Setelah sekolah selesai, aku menaruh sepatuku di kotak sepatu dan dalam perjalanan pulang aku melihat Saito berdiri di depan pintu gerbang.
Mata kami saling berhadapan. Tidak, hanya aku yang merasa seperti itu.
Aku hanya pernah berinteraksi dengannya sekali kemarin, dan aku yakin dia tidak memiliki urusan lagi denganku.
Dia mungkin saja tidak ingat kalau aku adalah orang yang telah mengembalikan buku pegangannya. Dia sudah semestinya melupakan karakter yang mob* sepertiku. (TL Note: Karakter mob atau mobukyara (モブキャラクター) adalah sebutan untuk karakter sampingan/minor dalam beberapa karya sastra Jepang, seperti anime, manga, dan lain sebagainya, sumber: Stack Exchange.)
Selagi aku hampir berjalan melewatinya, aku kira awalnya bukan aku orang yang dia tunggu.
[Boleh aku bicara sebentar denganmu?]
Suaranya sangat bermartabat dan cerah layaknya siang hari.
Nadanya sendiri tidak lembut, tetapi sikap dinginnya berkurang jika dibandingkan dengan yang kemarin, dan itu sampai ke telingaku.
[Eh, aku?]
Apa yang ingin dia lakukan di sini? Mungkin ada kaitannya dengan yang kemarin tetapi aku tidak tahu pasti.
… Mungkin saja aku mengembalikan aku mengembalikan buku catatan itu dengan baik, namun ada beberapa isinya yang robek, jadi dia datang untuk protes?
[Agar kamu tahu saja, aku tidak merobek bagian apapun dari buku catatan. Kalau ada robekan atau goresan itu sudah ada sejak kamu menjatuhkannya. Aku tidak melakukannya.]
Untuk menghindari beberapa keluhan, aku mencoba untuk melihat situasi sebelumnya. Tetapi sepertinya aku salah mengartikannya. Dan Saito pun menggelengkan kepalanya.
[Hmmm? Buku catatan siswanya masih utuh dan bersih kok?]
[Eh, begitu ya? Kalau begitu kamu mau apa?]
Aku merasa malu karena aku salah.
Aku tidak bisa memikirkan apapun selain yang berkaitan dengan buku catatan itu.
Jika dia tidak protes, lalu mengapa dia bicara padaku?
[Um… Aku ingin memberikanmu ini.]
Dengan tatapan gugup dari wajahnya, Saito mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti sebuah tas kecil yang dia simpan di belakang dirinya.
Sudah menjadi refleks bagiku untuk menerima apa yang dia berikan padaku.
Ini tidak berat. Sebenarnya, ini agak ringan.
[Apa ini?]
[Terima kasih karena telah mengantarkan buku catatanku. Ini adalah caraku untuk berterima kasih padamu.]
Oh, jadi begitu ya!
Aku mengerti mengapa Saito mencoba bicara padaku dan aku merasa tenang sekarang.
Dia baik sekali berterima kasih padaku dengan cara yang tidak biasa dilakukannya.
Aku mengubah kesanku tentangnya secara perlahan dari perpaduan antara sikap dingin dan agak kasar yang biasanya.
[Aku mengerti. Terima kasih]
[… Tidak masalah.]
Dia seharusnya sudah selesai denganku, tetapi dia masih memandangiku dan tidak beranjak pergi. Dia masih menatap ke arah tas itu dengan tatapan yang gugup di wajahnya.
[Boleh aku membukanya?]
Apa ada hal yang mengganggunya?
Aku bertanya-tanya apa yang dia lakukan, tetapi aku bertanya bolehkah aku membukanya karena dia telah memberikan ini padaku.
[Eh? Iya…]
Karena beberapa alasan, dia merapatkan bibirnya, membuat ekspresinya yang gugup makin terlihat jelas.
Dia tampak seolah-olah dia mempersiapkan jantungnya atau apalah.
Aku membuka tas itu dan melihatnya merubah ekspresinya dengan melirik sekilas.
Di dalamnya terdapat kukis. Kukis itu ditaburi dengan butir coklat (choco chip) dan kelihatannya enak.
Itu terlihat enak, jadi aku mengambilnya satu dan mencobanya.
[Apa!?]
Kukira ini cuma kukis butir coklat biasa. Ternyata aku salah. Ada rasa jeruk yang agak menyegarkan terselip di dalamnya.
Ini renyah di luarnya tetapi lembut di dalamnya, membuatku ingin memakan beberapa potong lagi.
Kadar kemanisannya sangat pas, dan bahkan anak laki-laki, seperti diriku ini, pasti akan menyukainya.
Ini sangat lezat aku tidak bisa bilang apa-apa selain beberapa komentar.
[Kukis ini, sangat enak.]
[!? Begitukah. Senang rasanya jika itu cocok dengan seleramu.]
Tampaknya, dia mengkhawatirkan reaksiku setelah memakan ini.
Ketika aku memuji betapa enaknya kukis itu, mukanya berubah dari yang tegang ke yang datar tak berekspresi, dan merenggangkan mulutnya kembali.
Aku tidak bisa apa-apa selain melihat senyumannya yang sedikit tampak di wajahnya yang biasanya datar tak berekspresi itu.
(Aku jadi mengerti sekarang mengapa orang-orang menyebutnya imut.)
Kupikir Saito memang gadis yang cantik, tetapi tidak ada yang terlintas dalam benakku. Dia cantik dan imut, itu saja menurutku.
Gambaran dia bagiku adalah mirip seperti sebuah lukisan, seolah-olah aku melihat keindahan yang dibuat-buat.
Sampai sekarang, aku tidak mengerti apa yang imut dari dia bersikap tidak ramah dan dingin. Bagaimanapun juga, melihatnya dengan cara ini akan membuat keimutannya lebih manusiawi. Dan aku tahu alasannya.
[Ada apa?]
Senyumannya yang muncul pada saat itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Aku merasa itu jadi sangat disayangkan sekali.
[Tidak, tidak ada apa-apa kok. Terima kasih untuk ini. Sampai jumpa lagi.]
[Iya, selamat tinggal.]
Aku dengan cepat pergi untuk menutupi pemikiran yang terlintas dalam benakku.
Aku tidak berpikir akan berbicara dengan gadis paling cantik di sekolah itu lagi. Aku dikejutkan oleh peristiwa yang tak terduga, tetapi kupikir aku tidak akan berurusan dengannya lagi lain kali.
(TL English Note: Ahahaha, lelucon yang bagus, MC.)
Aku berjalan pulang, memikirkan betapa beruntungnya melihat senyumannya itu, meskipun cuma sedikit.