Meskipun terjadi dua kali kasus penyerangan, namun rombongan mereka dapat dengan selamat tiba di Ibukota. Bishop Hanam terus menampakan wajah murungnya dia tidak menyangka bahwa akan ada penyerangan sebanyak ini.
“Terima kasih banyak untuk semuanya…. Meskipun banyak hal yang terjadi, aku bersyukur kalian semua baik-baik saja…. Silahkan bersantai dulu sampai nanti saatnya kita pulang.. Silahkan minta ksatria untuk mengantarkan kalian ke penginapan….”
“Tidak apa-apa Bishop-sama…. Justru kami petualang peingkat A dan peringkat B disewa untuk menangani masalah ini… Jadi jangan terlalu mengkhawatirkannya…”
Claud menjawab dengan penuh rasa bangga, dan Rina hanya bisa meghela nafas menyaksikan ini. Namun jika tidak ada Cain, Claude dan Rina adalah petualang teratas di kelompok ini, dan Claude adalah pemimpinnya, maka wajar jika Claude menjawab mewakili mereka.
Setelah ini. Cain berencana tetap mengawal Bishop masuk ke Kuil setelah ia mengganti pakaiannya. Namun karena meskipun ia memakai pakaian petualang, dia masih akan terlihat mencolok, jadi ia pun memutuskan untuk meminjam jubah deacon.
Pada dasarnya ia hanya ikut masuk sebagai bawahab Bishop Hanam. Sebagai pendamping Bishop Hanam, akan ada juga jadwal pertemuan dengan Hinata setelah ini.
Claude dan yang lainnya pun diantarkan menuju ke penginapan mereka oleh ksatria. Cain mengikuti Bishop Hanam sambil menantikan pertemuannya dengan Hinata karena sudah sangat lama mereka tidak bertemu.
Dengan dipandu oleh deacon yang ada di kuil utama, Cain dan Bishop Hanam di antarkan ke sebuah ruangan khusus. Meskipun ruangan itu sangat sederhana, namun cukup besar. Diruangan itu terdiri dari satu ruangan rapat, satu kamar besar, dan satu kamar kecil. Kamar yang besar digunakan untuk tempat tidur Bishop yang datang ke Kuil Utama, sedangkan kamar yang kecil digunakan untuk bawahannya.
Bisho Hanam sempat menawarkan Cain untuk tidur di kamar yang besar, namun ia menolak dengan sopan dan memilih kamar yang kecil.
“Masih ada dua jam lagi ya… Benar-benar sudah lama sekali tidak bertemu… semoga dia baik-baik saja ya…”
Sambil membayangkan hal itu ia kembali ke ruang tamu.
Pada awalnya ia ingin bersantai dengan Bishop Hanam, namun ternyata jumlah pengunjung Bishop tidak kunjung berhenti. Karena Cain berperan sebagai bawahan Bishop, dalam pertemuan ini dia selalu sibuk membuatkan teh untuk setiap tamu yang datang.
Meskipun Bishop Hanam merasa tidak enak dan sangat menyersal karena membuat dirinya terus-terusan menyajikan teh, namun Cain tetap tersenyum dan melanjutkan tugasnya.
Dari sudut pandang Bishop Hanam, ia telah membuat seoran bangsawan senior Kerajaan Esfort, dan juga Utusan dewa yang posisinya jauh lebih tinggi dari Pope ini membuatkan teh untuk para tamu, sungguh membuat dirinya ketakutan.
Kebanyakan tamu yang datang membicarakan tentang pemilihan Pope ini. Ada tamu yang terang-terangan menyatakan pilihannya, ada juga yang secara tersirat memberikan rekomendasi pilihan mereka. Bishop Hanam hanya meladeni mereka sambil berusaha mengimbangi percakapan.
Saat mereka tinggal berdua saja, Bishop Hanam nampak sangat kelelahan dan ia pun bersandar di sofa sambil menghela nafas panjang.
“Sepertinya sangat merepotkan ya…. Sepertinya memang pemilihan Pope ini memang menjadi momen penting bagi berbagai pihak…”
“Benar seperti yang anda katakan Cain-sama…. Akan lebih mudah jika Cain-sama mau mengatakan ‘Kaulah orang yang akan menjadi Pope selanjutnya’ dan menunjuk seseorang…. Sebenarnya juga aku tidak keberatan jika Cain-sama sendiri yang menjadi Pope… Kalau begitu aku akan sekuat tenaga mendukung anda…”
Cain tersenyum pahit mendengar perkataan Bishop Hanam itu. Tentu saja ia sama sekali tidak berniat menjadi Pope yang merupakan sosok tertinggi di Kerajaan Marineford ini.
“Tentu saja aku tidak bisa… aku kan juga punya tugas di kerajaan Esfort…”
“Benar juga ya…. Nanti Yang Mulia bisa menceramahi anda lagi….”
Mereka berdua tertawa, dan tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Lalu seorang Deacon masuk setelah diberikan izin.
“Waktu pertemuan dengan Saint-sama telah tiba, mari saya antar…”
“Baiklah… Mari kita pergi…”
Cain pun mengikuti Bishop Hanam, dengan dipandu oleh Deacon itu. Mereka berjalan melalui beberapa lorong dan berhenti tepat di depan sebuah pintu yang terlihat mewah.
Deacon itu pun mengetuk pintu, dan setelah mendapatkan izin dari dalam ia pun membuka pintu dengan perlahan.
“Bishop-sama, silahkan masuk…”
“Ya, terimakasih… Kalau begitu aku masuk…”
Bishop Hanam dan Cain pun memasuki ruangan itu.
Diruangan yang luas ini, Hinata duduk sendirian di sofa yang ada di tengah ruangan. Dan ada duaorang suster yang bersiaga di sudut ruangan ini.
“Selamat datang… Sudah lama tidak bertemu, Bishop Hanam… Silakan duduk…”
Bishop Hanam pun duduk dan Cain berdiri di belakangnya. Para suster itu membuatkan teh dan meletakan nya dihadapan Hinata dan Bishop Hanam. Tentu saja bagian untuk Cain tidak ada.
“Bisakah kalian meninggalkan ruangan ini sebentar??”
“Baik!”
Kedua suster itu pun meninggalkan ruangan setelah mereka membungkuk memberikan hormat.
Ketiika pintu ditutup dan menyisakan mereka bertiga di dalam ruangan ini, Hinata pun berdiri dan mendekati Cain selangkah demi selangkah.
Terlihat pipinya memerah dan matanya penuh dengan genangan air mata yang siap mengalir kapanpun.
“Cain-sama…”
Ketika Hinata sudah berdiri dihadapan Cain, dia langsung memeluknya dan menempelkan wajahnya kedada Cain.
“Aku selalu merindukan Cain-sama….. aku selalu berdoa pada dewa dan terus menunggu hari dimana aku bisa bertemu kembali dengan Cain-sama….”
Ia melingkarkan tangannya kepunggung Cain dan membuatnya tidak bisa lepas. Cain pun tersenyum.
“Hinata, lama tidak bertemu ya… sepertinya kamu lebih sehat dari apa yang aku bayangkan….. Aku benar-benar khawatir waktu menerima surat itu….”
Iapun melingkarkan tangannya perlahan ke punggung hinata dan menepuknya dengan lembut.
Bishop Hanam yang sedari tadi duduk disofa hanya bisa memandangi fenomena ini.
Meskipun terjadi dua kali kasus penyerangan, namun rombongan mereka dapat dengan selamat tiba di Ibukota. Bishop Hanam terus menampakan wajah murungnya dia tidak menyangka bahwa akan ada penyerangan sebanyak ini.
“Terima kasih banyak untuk semuanya…. Meskipun banyak hal yang terjadi, aku bersyukur kalian semua baik-baik saja…. Silahkan bersantai dulu sampai nanti saatnya kita pulang.. Silahkan minta ksatria untuk mengantarkan kalian ke penginapan….”
“Tidak apa-apa Bishop-sama…. Justru kami petualang peingkat A dan peringkat B disewa untuk menangani masalah ini… Jadi jangan terlalu mengkhawatirkannya…”
Claud menjawab dengan penuh rasa bangga, dan Rina hanya bisa meghela nafas menyaksikan ini. Namun jika tidak ada Cain, Claude dan Rina adalah petualang teratas di kelompok ini, dan Claude adalah pemimpinnya, maka wajar jika Claude menjawab mewakili mereka.
Setelah ini. Cain berencana tetap mengawal Bishop masuk ke Kuil setelah ia mengganti pakaiannya. Namun karena meskipun ia memakai pakaian petualang, dia masih akan terlihat mencolok, jadi ia pun memutuskan untuk meminjam jubah deacon.
Pada dasarnya ia hanya ikut masuk sebagai bawahab Bishop Hanam. Sebagai pendamping Bishop Hanam, akan ada juga jadwal pertemuan dengan Hinata setelah ini.
Claude dan yang lainnya pun diantarkan menuju ke penginapan mereka oleh ksatria. Cain mengikuti Bishop Hanam sambil menantikan pertemuannya dengan Hinata karena sudah sangat lama mereka tidak bertemu.
Dengan dipandu oleh deacon yang ada di kuil utama, Cain dan Bishop Hanam di antarkan ke sebuah ruangan khusus. Meskipun ruangan itu sangat sederhana, namun cukup besar. Diruangan itu terdiri dari satu ruangan rapat, satu kamar besar, dan satu kamar kecil. Kamar yang besar digunakan untuk tempat tidur Bishop yang datang ke Kuil Utama, sedangkan kamar yang kecil digunakan untuk bawahannya.
Bisho Hanam sempat menawarkan Cain untuk tidur di kamar yang besar, namun ia menolak dengan sopan dan memilih kamar yang kecil.
“Masih ada dua jam lagi ya… Benar-benar sudah lama sekali tidak bertemu… semoga dia baik-baik saja ya…”
Sambil membayangkan hal itu ia kembali ke ruang tamu.
Pada awalnya ia ingin bersantai dengan Bishop Hanam, namun ternyata jumlah pengunjung Bishop tidak kunjung berhenti. Karena Cain berperan sebagai bawahan Bishop, dalam pertemuan ini dia selalu sibuk membuatkan teh untuk setiap tamu yang datang.
Meskipun Bishop Hanam merasa tidak enak dan sangat menyersal karena membuat dirinya terus-terusan menyajikan teh, namun Cain tetap tersenyum dan melanjutkan tugasnya.
Dari sudut pandang Bishop Hanam, ia telah membuat seoran bangsawan senior Kerajaan Esfort, dan juga Utusan dewa yang posisinya jauh lebih tinggi dari Pope ini membuatkan teh untuk para tamu, sungguh membuat dirinya ketakutan.
Kebanyakan tamu yang datang membicarakan tentang pemilihan Pope ini. Ada tamu yang terang-terangan menyatakan pilihannya, ada juga yang secara tersirat memberikan rekomendasi pilihan mereka. Bishop Hanam hanya meladeni mereka sambil berusaha mengimbangi percakapan.
Saat mereka tinggal berdua saja, Bishop Hanam nampak sangat kelelahan dan ia pun bersandar di sofa sambil menghela nafas panjang.
“Sepertinya sangat merepotkan ya…. Sepertinya memang pemilihan Pope ini memang menjadi momen penting bagi berbagai pihak…”
“Benar seperti yang anda katakan Cain-sama…. Akan lebih mudah jika Cain-sama mau mengatakan ‘Kaulah orang yang akan menjadi Pope selanjutnya’ dan menunjuk seseorang…. Sebenarnya juga aku tidak keberatan jika Cain-sama sendiri yang menjadi Pope… Kalau begitu aku akan sekuat tenaga mendukung anda…”
Cain tersenyum pahit mendengar perkataan Bishop Hanam itu. Tentu saja ia sama sekali tidak berniat menjadi Pope yang merupakan sosok tertinggi di Kerajaan Marineford ini.
“Tentu saja aku tidak bisa… aku kan juga punya tugas di kerajaan Esfort…”
“Benar juga ya…. Nanti Yang Mulia bisa menceramahi anda lagi….”
Mereka berdua tertawa, dan tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Lalu seorang Deacon masuk setelah diberikan izin.
“Waktu pertemuan dengan Saint-sama telah tiba, mari saya antar…”
“Baiklah… Mari kita pergi…”
Cain pun mengikuti Bishop Hanam, dengan dipandu oleh Deacon itu. Mereka berjalan melalui beberapa lorong dan berhenti tepat di depan sebuah pintu yang terlihat mewah.
Deacon itu pun mengetuk pintu, dan setelah mendapatkan izin dari dalam ia pun membuka pintu dengan perlahan.
“Bishop-sama, silahkan masuk…”
“Ya, terimakasih… Kalau begitu aku masuk…”
Bishop Hanam dan Cain pun memasuki ruangan itu.
Diruangan yang luas ini, Hinata duduk sendirian di sofa yang ada di tengah ruangan. Dan ada duaorang suster yang bersiaga di sudut ruangan ini.
“Selamat datang… Sudah lama tidak bertemu, Bishop Hanam… Silakan duduk…”
Bishop Hanam pun duduk dan Cain berdiri di belakangnya. Para suster itu membuatkan teh dan meletakan nya dihadapan Hinata dan Bishop Hanam. Tentu saja bagian untuk Cain tidak ada.
“Bisakah kalian meninggalkan ruangan ini sebentar??”
“Baik!”
Kedua suster itu pun meninggalkan ruangan setelah mereka membungkuk memberikan hormat.
Ketiika pintu ditutup dan menyisakan mereka bertiga di dalam ruangan ini, Hinata pun berdiri dan mendekati Cain selangkah demi selangkah.
Terlihat pipinya memerah dan matanya penuh dengan genangan air mata yang siap mengalir kapanpun.
“Cain-sama…”
Ketika Hinata sudah berdiri dihadapan Cain, dia langsung memeluknya dan menempelkan wajahnya kedada Cain.
“Aku selalu merindukan Cain-sama….. aku selalu berdoa pada dewa dan terus menunggu hari dimana aku bisa bertemu kembali dengan Cain-sama….”
Ia melingkarkan tangannya kepunggung Cain dan membuatnya tidak bisa lepas. Cain pun tersenyum.
“Hinata, lama tidak bertemu ya… sepertinya kamu lebih sehat dari apa yang aku bayangkan….. Aku benar-benar khawatir waktu menerima surat itu….”
Iapun melingkarkan tangannya perlahan ke punggung hinata dan menepuknya dengan lembut.
Bishop Hanam yang sedari tadi duduk disofa hanya bisa memandangi fenomena ini.