DOWNLOAD NOVEL PDF BAHASA INDONESIA HANYA DI Novel Batch

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi Volume 2 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Reuni Setelah Sembilan Tahun

 

“Kalau begitu, aku akan menghubungimu lagi.”

“Ya. Hati-hati di jalan.”

“Kalian berdua juga!”

Ketika matahari hampir terbenam, kami kembali ke kota kami dan Aoi-san dan aku mengantar Eiji dan Izumi di halte bus.

Kami bermain-main sampai waktu tutup pada pukul 17:00, dan sudah lewat pukul 18:00 ketika kami kembali ke halte bus terdekat. Matahari mulai terbenam, tapi masih cukup terang karena saat ini musim panas.

“Ayo kita pulang juga?”

“Ya.”

Setelah sosok mereka berdua tidak terlihat lagi, kami meninggalkan halte bus.

Ini tidak jauh dari rumahku, tapi daerah ini berlawanan dengan arah ke sekolah dan tempat Aoi-san bekerja paruh waktu, jadi tempat ini agak jauh dari lingkup kehidupan sehari-hari kami.

Jalan yang kami lalui sekarang ini juga merupakan jalan yang jarang kami gunakan jika kami tidak memiliki urusan seperti ini.

“Sepertinya aku kelelahan bermain. Tubuhku terasa sedikit lemas.”

“Aku juga. Kupikir aku akan langsung tidur hari ini.”

“Akan merepotkan kalau menyiapkan makan malam setelah kita sampai di rumah, ini sedikit lebih awal, tapi mari kita makan dan pulang. Kemudian kita bisa mandi dan tidur kapan pun kita mau.”

“Benar juga. Ayo lakukan itu.”

“Aoi-san, apa yang ingin kamu makan?”

“Benar juga……”

Saat aku mengeluarkan ponsel untuk memeriksa apa ada toko yang bagus di dekat sini, aku menerima pesan dari Izumi. Sebelum aku sempat bertanya-tanya apa itu, notifikasi berbunyi lebih dari sepuluh kali secara beruntun.

Aku membuka aplikasi pesan, berpikir bahwa dia berniat menggangguku.

“Ap……Ini!?”

Apa yang muncul di layar bukanlah pesan, melainkan gambar.

Apa yang Izumi kirimkan padaku adalah foto Aoi-san dalam baju renangnya.

Foto Aoi-san sendirian dan foto dirinya bersama Izumi. Tentu saja, ada juga foto aku dan Aoi-san, dan bahkan beberapa foto berbahaya yang jelas-jelas diambil secara diam-diam.

Sepertinya dia selesai mengirim fotonya, lalu ada satu pesan di akhir foto.

“Gunakan itu untuk lauk hari ini♪”

Ini bukan urusanmu!

Tapi terima kasih. Aku percaya padamu!

Astaga……aku ingin cepat-cepat pulang, mengunci diri di kamar, menarik selimut sampai ke atas kepalaku dan melihatnya dengan seksama.

Aku akan menjaga dengan baik foto ini selama sisa hidupku. Tidak, bukan hanya selama sisa hidupku. Mari jadikan ini pusaka keluarga Akamori selama ratusan tahun yang akan datang, dan wariskan pada anak cucuku.

Meski aku sendiri yang mengatakannya, aku begitu bersemangat sampai-sampai membuat sumpah yang bodoh.

“Akira-kun, ada apa……eh?”

Aku lupa kalau Aoi-san ada di sampingku dan sedang menengadah ke langit, lalu dia tiba-tiba mengintip ke dalam ponselku.

Gawat—pikirku, dan mencoba menyembunyikan ponselku, tapi sudah terlambat.

“Apa ini……foto-foto hari ini?”

“Bukan seperti itu! Izumi sendiri yang mengirimkan ini padaku, bukannya aku memintanya—!”

Kedengarannya seperti alasan yang buruk, tapi apa yang kukatakan bukanlah kebohongan.

Tapi, masalahnya adalah ada maksud tersembunyi didalamnya, dan itu sepertinya tidak mungkin membuktikan kalau kami tidak bersalah.

“Aku akan segera menghapusnya!”

Seperti yang kuduga, karena yang bersangkutan sudah melihatnya, aku tidak bisa diam-diam menyimpannya.

Di permukaan, aku berpura-pura tenang seolah mengatakan, “Dasar si Izumi itu, mengambil foto diam-diam, benar-benar anak yang merepotkan ya,” tapi di dalam hatiku, aku meneteskan air mata seperti bendungan yang jebol dan akan menghapusnya.

Tiba-tiba, Aoi-san meraih tanganku.

“K-Kurasa……kamu tidak perlu menghapusnya, kan?”

“Eh……? Apa tidak apa-apa?”

Meskipun dia mengatakan seperti itu, wajahnya merah padam dan tatapannya berenang.

Tidak peduli bagaimana aku melihatnya, sepertinya dia malu…….

“Tapi Aoi-san, kupikir kamu mungkin malu meninggalkan foto seperti ini.”

“Aku malu. Itu memalukan, tapi……itu kenangan, bukan?”

Tiba-tiba, aku teringat apa yang telah kami bicarakan ketika kami menuju ke kolam renang pagi ini.

Eiji mengatakan kalau ia ingin membuat kenangan bersamaku, karena ini adalah musim panas terakhir kehidupan SMA kami bisa bersama. Izumi dan Aoi-san juga sama-sama mengatakan kalau mereka ingin membuat kenangan serta mencari rumah neneknya.

“Kamu tidak perlu menghapusnya, tolong berikan padaku juga.”

“Aoi-san, apa kamu ingin foto dirimu sendiri?”

“Bukan itu……aku ingin foto saat Akira-kun dan aku bersama.”

Aoi-san menundukan kepalanya, dengan wajahnya yang merah padam sampai-sampai sepertinya uap akan keluar dari kepalanya.

“B-Begitu ya. Aku menegrti. Aku akan segera mengirimkannya!”

Aku dengan terburu-buru menyimpan foto-foto itu dan mengirimkannya ke Aoi-san.

“Kurasa itu sudah semuanya.”

“Ya. Terima kasih. Aku akan menjaganya.”

Meskipun sambil terlihat malu-malu, Aoi-san mengembangkan senyuman dan terlihat puas.

Rasanya, aku juga jadi ikut malu saat melihat Aoi-san yang malu-malu seperti itu dan aku tidak bisa melihat matanya secara langsung.

Wajahku pasti memerah sekarang, tapi tolong anggap saja itu karena matahari terbenam.

“Jadi, apa yang akan kita makan malam ini!?”

“B-Benar juga. Apa ya.”

Saat aku mencoba menerbangkan rasa malu ini dengan kembali ke percakapan yang sebelumnya.

Tiba-tiba Aoi-san menghentikan langkahnya dan melihat ke sekeliling.

“Ada apa?”

“Apartemen yang dulu kutinggali berada di dekat sini.”

“Eh? Begitukah?”

Saat kami dengan asyik berjalan dan mengobrol, kami menemukan diri kami berada di daerah pemukiman yang tenang.

Meskipun banyak rumah terpisah yang relatif baru berjejer di jalan, beberapa kompleks apartemen juga tertangkap mata kami.

Pada hari upacara penutupan, Eiji membuatku teringat kalau Aoi-san dan aku berasal dari taman kanak-kanak yang sama.

Aku berpikir, fakta bahwa kami bersekolah di taman kanak-kanak yang sama berarti rumah kami tidak jauh satu sama lain, tapi sepertinya itu lebih dekat daripada yang kubayangkan.

“Rasanya sudah lama sekali ya, meskipun baru dua bulan yang lalu…….”

Aoi-san bergumam pada dirinya sendiri sambil melihat sekelilingnya.

Melihat sosoknya seperti itu, aku teringat saat aku bertemu Aoi-san.

Sebagai seseorang yang mengetahui situasi Aoi-san pada saat itu, tidak sulit untuk membayangkan bagaimana perasaannya saat dia menatap pemandangan ini. Perasaannya pasti tidak positif.

Aoi-san sedikit menunjukan ekspresi sedih di matanya.

“Selagi kita di sini, ingin mampir sebentar?”

Ketika aku menanyakan hal itu, Aoi-san menggelengkan kepalanya sedikit.

“Tidak. Karena rumahku sekarang adalah rumah Akira-kun.”

“Begitu……”

Lalu aku berpikir ketika aku melihat Aoi-san tersenyum setelah mengatakan itu.

Aoi-san telah melalui banyak hal, dan banyak hal yang telah terjadi di antara kami.

Tapi, kupikir sudah cukup bahwa dia tersenyum seperti ini sekarang.

Mungkin kita tidak perlu repot-repot menengok ke masa lalu yang menyedihkan yang telah berlalu. Meski, jika ada saatnya harus menengok ke belakang, bahkan jika kami tidak menginginkannya, aku yakin itu bukan sekarang.

Waktu mungkin akan menyelesaikannya, atau mungkin ketika dia sudah bisa menata hatinya dengan benar.

“Untuk makan malamnya, kamu ingin makan apa, Aoi-san?”

“Benar juga. Kurasa—”

Ketika aku bertanya lagi padanya.

“……Aoi?”

Dengan suara langkah kaki, suara yang tidak kukenal memanggil nama Aoi-san.

Ketika kami berbalik saat mendengar suara dengan suasana yang tidak biasa, aku melihat seorang pria yang tidak kukenal.

Ia terlihat berusia sekitar 40 tahun. Pria itu, mengenakan setelan jas dan terlihat seperti seorang pekerja kantoran yang bisa melakukan pekerjaan dengan baik, melihat Aoi-san dengan tatapan yang bisa dianggap sebagai keterkejutan atau penasaran.

……Kalau ia tahu namanya, apa ia kenalan Aoi-san?

Segera setelah aku berpikir kalau ia jauh lebih tua untuk seorang kenalan.

“……Ayah?”

“Eh—?”

Kata-kata yang tidak kuduga terdengar melewati telingaku.

Pria ini, ayah Aoi-san……?

“Ternyata benar Aoi! Sukurlah……Aku sedang mencarimu. Kau sudah besar ya…….”

Berlawanan dengan ekspresi lega sang ayah, wajah Aoi-san diwarnai dengan kebingungan.

“Kenapa ayah……ada di sini?”

“Aku mendapat telepon dari ibumu.”

“Dari ibu?”

“Ya. Dia ingin aku membawamu, Aoi.”

“Eh……?”

Mendengar kata-kata sang ayah, wajah Aoi-san berubah seolah-olah retak.

Ini adalah pertama kalinya aku melihat Aoi-san dengan ekspresi sesedih ini di wajahnya.

“Saat aku datang ke alamat yang dia berikan padaku, aku mendengar dari pemilik apartemen kalau kau sudah pindah. Selama sebulan terakhir aku mencarimu di sekitar sini kapan pun aku punya waktu…….aku senang bisa bertemu denganmu.”

Perkembangannya terlalu mendadak bagiku untuk memahami situasinya.

Tapi, entah kenapa……aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasakan dengungan yang aneh dan tidak menyenangkan di dalam hatiku.

“Berdiri dan berbicara seperti ini rasanya agak tidak enak, jadi mari kita pergi ke kedai kopi terdekat dan mengobrol dengan santai. Apa ia yang di sebelahmu……teman dari sekolah? Maafkan aku, tapi aku perlu bicara dengan Aoi berdua saja. Maaf.”

Saat sang ayah hendak membawanya pergi.

“……Aoi-san?”

Tiba-tiba, Aoi-san meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat.

Kurasa bukan imajinasiku saja kalau tangannya sedikit gemetar.

“Akira-kun……ikutlah bersamaku.”

“Aku juga?”

Aku tidak mengira Aoi-san akan mengatakan hal seperti itu.

Di depan mata yang begitu berharap padaku, tidak ada pilihan menolak.

“Tolong izinkan aku ikut juga.”

“Kamu juga?”

Aku berdiri di depan Aoi-san dan menghadapi ayahnya seolah untuk melindunginya.

Sang ayah menatapku dengan ekspresi seperti keterkejutan atau kebingungan.

“Aku tahu semua tentang situasi Aoi-san. Aku tahu apa yang telah terjadi pada Aoi-san dan kehidupan seperti apa yang telah dijalaninya selama dua bulan terakhir. Dan kupikir ada sesuatu yang bisa kukatakan juga pada anda.”

Setelah ayahnya membuat gestur seolah ia sedang berpikir sejenak.

“……Mengerti. Kalau begitu mari kita bertiga berbicara.”

Pemahamanku masih belum bisa menyusul karena hal ini begitu mendadak.

Meski begitu, aku tidak bisa meninggalkan Aoi-san sendirian, yang jelas-jelas gemetar.

Setelah itu, kami pergi ke kedai kopi untuk mencari tempat di mana kami bisa berbicara dengan santai.

Karena hari sudah malam, kedai ini kosong dan pelayan mempersilakan kami untuk duduk di kursi mana pun yang kami inginkan.

Mungkin karena ini akan menjadi percakapan yang rumit. Sang ayah membawa kami ke meja empat orang di ujung kedai untuk menghindari pelanggan lain, dan Aoi-san dan aku duduk berdampingan, dengan sang ayah duduk di depan Aoi-san.

Ketika minuman yang kami pesan datang, setelah hening sejenak, sang ayah mulai berbicara.

“Sudah sembilan tahun sejak kita bertemu seperti ini ya……Bagaimana kabarmu? baik-baik saja?”

“Ya……”

“Begitu. Sukurlah kalau begitu.”

Suasana canggung yang jelas menyelimuti mereka.

Mungkin hal itu tidak mengherankan ketika sudah sembilan tahun tidak bertemu satu sama lain.

“……Padahal sudah lama tidak melihatku, tapi kamu mengenaliku, ya.”

“Ya. Ibumu sering mengirimkan foto-foto dirimu padaku dari waktu ke waktu.”

“Begitu……”

Aoi-san tetap menunduk dan menolak untuk melakukan kontak mata dengan ayahnya.

Setidaknya, suasananya bukan suasana sukacita reuni ayah dan anak setelah bertahun-tahun.

“Kupikir aku telah mengejutkanmu dengan muncul tiba-tiba. Pertama-tama, izinkan aku menjelaskannya.”

Setelah percakapan singkat sebagai pengganti salam, sang ayah melihat ke dalam gelas di tangannya dan mulai berbicara dengan pelan.

“Dari sebulan lebih yang lalu, sekitar pertengahan bulan Juni—aku menerima pesan dari ibumu yang memintaku untuk membawamu, Aoi. Aku diberitahu kalau kau tinggal sendirian dan aku bergegas ke apartemenmu, tapi kau tidak ada di sana. Aku menghubungi pemilik apartemen dan diberitahu kalau kau sudah pindah beberapa waktu lalu karena menunggak uang sewa.”

Sekitar pertengahan bulan Juni……sekitar dua minggu setelah aku mulai tinggal bersama Aoi-san.

Tidak ada ketidakkonsistenan waktu dalam ceritanya. Mungkin benar bahwa sang ibu menghubunginya dan bahwa ia mencarinya.

Aku mengerti, tapi sekali lagi kemarahanku meluap pada ibunya karena menjadi orang tua yang breng*ek. Dia menyuruh putrinya bekerja paruh waktu untuk keluarga, kemudian dia pergi bersama pria dan kemudian mendorong mantan suaminya untuk mengambil anaknya.

Beberapa orang mungkin berpikir bahwa itu lebih baik daripada meninggalkannya sendirian, tapi bukan itu masalahnya.

Ini adalah tanda bahwa ibunya tidak lagi membutuhkan Aoi-san.

Dengan kata lain, ini berarti memutuskan hubungan dengan putrinya.

Sangat sulit dipercaya bahwa dia menghubungi suaminya karena khawatir akan keadaan putrinya.

“Aku tidak tahu keberadaanmu, jadi aku menghubungi ibumu, berharap setidaknya bisa mengetahui di mana SMA-mu, tapi dia tidak menjawab. Aku tidak memiliki ekspektasi karena dia hanya menghubungiku secara sepihak sampai sekarang dan jarang menanggapi teleponku……..Jadi aku mencari waktu untuk mencarimu di sekitar sini.”

Mencari waktu, ya…….

Melihat setelannya, sepertinya ia mencarinya setelah selesai bekerja hari ini.

“Butuh waktu cukup lama, tapi aku senang kita bertemu seperti ini…….”

Sang ayah terlihat lega seperti saat mereka bertemu.

Tapi Aoi-san tetap menunduk dengan ekspresi kaku yang sama.

“Omong-omong……hubungan seperti apa yang kau miliki dengan Aoi?”

Ayahnya pasti bingung ketika melihat Aoi-san yang tetap diam.

Ia mengalihkan pandangannya ke arahku dan bertanya, tapi sejujurnya, aku tidak yakin harus menjawab apa.

Aoi-san tetap diam dan tertunduk sejak beberapa saat yang lalu dan bahkan tidak mencoba melakukan kontak mata dengan ayahnya. Jelas dari penampilannya bahwa dia sedang gusar, dan aku tidak berpikir dia dalam keadaan di mana dia bisa berbicara dengan tenang.

Kemudian aku pikir akan lebih baik jika aku yang menjelaskan situasinya padanya.

“Maaf terlambat memberi salam. Aku teman sekelas Aoi-san, Akamori Akira.”

“Akira-kun, ya? Kau bilang kau tahu tentang situasi Aoi…….”

Aku mengangguk pada kata-katanya, dan mengatakan kebenaran yang perlu kusampaikan padanya secepat mungkin.

“Tanpa ada yang ditutupi, Aoi-san tinggal bersamaku di rumahku sekarang.”

“Tinggal bersamamu?”

Aku mulai menjelaskan pada sang ayah, yang tampak terkejut, secara berurutan, apa yang telah terjadi sejauh ini.

Pada awal bulan Juni, pada suatu hari hujan, aku bertemu dengan Aoi-san.

Aku menjelaskan tentang aku yang mengetahui situasi Aoi-san dan tentang mengusulkan agar dia tinggal bersamaku sampai aku pindah ke sekolah yang baru. Tentang keluargaku yang pindah karena ayahku dipindahkan dan sekarang kami tinggal berdua. Tentang orang tuaku juga tahu tentang hal ini.

Juga tentang meskipun kita adalah laki-laki dan perempuan yang hidup bersama, tidak ada satupun yang perlu dicurigai.

“Begitu ya……”

Ketika aku menyelesaikan penjelasanku, sang ayah menganggukkan kepalanya dengan sedikit mengerutkan alisnya.

Tidak peduli berapa banyak izin yang diberikan orang tuaku, dan meskipun tidak ada yang perlu dicurigai, tidak ada ayah yang waras yang akan merasa tenang mengetahui putri kandungnya hidup dengan seorang laki-laki.

Aku sudah siap untuk diberitahu apa yang pantas kudapatkan.

“Terima kasih sudah melindungi Aoi.”

“……Ha?”

Sang ayah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Pemandangan di depan mataku begitu tak terduga sampai-sampai muncul tanda tanya di kepalaku.

“Jika Akira-kun tidak bersama Aoi, aku yakin dia akan berada dalam banyak masalah sekarang. Dia juga mungkin tidak bisa melanjutkan berangkat ke sekolahnya. Sebagai seorang ayah, aku ingin mengucapkan terima kasih. Jika ada kesempatan, aku juga ingin memberikan salam yang pantas pada orang tua Akira-kun.”

“……”

Mungkin ini hal yang benar bagi seorang ayah untuk bisa menundukkan kepala seperti ini demi putrinya.

Bisa mengucapkan terima kasih pada seorang teman putrinya yang telah mengulurkan tangan padanya saat putrinya dalam krisis, sungguh seorang ayah yang luar biasa—siapa pun yang melihat adegan ini mungkin akan berkata demikian.

Tapi tanggapan yang patut dicontoh ini membuatku bertanya-tanya.

Seorang laki-laki yang belum pernah ia temui sebelumnya, yang tidak ia kenal dari mana asalnya, tinggal bersama putrinya.

Tidak ada orang tua yang akan mempercayainya meskipun mereka mengatakan tidak ada yang perlu dicurigai. Padahal jika kau peduli dengan putrimu, kau seharusnya curiga atau marah, tapi ia tidak melakukannya.

Aku tidak bisa melihat ayah ini dengan positif, tidak sedikit pun.

“Aku telah menyusahkanmu, Akira-kun, tapi tidak perlu khawatir lagi. Aku akan menjaga Aoi mulai sekarang.”

“Eh……?”

Aoi-san mengangkat suaranya dengan terkejut sebelum aku melakukannya.

Pada Aoi-san yang seperti itu, ia melanjutkan kata-katanya.

“Aoi, mulai sekarang, bagaimana kalau kau tinggal bersama kami?”

“Kami……?

Bukan denganku, tapi dengan kami.

Makna dari kata-kata itu segera disampaikan oleh sang ayah.

“Sebenarnya, aku menikah lagi setelah berpisah dengan ibumu.”

Aku melihat Aoi-san mengepalkan tangannya di bawah meja.

“Kami juga memiliki seorang putra berusia lima tahun, dan sekarang kami bertiga tinggal bersama di prefektur sebelah. Aku sudah memberitahu mereka tentang Aoi dan mereka setuju untukmu tinggal bersama kami, jadi jangan khawatir. Aku akan bertanggung jawab untuk mendukung Aoi mulai sekarang, untuk semua kesulitan yang telah kau lalui.”

Sebuah fakta tak terduga tiba-tiba terungkap.

Aku bisa merasakan kegelisahan Aoi-san yang duduk di sampingku.

Akan aneh baginya untuk tidak gusar jika dia diberitahu bahwa ayahnya, yang telah mengabaikannya selama sembilan tahun, tiba-tiba muncul, dan bahwa ia telah menikah lagi dan memiliki seorang putra—dengan kata lain, seorang ibu dan saudara laki-laki tiri.

Suasananya tidak terlalu baik untuk berbahagia tentang reuni ini.

Tidak, dari awal, aku tidak berpikir Aoi-san senang bertemu kembali dengan ayahnya.

“Biarkan aku memikirkannya…….”

Setelah beberapa saat, Aoi-san akhirnya mengeluarkan hanya sepatah kata.

“Aku mengerti. Kupikir wajar jika kau tidak bisa langsung membuat keputusan jika aku datang padamu secara tiba-tiba dan membicarakan hal seperti ini. Tidak perlu terburu-buru, jadi aku ingin aku memikirkannya dengan perlahan. Namun, bisakah kau memberiku jawaban selama liburan musim panas ini? Jika kau akan tinggal bersama, lebih cepat lebih baik. Ada juga proses pemindahan sekolah dan perpindahan yang harus dilakukan.”

Pindah dan pindah sekolah—

Tln : Hikkoshi/pindah tempat tinggal ama tenkou/pindah sekolah

Benar juga……ayahnya mengatakan ia tinggal di luar prefektur.

Jika dia tinggal bersama ayahnya, Aoi-san harus meninggalkan kota ini.

“Ya. Aku mengerti……”

Setelah itu, keduanya dengan ringan saling melaporkan tentang situasi mereka baru-baru ini dan kemudian bertukar kontak. Sang ayah berkata, “Aku ingin kau menghubungiku sebagai ganti Aoi jika terjadi sesuatu padanya,” dan bertukar kontak denganku juga sebelum meninggalkan kedai kopi.

Di luar, matahari sudah terbenam dan area sekitar diselimuti kegelapan.

Seharusnya sekarang masih panas karena ini musim panas, tapi entah kenapa……aku merasa anehnya lebih dingin dari biasanya.

*

 

Ketika kami tiba di rumah, kami memilih untuk makan malam yang sederhana.

Kami membicarakan tentang makan dan pulang ke rumah hari ini, tapi suasananya tidak cocok untuk menikmati makan malam di luar setelah bertemu kembali dengan ayahnya, jadi kami langsung pulang ke rumah dan beginilah sekarang.

Aoi-san mandi lebih dulu, sementara aku mencuci piring, dan berpikir.

“Ayahnya ya……”

Ia tampak seperti seorang pekerja kantoran biasa.

Dia berpakaian rapi, memiliki sikap yang tenang dan tidak tampak seperti orang jahat pada pandangan pertama.

Namun aku masih belum bisa mendapatkan kesan yang baik tentang ayah Aoi-san.

Jika menyingkirkan perasaanku, kupikir itu adalah hal yang baik bahwa ayahnya muncul. Hal ini bisa menyelesaikan masalah yang dipikul Aoi-san dan dia memiliki lebih banyak pilihan selain mengandalkan neneknya, ini bisa dianggap sebagai hal yang positif.

Aku mengerti itu.

Namun, aku tidak bisa menerimanya karena ia datang untuk membawanya karena sang ibu menyuruhnya.

Ia meninggalkan Aoi-san selama sembilan tahun, dan sementara itu ia mendapatkan kebahagiaannya sendiri……dan jika ibu Aoi-san tidak memintanya mengambilnya, sekarangpun ia akan masih membiarkannya, dan hidup bahagia dengan keluarga barunya tanpa ada apapun yang membuatnya tidak nyaman.

Untuk lebih baik atau lebih buruk, selalu anak-anak yang diombang-ambing oleh kenyamanan orang tua mereka.

Mau bagaimana lagi kalau aku merasa sangat kasihan pada Aoi-san.

Tentu saja, kupikir pasti ada keadaan dalam keluarga Aoi-san yang tidak kuketahui yang menyebabkan orang tuanya bercerai. Mungkin ada alasan tertentu mengapa mereka harus memilih bercerai.

Meski begitu, aku yang merasa gerah dengan hal itu, apakah karena aku menentangnya?

Aku bertanya-tanya…….Bahkan jika ada alasan atau keadaannya, ada bagian dari diriku yang tidak ingin menerimanya.

“Terima kasih, aku sudah selesai mandi.”

Setelah selesai mencuci, Aoi-san kembali ke ruang keluarga.

“Aku akan mengurus sisanya, jadi silakan mandi juga, Akira-kun.”

“Aku sudah mencuci semuanya, hanya perlu mengelapnya dan menaruhnya kembali ke rak.”

“Ya. Mengerti.”

Aku menyerahkan sisanya padanya, mengambil pakaian ganti dan menuju kamar mandi.

Setelah melepas pakaian dan dan masuk ke kamar mandi, aku membasuh kepala dan badanku seperti biasa dan berendam dalam bak mandi.

“Fiuh…….”

Sering dikatakan bahwa mandi adalah pembersihan pikiran.

Sensasinya seperti mampu membasuh semua pikiran macetku bersamaan dengan kotoran dari tubuhku, dan tanpa sadar suara seperti itu keluar.

Aku memikirkannya lagi setelah akhirnya kepalaku sedikit mendingin.

Kesampingkan kesanku tentang ayah Aoi-san, Aoi-san-lah yang memutuskan apa yang harus dilakukan.

Pihak ketiga sepertiku tidak dalam posisi untuk mengatakan apa pun tentang hal itu, dan prioritasnya adalah perasaan Aoi-san. Jika tinggal bersama ayahnya adalah yang terbaik untuk Aoi-san dan dia ingin melakukannya, itu tidak masalah.

Jika Aoi-san bisa bahagia, perasaan tidak nyaman yang ada di dalamku adalah hal yang sepele.

“……Tapi, aku tidak boleh tidak menyentuh hal itu hanya karena canggung, kan.”

Pentingnya membicarakan berbagai hal telah diajarkan berkali-kali oleh Eiji selama semester pertama.

Orang-orang pada dasarnya tidak bisa saling memahami. Mustahil untuk saling memahami satu sama lain tanpa mengungkapkan apa yang dipikirkan. Itulah sebabnya kita tidak boleh berhenti berbicara untuk memahami perasaan satu sama lain.

Sulit bahkan bagi anggota keluarga untuk saling memahami, apalagi bagi orang asing dari lawan jenis.

Sama halnya dengan kasus ini.

Aku punya firasat kalau aku mengabaikan masalah ini sekarang, maka semuanya akan terlambat.

“Yosh……!”

Setelah cukup hangat, aku mengubah pemikiran dan keluar dari bak mandi.

Ketika aku kembali ke ruang keluarga setelah mengeringkan rambutku, Aoi-san sedang duduk di sofa.

Aoi-san sedang melihat TV tanpa memperhatikanku yang sudah keluar dari kamar mandi, tapi fokusnya tidak tertuju kemanapun dan dia menatap ke udara seolah-olah dia melarikan diri dari kenyataan.

“Terima kasih sudah membereskan peralatan makannya.”

“Ah, ya.”

Ketika aku memanggilnya, dia akhirnya memperhatikanku dan tersenyum seolah teringat yang sudah dia lakukan.

Hanya dengan reaksi itu, sudah cukup bagiku untuk menebak isi pikirannya.

“Aku akan minum teh jelai, Aoi-san juga mau?”

“Ya. Terima kasih.”

Aku menuangkan teh jelai ke dua gelas, lalu duduk disebelah Aoi-san dan menyerahkan yang satunya padanya.

“”……””

Udara yang terasa berat ini, bukanlah imajinasiku saja.

“Terima kasih sudah datang bersamaku untuk berbicara dengan ayahku.”

Orang pertama yang berbicara adalah Aoi-san.

“Aku tidak keberatan sama sekali. Kupikir akan lebih baik jika aku berada di sana untuk menjelaskan situasinya.”

“Ya. Jika hanya aku sendiri, kupikir aku tidak akan tahu apa yang sebaiknya kukatakan.”

“Kamu tidak bertemu dengannya selama sembilan tahun, jadi mau bagaimana lagi.”

“Ya…….”

Aoi-san menurunkan pandangannya, rambut panjangnya dengan lembut jatuh dari bahunya.

Rambutnya yang menyembunyikan wajahnya, membuatku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.

“Kamu tahu, orang tuaku……bercerai ketika aku masih kelas satu SD.”

Aoi-san kemudian dengan pelan bercerita tentang masa lalunya.

Sebuah monolog, seolah dia sedang memuntahkan perasaan yang telah lama dipendamnya.

“Ketika aku masih kecil, orang tuaku rukun. Tapi, sekitar waktu aku mulai masuk TK, hubungan mereka memburuk……dan ketika aku menyadarinya, mereka mulai sering bertengkar. Sangat menyakitkan bagiku melihat orang tuaku seperti itu, dan aku tidak tahu bagaimana cara membuat mereka berbaikan, dan kupikir itu membuatku khawatir sebagai anak kecil.”

Sekitar waktu itulah kami pertama kali bertemu.

Alasan kenapa Aoi-san terlihat begitu kesepian saat itu mungkin karena orang tuanya tidak akur.

“Kupikir jika aku menjadi anak yang baik, orang tuaku akan berbaikan, jadi aku berusaha untuk tidak egois, aku selalu tersenyum di depan mereka, aku mendengarkan mereka dan melakukan apa yang mereka katakan……tapi itu tidak berhasil.”

Mendengar itu, kupikir aku mengerti entah bagaimana.

Kesulitan Aoi-san dalam menuangkan perasaannya ke dalam kata-kata, keengganannya untuk bergantung pada orang lain, dan tidak mementingkan dirinya……semuanya, berasal dari lingkungan rumah saat dia kecil.

Pengalaman masa kecilnya telah mengikutinya seperti kutukan dan membentuk Aoi-san yang sekarang ini.

“Pada saat aku masuk sekolah dasar, semuanya sudah hancur…….Suatu hari, ayahku tiba-tiba tidak pulang ke rumah dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Karena itu, aku lebih terkejut daripada senang saat melihatnya…….”

Bagi Aoi, reuni dengan ayahnya mungkin terasa seperti trauma yang dibangkitkan. Sebuah kejutan, seolah-olah sesuatu yang tidak ingin dilihatnya tiba-tiba disodorkan ke hadapannya.

Keadaan pikirannya saat itu bukanlah sesuatu yang bisa dibayangkan oleh orang lain.

“Aku masih sangat kecil jadi aku tidak tahu alasan orang tuaku bercerai dan ibuku tidak pernah memberi tahuku setelah itu. Jika dia mengatakannya padaku, mungkin perasaan ini akan sedikit berbeda…….”

Setelah menyelesaikan ceritanya, Aoi-san berulang kali menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan perasaannya.

Sungguh membuat frustrasi karena yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkannya.

“Terima kasih sudah mendengarkanku. Aku hanya, ingin seseorang untuk mendengarkanku.”

“Aku juga, terima kasih. Terima kasih menceritakannya denganku.”

Sampai saat ini pun, Aoi-san beberapa kali berbicara denganku tentang keluarganya.

Tapi, ini adalah pertama kalinya dia memberi tahuku sesuatu yang sedalam ini.

Ini terlalu berat untuk ditanggung seorang gadis SMA sendirian.

“Apa yang akan kamu lakukan, Aoi-san?”

“Apa yang harus kulakukan…….ya.”

Aoi-san tersenyum pahit.

“Menurutmu, apa yang harus kulakukan Akira-kun?”

“Aku……”

Aoi menatapku dengan seksama.

Aku tidak bisa menimbang arti yang ada didalam matanya itu.

“Aku akan menghormati pilihan Aoi-san.”

Menurutku, kupikir aku mementingkan perasaan Aoi-san.

Tapi setelah itu, kalau dipikir-pikir, kupikir jawaban ini adalah sebuah kesalahan.

“Kupikir ada banyak hal yang perlu dipikirkan. Tapi yang penting adalah apa yang ingin dilakukan Aoi-san. Aku tidak berpikir kamu akan mendapatkan jawaban sekarang, tapi, aku juga akan memberi nasehat, jadi pikirkan tentang hal itu dengan tenang.”

Kalimat yang kuucapkan dengan memikirkan Aoi-san didalamnya, hanya memperkeruh perasaanku sendiri.

Apakah akan berbeda jika aku lebih jujur tentang perasaanku?

Tapi pada saat ini, aku tidak tahu bagaimana perasaanku.

“Kamu benar. Aku akan memikirkannya.”

“Ya. Jika ada sesuatu, aku akan ada di sana untukmu.”

“Ya. Terima kasih.”

Aku membencinya—penyesalan selalu menjadi yang pertama datang.

Sejak malam itu, Aoi-san tidak pernah membicarakan tentang ayahnya.

*

 

Pada hari terakhir bulan Juli, sore hari sebelum kami berangkat ke vila milik keluarga Eiji—

Saat aku sedang menyedot debu di kamar di lantai dua, tiba-tiba aku merasakan interkom berdering.

“Hmm? Imajinasiku saja?”

Aku menghentikan penyedot debu dan mengalihkan perhatianku ke lantai satu.

Kemudian, sepertinya itu bukan imajinasiku saja, interkom berdering seolah mendesakku. Aku diserbu oleh rentetan ‘ping pong’ yang seolah mengatakan, cepat buka pintunya.

“Ya, ya, aku mengerti, jangan menekannya terus.”

Aku menghentikan bersih-bersihnya dan menuruni tangga menuju pintu depan.

Segera setelah pintu dibuka, wajah yang tidak asing lagi terlihat.

“Lama.”

Disana, ada adik perempuanku Hiyori—yang tanpa ekspresi dan tidak puas seperti biasanya.

Hiyori jarang mengekspresikan emosinya, dan dia selalu memiliki ekspresi seperti ini di wajahnya.

Sekilas, dia terlihat dingin atau membosankan, dan penampilan serta karakternya membuat mudah untuk disalah pahami, tapi dia sangat penyayang sampai-sampai dia bahkan merelakan liburan musim panasnya untuk datang ke sini demi Aoi-san seperti ini.

Dia tidak memiliki banyak teman karena kepribadiannya yang membosankan dan usia mentalnya yang anehnya tinggi, tapi dia adalah tipe gadis yang disukai secara berlebihan oleh teman-teman yang memahami Hiyori dan memiliki hubungan yang kecil dan mendalam dengan orang-orang.

Karena usia kami hanya terpaut satu tahun, kami memiliki hubungan yang setara, seperti anak kembar.

“Maaf. Aku sedang membersihkan kamar untuk kamu gunakan, Hiyori.”

Rasanya, aku merasakan déjà vu dalam pertukaran ini.

Benar juga. Pada hari Hiyori mengetahui bahwa aku tinggal bersama Aoi-san, kami juga melakukan pertukaran ini.

Tiba-tiba Hiyori pulang ke rumah, dan karena aku terburu-buru menyembunyikan Aoi-san di lemari, aku terlambat menyambutnya, dan ketika aku membuka pintu depan, kata yang pertama keluar dari mulutnya dengan tanpa ekspresi adalah, ‘Lama’.

Pertukaran dengan Hiyori di situasi yang persis sama ini membuatku tersenyum.

“Ada apa? Rasanya, kamu tersenyum.”

“Tidak, bukan apa-apa.”

“Begitu. Aku pulang.”

“Ya. Selamat datang.”

Mungkin karena dia telah berjalan di tengah cuaca panas, keringat keluar dari dahinya, tapi ekspresi dingin di wajahnya sama seperti biasanya.

Dengan ini, sudah sebulan sejak terakhir kali kami bertemu, tapi anehnya aku merasa lega oleh penampilan Hiyori yang tidak berubah.

Alasan aku merasa seperti itu mungkin karena aku belum bisa santai akhir-akhir ini.

“Untuk sekarang, masuklah.”

Aku mengambil koper kecil yang dipegang Hiyori di tangannya dan menuju ruang keluarga.

“Di luar panas sekali, bukan? Mau minum sesuatu yang dingin?”

“Ya. Mau.”

Hiyori sedang mendinginkan diri di bawah AC, mengepakkan kerah bajunya.

Ketika aku menuangkan teh jelai dingin ke dalam gelas dan menyerahkannya padanya, dia meminum semuanya dalam satu tegukan dan dengan diam menyerahkan gelas kosong itu padaku, sepertinya dia sangat haus.

Sepertinya, dia mengungkapkan keinginannya untuk minum satu gelas lagi.

Aku bertanya pada Hiyori sambil menerima gelas dan mengisinya kembali.

“Kupikir kamu akan pulang lebih awal.”

“Begitulah niatku, tapi ada beberapa hal yang ingin kuselesaikan terlebih dulu.”

“Sesuatu yang ingin kamu selesaikan?”

“Pekerjaan rumah untuk liburan musim panas. Sepertinya aku akan menghabiskan sebagian besar liburan musim panas untuk mencari rumah nenek Aoi-san, jadi kupikir lebih baik aku menyelesaikannya sebelum bulan Juli berakhir.”

“……Kamu sudah menyelesaikan semuanya?”

“Ya.”

Yang benar saja……aku bahkan tidak memikirkan apa-apa tentang itu.

Sebaliknya, aku benar-benar lupa kalau pekerjaan rumah itu ada.

Ketika aku memikirkannya, Hiyori selalu menjadi tipe orang yang sistematis atau melakukan segala sesuatu tanpa hambatan.

Tidak terbatas pada pekerjaan rumah liburan musim panas, dia selalu melakukan segala sesuatunya dengan efisien dan cekatan, dan sebaliknya, aku tidak bisa dikatakan sangat sistematis. Jika aku harus mengatakannya, aku cenderung melakukan sesuatu secara mendadak atau serampangan.

Kami adalah saudara kandung, tapi kami sangat bertolak belakang dalam banyak hal, tapi itu tidak berarti kami tidak seperti saudara kandung, hanya saja Hiyori lebih seperti ayah kami yang teliti dan aku lebih seperti ibu kami yang kasar.

Tln : Kasar disini bukan perilakunya atau semacamnya, tapi kaya kebalikan dari teliti.

Di satu sisi, kami tidak mirip satu sama lain, tapi kami mirip dengan orang tua kami, dalam arti tertentu, itu seperti saudara kandung sekali, bukan?

Kesampingkan cerita itu, pekerjaan rumah ya……mari berpura-pura tidak mengingatnya sekarang.

“Di mana Aoi-san?”

“Dia bekerja paruh waktu sejak pagi hari. Dia akan mengambil cuti beberapa minggu untuk mencari neneknya, jadi dia ingin banyak bekerja selagi bisa. Kupikir dia seharusnya segera pulang sekarang.”

“Begitu. Terlihat kerepotan seperti biasanya ya.”

“Begitulah. Dia ingin menabung untuk masa depan.”

Ketika aku menjawab begitu, Hiyori menghela napas kecil.

“Ada apa?”

“Saat aku bilang terlihat kerepotan, itu ditujukan padamu, Akira.”

“Aku? Kenapa?”

“Aku tahu saat aku melihat wajahmu. Kamu masih mengkhawatirkan segala sesuatunya, kan.”

“……”

Sangat tepat sasaran sampai-sampai tidak ada yang bisa kukatakan untuk menjawabnya.

“Tajam seperti biasanya ya, Hiyori……”

“Menurutmu, sudah berapa tahun aku menjadi adikmu, Akira?”

Sejauh yang bisa kulihat, Hiyori, yang tidak menunjukkan banyak emosi di wajahnya, sedikit mengangkat sudut mulutnya, dia pasti berniat membuat wajah sombong. Jika dia bisa melihat menembusku dengan mudah, tidak heran dia membuat wajah sombong itu.

Seperti yang kuduga, aku merasakan dengan jelas kalau aku tidak bisa menyembunyikan apapun dari Hiyori.

“Coba ceritakan. Lagipula, itu sesuatu yang sulit kamu ceritakan kalau ada Aoi-san, bukan?”

“Ya……”

Hiyori mendesakku untuk duduk di sofa dan aku mulai bercerita tentang apa yang terjadi tempo hari.

Tentang ayah Aoi-san muncul di depan kami dalam perjalanan pulang setelah bermain di kolam renang bersama Eiji dan Izumi.

Tentang sang ayah yang mencari Aoi-san karena sang ibu memintanya untuk mengambil Aoi-san, dan ia menyarankan agar Aoi-san tinggal bersamanya. Dan tentang sang ayah yang telah menikah lagi dan tinggal bersama keluarga barunya.

Aoi-san diminta untuk memberikan jawaban selama liburan musim panas dan jika dia ingin tinggal bersamanya, dia harus pindah dan pindah sekolah.

Aoi mengatakan bahwa dia akan memikirkannya, tapi kami belum bisa membicarakannya sejak saat itu.

“Aku tahu itu bukan cerita yang buruk bagi Aoi-san. Jika dia bisa tinggal bersama ayahnya sebagai pilihan jika kita tidak bisa menemukan neneknya, maka masalahnya sendiri sudah selesai. Tapi……”

“Wajahmu mengatakan kamu tidak bisa menerimanya.”

Hiyori menyadarinya, tanpa aku harus mengungkapkannya dengan kata-kata.

“Ya……ada bagian dari diriku yang tidak menerimanya.”

“Apa alasannya?”

“Sejujurnya, aku tidak mempercayai ayah yang meninggalkan putrinya sendirian selama sembilan tahun.”

“Begitu ya.”

Aku mengatakan dengan terus terang apa yang kupikirkan.

Hiyori mengangkat gelasnya ke mulutnya.

“Tidak apa-apa, bukan?”

“Eh……?”

Tanpa diduga, dia menjawab begitu.

“Selama kita tidak tahu orang seperti apa ayah Aoi-san, kupikir mau bagaimana lagi kalau kita tidak bisa mempercayainya. Mungkin saja sebenarnya dia orang yang jahat, kemungkinan itu tidaklah nol. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan Aoi-san, tapi aku tidak berpikir itu salah bagi Akira untuk mewaspadai ayahnya.”

“Begitukah?”

“Meskipun ia adalah ayah kandungnya, jika Aoi-san tidak bertemu dengannya selama sembilan tahun, pastinya ada lebih banyak hal yang bahkan Aoi-san tidak tahu. Aoi-san-lah yang memutuskan apa yang harus dilakukan, tapi penting bagi Akira untuk mengawasinya dengan baik.”

Ketika aku diberitahu hal ini, aku merasa agak lega.

Kupikir itu tidak sopan untuk mewaspadai ayah Aoi-san sejak awal, atau bahwa itu salah sebagai manusia untuk memiliki rasa tidak suka pada seseorang ketika aku bahkan tidak mengenalnya dengan baik.

Tapi, benar juga ya……selama kau tidak tahu orang seperti apa mereka, wajar jika kau tidak bisa mempercayai mereka dengan mudah.

“Hanya saja, tidak apa-apa untuk berpikir bahwa mereka mungkin orang jahat, tapi jangan menolak mereka secara membabi buta karena kamu menganggap mereka jahat. Jika kamu mengenal mereka lebih baik, selalu ada kemungkinan bahwa ia sebenarnya adalah orang yang baik.”

“Benar juga……terima kasih. Aku akan berhati-hati.”

Aku merasa sedikit lebih baik berkat Hiyori.

Sungguh, inilah yang membuatku terkejut karena anak ini masih kelas 3 SMP.

“Itu saja?”

“Eh? Itu saja?”

“Ada alasan lain kenapa Akira tidak bisa menerimanya, kan?”

“Tidak. Hanya itu……kupikir.”

Ketika aku menjawab begitu, Hiyori menghembuskan nafas seperti sedikit terperanjat.

“Akira selalu memprioritaskan Aoi-san, bukan? Itu adalah hal yang baik dan hebat, tapi kamu harus berhenti hanya memikirkan orang lain dan melihat perasaanmu sendiri juga.”

“Perasaanku sendiri, ya……”

Apa ada alasan lain di dalam diriku kenapa aku tidak bisa menerimanya?

Aku memikirkannya, tapi hal yang paling tidak kumengerti adalah selalu perasaanku sendiri.

“Masalah ini, apa Izumi dan Eiji-kun tahu?”

“Tidak, aku belum memberitahu mereka, dan kurasa Aoi-san juga belum.”

“Kalau begitu, mungkin akan lebih baik bagi kita untuk membicarakan dengan mereka berdua setelah kita melihat bagaimana keadaannya. Kupikir juga Aoi-san memiliki sesuatu di pikirannya dan tetap diam, jadi kupikir lebih baik meninggalkannya sendirian untuk sementara waktu.”

“Kamu benar.”

Saat percakapan baru saja berakhir.

“Aku pulang.”

Tiba-tiba, suara Aoi-san bergema dari pintu masuk.

Begitu Aoi-san pulang ke rumah, dia datang ke ruang keluarga dengan langkah kaki yang berderap.

“Hiyori-chan. Selamat datang.”

Dia mungkin melihat sepatu Hiyori di pintu masuk dan menyadari bahwa dia sudah pulang.

Aoi-san menyambut Hiyori dengan senyuman di wajahnya saat bertemu lagi dengannya setelah sekian lama.

“Aku pulang. Aoi-san juga, selamat datang.”

“Ya. Aku pulang.”

Melihat kembali ke belakang sekarang, pertemuan mereka berdua sebelumnya adalah yang terburuk.

Aku ketahuan tinggal bersama Aoi-san, dan Aoi-san menghabiskan waktu tanpa henti dijejali oleh pertanyaan Hiyori yang seperti interogasi tentang hubungannya denganku yang terasa seperti selamanya dan seperti penyiksaan bagi Aoi-san yang pemalu.

Sejak saat itu, mereka berdua bertukar kontak dan sepertinya sering melakukan kontak satu sama lain, dan baru-baru ini Aoi-san memberitahuku bahwa mereka bertiga, bersama  dengan Izumi, telah membuat grup pesan dan berteman dengan baik satu sama lain.

Terlepas dari pembicaraan apa yang mereka lakukan, itu bagus bahwa mereka bisa bergaul dengan baik.

Begitulah yang kupikirkan.

“Langsung saja, bagaimana hubungan kalian berdua setelah itu?”

“”Eh?””

Pertanyaan Hiyori yang tiba-tiba tanpa sengaja membuatku dan Aoi-san mengerang.

Aku tidak menyangka bahwa itu adalah percakapan pertama yang dia lemparkan setelah kami bertiga berkumpul.

“Maksudku, apa yang kamu maksud dengan ‘hubungan’.”

Aku tidak perlu sampai menanyakan itu, tapi aku mencobanya, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.

Namun, tidak mungkin langkah seperti itu akan berhasil melawan Hiyori.

“Sudah sebulan sejak saat itu, kamu tidak akan mengatakan kalau tidak ada perkembangan apapun meskipun laki-laki dan perempuan muda tinggal bersama, kan?”

Ya. Sudah kuduga yang itu……

Aku merasa seperti diminta untuk melanjutkan apa yang kutinggalkan sebulan yang lalu.

“Tidak, seperti yang kubilang sebelumnya, hubunganku dengan Aoi-san bukanlah yang seperti itu—”

Hiyori mengabaikan penjelasanku dan mendekat ke arah Aoi-san.

“Aoi-san, boleh minta waktu sebentar……?”

“U-Umm……”

Aoi-san terdorong mundur oleh tekanan Hiyori dan mundur selangkah.

Kemudian, seolah mengatakan tidak akan melepaskannya, Hiyori juga mengambil selangkah mendekati Aoi-san, dan mendorong Aoi-san yang menarik diri ke arah tembok. Hiyori meletakkan kedua tangannya di dinding dan benar-benar mengunci Aoi-san.

“Padahal kami membantumu, tapi tidak terjadi apapun, apa maksudnya ini?”

“Uuh……M-Maafkan aku.”

Tidak, tunggu sebentar.

Ada percakapan yang tidak bisa kubiarkan berlalu.

“Apa maksudmu ‘kami membantumu’? Aoi-san juga meminta maaf, apa yang kalian bicarakan?”

Ketika aku bertanya dengan tidak tahu apapun, Aoi-san mulai melihat ke arah kejauhan dengan ekspresi canggung di wajahnya.

Hiyori mengalihkan tekanan yang telah diarahkan pada Aoi-san ke arahku dan berkata, mengabaikan pertanyaan itu.

“Akira juga, padahal kamu hidup bersama dengan orang yang begitu cantik ini dan kamu tidak meletakan tanganmu padanya, tidakkah kamu berpikir kalau itu kasar padanya? Karena itulah kamu masih perjaka. Kalau tetap seperti ini, kamu akan selamanya perjaka, kamu tidak apa-apa dengan itu?”

“Itu bukan urusanmu!”

Aku sangat tidak ingin adik perempuanku mengkhawatirkan keperjakaan kakak laki-lakinya dengan wajah serius.

Maksudku, aku bermasalah kalau diperlakukan seperti itu oleh adik perempuan yang toleran terhadap hal-hal erotis atau semacamnya, ampuni aku.

“Pokoknya, ini adalah sesuatu yang perlu kita diskusikan dengan Izumi.”

“……Ya.”

Aoi-san terlihat pasrah dan menyerah.

Pada akhirnya, mereka tidak memberi tahuku apa yang mereka kerjasamakan dan apa yang akan mereka diskusikan dengan Izumi……

Paling-paling, Hiyori dan Izumi berencana untuk membuatku dan Aoi-san berduaan, dan Aoi-san kebingungan karena dia tidak bisa menolak. Aku merasa kasihan pada Aoi-san, jadi tolong hentikan itu.

Keinginan seperti itu sia-sia, dan pengejaran Hiyori terus berlanjut sampai selesai makan malam.

Malam itu, aku dan Aoi-san mulai bersiap-siap untuk besok dengan bantuan Hiyori.

Kami berencana untuk tinggal di vila Eiji selama dua minggu sampai akhir festival Bon.

Sebenarnya, aku benar-benar ingin tinggal sampai kami menemukan rumah neneknya, tapi aku tidak bisa mengatakannya karena kami memiliki beberapa hari pekerjaan sukarelawan yang disponsori sekolah yang dijadwalkan untuk paruh kedua liburan musim panas.

Namun demikian, aku memikirkan ini saat aku melihat mereka dengan riang mengobrol di sampingku dan memasukkan pakaian mereka ke dalam tas mereka, sambil memastikan bahwa mereka siap menghadapi apa pun.

—Tergantung pada hasil musim panas ini, masa depan Aoi-san akan diputuskan.

Ayahnya memang membuatku tidak nyaman, tapi selama kami bisa menemukan rumah neneknya, tidak akan ada masalah.

Aku merasa bahwa tidak hanya masalah dan kecemasan Aoi-san tentang masa depannya, tapi juga perasaan yang tak bisa dijelaskan yang bergejolak di hatiku, semuanya akan terpecahkan jika kami bisa menemukan rumah neneknya.

Pokoknya, aku akan melakukan segala yang kubisa.

Dengan tekad seperti itu, sambil mempersiapkan untuk besok, malam perlahan semakin larut.

 

 


Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi Bahasa Indonesia

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi Bahasa Indonesia

A Story Of Taking Home A Lonely Gal From My Class And Turning Her Into An Elegant Beauty,クラスのぼっちギャルをお持ち帰りして清楚系美人にしてやった話
Score 8.2
Status: Ongoing Tipe: Author: Artist: Dirilis: 2021 Native Language: Japanese
Dia pernah membantu seorang gadis yang kesepian dari kelasnya. Pada malam yang hujan, Akira Akamori, seorang siswa sekolah menengah yang akan pindah ke sekolah baru, melihat teman sekelasnya yang berambut pirang, Aoi Sotome, basah kuyup dari hujan di taman terdekat. "... Saya tidak punya rumah lagi." Meskipun Aoi benar -benar orang asing baginya, dia tidak bisa meninggalkan seorang gadis sendirian, jadi dia membawanya pulang. "Terima kasih untuk bantuannya." "Aku-baik saja ..." Ketika Akira mendengar tentang situasi Aoi yang rumit, dia memutuskan untuk membantunya dan membiarkannya tinggal bersamanya sampai dia dipindahkan ke sekolah baru. Sementara bingung dengan pertama kalinya mereka hidup bersama, keduanya perlahan -lahan saling dekat. Ini adalah kisah cinta dari dua orang yang berulang kali bertemu dan berpisah, seperti rekaman yang rusak.

Komentar

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset