“Kalau begitu, Abang Kotaro, selamat tinggal. Sampai jumpa besok? Jangan khawatir, aku akan berangkat ke sekolah besok. Dan Azusa-chan, sampai jumpa besok, oke? Hari ini menyenangkan. Terima kasih karena telah mengobrol denganku.”
Shiho tampak lebih puas dari biasanya saat dia pergi, mungkin saja puas dengan amukannya yang seperti angin topan.
Aku melambaikan tanganku padanya dan melihat Azusa tersungkur di sofa dan tampak lelah.
“Aku… …lelah.”
Dia tampak lelah akibat menemani Shiho dan melakukan banyak kegiatan tarik-dorong.
“Terima kasih atas kerja kerasmu.”
Untuk menunjukkan apresiasiku, aku mengeluarkan sekaleng jus dari kulkas dan menyerahkan kaleng itu padanya.
Setelah menerima kaleng itu, mata Azusa terbelalak seakan-akan tiba-tiba dia menyadari sesuatu.
“Oh, mungkin… …hal semacam inilah yang disebut sebagai ‘dimanjakan’?”
Tampaknya, dia tidak memperhatikan hal itu. Mungkin dia menyadari hal itu setelah Shiho menunjukkan itu padanya.
…Iya, dia telah menjadi seorang adik sejak dia lahir… Bersikap baik pada abangnya mungkin merupakan bagian yang normal dalam kehidupannya sehari-hari.
Dia mungkin menerima begitu saja kalau abangnya akan bersikap baik padanya.
Atau ketika abangnya membelikannya permen.
Atau ketika abangnya mendengarkan permintaannya.
Menghiburnya ketika dia merasa sedih.
Buat Azusa, mungkin itu hanyalah rutinitas normal.
Dan Shiho cemburu dengan hal-hal semacam itu.
Azusa tampaknya, akhirnya menyadari hal itu.
“Begitu ya… …’Abang’ Azusa itu memang selalu Abang.”
Menatap ke suatu tempat yang jauh, dia menggumamkan beberapa patah kata.
Lalu dia meletakkan jus kalengnya di atas meja dan menatap lurus ke arahku kali ini.
“Maafkan aku.”
Tiba-tiba, Azusa menundukkan kepalanya.
Kata-katanya diwarnai dengan penyesalan.
“Maafkan aku, aku dulu bilang kalau Abang mungkin bukan abang Azusa….”
–Tidak, tidak, tidak.
Tidak perlu minta maaf, Azusa…
Abang memang bukan ‘abang’ idealmu.
“Abang sudah lama ingin memberi tahumu hal ini, tetapi ‘Abang’ idealmu itu bukan orang lain. Tentu saja bukan Abang, dan bukan juga Ryuzaki… …’Abang’ yang Azusa cari itu sudah tidak lagi ada di mana pun. Kamu tahu soal itu, bukan?”
Di masa lalu, Azusa kehilangan abangnya sendiri.
Karena dia tidak mampu menerima hal ini dan terus mencari “Abang”, beberapa distorsi tercipta.
“…Iya, aku tahu Abang bukanlah ‘Abang’. Tentu saja, itu bukan Abang Ryoma… …Ryoma-kun? Dan bukan. Abang ideal Azusa itu tidak bisa ditemukan.”
Dia memang tampak sedih, tetapi dia tidak putus asa, dia menantikan dan menghadapi kenyataan.
Mungkin itu berkat kenyataan bahwa dirinya telah sendirian akhir-akhir ini.
Dia tampak agak lebih dewasa atau… …tenang dan mampu untuk memikirkan baik-baik hal-hal ketimbang sebelumnya.
“Tetapi Abang lihat, ini berbeda. Azusa itu, Abang tahu, aku tidak minta maaf dengan maksud aku mau Abang memaafkanku atau semacamnya… …Biarkan aku minta maaf karena telah mengkhianati perasaanmu, Bang? Abang tidak perlu memaafkanku. Aku tidak memaksa Abang…”
–Oh, begitu ya.
Aku memang mengkhawatirkannya, tetapi Azusa tampaknya sudah memilah banyak pemikirannya.
“Maafkan aku, aku telah mengatakan kata-kata yang buruk.”
Itu bukannya dia mau aku memaafkannya.
Sekadar minta maaf karena dia telah melakukan sesuatu yang salah.
“Juga, terima kasih karena telah menjadi ‘Abang’ untuk adik Abang yang buruk ini.”
Sekali lagi, Azusa membungkuk dalam-dalam.
Sikap tulusnya membuat pipiku melonggar.
“Tidak ada yang namanya orang itu tidak melakukan kesalahan. Dan karena Abang dan Azusa sama-sama masih remaja yang belum dewasa, kita melakukan banyak kesalahan…”
Jadi yang paling penting jelas bukan minta maaf karena kegagalanmu.
Aku rasa yang paling penting yaitu mengambil langkah maju berikutnya dengan tepat, menggunakan kegagalan ini sebagai sumber inspirasi.
“Azusa, kamu juga perlu memikirkan matang-matang di mana letak “kebahagiaan”-mu, oke? Jangan terikat oleh ‘Abang’ dan lakukan yang terbaik… …untuk memastikan kalau kamu mendapatkan apa yang benar-benar kamu inginkan.”
Itu berarti telah tumbuh.
Dan untuk disyukuri.
Mungkin itulah apa yang dimaksud untuk menjadi dewasa… Jadi, sebagai seorang abang, aku sangat bahagia untuk melihat adikku tumbuh.
“Abang sudah bilang padamu sebelumnya, iya kan? Abang akan mengawasimu sepanjang waktu.”
“…”
Ketika aku bilang ini padanya, mata Azusa tiba-tiba jadi lembab.
Tetapi dia mengusap matanya dan menatapku dengan gagah, berusaha untuk tidak menangis.
Dia tidak merengek dan menangis seperti yang dia lakukan ketika dia dulu dicampakkan oleh Ryuzaki…
Azusa lebih kuat sekarang, dan dia baik-baik saja.
“Abang, …Azusa mau memotong rambutnya. Apa kita punya gunting?”
Lalu dia – melepaskan ikatan rambutnya yang telah dia bentuk kuncir.
Rambutnya selalu sama sejak dia masih kecil, tetapi tampaknya akan begitu cuma sampai hari ini.
“Eeeee!”
Dengan dengungan, dia memotong helai rambutnya yang panjang.
Karena dia memotongnya sendiri, itu tidak seimbang. Namun, Azusa tampak sangat segar kembali.
“Aku akan berusaha untuk tidur. Aku akan baik-baik saja sekarang. …Azusa akan pergi ke sekolah besok, oke?”
“…Kalau begitu kamu mungkin perlu menyesuaikan rambutmu sedikit lagi, oke? Kamu tampak seperti seorang anak yang duduk di singgasana.”
Poni dan rambut yang disisir ke belakang mengikatkanku pada cewek yang kekanak-kanakan.
Itu tampak cocok padanya, tetapi, iya…, itu memang agak kurang seimbang, tetapi karena dia memotongnya sendiri, mau bagaimana lagi.
“Kalau begitu, Abang lakukan sesuatu soal itu?”
Dengan perkataan itu, dia sekarang mencoba untuk melemparkan semua tanggung jawabnya padaku.
Dia tampaknya telah menguatkan tekadnya, tetapi dia tidak berhenti memanjakan dirinya di rumah.
“Abang akan berusaha…, tetapi jangan berharap banyak, ya?”
Iya, mau bagaimana lagi. Tidak peduli apa yang mereka lakukan pada kami, tidak peduli seberapa buruk mereka memperlakukan kami, hubungan antara abang dan adik ceweknya itu tidak mudah hancur.
Aku dan Azusa akan selalu menjadi abang dan adik. Makanya dia akan selalu terus melakukannya… …begini dan bergantung padaku untuk semua hal.
Aku menerimanya sebagai yang selalu aku lakukan. Aku mesti bilang, ketika Azusa dimanjakan olehku, aku tidak bisa apa-apa selain menerimanya.
Karena tidak ada abang yang tidak dapat menolak permintaan dari adik ceweknya.