia malah tidur lagi!?)”
Masachika melakukan tsukkomi
dengan suara kecil, tapi Maria sudah jatuh ke dalam dunia mimpi.
“… Seriusan, nih.”
Masachika menyadari kalau
kepala Senpai-nya itu semakin mendekat setiap kali dirinya mencoba melarikan
diri, dan sadar kalau semua usahanya itu sia-sia.
Lalu setelah itu, Maria dengan
anggun memutuskan untuk tidur empat kali di atas bahu Masachika. Usai
bolak-balik tidur bangun sebanyak empat kali, tatapan matanya akhirnya menjadi
fokus …
“…… Huh?”
“……Selamat pagi, Senpai.”
“… Eh, eh, eh, eh … ehhhhh~~~!?”
Maria bangun dari tidurnya
dengan rambut yang berantakan, melihat sekeliling untuk melihat apa yang sedang
terjadi, dan begitu memahami situasinya, dia mundur dari atas kasur seraya menarik
selimut untuk menutupi badannya.
“… Tidak, tolong jangan
sembunyikan badanmu dengan selimut juga dong. Kamu terlihat seperti bos wanita
yang mabuk dan menghabiskan malam menggairahkan bersama bawahannya.”
Masachika melontarkan tsukkomi ala otaku secara tidak sengaja,
tapi
Maria tampaknya tidak mendengarnya sama sekali dan wajahnya langsung memerah,
ekspresinya terlihat tertegun dengan mata yang terbuka lebar.
“Se-Selamat pagi.”
“Ya, selamat pagi.”
Begitu balik membalas salam Senpai-nya,
Masachika tersenyum kecil dan memanggil Senpai yang tatapannya mengembara
dengan gelisah.
“Apa itu mungkin karena aku
tidur di ranjang Masha-san? Jadi entah bagimana, secara tidak sadar masuk ke
sini?”
“Eh, ah, iy-iya mungkin saja
…”
“Yah, karena ini pertama
kalinya Senpai tidur di sini, jadi ada kalanya hal semacam ini bisa terjadi.”
“Apa benar begitu?”
Ketika Kouhai-nya
menindaklanjuti, Maria mengalihkan pandangannya ke arahMasachika … dan
memperhatikan bahwa bagian dada piyama Masachika tampak basah dan berubah
warna. Begitu Maria melihatnya, dia langsung berhenti bergerak.
“A-Aah… umm, ini …”
Saat perkataan Masachika jadi
terbata-bata begitu menyadari tatapannya, Maria
langsung meletakkan tangannya di mulutnya setelah tubuhnya mematung
beberapa saat.
Seperti yang mungkin sudah kamu
bayangkan, noda pada piyama Masachika adalah air liur yang diteteskan Maria
ketika dia tidur tiga kali. Mungkin karena menemukan jejak ngiler di tepi
mulutnya, wajah Maria yang tadinya sudah merah jadi semakin merah padam. Dan
kemudian, saat dirinya menutup jarak dengan Masachika, dia terlihat seperti akan menangis dan
menahan noda di piyama Masachika dengan kedua tangan.
“Jangan salah paham dulu!
Jangan salah paham dulu! Aku tuh biasanya tidak melakukan ini!”
“Oh, iya.”
“Seriusan! Aku biasanya tidak
ngiler begini! Tolong percayalah padaku~~!”
“Aku percaya, aku percaya kok.
Aku beneran percaya jadi tolong suaranya jangan keras-keras …”
Masachika menganggukkan
kepalanya kepada senpai-nya yang menempel di dadanya dan mendongak dengan tatapan
berkaca-kaca, ekspresinya sudah hampir ingin menangis. Ia mengangguk dan
meminta entah bagaimana untuk menekan suaranya. Lagi pula, kemarin sudah
terbukti bahwa suara yang sekecil apapun bisa terdengar ke kamar sebelah, dan
penghuni kamar sebelah tidak tahu-menahu kalau Masachika ada di ruangan ini. Dari
segi waktu, mereka masih bisa tidur, tetapi jika ada seorang gadis dari kamar
sebelah terbangun karena suara Maria dan datang mengunjungi kamar ini,
segalanya bakal jadi runyam.
“Uhhh~~ … benarkah?”
“Aku serius. Sebaliknya, ini
justru seperti sebuah hadiah, jadi tolong jangan terlalu dipikirkan, oke?”
Masachika mengucapkan tsukkomi
otaku yang aneh karena ketidaksabarannya. Setelah itu, Maria mengedipkan
matanya, lalu entah apa yang dia pikirkan saat mengerutkan alisnya, dan dia dengan
cepat menjauhkan dirinya dari tubuh Masachika.
“… Kuze-kun no ecchi.”
“Ah, ya. Aku tidak keberatan
dianggap begitu.”
Walau rasanya sedikit tidak
jelas mengapa dia bisa mencapai kesimpulan itu, tapi untuk sementara waktu,
Maria terlihat sudah sedikit merasa tenang. Kemudian, saat Masachika merasa
lega …. situasi yang Ia takutkan beneran terjadi.
“Masha-senpai? Selamat pagi. Apa ada sesuatu
yang terjadi?”
Ada bunyi ketukan di pintu, dan
suara Yuki bisa terdengar dari balik pintu. Mereka berdua sama-sama menoleh ke
arah bunyi ketukan itu, dan langsung berpikir mengenai apa yang harus dilakukan.
(Aku harus bersembunyi suatu tempat………..lemari!)
Masachika melihat sekeliling
dan melihat lemari yang ada di dekat tempat tidur, Ia lalu dengan cepat melipat
kakinya dan mencoba berdiri.
“(Cepat sembunyi—— !)”
Pada saat yang sama …… Maria pun
berdiri, berteriak dalam bisikan, dan mencoba meletakkan selimut di kedua
tangannya di atas Masachika.
Mereka berada di tempat tidur
masing-masing dan mencondongkan tubuh ke depan …. lalu, tatapan mata mereka
bertemu sesaat. Mereka berdua sama-sama terkejut dengan gerakan pihak lain, dan
pada saat berikutnya….
Masachika kehilangan
keseimbangan dan tersandung ke depan. Dan demi menghindari tabrakan, Maria
terpaksa bersandar ke arah belakangnya. Berkat kejadian itu, akibatnya jadi….
“Awas… !?”
“Kyaa…”
Masachika jatuh tersungkur ke
depan, kepalanya mendarat di bahu Maria. Ia secara refleks mengulurkan kedua
tangannya dan meletakannya di tempat tidur, tapi Masachika menyadari bahwa di hadapannya
ada wajah Maria dengan mata yang terbuka lebar. Kedua tangan Maria mencengkeram
selimut dengan kuat, dan pemandangan tersebut sepenuhnya terlihat seolah-olah seperti
“Masachika sedang menyerang Maria yang
tengah tertidur”.
“Hah! Aku measakan ada adegan
komedi romantic terjadi!? ”
Pada saat itu, Yuki merasakan
sesuatu dan dengan penuh semangat mendorong pintu hingga terbuka.
Kemudian, dia melihat mereka
berdua yang berada di tempat tidur dan terdiam. Dia perlahan melepaskan
tangannya dari kenop pintu dengan ekspresi kosong dan mengeluarkan
smartphone-nya sambil menahan pintu dengan kakinya. Dia memegangi
smartphone-nya di depan wajahnya dan menekan jepretan foto. Setelah memeriksa
gambar yang sudah diambil, Yuki lalu mengacungkan jempol pada mereka berdua,
mengangguk penuh semangat dan … meninggalkan
ruangan begitu saja.
““…..””
Gerakan Yuki yang begitu alami
membuat mereka tidak bisa bergerak selama beberapa detik. Ia menatap pintu
tempat Yuki keluar tadi dengan tertegun … kemudian Masachika dengan cepat
menyingkit dari atas Maria.
“Aku minta maaf, Masha-san. Apa
kamu baik-baik saja?”
“Ah, iya. Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu. Lalu …
aku turun ke lantai bawah duluan, ya?”
“I-Iya.”
Melihat Maria mengangguk, Masachika
diam-diam turun dari tempat tidur dan memastikan tidak ada orang di lorong
sebelum meninggalkan kamar. Kemudian, begitu melihat adik perempuannya di
lantai bawah sambil tertawa cengengesan, dan melambai-lambaikan smartphone-nya dan
melarikan diri ke ruang tamu …
“Jangan kabur lu, dasar brengsekkkk!”
Masachika berlari menuruni
tangga dengan beringas.
[1]Di raw, Maria bilangnya Unmei no Aite (運命の相手), atau kalau diterjemahkan secara harfiah artinya Pasangan yang ditakdirkan, mimin nerjemahinnya jadi kata Jodoh karena ngerasa lebih cocok buat menggambarkan maksudnya Maria.