(S*al, kapan aku harus memegang tangannya…)
Tiga hari telah berlalu sejak aku mendapatkan saran dari Hiiragi-san. Namun, aku masih belum bisa menemukan waktu yang tepat dan tidak tahu kapan harus memegang tangannya.
Itu tidak wajar jika tiba-tiba bertanya, [Bolehkah aku memegang tanganmu?]. Bahkan aku akan bingung jika aku menanyakan itu tiba-tiba, jadi aku yakin Saito akan bermasalah juga.
Aku ingin memiliki semacam pemicu. Jika aku memiliki peluang, aku bisa secara alami mengusulkan untuk berpegangan tangan. Namun, itu bukanlah sesuatu yang sering terjadi. Itulah mengapa tiga hari berlalu tanpa diriku mampu untuk menemukan kesempatan.
[Haaa…]
Aku tidak dapat memikirkan apapun, dan tidak bisa apa-apa selain menghela napas. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Baru saja ketika aku sedang bingung, sebuah pengumuman dibuat melalui sistem PA.
[Ada orang yang mencurigakan muncul kemarin malam sekitar pukul 10 malam. Tolong berhati-hati saat perjalanan pulang Anda.]
…Itu dia! Itu mungkin tampak sedikit undangan yang memaksa, tetapi aku tidak peduli lagi. Tidak mungkin aku tidak akan melakukannya sekarang. Jika aku kehilangan kesempatan ini, aku tidak tahu kapan kesempatan lain akan datang dengan sendirinya.
Jika aku berhenti pada titik ini, tidak ada yang akan pernah terjadi, jadi aku memutuskan untuk bergegas dan menghubungi Saito secepat mungkin.
{Apakah kamu ingin pulang denganku hari ini?}
{Tentu. Jika kamu pulang bersamaku segera, kita akan diperhatikan, jadi aku akan bertemu denganmu di loker sepatu sekitar tiga puluh setelah pulang sekolah.}
{Aku mengerti.} (TL English Note: 了解 itu dibaca Ryoukai yang merupakan afirmasi atau pengesahan.)
Aku sedikit khawatir kalau dia akan menolak, tetapi dia menyetujuinya tanpa ragu-ragu. Aku merasa lega bisa melewati panggung pertama. Kali ini, aku bertekad untuk memegang tangannya, dan menunggunya sepulang sekolah.
Sepulang sekolah, dia muncul 30 menit kemudian seperti yang dijanjikan.
[Hei, maaf karena mendadak.]
[Tidak, itu hanya sedikit perbedaan di antara pulang ke rumah terlambat dan lebih awal.]
Aku harus mengakui bahwa mengajaknya keluar di hari yang sama itu agak mendadak, tetapi dia tidak tampak keberatan. Faktanya, ekspresinya sama seperti biasanya, tetapi suaranya tampak bahagia.
Sama seperti terakhir kali, kami mulai berjalan, membicarakan hal-hal yang sepele. Memang seru bisa membaca buku bersama sambil bertukar kesan, tetapi itu juga seru melakukan ini, berjalan sambil membicarakan hal-hal acak.
Sampai saat ini, aku telah pulang dalam diam, tetapi perjalanan semacam ini juga bagus. Aku yakin itu karena orang yang aku ajak bicara adalah orang yang aku suka.
Aku melihat ke tangan putihnya yang indah, yang masih seperti tangan boneka seperti biasanya. Aku tidak bisa membuat kesalahan apapun. Ada sebuah pemicu, jadi akan wajar-wajar saja untuk meminta tangannya… Aku memutuskan dan berbicara dengan tekad.
[Hei, Saito.]
[…Iya, ada apa?]
Setelah jeda yang singkat, dia menatapku.
[Jika… Jika kamu tidak keberatan, mengapa kita tidak berpegangan tangan saja? …Kamu lihat, mereka bilang ada orang yang mencurigakan di dekat sini, jadi ini untuk berjaga-jaga saja.]
Apa maksudmu “Untuk berjaga-jaga saja”? Untuk berjaga-jaga saja? Aku menuangkan pemikiran batinku dalam kata-kataku tanpa berpikir. Jika berpegangan tangan dapat menghindari orang-orang mencurigakan kalau begitu semua anak SD di Jepang akan berpegangan tangan, iya kan? Aku jadi gugup dan memberikan alasan yang aneh.
Ketika aku melirik Saito, pipinya menjadi merah terang, dan matanya berbinar.
[Aku tidak keberatan. A-Aku mau berpegangan tangan.]
[I-Iya.]
Bahkan aku bisa tahu kalau dia sangat bahagia, dan badannya dibuat gatal dengan kebahagiaan dan rasa malu. Aku berhasil untuk menahan senyumku dan mengulurkan tanganku. Dia secara perlahan meletakkan tangannya di atas tanganku, tersenyum puas, dan melihat ke arahku.
Aku memintanya dengan terus terang saat dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
[Ada apa…]
[Tanaka-kun, kamu sangat ingin berpegangan tangan, iya kan? Jika kamu memintaku, aku akan memegang tanganmu kapanpun mulai dari sekarang, oke?]
Dia terkikik dengan tampang menggoda di wajahnya. Ekspresi polos dan sedikit kes*ksian di wajahnya, yang berbeda dari ekspresi dinginnya, terlalu menarik.
Jantungku berdebar dan wajahku jadi panas. Melihat ini, Saito tersenyum dengan kepuasan.
Ah, wajahku panas. Dia menggodaku, tetapi aku berhasil memegang tangannya. Aku menghela napas lega karena kami bisa berpegangan tangan. Namun, ini tidak tahan lama, dan sepertinya orang-orang menjadi lebih serakah ketika mereka berhasil. Sekarang aku mampu memegang tangannya, keinginanku yang berikutnya muncul.
Aku ingin melakukan pegangan tangan ala kekasih. Pemikiran itu terlintas dalam benakku. Jika aku pikir-pikir lagi, kami sudah berpegangan tangan sekali saat liburan musim dingin, meskipun secara tidak sadar. Itu sama saja seperti kami kembali ke tahap yang sama dengan yang kami lakukan saat liburan musim dingin. Dengan tujuan untuk mengatakan bahwa hubungan kami memiliki kemajuan, kami harus pergi ke satu tahap yang lebih jauh.
Dia memegang tanganku, jadi aku yakin dia tidak akan keberatan. Sekarang semua yang harus aku lakukan adalah mendapatkan keberanian. Aku menelan ludah dan menjalin jari-jariku di sekitar jari-jari Saito yang mulus.
[Ap- Tung-Tunggu, Tanaka-kun!?]
Saat aku merasakan panas tubuhnya, yang sedikit lebih dingin dari panas tubuhku, dengan jari-jari kami terjalin, dia menjerit. Kaget dan bingung, wajahnya berubah merah dan dia menatapku dengan matanya terbuka lebar.
[…Tidak suka ya?]
Aku penasaran apakah ini terlalu memaksa. Dia tersipu dan menggelengkan kepalanya ketika aku menanyakan persetujuannya.
[Ti-tidak, aku juga lebih suka begini.]
[…Nn.]
Kemudian tanganku mengepal sedikit lebih ketat. Aku merasakan telapak tangan kami yang bergandengan menjadi panas saat kami mulai berjalan pulang bersama.