Tampaknya Azusa dulu punya seorang abang yang berusia dua tahun lebih tua darinya.
Ia bukanlah abang tiri sepertiku, tetapi abang kandung yang sedarah dengannya.
Ini sebelum kami menjadi saudara tiri.
Aku dengar dari ayahnya kalau Azusa sangat menyayanginya dan selalu bersamanya apapun yang terjadi.
“Aku akan menjadi istri Abang di masa depan!”
Itulah apa yang dia katakan, dan tampaknya itu membuat keluarganya terganggu.
Tetapi hari-hari itu tiba-tiba berakhir.
Ketika Azusa duduk di bangku kelas enam SD, abangnya tewas dalam sebuah kecelakaan.
Azusa, yang kehilangan abang tercintanya, tentu saja bukan hanya sedih…, melainkan, dia juga sangat bingung.
Bukannya dia dapat mengerti kalau dia tidak akan pernah bisa bertemu dengan Abang tercintanya lagi.
“Abang itu cuma pergi ke suatu tempat yang sangat jauh, iya kan? Aku yakin kalau kami akan bertemu lagi suatu hari, kalau… Azusa itu memang cewek yang baik.”
Di suatu tempat di hatinya, dia pasti sudah mengerti kalau abangnya sudah tiada.
Tetapi dia menolak untuk mengakui itu. Dia dengan keras kepala terus menantikan kembalinya abangnya.
Bahkan sebagai seorang siswi SMA, dia masih menguncir rambutnya, seperti saat dia masih SD, mungkin untuk membuat abangnya mengenalinya.
Lalu suatu hari, …ayah Azusa memutuskan untuk menikah lagi. Calon istrinya punya seorang anak tiri, laki-laki.
Itulah aku.
“…Apa kamu itu abangku?”
Aku masih ingat dengan jelas pertama kali aku bertemu dengannya.
Aku masih kelas tujuh SMP kala itu, dan aku masih terlalu bingung dengan ketibaan tiba-tiba dari anggota keluarga yang seumuran denganku.
Jadi, aku tidak benar-benar memikirkan pertanyaannya.
Aku bertanya kapan ulang tahunnya, karena aku rasa itu akan memutuskan apakah dia itu kakak atau adikku…
Dan dia menggelengkan kepalanya, karena ulang tahunku sedikit lebih awal dari ulang tahunnya.
“Iya, aku rasa kamu bisa bilang aku itu abangmu.”
Ketika aku bilang begitu padanya, Azusa mulai menangis dengan segera.
“Gusuu… Aku sudah menantikan Abang sejak lama. Selamat datang kembali, Abang!”
Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan adik tiriku yang memelukku sambil mengatakan itu.
Tepat setelah itulah aku mendengar segalanya dari ayahnya.
“Azusa telah lama menantikan kembalinya abangnya.”
Aku kira aku tahu itu.
Dia tahu kalau dia tidak akan pernah bisa bertemu dengan abangnya lagi, tetapi dia berpura-pura tidak menyadari dan mengganti sosok abangnya dengan sosokku.
Tetapi aku tidak tahan melihat Azusa yang seperti itu, jadi… …aku berpura-pura menjadi abangnya.
Kala itu, aku tidak menganggap diriku sebagai seorang karakter mob, jadi aku bangga karena aku dapat menolong Azusa.
Dengan begitu, walaupun kami seumuran, kami mulai menghabiskan waktu bersama sebagai abang dan adik.
Ketika kami pertama kali menjadi abang dan adik, Azusa tampak sangat bahagia setiap hari. Dia berjalan di belakangku sepanjang waktu dan merangkak ke ranjangku di malam hari.
Jujur saja, aku senang.
Aku tidak bisa apa-apa selain memikirkan betapa imutnya adik tiriku itu, seberapa besar dia merindukanku.
Kalau dia mau, aku bisa menjadi abangnya selamanya.
Aku sangat sayang Azusa sampai-sampai aku bahkan tidak memikirkannya.
Tetapi sepertinya cuma aku saja yang berpikir begitu.
“…?”
Kalau aku pikir-pikir lagi, aku rasa Azusa punya tampang bingung di wajahnya bahkan saat itu.
Dia tiba-tiba menatapku dan memiringkan kepalanya, “Hah?”
Itu seakan-akan dia telah menyadari kalau aku bukanlah “Abang” yang dia tunggu untuk pulang.
Perasaan tidak nyaman pasti menjadi semakin kuat hari demi hari.
Dan akhirnya, pada hari upacara pembukaan, …dia bertemu cowok itu.
Ryoma Ryuzaki.
Pada pandangan pertama, Azusa tampaknya langsung menyadari kalau aku ini palsu.
Karena Ryuzaki lebih mirip seperti abangnya sendiri.
Aku terkejut ketika aku melihat albumnya. Aku penasaran apakah ada orang di dunia ini yang tampak sangat persis seperti dirinya.
Dengan kata lain, dia akhirnya menemukan “abang ideal”-nya.
Ryuzaki, yang mirip dengan abangnya sendiri, segera mencuri hatinya.
Dan aku, yang telah gagal menjadi abangnya, diabaikan.
“Abang Azusa yang sebenarnya itu mungkin Bang Ryoma.”
Kata-kata perpisahan yang tiba-tiba.
Aku kehilangan adikku yang berharga sebelum aku mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaanku.
Karena dia ingin Ryuzaki melihatnya juga, dia cuma mengobrol denganku di dalam rumah dan dia memanggilku “Nakayama-kun” di luar rumah. Aku cuma menjadi abangnya di dalam kartu keluarga, dan aku cuma bisa bertindak sebagai abangnya pada situasi terbatas di dalam rumah, dan aku menjadi jauh dari Azusa.
Membuang segalanya, Azusa hanya fokus menggelar Ryuzaki.
Pada akhirnya, pemikirannya berubah menjadi cinta sebagai anggota dari lawan jenis dan rasa sayang ke abangnya… …dan melengkapinya sebagai seorang anggota harem.
Dia benar-benar melambangkan sosok heroin sampingan.
Sebagai seorang heroin sampingan, dia mencintai Ryuzaki, sebagai seorang heroin sampingan, dia mengabdikan dirinya untuk Ryuzaki, sebagai seorang heroin sampingan, dia mendorong Ryuzaki, dan sebagai seorang heroin sampingan, dia jatuh dengan sia-sia.
Itu merupakan kisah… …komedi romantis yang menjijikkan sama sekali.
Pada akhirnya, apa yang dia dapatkan dari semua ini?
Apa kamu mendapatkan “abang ideal” yang kamu cari dengan sepenuh hatimu?
Azusa… …kamu tidak mendapatkan hasil apapun.
Kamu hanya jatuh terluka, menangis, dan kesakitan.
Itu benar-benar menyakitkan untuk disaksikan–
“Hiks, Uhu, uwa…”
Dia masih menangis setelah ditolak oleh Ryuzaki.
Suara isak tangis Azusa bergema di hutan dalam gelapnya malam.
Aku tidak bisa memeluknya seperti itu.
Aku telah gagal menjadi sosok abang baginya, dan sekarang aku cuma abangnya dalam kartu keluarga.
Aku bahkan tidak berhubungan darah dengannya, dan aku hampir seperti orang asing baginya di luaran sana.
Mustahil bagiku untuk menghiburnya atau mengobatinya.
Azusa telah hilang dari jangkauanku.
Tetapi…, keluarga itu masihlah keluarga.
Ada ikatan yang tidak terpisahkan dengan cewek ini.
Makanya aku cenderung lunak terhadapnya.
“…Abang tahu ini sangat, sangat menyakitkan saat ini.”
Aku menyampaikan kata-kata pada cewek yang sedang menangis itu.
Itu merupakan teriakan dariku, sebanyak yang aku bisa.
“Azusa akan mampu melalui rasa sakit ini. Kamu akan bisa memikirkan hal-hal ini dari sudut pandang yang berbeda ketika kamu melakukannya… Ini masih belum selesai.”
—Kamu masih belum selesai.
—Bangkitlah.
—Gunakan rasa sakit dan duka ini sebagai rezeki dan majulah.
Itu merupakan satu-satunya cara agar Azusa bisa bahagia.
Satu-satunya cara buat seorang heroin sampingan yang mencintai seorang protagonis harem agar bisa dihargai yaitu dengan mengatasi banyak rasa sakit, berkompromi, dan menerimanya.
Kalau kamu tidak suka, menyerah saja.
Kalau kamu memang mau menjadi cewek yang normal, jatuh cinta dengan cowok yang normal, dan merasa puas dengan kebahagiaan yang normal.
Namun, Azusa itu seorang cewek yang tidak puas dengan “normal” yang semacam itu.
Aku yakin dia akan dapat menangani rasa sakit ini.
“Semoga sukses. Abang mendukungmu… …Abang akan selalu memperhatikanmu.”
“––––.”
Aku tidak tahu apa yang Azusa rasakan karena dia masih menangis.
Sekarang tidak ada lagi yang bisa aku lakukan lebih dari itu.
“Iya, Abang akan pergi sekarang. Kalau kamu sudah berhenti menangis, kembalilah.”
Aku memberikan dia elusan lembut terakhir di bahunya dan membelakangi Azusa.
Ini merupakan akhir dari kisah sang heroin sampingan.
Apakah Azusa akan mampu untuk datang kembali ke meja di masa depan atau tidak itu bergantung pada… …dirinya.
Kalau dia memang mampu, dia mungkin saja akan menjadi dewasa dan menjadi heroin sampingan yang lebih kuat.
Mungkin dia akan menjadi sangat menarik sehingga dia dapat merebut posisi heroin utama.
Mari kita saja begitu.
“…Sekarang, apa yang mesti aku lakukan?”
Akhirnya, aku akan menghadapinya.
Apa yang harus aku lakukan dengan sang protagonis yang baru tersadar.
Pada akhirnya, cerita ini sampai pada klimaksnya–.