Mereka tiba di Genacy, dan Hanam yang berpisah dengan Cain dan para pengawal di gereja mengobrol dengan Priest disana dengan damai sambil meminum teh.
“Seepertinya para Priest dan para Bishop dari berbagai pennjuru sudah mulai berdatangan satu persatu…. “
“Begitu ya… Sebenarnya aku ingin cepat pulang… perjalanan kereta itu cukup menyulitkan bagi tubuh tua ku ini…”
Sebenarnya Bishop Hanam sudah lama melupakan rasa lelah karena ia sangat menikmati waktu mengobrol nya di kereta bersama sang Utusan Dewa, Cain.
Meskipun memang benar perjalanan kereta kuda itu sangat menyulitkan bagi orang tua, berkat sihir Cain, keadaan kereta itu menjadi lebih baik dari biasanya. Dan dia tidak mau repot-repot menjelaskan ini kepada sang Priest, jadi pada dasarnya ia hanya berusaha mencocokan pembicaraan saja.
“Karena ini semua adalah panggilan darurat… Aku benar-benar turut berduka cita atas apa yang menimpa Pope-sama… Lagipula ini juga menjadi perjalanan panjang bagi para Bishop yang datang dari luar negeri… Oh iya.. Nomong-ngomong Bishop—sama, anda memilih Cardinal yang mana??”
Kata-kata sang Priest itu membuat Bishop Hanam mengerutkan dahi. Sesungguhnya pemilihan Pope ini tergantung dari kekuatan politik keempat Cardinal. Tak peduli seberapa bagus pribadi orang itu, yang akan menang dan menjadi Pope baru adalah orang yang paling banyak dipilih oleh para Bishop dan Priest.
Wajar jika perang memburu informasi telah terjadi jauh sebelum pemilihan. Namun, sang Bishop tidak berniat memberi tahu siapapun pilihannya sebelum ia sampai di tempat pemilihan.
Terlebih bagi Bishop dari luar negeri itu menanggung seluruh suara dari para Priest yang ada di setiap kota di negeri itu. Karena tidak mungkin semua Priest itu kembali ke Marinford sekaligus, maaka Bisop dikirim sebagai perwakilan mereka.
“…Itu bukanlah hal yang harus aku bicarakan dengan mu… Aku menanggung suara milik para Priest di kerajaan Esfort… Aku tidak bisa dengan mudahnya mengatakan itu…”
“…Ah mohon maaf… Oh iya, ngomong-ngomong Kakak Bishop Hanam itu adalah Cardinal Denter ya…. Apa memang ternyata…”
Bishop Hanam menatap marah setelah mendengar perkataan Priest itu dan menunjukan sikap seolah dia tidak akan menanggapi hal ini lebih lanjut. Seakan menyerah dengan tekanan dari sang Bishop, sang Priest pun meminta maaf sambil bercucuran keringat dingin.
“Tapi berhati-hatilah… Aku dengar di sekitar sini banyak perampok yang berkeliaran… Bahkan kudengar mereka juga sampai menyerang kereta Gereja… Ksatria kuil sudah berpatroli setiap saat, namun sulit menangkap mereka…”
“Ini benar-benar hal yang memprihatinkan… Bisa ada kejadian seperti itu di Kerajaan Marineford ini… jadi, bagaimana korbannya???”
“Tentang itu… beberapa orang priest… sudah menjadi korban para perampok itu… aku dengar ada juga Bishop yang menjadi korban…”
Sang Priest itu nampak bersedih saat menjelaskan situasi saat ini. Dia juga menjelaskan bahwa kemungkinan besar para perampok itu menyerang karena menduga kereta target akan membawa banyak uang karena ini adalah pemilihan yang sangat jarang terjadi atau bahkan sampai puluhan tahun sekali. Dan pada kenyataannya target mereka memang membawa uang yang cukup banyak untuk membayar penginapan pengawal mereka serta magic bag yang berisi berbagai kebutuhan mereka di perjalanan yang akan bernilai tinggi jika dijual.
“Ini benar-benar masalah serius… Kami juga akan berhati-hati… Tapi kurasa perjalanan kali ini tidak akan ada masalah karena kami punya pengawal yang berbakat…”
“Jadi anda sudah mempunyai penggawal yang berbakat ya… aku jadi ikut tenang… Tapi tetap saja, kudengar bahwa jumlah perampok itu mungkin saja banyak, jadi tetaplah berhati-hati…”
“Maaf membuat mu khawatir… terima kasih atas informasi ini…”
Sang Bishop berterimakasih telah diberitahu informasi itu. Setelah mereka sedikit berbincang mengenai keadaan Kerajaan Esfort dan lain-lain, Bishop memutuskan untuk kembali kekamar yang disediakan untuk dirinya dan beristirahat. Sang Priest yang ditinggal sendirian mengeluarkan sebotol sake dan sebuah gelas dari lemari, dan kemudian dia duduk bersandar disofa.
Dia menuang sake ke dalam gelas dan mulai mencicipi, dan sensasi sake itu pun mengalir di tenggorokannya.
“Ternyata memang tidak semudah itu dia akan membocorkan informasi… Oi, kau ada disitu kan??”
Sang Priest berbicara sendiri di ruang yang seharusnya hanya ada dirinya itu. Namun tiba-tiba muncul sebuah bayangan hitam di samping jendela.
“…Saya disini”
Priest itu nampak menunjukan ekspresi yang berbeda.
“Hanam, hitam… Bisa di musnahkan….”
“Baik…”
“Oh iyam pengawal yang bersamanya sepertinya cukup berkemampuan, jadi jangan lengah ya…”
“…Baik…”
“Itu saja yabg ingin ku bicarakan… titipkan salam ku untuk Cardinal…”
“Tentu saja… saya yakin beliau akan senang… Kalau beitu saya permisi….”
Dan seketika bayangan itu pun menghilang.
“Kukukuku…. Aku harus memusnahkan Bishop yang memilih kandidat lain… dengan ini aku bisa menjadi Bishop…”
Tawa Priest itu bergema di ruangan yang hanya ada dirinya sendiri itu.
Mereka tiba di Genacy, dan Hanam yang berpisah dengan Cain dan para pengawal di gereja mengobrol dengan Priest disana dengan damai sambil meminum teh.
“Seepertinya para Priest dan para Bishop dari berbagai pennjuru sudah mulai berdatangan satu persatu…. “
“Begitu ya… Sebenarnya aku ingin cepat pulang… perjalanan kereta itu cukup menyulitkan bagi tubuh tua ku ini…”
Sebenarnya Bishop Hanam sudah lama melupakan rasa lelah karena ia sangat menikmati waktu mengobrol nya di kereta bersama sang Utusan Dewa, Cain.
Meskipun memang benar perjalanan kereta kuda itu sangat menyulitkan bagi orang tua, berkat sihir Cain, keadaan kereta itu menjadi lebih baik dari biasanya. Dan dia tidak mau repot-repot menjelaskan ini kepada sang Priest, jadi pada dasarnya ia hanya berusaha mencocokan pembicaraan saja.
“Karena ini semua adalah panggilan darurat… Aku benar-benar turut berduka cita atas apa yang menimpa Pope-sama… Lagipula ini juga menjadi perjalanan panjang bagi para Bishop yang datang dari luar negeri… Oh iya.. Nomong-ngomong Bishop—sama, anda memilih Cardinal yang mana??”
Kata-kata sang Priest itu membuat Bishop Hanam mengerutkan dahi. Sesungguhnya pemilihan Pope ini tergantung dari kekuatan politik keempat Cardinal. Tak peduli seberapa bagus pribadi orang itu, yang akan menang dan menjadi Pope baru adalah orang yang paling banyak dipilih oleh para Bishop dan Priest.
Wajar jika perang memburu informasi telah terjadi jauh sebelum pemilihan. Namun, sang Bishop tidak berniat memberi tahu siapapun pilihannya sebelum ia sampai di tempat pemilihan.
Terlebih bagi Bishop dari luar negeri itu menanggung seluruh suara dari para Priest yang ada di setiap kota di negeri itu. Karena tidak mungkin semua Priest itu kembali ke Marinford sekaligus, maaka Bisop dikirim sebagai perwakilan mereka.
“…Itu bukanlah hal yang harus aku bicarakan dengan mu… Aku menanggung suara milik para Priest di kerajaan Esfort… Aku tidak bisa dengan mudahnya mengatakan itu…”
“…Ah mohon maaf… Oh iya, ngomong-ngomong Kakak Bishop Hanam itu adalah Cardinal Denter ya…. Apa memang ternyata…”
Bishop Hanam menatap marah setelah mendengar perkataan Priest itu dan menunjukan sikap seolah dia tidak akan menanggapi hal ini lebih lanjut. Seakan menyerah dengan tekanan dari sang Bishop, sang Priest pun meminta maaf sambil bercucuran keringat dingin.
“Tapi berhati-hatilah… Aku dengar di sekitar sini banyak perampok yang berkeliaran… Bahkan kudengar mereka juga sampai menyerang kereta Gereja… Ksatria kuil sudah berpatroli setiap saat, namun sulit menangkap mereka…”
“Ini benar-benar hal yang memprihatinkan… Bisa ada kejadian seperti itu di Kerajaan Marineford ini… jadi, bagaimana korbannya???”
“Tentang itu… beberapa orang priest… sudah menjadi korban para perampok itu… aku dengar ada juga Bishop yang menjadi korban…”
Sang Priest itu nampak bersedih saat menjelaskan situasi saat ini. Dia juga menjelaskan bahwa kemungkinan besar para perampok itu menyerang karena menduga kereta target akan membawa banyak uang karena ini adalah pemilihan yang sangat jarang terjadi atau bahkan sampai puluhan tahun sekali. Dan pada kenyataannya target mereka memang membawa uang yang cukup banyak untuk membayar penginapan pengawal mereka serta magic bag yang berisi berbagai kebutuhan mereka di perjalanan yang akan bernilai tinggi jika dijual.
“Ini benar-benar masalah serius… Kami juga akan berhati-hati… Tapi kurasa perjalanan kali ini tidak akan ada masalah karena kami punya pengawal yang berbakat…”
“Jadi anda sudah mempunyai penggawal yang berbakat ya… aku jadi ikut tenang… Tapi tetap saja, kudengar bahwa jumlah perampok itu mungkin saja banyak, jadi tetaplah berhati-hati…”
“Maaf membuat mu khawatir… terima kasih atas informasi ini…”
Sang Bishop berterimakasih telah diberitahu informasi itu. Setelah mereka sedikit berbincang mengenai keadaan Kerajaan Esfort dan lain-lain, Bishop memutuskan untuk kembali kekamar yang disediakan untuk dirinya dan beristirahat. Sang Priest yang ditinggal sendirian mengeluarkan sebotol sake dan sebuah gelas dari lemari, dan kemudian dia duduk bersandar disofa.
Dia menuang sake ke dalam gelas dan mulai mencicipi, dan sensasi sake itu pun mengalir di tenggorokannya.
“Ternyata memang tidak semudah itu dia akan membocorkan informasi… Oi, kau ada disitu kan??”
Sang Priest berbicara sendiri di ruang yang seharusnya hanya ada dirinya itu. Namun tiba-tiba muncul sebuah bayangan hitam di samping jendela.
“…Saya disini”
Priest itu nampak menunjukan ekspresi yang berbeda.
“Hanam, hitam… Bisa di musnahkan….”
“Baik…”
“Oh iyam pengawal yang bersamanya sepertinya cukup berkemampuan, jadi jangan lengah ya…”
“…Baik…”
“Itu saja yabg ingin ku bicarakan… titipkan salam ku untuk Cardinal…”
“Tentu saja… saya yakin beliau akan senang… Kalau beitu saya permisi….”
Dan seketika bayangan itu pun menghilang.
“Kukukuku…. Aku harus memusnahkan Bishop yang memilih kandidat lain… dengan ini aku bisa menjadi Bishop…”
Tawa Priest itu bergema di ruangan yang hanya ada dirinya sendiri itu.
diulang-ulang biar keliatan panjang cerita nya